Alisa mengangguk. Ia menggenggam tanganku. "Kamu benar, Luna. Terima kasih sudah menganggapku saudara. Aku harus optimis, harus semangat. Aku memang sudah tidak sabar menunggu kedatangannya. Dialah alasanku tetap bertahan. Aku ingin mendengarnya memanggilku mama, sekali saja dalam hidupku. Walaupun dia bukan anak yang kukandung, tapi aku ingin sekali mendengarnya memanggilku begitu. Aku juga ingin mendengarnya memanggilmu, Bunda. Kita nanti bakal sama-sama merawatnya. Aku akan menjalani pengobatan lagi. Apapun hasilnya, sesakit apapun rasanya, paling tidak, aku sudah berusaha. Biar Tuhan yang menentukan nasibku." Alisa merangsek memelukku tiba-tiba. Aku tersenyum getir hanya mampu mengusap lembut punggungnya. Hubunganku dengan Alisa semakin dekat. Sebenarnya sejak di Bali, Alisa sudah bersikap baik padaku. Ia sangat telaten memastikan aku dan bayi yang kukandung sehat tanpa ada masalah apapun. Seperti ibu yang menjaga anaknya, sangat pr
Read more