Beranda / Romansa / Api Dendam Brianna / Bab 11 - Bab 20

Semua Bab Api Dendam Brianna: Bab 11 - Bab 20

92 Bab

Bab 11 - Festival Air

~Nia~ Aku membutuhkan satu kalimat terakhir darinya untuk tahu bahwa dia serius dengan ajakannya. Dan dia akhirnya mengatakannya juga. Aku tidak perlu mengkhawatirkan biaya apa pun selama berada di Chiang Mai nanti. Dia membeli tiket kelas satu dan aku pikir kami akan berada pada satu ruangan yang sama, ternyata aku salah. Kami mendapat bilik masing-masing lengkap dengan tempat tidurnya. Ruangan kecil itu memiliki penyejuk ruangan, meja dan kursi untuk satu orang, stop kontak bila ingin menggunakan alat listrik, tempat tidurnya juga dilengkapi dengan bantal dan selimut. “Kamar kamu di mana?” tanyaku setelah meletakkan koperku di dalam. “Di sini.” Dia menunjuk pintu di sampingku. “Ini pintu penghubung antara bilik kita.” Dia mendorong gerendel, membukanya, dan melewatinya. Ruangan itu mirip cerminan dari kamarku. Semuanya sama hanya berbeda posisi saja. “Ini ide yang bagus dibandingkan naik pesawat,” kataku pelan. “Kita tidak perlu membayar kam
Baca selengkapnya

Bab 12 - Katakan Iya

Orang-orang yang ada di sekeliling kami menarik napas terkejut. Beberapa dari mereka bahkan berhenti berjalan. Aku hanya bisa bersikap panik karena mendadak menjadi pusat perhatian. “Nia, menikahlah denganku. Aku berjanji aku akan membuat kamu bahagia. Kita memang belum lama saling mengenal, tetapi aku pastikan kepadamu bahwa aku akan menyayangi kamu dan tidak akan pernah menyakiti kamu,” katanya mengucapkan lamarannya sambil menyodorkan sebuah kotak dengan cincin bertatahkan berlian di dalamnya. Aku belum selesai dari rasa terkejut mendengar pernyataan cintanya, malah dilanjutkan dengan mendengarkan lamarannya? Ini benar-benar cepat sekali. Damian menatapku penuh harap. Aku melihat ke sekeliling kami. Mereka juga memberiku tatapan serupa. Damian adalah pria yang tampan, berbakat, mapan, baik hati, dan pantang menyerah. Oh, satu lagi. Dia pencium yang hebat. Aku percaya bahwa semua yang dia ucapkan akan dia tepati. Tetapi ini terlalu cepat. Kami baru bertemu
Baca selengkapnya

Bab 13 - Bertemu Keluarga

Damian begitu antusias membawaku menemui keluarganya. Pada hari terakhir kami di Chiang Mai, dia mengajak aku ke sebuah pusat kecantikan. Rambut panjangku dicat berwarna pirang kemerahan oleh Namboru karena permintaan pihak laki-laki yang ingin menikahkan aku dengan anak mereka. Damian mengembalikan warna alami rambutku. Setelah mendapatkan perawatan rambut, kaki, dan tangan, aku juga mendapatkan perawatan kulit serta pijat. Total sepanjang hari itu kami habiskan di tempat tersebut. Ketika aku keluar mengenakan dress berwarna hitam, rambut yang dibiarkan tergerai, dan wajah yang sedikit diberi riasan, dia nyaris tidak bisa berkata-kata. Penerbangan kami kembali ke Jakarta masih dengan kelas yang sama. Dia mengalami serangan panik, dan aku menolong untuk menenangkannya dengan memegang tangannya. Saat kami tiba di Bandara Soekarno-Hatta, aku menolak untuk pulang bersamanya. “Baiklah,” katanya mengalah. Dia mencium bibirku, lalu membukakan pintu mo
Baca selengkapnya

Bab 14 - Pantang

Papa Damian menatap putranya tanpa berkedip. Seluruh anggota keluarga yang lain juga melihat ke arah pria itu. Aku tidak mengerti apa yang sedang mereka lakukan, jadi aku juga ikut melihat ke arah tunanganku. Sebaliknya, Damian sedang mengarahkan pandangannya kepadaku. Sebenarnya, aku belum bisa menyebutnya sebagai tunangan karena ada proses panjang yang harus kami jalani dalam adat Batak sebelum resmi menjadi tunangan. Tidak semudah memberikan cincin dan menerima lamarannya. Hal itu tidak akan pernah terjadi dalam adat kami. “Maafkan aku. Ada apa ini, Damian? Mengapa reaksi keluargamu aneh begini?” tanyaku bingung. Mereka semua bergerak tidak nyaman di tempat duduk mereka masing-masing, tetapi tidak ada yang mau membuka mulut. “Nia, apa kamu berkata jujur mengenai boru* kamu?” tanya Damian dengan nada serius. Aku mengangguk meskipun tidak mengerti maksud dari pertanyaannya itu. “Iya. Aku serius. Itu adalah margaku,” kataku membenarkan. Dia memejamkan
Baca selengkapnya

Bab 15 - Kosong

~Damian~ “Wah! Senang sekali yang mau bawa calon istrinya ke rumah,” goda Rhea yang sedang duduk di ruang tengah sambil asyik memakan potongan apel yang dibersihkan oleh suaminya, Lae* Luhut. “Jaga sikapmu saat dia ada di sini nanti. Aku tidak mau dia kabur karena ulahmu,” ucapku yang dengan serius mengingatkannya. “Sayang, dengar, tuh. Kakak memarahi aku,” adunya kepada suaminya. “Lae, mengalahlah. Dia sedang hamil tua.” Lae Luhut melirik ke arah perut istrinya yang sangat besar. Adikku diperkirakan akan melahirkan pada bulan depan. Seluruh keluarga kami sudah tidak sabar menantikan kehadiran cucu kedua di rumah ini. “Begitu anak kalian lahir, apa lagi alasanmu untuk menyuruh aku mengalah dengannya?” tanyaku kepadanya. Pria itu hanya tertawa, sedangkan adikku menjulurkan lidahnya. “Kamu akan menjemput Nia?” tanya Mama yang berjalan masuk ke rumah dari teras, pasti baru saja memeriksa kebun kecilnya. Aku mengangguk. “Hati-hati di jalan
Baca selengkapnya

Bab 16 - Rekan Baru

~Nia~ Ishana memercayakan aku kepada temannya yang memiliki usaha properti yang cukup besar dan ternama di ibu kota. Aku ditempatkan di divisi pemasaran sebagai anggota. Aku hanya akan bekerja selama kurang dari satu bulan, maka apa pun posisinya, bukan masalah untukku. Pada hari pertama kerja, aku diperkenalkan kepada manajer dan supervisor timku. Mereka memberi aku sebuah meja kerja dengan papan pemisah antara aku dengan orang yang duduk di sebelah kanan dan depanku. Sayang sekali, bentuknya bukan bilik seperti di kantor lamaku sehingga aku tidak bisa melakukan apa pun tanpa dilihat oleh rekan yang duduk di barisan belakangku. Seperti kebiasaan kantor pada umumnya, hari Senin selalu dipenuhi dengan rapat. Itu juga yang kami lakukan. Mereka saling bertukar pikiran mengenai ide untuk mempromosikan unit perumahan dan apartemen yang belum laku. “Kita sudah membuka stan di mal, menggencarkan iklan di situs bisnis dan surat kabar daring yang cukup populer
Baca selengkapnya

Bab 17 - Putus

“Wah, itu Damian! Pembawa berita favoritku!” pekik Bintang dengan suara tertahan agar orang-orang tidak melihat ke arah kami. “Oh, Tuhan! Dia melihat ke arahku, Nia!” Dia sedang melihat ke arah aku, tetapi aku tidak akan meralat ucapan rekan kerjaku itu. Pria itu sudah menghubungi aku berkali-kali sejak hari aku pergi dari rumahnya. Dia juga mengirim begitu banyak pesan yang tidak aku baca, apalagi balas. Hubungan kami tidak akan bisa dibawa ke mana pun. Jadi, tidak ada lagi yang perlu kami bicarakan. Bila hanya ingin mengucapkan kata putus, aku sudah mengembalikan cincin yang dia berikan kepadaku. Itu sudah menjadi simbol berakhirnya hubungan kami. Lalu untuk apa lagi kami bicara? Hal yang berikutnya terjadi berada di luar dugaanku. Damian melangkah mendekati meja di mana aku dan rekan-rekanku berada. Padahal teman-temannya berjalan ke arah sebaliknya. Mereka menatapnya dengan bingung, ketika teman-temanku malah berwajah ceria menyambutnya. “Hai, Dil
Baca selengkapnya

Bab 18 - Selamat Tinggal

Aku tidak terkejut dengan pertanyaan yang dia ajukan, aku bahkan sudah siap harus memberi jawaban apa saat dia menanyakan hal itu. “Mengapa kamu menuduhku begitu? Aku tidak menggoda atau merayu kamu untuk dekat denganku. Aku juga tidak memberi harapan apa pun kepadamu. Kamu sendiri yang mengundang aku duduk di sisimu selama dalam penerbangan. Kamu juga yang meminta imbalan atas tindakanmu itu. Lalu kamu yang mengikuti aku ke mana pun aku pergi selama kita berada di Bangkok. “Bukankah dari tindakanku itu menunjukkan dengan jelas bahwa aku tidak tertarik kepadamu? Lalu untuk apa aku membahas hal pribadi denganmu? Kamu terbiasa dengan kehadiran wanita yang rela tidur denganmu, jadi kamu curiga saat bertemu dengan perempuan yang bersikap berbeda, begitu? Orang tuaku tidak membubuhkan marga pada nama lengkapku. Kamu juga begitu. Lalu mengapa aku yang kamu salahkan? Kamu juga salah tidak menyebut marga saat kita berkenalan.” Aku sengaja tidak menjawab pertanyaannya
Baca selengkapnya

Bab 19 - Konsentrasi

~Damian~ Aku meletakkan ponselku ke dalam saku celanaku dan berjalan keluar rumah. Ada apa dengan Nia? Mengapa dia tidak mau menjawab panggilan masuk dariku? Aku tahu bahwa kami tidak akan bisa melanjutkan hubungan kami. Tetapi kami memulainya dengan baik, jadi aku ingin mengakhirinya dengan cara yang baik juga. Kepalaku tidak berhenti memikirkan dia meskipun aku tahu bahwa kami tidak akan bisa bersama. Aku terus mengingatkan diriku sendiri bahwa menjalin hubungan dengan perempuan satu marga saja mustahil apalagi menikah dengannya. Selangkah lagi, hanya tinggal satu langkah lagi, maka dia akan menjadi milikku seutuhnya. Sial. Semua ini karena kesalahanku sendiri yang tidak bisa mengendalikan diri. Aku tidak tahu apakah ini karena suara indahnya, wajah cantiknya, atau sikap misteriusnya, tetapi aku tidak bisa melepaskan diri dari pesonanya. Ini pertama kalinya terjadi dan aku tidak tahu bagaimana mengendalikan diriku sendiri. Seolah-olah aku tidak punya kuasa
Baca selengkapnya

Bab 20 - Penampilan Perdana

~Nia~ Studio itu sangat besar dan luas. Satu sisi keadaannya gelap, sedangkan di sisi lain terang-benderang dengan cahaya lampu. Pada sisi yang gelap dipenuhi dengan peralatan syuting sehingga aku harus berhati-hati dengan langkahku atau kakiku akan terlilit kabel. Aku belum sempat melihat ke sisi yang diterangi cahaya, seorang wanita mendekat dan memasang sesuatu di kerah blazerku. Dia meminta aku untuk mengenakan earphone di telingaku. Kemudian seorang pria membantu meletakkan suatu alat di dalam saku blazerku tersebut. Wanita lain datang untuk membantu merapikan rambut dan riasan wajahku. “Semuanya segera bersiap pada posisi. Sesi berikutnya akan dimulai dalam lima detik.” Terdengar suara seorang pria dari earphone pada telingaku. Wanita yang membawaku ke studio ini segera menggandeng tanganku, kemudian membawaku mendekati sebuah sofa tidak jauh dari tempat kami berdiri. Lalu dia melepas kartu nama yang aku kalungkan di
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
10
DMCA.com Protection Status