Home / Pernikahan / Cold And Sweet Marriage / Kabanata 21 - Kabanata 30

Lahat ng Kabanata ng Cold And Sweet Marriage: Kabanata 21 - Kabanata 30

43 Kabanata

Meminta Maaf

Ranum itu memaju sedikit, mengutarakan kejengkelannya pada sosok tidak tahu diri yang sedari tadi mengikutinya.  Aera terus berdoa dalam hati, semoga saja dia tidak salah mengajak bicara orang. Mengingat kasus-kasus pembunuhan oleh orang yang tak di kenal mulai merambah di sekitar kotanya. Dan wajar saja, kota yang ia tinggali saat ini adalah kota besar. Akh bukan lagi, malah kotanya ini adalah pusat negaranya. Ibukota negaranya. Aera sampai pada locker miliknya. Ujung matanya menangkap sosok pria yang meminta masker padanya tengah mengikutinya di belakang. Masih sama, dia terus menutup kepalanya dengan topi hoodie miliknya serta menunduk. Masih, Aera terus menduga-duga apa yang pria itu tengah alami. "Mungkinkah dia tengah di kejar seseorang? Sampai-sampai dia bersikap seperti itu?" Aera memberikan spekulasi yang lain pada dirinya sendiri. "Ini!" lirih Aera, tangan kanannya menyodorkan sebuah masker yang masih baru-terbungkus rap
Magbasa pa

Bukan Siapa-Siapa

Langkah teratur namun terkesan cepat dan menuntut itu menjadi pengiring dari kesunyian yang tercipta di sekitar lorong panjang itu.  Tak ada percakapan, karena memang nyatanya dua-duanya tak berniat untuk saling berbicara. Hanya ada helaan nafas pelan dan harap-harap cemas yang menyelimuti pria bertubuh jangkung nan tegap itu.  Sampai pada akhirnya langkah keduanya terhenti pada sebuah pintu yang kini ada di hadapan mereka. Pintu yang letaknya begitu jauh dari lift dan juga paling sudut dari pintu ruang-ruang yang lain.  "Aku sudah bilang, jangan mencari masalah!" tutur Jarrel-sang pemilik kulit seputih susu itu akhirnya membuka suara. Entah sejak kapan dirinya kembali ke agensi, padahal tadi pagi Aiden tidak melihatnya. "Aku tidak mencarinya! Dia yang mendatangiku kak!" bantah yang tubuhnya lebih tinggi-Aiden pada Jarrel. "Kau-" suara Jarrel seakan-akan tercekat mendengar penuturan dari Aiden- adik tingkatnya di dunia perbintan
Magbasa pa

Kekalutan Attha

Ketukan pelan dan sedikit bernada menjadi pengiring kebosanan dari pemilik bibir plum itu, mendapati sang adik tersayang ternyata datang terlambat, lewat dari jam janji mereka. Terhitung sudah memasuki sekitar setengah jam, namun Aera masih setia dengan lemon tea miliknya yang tersisa sedikit lagi.  Sampai pada akhirnya sosok dari pemilik tubuh yang lebih tinggi darinya datang dari arah pintu cafe, mengedarkan pandangannya ke segala arah upaya mencari keberadaan sang kakak.  Satu titik ia temukan pada objek yang kini juga tengah menatap malas dengan wajah muram-ke arahnya.  "Maaf aku terlambat," serunya sembari mendudukkan dirinya di kursi yang berhadapan dengan Aera. Dengan gusar Aera menyenderkan punggungnya pada sandaran kursk, masih setia dengan bibir manyunnya.  Jika orang yang tidak tahu bahwa mereka adalah adik kakak, pasti akan mengira bahwa mereka adalah sepasang kekasih, yang mana wanitanya lebih dewasa da
Magbasa pa

Tolong Jaga Dia Dengan Baik

"Bagaiamana sekolahmu? Semenjak tadi kita tidak membicarakan perihal kehidupanmu di sekolah. Ayolah, beritahu kakak!" Aera mengguncang pelan lengan kokoh milik sang adik yang berjalan di sampingnya.  Kini mereka tengah berjalan beriringan di trotoar jalan, menikmati suasana sore yang sangat damai, dan juga di ikuti oleh angin-angin dingin di akhir musim gugur.  Aera mengeratkan hoodie yang ia pakai saat rasa dingin kian menusuk sampai ke kulitnya. "Tidak ada yang spesial, kau tahu itu," sepertinya minat Attha tak sebagus Aera saat sedang membahas perihal kehidupan sekolah mereka.  "Ya, kenapa begitu? Jangan berbohong padaku! Cepat ceritakan! Aku mau dengar." Aera kembali memaksa, hendak mencubit Attha, namun tangannya langsung di gandeng oleh Attha. "Ayo kita foto bersama! Agar tidak ada lagi gadis-gadis centil yang menggangguku," tanpa menunggu persetujuan dari Area, Attha langsung menarik Aera sedikit menuju ke ujung trotoar,
Magbasa pa

Menariknya Lebih Dekat

Kedua tungkai jenjang itu bergerak pelan masuk ke dalam apartemen, kedua bola matanya mulai menilik ke adaan sekitar.  Dan pandangannya kini terkunci pada objek yang duduk menekuk lututnya yang ia peluk. Tatapannya tampak kosong, tak menghilangkan jejak air mata yang masih setia keluar dari pelupuk mata indahnya.  Reagan memejamkan matanya pelan, mencoba mentralkan pandangannya yang mulai mengabur seiring dengan rasa pusing yang semakin bertambah saja ia rasa.  Dan entah sejak kapan, ia merasa suhu tubuhnya naik beberapa derajat, dan juga tenggorokannya yang terasa begitu sakit saat ia menelan ludahnya sendiri. Firasatnya, sepertinya ia akan demam. Mengingat bahwa dirinya juga hujan-hujanan saat mencari Aera dua hari yang lalu. Dan setelah gadis itu sembuh, kini malah dirinya yang akan sakit? Reagan menggelengkan kepalanya pelan, tidak! Ia tidak suka sakit. Tiduran seharian dengan kondisi tubuh yang lemah dan juga meminum obat-o
Magbasa pa

Reagan Sakit

"Sepertinya kau benar-benar sedang sakit," persepsi Aera begitu mendaratkan tangannya pada leher jenjang milik Reagan. Tak ada sahutan dari Reagan, hanya sikapnya yang semakin posesif menarik tubuh Aera serta menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher sang istri.  Aera mendesah dalam diam, tak habis pikir dengan yang Reagan lakukan pada dirinya saat ini. Sangat bertolak belakang dengan dirinya yang biasanya hanya menatapnya datar dan bersikap acuh tak acuh terhadapnya. Namun, dirinya yang lain seperti hendak memakluminya, menilik bahwasanya pria yang sudah menjadi suaminya ini tengah sakit.  Sakit. Pikirannya kini berkelana jauh kembali ke masa lalu, di mana satu kata itu malah mengingatkannya pada sang mantan kekasih-adik iparnya. Dalva kerap kali sakit saat dirinya tengah di landa banyak pikiran dan tekanan, Aera tidak pernah tau apa yang menjadi tekanan bagi mantannya itu, karena Dalva sendiri tak pernah mau menceritakannya.
Magbasa pa

Tawaran Pijatan

"Terimakasih sudah mau merawatku!" satu kalimat itu berhasil membuat kedua pipi Aera terasa memanas. "Bukan masalah besar!" Aera menggeleng pelan. "Kau juga melakukan hal yang sama padaku, saat aku tidak baik-baik saja malam itu," lanjutnya.Tubuh Reagan seakan seperti membeku saat mendengar penuturan tulus yang keluar dari mulut Aera. Saat ia menolehkan wajahnya untuk menatap langsung Aera, malah senyum manis yang ia dapati.Sial.Kalau sudah begini dia jadi merasa bersalah karena sudah bersalah karena sudah bertindak tak senonoh malam itu. Haruskah iya jujur sekarang?Tidak-tidak!Reagan menggeleng cepat. Hal itu jelas tak luput dari perhatian Aera. "Apa ada yang sedang menggangu pikiranmu? Aku tak salah bicarakan?"  melihat gelagat Reagan yang mencurigakan menimbulkan pertanyaan lebih di benak Aera atas kejadian malam itu.Mungkinkah ada hal lain malam itu yang di sembunyikan oleh Reagan?Ingin bertan
Magbasa pa

Perlakuan Kasar

Netra jernih itu berpendar sejenak untuk memastikan kembali bahwa tak salah mengenali orang yang kini sudah duduk manis di sofa ruang tamu. Siapa lagi dia kalau bukan Reagan. Tak ada wajah datarnya atau tatapan sinisnya, hanya ada senyum manis yang terpatri di bibirnya yang sedikit tebal. Dengan langkah pelan Aera membawa kedua tungkainya mendekati Reagan dengan membawa minta angin miliknya. Reagan benar-benar membuatnya tak bisa menolak setelah memintanya untuk memberikan beberapa pijatan pada bahunya, mungkin?"Kenapa duduk disitu?" tanya Reagan begitu mendapati Aera malah duduk di sofa yang bersebrangan dengannya. Bukankah seharusnya mereka duduk di sofa yang sama agar memudahkan Aera?Decakan pelan berhasil lolos dari bibir Aera, tahu akan di jadikan babu dia tidak akan berbaik hati menawarkan pijatan pada Reagan.Tak menyahut ataupun membantah, akhirnya Aera mengambil duduk di sisi kosong samping kanan Reagan."
Magbasa pa

Kenangan Buruk Reagan

Kelopak mata itu membuka perlahan, menampakkan netra jernih sang pemilik yang mulai memendarkan pandang-menyesuaikan penglihatannya. Hanya ada ruang gelap yang menyorotnya. Nyeri menjalar dari tengkuknya yang terasa sangat sakit saat ia gerakkan. Tak hanya itu, kala ia mulai sadar sepenuhnya, kedua tangannya juga tak bisa ia gerakkan, ralat. Bahkan tubuhnya kini terasa begitu sangat susah untuk ia ajak bergerak. Meski gelap, Reagan dapat meyakinkan bahwa dirinya tengah di ikat di bangku yang sekarang ia duduki, tak hanya itu, kedua kakinya juga turut diikat. Ingin berteriak meminta pertolongan, namun mulutnya juga tak dapat ia gerakkan.Memilih diam setelah beberapa saat mencoba melepaskan diri namun tidak ada hasil. Pelih keringat kini ia rasa mengaliri keningnya. Ingatan sebelum ini terjadi mendatanginya. Seingatnya tadi saat sepulang sekolah ia ada janji dengan salah satu seorang teman kelasnya, tidak bisa di
Magbasa pa

Alasan Menikahinya

Hari-hari terus berlalu setelah kejadian yang tak akan pernah bisa Reagan lupakan itu. Hal terakhir yang ia ingat, Rasha yang menangis karena membela diri dan tidak terima dijadikan tersangka. Menyatakan bahwa Reagan dan temannya itu yang menjebaknya, luka yang Reagan dapatkan juga ia berikan sebagai bentuk perlawanan diri. Sungguh sangat penuh drama dan kebohongan gadis itu. Bisa saja ayah Reagan langsung mengeluarkannya dari sekolah dan memasukkannya ke penjara, namun masih bebrbaik hati tak mau gadis itu kehilangan hidupnya, sedikit memaafkan setelah ibu Reagan memohon. Untungnya saja mereka punya bukti, dan beberapa saksi yang menyatakan bahwa Rasha juga sering membulli siswi lainnya. Memperkuat tuduhan itu. Wah Reagan tak pernah puas melihat gadis itu berteriak-teriak menangis keluar dari ruang guru dengan cara di seret orangtuanya. "Kau akan menyesalinya Reagan!" kata-kata itu bahkan masih melekat jelas diingatannya. Serta ta
Magbasa pa
PREV
12345
DMCA.com Protection Status