"Kumohon Bu, aku punya penilaian sendiri tentangnya. Kuharap Ibu besok pulang saja ke Singapura. Keadaanku baik-baik saja. Kalau ada Ibu di sini. Keadaanku akan memburuk karena memikirkan ulah Ibu yang selalu menyudutkan Luna, dan itu juga akan berdampak pada kesehatan jiwa Luna. Aku tidak ingin ia mengalami stres menjelang persalinannya."
"Tega kamu ngusir Ibu. Padahal Ibu mengkhawatirkan keadaanmu." Suara Bu Maya terdengar serak.
"Maaf, Bu. Aku pun butuh ketenangan pasca pengobatan. Apa yang Ibu lakukan barusan berdampak pada kesehatanku. Dokter bilang, selain fisik, kesehatan jiwa juga diperlukan untuk menghentikan pertumbuhan kankerku. Aku tidak boleh banyak berpikir dan stres. Ibu mau penyakitku kambuh lagi?"
"Ibu--"
Refleks aku menutup mulut saat merasakan tepukan di bahu. Pak Arik? Mengagetkanku.
&nb
"Sus, jawab! Saya ada dimana?" Aku masih bertanya pada perawat tersebut, tetapi dia tetap diam, hanya sibuk mengecek kondisiku.Melihatnya mengabaikan pertanyaanku, tanpa pikir panjang kulepas jarum infus yang menempel di tangan."Aaargh!" jeritku meringis sakit. Bekas infus itu mengeluarkan sedikit darah."Apa yang anda lakukan?! Ini bahaya." Dengan sigap ia ingin memasang kembali jarum infus tersebut, tapi kutepis."Katakan ini dimana, dan mana anakku!" Dengan penuh penekanan kutanyakan lagi meski badan terasa lemas."Tolong!" Perawat itu berteriak minta tolong karena aku berontak, ia berlari ke arah pintu."Tolong bantu saya menenangkan Bu Luna." Aku masih bisa mendengarnya berbicara, tapi tidak tahu dengan siapa. 
Aku memulai sandiwara dengan menyetujui surat perjanjian yang disodorkan Bu Maya waktu itu, dimana map tersebut masih tergeletak di atas nakas tempat tidur. Sengaja kutanda tangani, walau akhirnya nanti bakal kulanggar. Aku tidak ingin lagi terikat perjanjian memuakkan seperti itu. Tidak mungkin juga Bu Maya menjebloskanku ke dalam penjara dengan isi perjanjian yang tidak masuk akal. Andaipun dipaksakan membawa ke jalur hukum itu sama saja dengan membuka aib keluarga mereka. Beda kasus dengan perjanjianku dengan Alisa, di sana aku yang dengan sukarela menyetujui karena terikat janji timbal balik atas bantuannya, hingga ibuku bisa menjalani operasi. Yang penting aku tidak menggunakan uang yang bakal di transferkan Bu Maya ke rekeningku sesuai dengan isi nominal yang tertera di sana.Aku meminta waktu diberikan kelonggaran untuk memulihkan kondisi fisikku sebelum berangkat ke luar negeri. Intinya aku mengulur waktu agar tidak dikirim ke s
Sudah dua minggu berada di apartemen ini. Kondisi kesehatanku jauh lebih baik dari sebelumnya. Aku sudah sehat. Bu Maya bilang dua hari lagi jadwal keberangkatanku ke luar negeri, tepatnya ke Singapura, karena dia ada urusan yang harus diselesaikannya dulu di sini. Semua paspor, dan dokumen lengkapku sudah siap dan berada di tanganku. Kelihatannya Bu Maya mempercayaiku hingga dia tidak curiga kalau aku berencana kabur dari apartemennya. Yang harus kupikirkan sekarang bagaimana caraku kabur dari sana? Apartemen yang berada di lantai tiga puluh ini memiliki keamanan yang ketat selain juga dari dua bodyguard itu. "Bu, bolehkah saya menemui keluarga saya dulu sebelum berangkat ke Singapura?" pintaku memelas. Aku tidak tahu apakah ini bisa dimanfaatkan untuk kabur atau tidak. Andai tidak, itu adalah kesempatan terakhirku berpamitan dengan mereka. Bu Maya tampak berpikir. Ia
"Luna, kamu kenapa Nak?" Aku segera menurunkan tanganku yang sempat meremas d*da bagian kanan karena nyeri. Sepertinya Ibu memperhatikanku yang tidak sengaja meremas buah d*da saat menghubungi Varel."Oh, nggak apa Bu," jawabku tergagap dan sengaja berpaling membelakanginya, menghindari tatapan curiganya.Badanku ditarik Ibu hingga menghadapnya. Ia memindaiku dari atas sampai bawah, lalu tatapannya berhenti di bagian tengah."Ibu senang melihatmu lebih gemukan dari beberapa bulan yang lalu, tapi ..., kenapa ada yang berbeda? Pay*d*ramu …." Pay*d*ra-ku hendak disentuh Ibu. Namun berhasil kutepis. Apalagi cup bra sebelah kanan bagian dalamnya sudah basah. Lalu Ibu kembali memindai tubuhku dengan tatapan curiga."Eh, masa Bu? Syukurlah. Setidaknya nggak kurusan lagi, ntar dibilang sakit," elakku dengan menarik bagian bawah baju a
Varel. Adikku satu-satunya.Varel datang dengan langkah cepat berjalan ke arah kami."Mbak, ada apa? Kapan pulang? Mbak baik-baik saja kan?" Meski beruntun pertanyaan dilontarkannya ke arahku, tapi lirikan matanya jelas memindai Sella yang berdiri di sampingku.Aku menganggukkan kepala lalu merangsek memeluknya. Sambil berbisik kutanyakan apakah dia membawa pesananku seperti yang kuminta lewat sambungan telepon. Varel secara tersembunyi diam-diam memberikan sebuah botol kecil ke tanganku. Kuharap Sella tidak melihatnya."Ini Sella, Rel. Teman Mbak. Ganti baju dulu gih ke kamar biar kita makan siang bareng. Baru Mbak ngomong hal penting ke kalian." Botol kecil itu segera kumasukkan ke dalam saku celanaku.Varel menyapa Sella dengan menundukkan sedikit kepalanya kebawah.&nb
Air mata bak aliran sungai, mengalir deras dari atas ke bawah tak terbendungkan lagi. Aku menangis tanpa menyadari masih berada di dalam mobil taksi."Ini Mbak, tisu." Kudongakkan kepala, menatap tangan yang mengangsurkan kertas lembut berwarna putih tersebut ke arahku. Baru sadar masih di dalam taksi setelah Pak supir memberikan selembar tisu.Aku hanya mengangguk lemah merespon pemberiannya tak mampu membalas kata.Terdengar bapak supir itu keluar dari mobilnya. Entah pergi kemana, aku tak peduli. Tidak berapa lama, ia balik lagi dan duduk di kursi kemudinya.Hening, hanya suara tangisku saja yang terdengar ke sisi dalam mobil. Rasa malu sudah terabaikan sejak lelaki berumur sekitar empat puluh tahun ke atas itu hanya memperhatikanku dari balik kaca spion depannya tanpa mengusik. Ia membiarkan saja aku menangis te
"Hei! Kamu sadar kan? Jangan diam begini. Bicara Lun! Jangan membuatku semakin cemas." Lelaki itu menepuk pipiku. Namun aku bergeming. Lalu ia memelukku tiba-tiba. Pelukan yang harusnya kudapatkan dari Pak Arik. Sayang bukan dia, tapi ….Pelukan yang menenangkan. Aku merasa terlindungi setelah sebelumnya kehilangan arah. Tersadar ini salah, segera kuurai pelukannya."Ikut aku!" ajaknya. Lelaki itu menuntunku berjalan sampai ke depan sebuah mobil yang terparkir di tepi jalan. Aku pasrah dibawanya masuk ke dalam mobil tersebut.Entah kemana dia membawaku. Aku diam dengan tatapan kosong menerawang ke depan. Lalu mobil berhenti di depan ke sebuah bangunan tinggi bertingkat."Apa?" tanyaku saat laki-laki itu ingin membuka handle pintu mobilnya. Ia mendekat."Apa salahku Xel? Kenapa hidupku s
Aku terbangun dan terfokus ke jam digital yang terletak di atas nakas. Jam menunjukkan pukul 04.25 waktu subuh. Memang sudah kebiasaan bakal terbangun di jam subuh seperti ini.Bangun perlahan dari tempat tidur menjejakkan kaki menuju pintu kamar. Aku teringat ucapan Axel yang akan mencarikan baju ganti untukku tapi sampai subuh tidak ada kabarnya. Aku sampai ketiduran karena lelah yang mendera.Mataku menatap heran ke bawah tepat setelah pintu kamar kubuka. Di depan kamar ada dua buah paper bag tergeletak begitu saja di sana. Kuedarkan pandangan menelisik ke segala sisi mendeteksi apakah ada seseorang di jam subuh Seperti ini? Sepi, hanya aku seorang. Dimana Axel? Ini kan apartemennya."Semoga suka. Axel." Di depan salah satu tas kertas tersebut tersemat catatan kecil dari Axel. Aku masuk kembali dan menutup pintu kamar. Duduk di tepi tempat tidur dan mem
Kuajak Luna bicara. Dengan berderai air mata ia menceritakan kisah tragisnya hingga terdampar ke kota ini lagi. Kaget. Itu respon pertamaku saat mendengarnya. Ternyata anak yang diakui Kak Alisa sebagai anaknya adalah anaknya Luna. Wanita di depanku inilah ibu kandung dari Adnan. Aku mencoba mempercayainya meskipun sedikit ragu. Heran, perjanjian seperti apa yang ia jalani yang hasilnya hanyalah merugikan diri sendiri. Ia menceritakan semuanya tanpa ditutupi. Aku syok mendengarnya. Kenapa ia harus memilih jalan hidup seperti ini? Hal yang kusesali sejak awal adalah kenapa dia tidak datang dan minta tolong padaku saja, pasti hal ini tidak akan pernah terjadi.Akhirnya aku memilih mempercayai semua ceritanya. Jangan tanya kenapa, hatiku lah yang mengarahkannya ke sana. Aku tahu kalau Luna bicara jujur dari caranya bicara. Kujanjikan akan membantunya menyelesaikan masalahnya dengan keluargaku terutama dengan Tante Maya--ibunya Alisa. Setah
POV Axel."Mas Arik? Bukankah di kamar itu …?" Dengan langkah lebar dan terburu-buru kuhampiri Mas Arik dengan tangan mengepal kuat siap memuntahkan bogem mentah meluncur ke wajahnya."Axel! Kamu?!" Nampak keterkejutan di wajah kakak kandungku ini. Ia meringis sembari mengusap bekas hantaman keras buku tanganku yang berhasil mendarat di pipinya. Tampak kemerahan dan sudut bibirnya berdarah. Tidak cukup sekali, rasa panas terbakar dalam hatiku menyulut amarah yang semakin besar hingga ingin mengulangi kembali hantaman tersebut ke wajahnya lagi. Namun sayang dapat ditepisnya dan …."Aaargh!" Mas Arik berhasil menonjok pipiku. Perih rasanya, tapi tak seberapa dengan perih yang bersemi di dalam hatiku saat ini. Rasanya sakit sekali. Dengan brutal kucoba membalas hantaman tangannya, dan kami terlibat baku hantam. Beberapa kali berhasil memukulnya, begitupun d
POV Luna."Hentikan perang dinginmu dengan Arik, Lun. Kasihan dia tersiksa." Alisa yang masuk ke kamar kami--aku dan Adnan, langsung melontarkan ucapan tersebut secara tiba-tiba. Aku yang baru memandikan Adnan hanya melihatnya sekilas lalu fokus kembali ke bayi mungil berkulit putih kemerahan."Siapa yang sedang perang dingin, Kak. Kami baik-baik saja," sanggahku tanpa menoleh ke arahnya. Aku kembali memanggilnya Kakak. Hubungan kami membaik. Aku berusaha tidak membencinya karena aku paham yang dilakukan padaku itu atas dasar cemburu. Melihat kondisinya yang sering sekali sakit, membuatku tidak tega mendendam padanya.Apa aku terlalu baik jadi manusia? Aku juga ingin membalas perlakuannya, tapi tertahan karena rasa empati. Setiap melihatnya kesakitan, aku tahu rasa itu pasti sangat menyiksa. Di satu sisi, dia pasti ingin normal sehat seperti orang lainnya, bisa berint
"Pikirkanlah. Setelah ini, kamu akan berterima kasih padaku.""Apa syaratnya?" Bisa kutebak dari ucapannya, tersirat sesuatu yang akan dimintanya.Alisa tersenyum kecut. "Kamu mengenal baik aku, Rik. Sudah tahu, pasti ada syarat yang akan kuajukan. Baik, jadi gini, dimulai dari hubungan kita dulu, akhiri perang dingin ini, Rik. Aku lelah. Bersikaplah layaknya suamiku seperti dulu. Waktuku tidak banyak Rik. Bisa jadi besok aku pergi.""Hubungan kita seburuk apa jadi kau menganggap aku berubah?""Sangat buruk Rik. Kita tidak pernah bicara lama seperti dulu. Kamu juga tidak sehangat dulu, apalagi kalau kita cuma berduaan saja seperti ini. Malah terbalik. Saat di hadapan orang banyak, kamu sok perhatian, apalagi kalau ada Luna. Seolah kamu mesra denganku hanya untuk memanas-manasinya. Namun saat kita cuma berduaan begini,
POV ArikAku hanya mampu tertunduk saat sorot mata itu menatapku intens. Aku tahu tatapan yang ditunjukkannya adalah tatapan kebencian dan kemarahan. Aku malu untuk membalas tatapannya. Suami yang harusnya membelanya terpaksa diam ketika ada lelaki lain yang membersamainya datang ke rumah ini.Aku benci pada diriku sendiri tak mampu sebagai pelindungnya, dan malah membiarkannya memilih berlindung di balik punggung lelaki lain, meski lelaki itu adikku sendiri.***"Maaf, Rik. Maaf. Aku terpaksa melakukan itu semua. Aku takut kehilanganmu." Alisa tergugu menangis saat kumintai penjelasannya soal kebenaran tentang Luna yang diculik ibunya. Aku seperti lelaki bodoh yang gampang sekali terhasut oleh cerita palsu mereka."Apa aku meninggalkanmu, Lis? Tidak, bukan? Apa Aku memilih bersama Luna? Tidak juga kan? Semuanya tetap ka
Arik menatapku tajam. Aku tahu dia tak suka ucapanku barusan."Hussstttt! Aku nggak suka ucapanmu ini. Jangan pernah mengatakan hal tersebut." Arik mendekapku ke dada bidangnya. Aku tersenyum samar sambil melekatkan pelukannya. Usahaku sepertinya berhasil.Aku tak sanggup lagi mendengar ucapan keluarga dari pihak ibunya Arik. Mereka hanya di depanku saja baik, di belakang, suka menjelekkanku dengan kelemahan yang kupunya. Aku juga tidak ingin mereka mengalami masalah karena mengejekku. Ibu sering 'membereskan' mereka, orang yang dengan sengaja melukai hati anaknya. Mereka akan berakhir menyedihkan, dan aku tidak ingin Ibu menumpuk dosanya karena-ku.Akhirnya Arik bersedia menikahi Luna. Aku jujur padanya akan membayar Luna satu Miliar kalau dia berhasil hamil. Namun aku tidak menunjukkan isi poin perjanjian yang kami lakukan. Aku juga tidak cerita soal ancamanku pada Luna. Ar
POV AlisaAku memperhatikan seorang perempuan yang sedang bersusah payah mengambilkan balon karakter yang tersangkut di dahan pohon besar tidak jauh dari tempatku duduk, di taman kota.Perempuan muda itu tampak kepayahan dengan berani memanjat pohon tersebut untuk mengambilkannya. Ia berusaha sekali mengambilkan balon untuk anak kecil yang menunggunya di bawah dengan harap cemas. Mataku memicing heran melihatnya. Kenapa dia bersusah payah kalau tidak jauh darinya, masih ada penjual balon tersebut. Kalau aku jadi dia, tinggal belikan yang baru. Harganya pun tidak mahal, masih terjangkau."Mang, tolong belikan satu balon dan kasih ke anak itu," tunjukku ke arah anak kecil yang sedang menantikan balonnya diambilkan perempuan muda tersebut. Aku meminta Mang Diman--supirku yang datang menghampiri membawakan pesananku, dengan memberikannya selembar uang rupiah berwarna biru. 
Axel menemuiku dan mengatakan aku harus tinggal di rumah besar ini. Pertanyaan yang sama kutanyakan padanya. Aku diizinkan tinggal atas dasar apa? Sebagai pengasuh Adnan atau tetap sebagai istri kedua kakaknya.Axel tersenyum tipis. Ia bilang aku sendiri yang harus memilih mau sebagai apa, karena apapun yang kuminta akan mereka turuti. Kata Axel keputusan di rumah ini ada di tangan ayahnya, dan itulah kuputusan ayahnya. Ketidakadilan yang kudapat sebab perjanjian yang tidak manusiawi tersebut dibalas dengan menuruti inginku. Asal apa yang kuminta masih bisa ditolerir dan di batas kewajaran.***Sepanjang hari aku mengurung diri di kamar Adnan. Memandangi wajah imut nan menggemaskan yang masih tertidur di dalam box tidurnya. Memandangnya membuatku enggan untuk pergi kemanapun, rasa lapar pun berganti kenyang. Saat ia terbangun, aku dengan sigap menggendongnya dan memberinya ASI. Ata
Seorang ibu akan berjuang membahagiakan anaknya, meskipun harus melepaskan kebahagiaannya.Aku bukannya lemah lalu menerimanya dengan pasrah. Namun, saat sosok mungil itu datang di hadapan, disitu hatiku luluh dan bertekuk lutut padanya."Maaf Nyonya, Bapak, permisi. Ini Nyonya Alisa, Adnan tidak berhenti menangis, saya sudah memberinya susu, tapi dia tidak mau. Dia tetap kejer menangis. Saya sudah periksa keadaannya, dia tidak lagi pup atau kencing karena baru saja saya ganti popoknya. Suhu badannya juga normal." Seorang perempuan muda dengan seragam putih datang ke ruangan ini dengan membawa seorang bayi yang sedang menangis. Saat ia menyebut nama Adnan, aku tahu itu adalah Adnan anakku. Perempuan itu tampak panik. Aku yakin dia pengasuhnya.Ibu mana yang tega membiarkan anaknya menangis? Tanpa izin dari mereka kurebut Adnan dari tangan pengasuhnya.