Langkah teratur namun terkesan cepat dan menuntut itu menjadi pengiring dari kesunyian yang tercipta di sekitar lorong panjang itu.
Tak ada percakapan, karena memang nyatanya dua-duanya tak berniat untuk saling berbicara. Hanya ada helaan nafas pelan dan harap-harap cemas yang menyelimuti pria bertubuh jangkung nan tegap itu.
Sampai pada akhirnya langkah keduanya terhenti pada sebuah pintu yang kini ada di hadapan mereka. Pintu yang letaknya begitu jauh dari lift dan juga paling sudut dari pintu ruang-ruang yang lain.
"Aku sudah bilang, jangan mencari masalah!" tutur Jarrel-sang pemilik kulit seputih susu itu akhirnya membuka suara. Entah sejak kapan dirinya kembali ke agensi, padahal tadi pagi Aiden tidak melihatnya.
"Aku tidak mencarinya! Dia yang mendatangiku kak!" bantah yang tubuhnya lebih tinggi-Aiden pada Jarrel.
"Kau-" suara Jarrel seakan-akan tercekat mendengar penuturan dari Aiden- adik tingkatnya di dunia perbintan
Ketukan pelan dan sedikit bernada menjadi pengiring kebosanan dari pemilik bibir plum itu, mendapati sang adik tersayang ternyata datang terlambat, lewat dari jam janji mereka. Terhitung sudah memasuki sekitar setengah jam, namun Aera masih setia dengan lemon tea miliknya yang tersisa sedikit lagi. Sampai pada akhirnya sosok dari pemilik tubuh yang lebih tinggi darinya datang dari arah pintu cafe, mengedarkan pandangannya ke segala arah upaya mencari keberadaan sang kakak. Satu titik ia temukan pada objek yang kini juga tengah menatap malas dengan wajah muram-ke arahnya. "Maaf aku terlambat," serunya sembari mendudukkan dirinya di kursi yang berhadapan dengan Aera. Dengan gusar Aera menyenderkan punggungnya pada sandaran kursk, masih setia dengan bibir manyunnya. Jika orang yang tidak tahu bahwa mereka adalah adik kakak, pasti akan mengira bahwa mereka adalah sepasang kekasih, yang mana wanitanya lebih dewasa da
"Bagaiamana sekolahmu? Semenjak tadi kita tidak membicarakan perihal kehidupanmu di sekolah. Ayolah, beritahu kakak!" Aera mengguncang pelan lengan kokoh milik sang adik yang berjalan di sampingnya. Kini mereka tengah berjalan beriringan di trotoar jalan, menikmati suasana sore yang sangat damai, dan juga di ikuti oleh angin-angin dingin di akhir musim gugur. Aera mengeratkan hoodie yang ia pakai saat rasa dingin kian menusuk sampai ke kulitnya. "Tidak ada yang spesial, kau tahu itu," sepertinya minat Attha tak sebagus Aera saat sedang membahas perihal kehidupan sekolah mereka. "Ya, kenapa begitu? Jangan berbohong padaku! Cepat ceritakan! Aku mau dengar." Aera kembali memaksa, hendak mencubit Attha, namun tangannya langsung di gandeng oleh Attha. "Ayo kita foto bersama! Agar tidak ada lagi gadis-gadis centil yang menggangguku," tanpa menunggu persetujuan dari Area, Attha langsung menarik Aera sedikit menuju ke ujung trotoar,
Kedua tungkai jenjang itu bergerak pelan masuk ke dalam apartemen, kedua bola matanya mulai menilik ke adaan sekitar. Dan pandangannya kini terkunci pada objek yang duduk menekuk lututnya yang ia peluk. Tatapannya tampak kosong, tak menghilangkan jejak air mata yang masih setia keluar dari pelupuk mata indahnya. Reagan memejamkan matanya pelan, mencoba mentralkan pandangannya yang mulai mengabur seiring dengan rasa pusing yang semakin bertambah saja ia rasa. Dan entah sejak kapan, ia merasa suhu tubuhnya naik beberapa derajat, dan juga tenggorokannya yang terasa begitu sakit saat ia menelan ludahnya sendiri. Firasatnya, sepertinya ia akan demam. Mengingat bahwa dirinya juga hujan-hujanan saat mencari Aera dua hari yang lalu. Dan setelah gadis itu sembuh, kini malah dirinya yang akan sakit? Reagan menggelengkan kepalanya pelan, tidak! Ia tidak suka sakit. Tiduran seharian dengan kondisi tubuh yang lemah dan juga meminum obat-o
"Sepertinya kau benar-benar sedang sakit," persepsi Aera begitu mendaratkan tangannya pada leher jenjang milik Reagan. Tak ada sahutan dari Reagan, hanya sikapnya yang semakin posesif menarik tubuh Aera serta menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher sang istri. Aera mendesah dalam diam, tak habis pikir dengan yang Reagan lakukan pada dirinya saat ini. Sangat bertolak belakang dengan dirinya yang biasanya hanya menatapnya datar dan bersikap acuh tak acuh terhadapnya. Namun, dirinya yang lain seperti hendak memakluminya, menilik bahwasanya pria yang sudah menjadi suaminya ini tengah sakit. Sakit. Pikirannya kini berkelana jauh kembali ke masa lalu, di mana satu kata itu malah mengingatkannya pada sang mantan kekasih-adik iparnya. Dalva kerap kali sakit saat dirinya tengah di landa banyak pikiran dan tekanan, Aera tidak pernah tau apa yang menjadi tekanan bagi mantannya itu, karena Dalva sendiri tak pernah mau menceritakannya.
"Terimakasih sudah mau merawatku!" satu kalimat itu berhasil membuat kedua pipi Aera terasa memanas."Bukan masalah besar!" Aera menggeleng pelan. "Kau juga melakukan hal yang sama padaku, saat aku tidak baik-baik saja malam itu," lanjutnya.Tubuh Reagan seakan seperti membeku saat mendengar penuturan tulus yang keluar dari mulut Aera. Saat ia menolehkan wajahnya untuk menatap langsung Aera, malah senyum manis yang ia dapati.Sial.Kalau sudah begini dia jadi merasa bersalah karena sudah bersalah karena sudah bertindak tak senonoh malam itu. Haruskah iya jujur sekarang?Tidak-tidak!Reagan menggeleng cepat. Hal itu jelas tak luput dari perhatian Aera."Apa ada yang sedang menggangu pikiranmu? Aku tak salah bicarakan?" melihat gelagat Reagan yang mencurigakan menimbulkan pertanyaan lebih di benak Aera atas kejadian malam itu.Mungkinkah ada hal lain malam itu yang di sembunyikan oleh Reagan?Ingin bertan
Netra jernih itu berpendar sejenak untuk memastikan kembali bahwa tak salah mengenali orang yang kini sudah duduk manis di sofa ruang tamu. Siapa lagi dia kalau bukan Reagan.Tak ada wajah datarnya atau tatapan sinisnya, hanya ada senyum manis yang terpatri di bibirnya yang sedikit tebal.Dengan langkah pelan Aera membawa kedua tungkainya mendekati Reagan dengan membawa minta angin miliknya.Reagan benar-benar membuatnya tak bisa menolak setelah memintanya untuk memberikan beberapa pijatan pada bahunya, mungkin?"Kenapa duduk disitu?" tanya Reagan begitu mendapati Aera malah duduk di sofa yang bersebrangan dengannya. Bukankah seharusnya mereka duduk di sofa yang sama agar memudahkan Aera?Decakan pelan berhasil lolos dari bibir Aera, tahu akan di jadikan babu dia tidak akan berbaik hati menawarkan pijatan pada Reagan.Tak menyahut ataupun membantah, akhirnya Aera mengambil duduk di sisi kosong samping kanan Reagan."
Kelopak mata itu membuka perlahan, menampakkan netra jernih sang pemilik yang mulai memendarkan pandang-menyesuaikan penglihatannya. Hanya ada ruang gelap yang menyorotnya.Nyeri menjalar dari tengkuknya yang terasa sangat sakit saat ia gerakkan. Tak hanya itu, kala ia mulai sadar sepenuhnya, kedua tangannya juga tak bisa ia gerakkan, ralat. Bahkan tubuhnya kini terasa begitu sangat susah untuk ia ajak bergerak.Meski gelap, Reagan dapat meyakinkan bahwa dirinya tengah di ikat di bangku yang sekarang ia duduki, tak hanya itu, kedua kakinya juga turut diikat.Ingin berteriak meminta pertolongan, namun mulutnya juga tak dapat ia gerakkan.Memilih diam setelah beberapa saat mencoba melepaskan diri namun tidak ada hasil.Pelih keringat kini ia rasa mengaliri keningnya. Ingatan sebelum ini terjadi mendatanginya.Seingatnya tadi saat sepulang sekolah ia ada janji dengan salah satu seorang teman kelasnya, tidak bisa di
Hari-hari terus berlalu setelah kejadian yang tak akan pernah bisa Reagan lupakan itu. Hal terakhir yang ia ingat, Rasha yang menangis karena membela diri dan tidak terima dijadikan tersangka. Menyatakan bahwa Reagan dan temannya itu yang menjebaknya, luka yang Reagan dapatkan juga ia berikan sebagai bentuk perlawanan diri.Sungguh sangat penuh drama dan kebohongan gadis itu. Bisa saja ayah Reagan langsung mengeluarkannya dari sekolah dan memasukkannya ke penjara, namun masih bebrbaik hati tak mau gadis itu kehilangan hidupnya, sedikit memaafkan setelah ibu Reagan memohon.Untungnya saja mereka punya bukti, dan beberapa saksi yang menyatakan bahwa Rasha juga sering membulli siswi lainnya. Memperkuat tuduhan itu.Wah Reagan tak pernah puas melihat gadis itu berteriak-teriak menangis keluar dari ruang guru dengan cara di seret orangtuanya."Kau akan menyesalinya Reagan!" kata-kata itu bahkan masih melekat jelas diingatannya. Serta ta
"Kau sudah pulang?" tanya Aera basa-basi saat mendati Reagan masuk tanpa mengucapkan sepatah katapun, melewatinya yang kini tengah duduk santai di depan TV.Tak mendapat jawaban dari Reagan, Aera inisiatif untuk mengikutinya. Belakangan ini tugasnya sudah bertambah, yaitu menyiapkan air hangat untuk Reagan setiap pria itu pulang dari kerjanya."Kau mau kubuatkan sesuatu untuk makan malam?" tanya Aera lagi saat sudah berhadapan langsung dengan Reagan.Reagan menghela nafas kasar, sepertinya dia punya banyak masalah hari ini, lihatlah wajahnya yang tertekuk masam dan juga tampak sangat letih.Dan ya Aera! Sebaiknya kau jangan banyak bicara dan bertanya padanya. Atau kalau tidak pasti kau akan berakhir oleh repetannya yang sangat memekakkan telinga."Kau ingin menonton?"Aera sontak memutar tubuhnya yang hampir mencapai pintu kamar mandi. Matanya membola dengan sempurna, apakah ini ajakan kencan?Wah, Reagan
"Sepertinya konsentrasimu sedang terganggu ya?" tanya Aile, karena sedari tadi ia memanggil pria di sampingnya ini namun tak kunjung mendapatkan sahutan darinya. "Ya?" seperti tersadar, Dalva mmebawa buku miliknya lagi ke dala ruang matanya, berpura-pura membacanya tanpa suara. "Aku sedang bicara padamu, kenapa kau malah melihat ke situ, dasar tidak sopan sekali!" rutuk Aile seraya menarik buku bacaan milik Dalva. Karena mereka punya banyak waktu libur, jadi keduanya memutuskan untuk menghabiskan masa libur mereka dengan membaca buku. Ya hitung-hitung untuk menambah ilmu sebelum mereka masuk kuliah bulan depan. "Ck, menganggu saja!" keluh Dalva, tampaknya tak suka dengan perlakuan Aile. Gadis itu mendengus pelan, dia tentunya tahu pria di sampingnya inu jelas-jelas tengah memikirkan sesuatu yang berat. Setidaknya jika Dalva mau, dirinya bersedia mendengar ceritanya. Dari dulu juga begitu bukan? Jika ada masalah antara Aera dan juga Dalva,
-Sepertinya moodmu sedang baik hari ini?-"Tau dari mana dia moodku sedang baik hari ini, dasar sok tau. Aera bercelutuk pelan, mendapati pesan dari Aiden. Sesaat setelahnya senyum kecil muncul dibibirnya.-Sok tau banget-Balasnya kemudian. Ia tunggu beberapa menitpun tak kunjung mendapat balasan dari Aiden, akhirnya Aera memutuskan untuk beranjak dari tempat tidurnya. Reagan sudah pergi beberapa jam yang lalu, hubungan merekapun jadi membaik belakangan ini.Ia ayunkan kakinya, upaya menuju balkon kamarnya, angin sejuk langsung menerpa tubuh mungilnya. Aera membawa kedua tangannya ke atas pagar balkon yang menjadi pembatas kamarnya dan juga ruang kosong di depan sana.Tatapannya kini turun kebawah, lagi-lagi Aera tak bisa membayangkan bagaimana nasibnya jika jatuh je bawah sana. Pasti sangat sakit, oh atau lebih tepatnya dia akan meregang nyawa saat itu juga."Mmmm tak ada hal bagus yang bisa aku lakukan saat ini," perlaha
Sepasang tungkai itu sampai lada depan pintu apartemen Aera, sedikit memberikan senyuman perpisahan dan juga lambaian tangan yang terpaksa, Aera akhirnya memijakan kakinya masuk ke dalam.Masih sama, terasa sepi, Reagan beluk juga pulang. Jika boleh jujur, Aera sedikit merindukan pria pemilik bahu lebar itu."Kenapa pikiranmu terus terdoktrin padanya sih Ra? Dasar menyebalkan sekali," rutuknya tak terima memukul kepalanya sendiri."Dia itu pria yang menyebalkan kau tahu? Egois dan hanya mementingkan diri sendiri, tidak tahu malu dan sangat kurang ajar!" umpatannya tak berhenti sampai di situ saja.Perhatiannya teralihkan sesaat ketika ponselnya bergetar, ada pesan masuk ke dalam sana. Meski malas melihatnya tapi pada akhirnya ia memeriksa pesan itu, dan benar saja meski itu tanpa keterangan nama di sana dia sudah bisa menebak itu dari siapa. Siapa lagi kalau bukan orang yang mengantarnya barusan.Aera dengan sangat terpaksa
"Bisakah kita berteman?" pertanyaan itu terlontar cepat dari bibir Aiden. Senyuman tipis turut terpatri di wajah mereka. Kini keduanya sudah keluar dari cafe dan berada memilih tempat yang lebih privacy lagi untuk berbincang, seperti di dalam mobil Aiden ini contohnya. Detik itu juga Aera menyesali untuk di antar oleh Aiden kembali ke apartemen. Mengharuskan dirinya kini berakhir menuju hubungan yag semakin dekat dengan Aiden. Susah cukup saja pikirannya menjadi sakit beberapa dan batinnya tertekan semenjak menikah dengan Reagan, tentu ia tak ingin menambah kesialan lagi bukan. "Teman?" gadis berparas cantik itu menoleh pada Aiden yang kini tengah mengemudikan mobilnya. Tersirat jelas bahwa ia tak ingin berlarut-larut terlibat dengan pria di sampingnya ini. "Ya, kenapa tidak? Kau seharusnya merasa bangga karena aku sang "solois terkenal -Aiden" mau menawarkanmu pertemanan. Jarang-jarang aku bersikap baik seperti ini," j
"Mau kemana kalian pagi-pagi begini?" Aera tahu, pertemuan dirinya dengan kedua orang itu bukanlah kebetulan, pasti mereka sudah membuat janji untuk temuan. "Kami akan pergi untuk mendaftar ulang di kampu," jawab Aile. Aera mendengus kasar, jika mengingat pembicaraan mereka bertiga tadi. Sungguh merasa sangat iri bisa kembali belajar dan bertemu banyak orang, sedangkan dirinya hanya seperti orang bodoh yang tidak tahu harus bagaimana menghabiskan hari yang membosankan ini. Aera memilih satu tempat, si sebuah cafe yang letaknya tak jauh dari taman kota, aneh memang pagi-pagi sudah ke cafe saja. Tapi mau bagaimana, dia juga tidak suka jika harus terkena paparan sinar matahari. Saat pikirannya masih teralihkan pada beberapa orang yang masuk ek dalam cafe, ponsel miliknya bergetar serta mengeluarkan nyanyian yang ia kenali sebagai nada dering ponselnya. Segera ia meraih ponselnya di dalam tas, kedua netranya membelalak tak
Ketiganya terdiam, duduk berhadapan dengan pandangan saling mengarah ke arah lain, tak banyak yang mereka bicarakan sedari tadi.Salah satu diantaranya mulai menggerakkan matanya, menilik sang sahabat yang hidungnya memerah, serta matanya yang masih sembab karena menangis tadi. Rasa simpati terus mendatanginya, memikirkan bagaimana kehidupan Aera semenjak pernikahannya. Dan semenjak itu pula mereka lost contact.Aile jelas sangat merindukan Aera lebih dari apapun, dia sudah menganggap gadis itu sebagai saudara kandungnya sendiri. Aile tak bisa membayangkan jika hal ini terjadi padanya, dirinya menikah dengan kakak dari pacarnya sendiri.Sudut matanya menangkap beberapa tanda kemerahan pada leher Aera yang hampir memudar, sungguh ia sangat terkejut. Tapi bukankah hal itu wajar bagi pasangan yang sudah menikah. Apakah Aera benar-benar sudah melakukannya dengan Reagan? Pertanyaan itu kini terngiang-ngiang di otaknya.Hembusan nafas lembut l
Pagi menjelang begitu cepat meninggalkan mereka yang masih tertidur nyenyak dan bermain lebih lama dengan dunia mimpinya. Namun beberapa diantaranya lebih memilih untuk bangun lebuh awal sebelum snah surya menyonsong, entah itu dikarenakan pekerjaan yang mereka miliki, ataupun permasalahan pribadi lainnya. Kedua tangan itu dengan cekatan menyusun beberapa menu sarapan yang sudah ia masak beberapa waktu yang lalu. Memiliki untuk sarapan lebih dulu, padahal ini belum masuk jadwalnya untuk sarapan. Masih terlalu dini, tapi ia mencoba tidak perduli. Pikirannya sedang berkutat keras. Siap denga sarapannya, gadis itu-Aera membawa dirinya masuk kedalam kamarnya lagi, sesudah sebelumnya meninggalkan notes kecil di atas meja. Untuk orang lain yang tinggal bersamanya. Sejak kejadian dua hari lalu itu, Aera selalu menghindari Reagan bagaimanapun caranya. Dan salah satunya begini, bangun pagi-pagi dan sarapan dengan diam secara sendiri. Setelahnya ia akan m
"Tunggu!" "Kya!" pekik Aera kuat, tak bisa menahan rasa keterkejutannya tatkala mendapati kehadiran Reagan yang tiba-tiba di depan pintu kamarnya. "Apa yang mau kau lakukan?" tanyanya lagi, berusaha menutup pintu kamarnya yang sedikit lagi akan menutup dengan sempurna, tapi sayang tinggal sayang, Reagan menahan agar pintu itu tidak tertutup dengan kedua tangannya. Dirinya harus benar-benar menyelesaikan masalah ini dengan Aera. "Ada yang ingin aku bicarakan padamu!" tuturnya masih menahan pintu. "Apapun itu, aku tidak peduli! Sana pergi! Aku mau tidur!" usir Aera, namun selanjutnya Aera melotot lebar sesaat mendapati tubuh sempurna Reagan kini sudah berhasil masuk ke dalam kamarnya. Tubuhnya reflkes menjauh untuk berjaga-jaga Reagan akan berbuat yang tidak-tidak padanya. Ujung matanya kini sibuk mencari benda untuk ia layangkan kehadapan Reagan. Aera berjalan cepat mendekati tempat tidurnya, sebelum