Setelah berhasil meyakinkan ayahku tentang pendapatnya yang akan mampu melatihku, Alora membawaku menuju ke Istananya di sebelah barat Tumaya. Dua puluhan meter sebelum tiba di depan istana yang hampir mengambang di atas udara laut selatan Tumaya itu, Alora berhenti dan mengajakku berdiri di dekat langkan jembatan, menghadapkan wajah ke barat lautan. Gadis itu menghela napas, raut wajahnya menunjukkan ia sedang memusatkan konsentrasi yang begitu dalam. Sambil menjulurkan telapak tangannya lurus ke depan, ia berkata. “Aku sedang memusatkan konsentrasiku pada lautan.” Di hadapan kami, lautan yang mulanya berdebur tenang kini mulai bergelombang semakin besar. Pada detik yang sama, Alora melanjutkan ucapannya, “Aku hanya perlu merasakan kekuatan pikiranku mengalir menuju lautan itu, dan menggerakkan lautan itu seperti menggerakkan bagian dari tubuhku sendiri.” Setelah mengucapkan itu, Alora membanting tangannya seperti menanam sesuatu pada angin. Kemudian gelombang laut menusuk ke dala
Ketika Alora melewati empat makhluk aneh itu, makhluk-makhluk itu berdiri lalu duduk setengah berlutut seraya memberi hormat dengan sebelah tangan dilipat ke dada.Aku masih menaiki undakan, sementara Alora yang telah menduduki singgasananya berkata, “Bisakah kalian turun dulu, aku tidak ingin diganggu.”Bagian pinggang ke bawah makhluk-makhluk aneh di hadapan Alora kemudian dilipati angin, lalu meleleh menjadi setengah manusia berkaki kabut, kemudian melesat melewatiku menuju ke lantai bawah.“Silahkan duduk,” Alora mempersilahkanku duduk di salah satu singgasana yang kosong itu. Beberpa menit kemudian, aku telah duduk di singgasana sebelah kanan yang paling dekat dengannya. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Alora melatihku mengeluarkan cakar di singgasana. “Alirkan semua energi yang terkumpul menuju ke ujung jarimu,” kata Alora.Sementara aku terus memusatkan pikiran. Sambil memperhatikan semua ucapan Alora, aku mencoba mengikuti apa yang diarahkannya.“Rasakan semua energi yang tela
Pendar sinar mentari sore di dalam ruangan sedikit memerihkan mata ketika aku memicing. Terlihat langit-langit dengan sepuh rasi bintang. Aku bangkit dengan memijit pelipisku, menahan sedikit nyeri di kepalaku. Begitu aku melirik ke sekeliling, terdapat tembok bercorak selusin manusia berkepala srigala yang tengah bertarung dengan manusia kelelawar, bukan hanya itu, ada selusin manusia berkepala gajah yang memenuhi dinding itu, semuanya memegang trisula. Kasur yang menopang berat tubuhku terasa empuk. Aku bangkit dari pembaringanku, lalu melangkah menuju pintu emas yang bercorak naga hijau. Aku membukanya lalu keluar dari kamar itu. Sepertinya aku masih berada di dalam istana milik Alora, dapat kulihat dari lantai lautan yang kulewati. Ketika melangkah menelusuri istana bernuansa hijau itu, aku berpapasan dengan puluhan prajurit aneh yang memandangiku dengan tatapan aneh, tatapan yang sekan-akan menusuk jantungku. Itu dapat kusebut sebagai tatapan penuh kebencian. Aku baru merasa be
“Oh Nando! Selamat datang kembali di istana pamanmu!” Lelaki yang usianya lebih tua dari ayahku itu terlihat ramah, meski kutahu ia hanya mencoba bersikap baik padaku. Sebenarnya ia bisa saja mengusirku, dan akupun tidak akan membencinya jika ia bersikap seperti itu. Tapi syukurlah lelaki itu bisa bersikap lebih bijaksana ke padaku. “Hormat saya paman,” kataku seraya membungkut dengan melipat sebelah tangan ke dada untuk memberi hormat. "Silahkan duduk nak,” katanya seraya menunjukkan salah satu singgasana kosong yang posisinya lebih rendah dari singgasananya. Penataan singgasana itu persis seperti penataan singgasana di Istana Alora, jadi aku duduk menyudut dengannya. Sementara prajuritnya telah turun ketika aku datang, mereka berdiri berderet di lantai bawah seperti ajudan kepresidenan Rusia yang pernah kulihat di televisi. Setelah aku mendaratkan tubuhku di salah satu singgasana yang paling dekat dengannya, Lensana Merah berkata, “Aku senang kau mau berkunjung kembali ke istan
Ketika burung pelatuk berekor naga itu telah benar-benar dekat, aku menyadari Alora tengah duduk dengan anggun di punggung burung itu. Aku turun dari langkan, dan seekor burung raksasa mendarat di hadapanku. Menyapu kabut tipis yang mengitariku, dan mengibas angin yang meniup kencang rambut dan jubahku.Burung itu merendah hingga sayapnya yang lebar menempel di marmer jembatan. Namun Alora tidak turun dari punggung burungnya, ia tersenyum memandangku yang masih setengah terpukau dengan suasana di hadapanku.“Mau terbang bersamaku?” Alora berhasil mengusir kekosongan di otakku.“Kemana?” tanyaku.“Mengitari Tumaya,” jawabnya dengan anggun. “Menikmati keindahan malam di atas punggung burung ini.”Sepertinya itu ide yang bagus. Aku melangkah mendekat, lalu merangkak naik ke punggung burung itu. Beberapa detik setelah aku duduk dengan mantap di punggungnya, burung itu bangkit dengan gagahnya, lalu melejit dari jembatan. Sayapnya terkepak indah di udara, dan ekor naganya melambai di tiap-t
Langit terlihat damai, memayungi tumaya dengan tulus, seperti sinar mentari yang menghangatkan di pagi ini. Kabut-kabut menyisir dinding bangunan-bangunan megah, dengan tenang menjalar di tepi jembatan yang sedang kutapaki.“Tidak terasa, waktu bersamamu ternyata begitu singkat,” Nero mencoba mengikhlaskan.“Iya,” kataku sambil terus melangkah beriringan dengannya. “Namun sebenarnya ini bukan sebuah perpisahan. Kita pasti akan berjumpa lagi.”“Kuharap begitu,” ucap Nero dengan wajahnya nampak murung. “Lihatlah mereka, terlihat gembira, tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.”Kulihat Arena bundar telah di sesaki berbagai makhluk aneh. Mulai dari yang terlihat seperti manusia normal, hingga makhluk yang berbadan setengah manusia. Mereka seperti semut yang tengah berpesta gula, memadati jembatan yang terhubung ke arena bundar dari segala arah. Menyesaki Arena bundar seakan takkan dapat tempat. Berbagai margasatwa raksasa yang sejak tadi kulihat terbang mengitari langit Tumaya, kini satu
Ayah dan Lensana Hijau masing-masing berdiri di kedua sisi amfiteater, dan Lensana Merah berada di antara mereka. Ketiganya menjulurkan Mustika Dewa, lalu mestika Dewa memancarkan sinar yang mencorot seperti Laser raksasa, dan pertemuan ketiganya membentuk sudut cahaya yang menyilaukan. Mustika Dewa telah memutuskan cahaya, para Lensana juga telah berhenti menjulurkan Mustika Dewa. Namun sinar menyilaukan itu masih berkemilauan semakin terang dan mulai membentuk sebuah gelombang, gelombang yang awalnya kecil sekarang semakin besar membentuk pusaran bumi dari angin-angin. Energi dahsyat yang timbul dari gelombang itu menciptakan tekanan yang cukup tinggi, sehingga kami semua yang menyaksikan harus memperkuat pijakan agar tidak terpental ke belakang.Alora menyabet bahuku menyebabkanku berbalik menghadapnya, gadis itu kemudian memelukku ketika tubuhku telah sejajar dengan tubuhnya. Air matanya berhamburan di pipinya yang putih berseri dan berkemilauan karena balutan cahaya dari gelomban
“Ayah mana bik?” tanyaku sambil mendekatinya. Bik Irah menjawab dengan terbata-bata, “Tu-tuan tuan sedang keluar.” Wanita itu sontak melepaskan kemocengnya, lalu berlari kecil mendekatiku, kemudian memijat-mijat bahuku sambil berkata dengan terisak-isak. “Tuan Nando darimana saja? Tuan dan nyonya sibuk nyari tuan muda setelah mereka keluar Rumah Sakit.” “Udah bik, jangan nangis iya,” aku mencoba menenangkannya. “Nando kan baik-baik aja.” "Iya tuan,” kata bik irah menahan isak tangisnya, seraya menghapus airmatanya dengan kanibo yang selalu ia sampirkan di pundaknya. “Bibik buatin minum iya.” “Boleh bik,” kataku. “Jus jeruk aja iyah.” “Iya,” kata bik Irah lalu bergegas menuju dapur. Sembari menunggu jus buatan bibik, aku berjalan menuju ke belakang rumah. Rumahku memiliki kolam renang berbentuk angka delapan, tempat itu sangat sejuk. Dulu aku sering menghabiskan waktuku untuk membaca buku di sana. Aku duduk di kursi kayu di tepi kolam sambil menatap langit biru yang bersih tanpa
Setelah lama tak bermimpi, kini aku kembali mengalami mimpi yang aneh, tapi entahlah ini benar-benar mimpi atau bukan, rasanya seperti begitu nyata. Tubuhku terantai dengan rantai yang dipenuhi aliran listrik berwarna biru, dan listrik itu bersumber pada mustika Naga Langit yang melayang-layang beberapa meter di depanku."Tempat apa ini?" gumamku.Tak ada apapun dan siapapun di tempat itu, hanya ruangan kosong yang gelap dan dipenuhi kabut merah yang berkemendang. Ketika aku tengah memperhatikan sekelilingku, tiba-tiba mustika Naga Langit mengembang dan mengeluarkan energi listrik yang lebih besar. Dan tubuhku mulai tersengat."Aaakkhh!" aku menjerit menahan energi itu.Sementara mustika Naga Langit semakin besar, dan aliran energi itu juga semakin besar sehingga aku kian tersiksa. Aku meronta-ronta, namun rantai itu begitu kuat untuk bisa kulawan.Mustika itu semakin dekat, dan energi yang dialirkannya semakin deras hingga menyelimuti tubuhku. Mustika itu terus mendekat seperti terta
Tanpa memejamkan mata, aku menyaksikan duri-duri besi raksasa itu pecah berkeping-keping menyentuh tubuhku, aku yang sedikit terperangah dengan kekebalan tubuhku mengalihkan pandanganku ke Mustika berwarna biru yang saat ini kupegang."Jangan-jangan ini adalah Mustika Naga Langit yang sedang kucari," gumamku, lalu memperhatikan ke sekeliling goa dan kembali bergumam, "Dan jangan-jangan, aku sedang berada di dalam perut naga langit."Secara tiba-tiba sebuah gelombang yang sangat kuat menarik tubuhku keluar kembali dari perut Naga Langit. "Aaakh!" Aku terseret kembali menuju ke luar.Benar saja, Naga Langit tengah mengamuk. Sementara aku yang berada beberapa puluh kaki di depannya melihat dengan jelas Matanya yang nampak menyala dan memancarkan warna kebiruan, lalu ia menghisap berbagai halilintar dengan mulutnya, sehingga halilintar-halilintar itu membentuk pusaran besar yang dahsyat dan terpusat di mulutnya.Selang beberapa mili detik kemudian, Naga Langit menyemburkan pusaran halilint
Kemilau cahaya perlahan-lahan menipis, dan panorama perlahan-lahan semakin jelas. Begitu semuanya benar-jelas dan kemilau cahaya sudah tidak ada, aku baru menyadari jika kami tengah dikelilingi halilintar dan petir yang menyambar ke segala arah.Sementara Zeon terus mengepakkan sayap dan melaju melewati celah-celah petir, Singa berbulu keemasan itu menghindari amukan halilintar dengan tangkas."Hati-hati, Zeon," ucapku."Jangan khawatir, Pangeran," jawab Zeon.Untuk mengurangi ketegangan, aku mencoba mengobrol dengan Tungganganku itu. "Kenapa kamu jarang sekali berbicara?"Bukannya menjawab pertanyaanku, singa itu malah mengajukan pertanyaan kembali, "Untuk apa sering berbicara, Pangeran?""Kau bodoh atau memang judes?" gumamku, kemudian menjawab, "Tentu saja untuk berkomunikasi agar kita bisa lebih mudah saling mengerti."Sambil terus melaju dengan kecepatan tinggi menerobos halilintar, Zeon berkata, "Aku diciptakan untuk peka terhadap tuanku. Jadi, aku tidak memerlukan obrolan untuk
"Zeon?" gumamku.Singa itu merunduk bersamaan dengan sayapnya yang menyusut semakin kecil, hingga sayapnya benar-benar hilang dari pandanganku. Sesaat kemudian, Ayahku turun dari Singa itu.Tiba-tiba saja Nero yang menunggangi singa bersayapnya tiba di sampinging Zeon. "Singa ini sungguh cepat, tungganganku yang dikenal sebagai tunggangan tercepat di Alam Tumaya tidak mampu mengimbangi kecepatannya," ucap Nero sambil menuruni tunggangannya yang telah merunduk."Untuk saat ini, tunggangan adikmu adalah tunggangan tercepat di alam Tumaya," ucap Ayahku sambil mengelus bulu Zeon yang berwarna keemasan."Singa ini masih sangat muda untuk menumbuhkan sayap, bagaimana kau bisa berhasil menumbuhkan sayapnya, Ariuz?" tanya Lensana Merah."Aku memandikannya dengan cairan Paksacakra," jawab Ayahku."Bukankah cairan itu hanya bisa digunakan satu kali? Bagaimana kau akan menumbuhkan sayapmu, Ariuz?" tanya Lensana Hijau."Aku memang berniat menumbuhkan sayapku untuk menembus dinding Julaga, tetapi
Sejak perbincangan di Amfiteater, Ayahku tidak pernah berbicara denganku. Hingga tiba pada hari ini aku akan berangkat menuju ke Gerbang Alam Langit."Kiyaaakkk!" suara berbagai satwa pun meramaikan acara pengantaran ku.Penghuni Alam Tumaya kecuali Letra berkumpul di gerbang Tumaya, mulai dari Jin penghuni Tumaya dari kalangan bawah hingga Jin penghuni Alam Tumaya dari kalangan atas. Dengan tatapan penuh harapan, semua mata rakyat Tumaya mengiring kepergianku.Berbagai siluman dengan bentuk yang beragam nampak sibuk berbisik-bisik, suara salah satu dari mereka sampai ke telingaku, "Putra Lensana Biru itu adalah satu-satunya harapan kita.""Bukankah itu adalah Jin Hal yang pernah dikalahkan oleh Taro di Arena Bundar, bagaimana bisa dia akan mengembalikan keseimbangan Alam Tumaya?" suara Siluman lain.Mereka terus berbisik-bisik hingga Lensana Hijau mendekatiku. Lensana Hijau mengeluarkan sebuah Permata Putih dari sakunya, kemudian menyerahkannya padaku sambil berkata, "Keponakanku, ini
"Tentu saja jika tidak ada yang keberatan," jawabku dengan perasaan yang sangat yakin jika aku akan bisa menembus kembali dinding Julaga."Kami percaya, kamu bisa menembus dinding Julaga. Akan tetapi, kau akan berhadapan dengan seluruh penghuni Alam Qulbis, mengalahkan seluruh penghuni Alam Qulbis adalah satu kemustahilan," ucap Lensana Merah dengan wajah yang kurang bersemangat.Ayahku menambahkan, "Apalagi sekarang, raja Lacodra memiliki Permata Seribu yang membuatnya tidak bisa tersentuh oleh senjata apa pun."Melihat para Lensana begitu pesimis, aku bertanya, "Apakah tidak ada cara untuk mengalahkan raja Lacodra?"Semua Lensana terdiam, Lensana Merah nampak berpikir serius, mungkin dia tengah memikirkan solusi, begitu juga dengan Ayahku. Sementara angin sore yang terasa dingin di Tumaya menyentuh kulitku, dan itu membuat keheningan di antara kami begitu kentara.Setelah semuanya terdiam cukup lama, tiba-tiba Lensana Hijau bersuara, "Sebenarnya ada satu cara untuk menembus permata s
Setelah melewati beberapa bangunan dan jembatan yang telah runtuh, aku tiba di sebuah amfiteater yang dulu begitu luas dan bisa menampung ratusan ksatria Tumaya. Kini bangunan itu nampak telah hancur sebagian, dan sebagiannya lagi masih bisa digunakan sebagai tempat berkumpul oleh penghuni alam Tumaya.Zeon mendarat di arena bundar yang nampak berantakan dengan taman yang telah rusak. Begitu singa berbulu emas itu menunduk, aku turun dari punggungnya sambil menatap wajah para Lensana yang nampak telah menunggungku dan menyambutku dengan senyum yang ramah."Salam hormat dari saya, Ayah, Paman Lensana Hijau dan Paman Lensana Merah," ucapku sambil membungkuk."Selamat datang, keponakanku," ucap Lensana Merah."Terimakasih sudah mau kembali ke Alam Tumaya, Keponakanku. Seluruh Penghuni Tumaya sangat membutuhkanmu," ucap Lensana Merah."Sama-sama, Paman," ucapku sambil melangkah menaiki tangga amfiteater, lalu mendekati sebuah kursi kosong berbahan perak di antara para Lensana kemudian dudu
Aku menghindari serangan Letra dengan begitu cepat, dan itu membuat putra Lensana Merah itu semakin geram, "Kau semakin menyebalkan anak lemah!""Jangan memancingku, Letra!" ucapku yang telah bosan dikatakan lemah oleh Jin Hal merah itu."Hiyaahh!" serunya sambil melesat dan menukik ke arahku.Dengan sigap aku berhasil menghindar sambil melakukan tendangan memutar yang membuat Jin Hal merah itu terempas dan menabrak Langkan dermaga hingga Langkan itu patah."Aakh!" jeritnya dengan tubuh yang terguling-guling menuju sebuah pohon."Kau bukan tandinganku! Jadi, jangan coba-coba memaksaku melakukan lebih dari itu!" teriakku sambil menunjuk Letra dengan jantung yang berdebar karena menahan amarah."Aku akan melakukan apapun untuk mengalahkanmu anak manusia," ucap pemuda berjubah merah itu sambil bangkit dan menahan sakitnya. Kakinya nampak bergetar, sepertinya tendangan yang telah kulakukan terlalu keras dan tepat mengenai tulang pinggulnya."Kenapa kau senang sekali mengganggu Nando, apa
"Hanya anakmu satu-satunya harapan kita untuk merebut Permata Seribu, Ariuz," suara Lensana Merah telah terdengar sebelum aku membuka mata."Aku tidak ingin menyerahkan nyawa anakku, Artuz," Ayahku terdengar keberatan.Dan saat aku membuka mata, para Lensana yang berdiri mengelilingiku langsung mengalihkan perhatiannya padaku. Tapi mataku langsung tertuju pada Alora yang duduk memangkuku."Nando," ucapnya dengan senyum yang menawan."Alora, apakah kau baik-baik saja?" tanyaku yang masih ingat apa yang telah terjadi pada gadis itu sebelum bertarung dengan raja Lacodra dan pingsan."Seharusnya aku yang bertanya seperti itu, apa kau baik-baik saja?" tanyanya dengan pandangan yang sayu, bola matanya nampak lembab."Aku baik-baik saja," jawabku kemudian bangkit dari pangkuannya dengan sedikit sempoyongan, lalu bertanya, "Kenapa kau menangis?""Aku tidak menangis," ucap gadis itu sambil mengusap matanya, lalu berkata, "Kau telah menjadi pahlawan di negeri kita.""Itu benar," ucap Lensana Me