Damian begitu antusias membawaku menemui keluarganya. Pada hari terakhir kami di Chiang Mai, dia mengajak aku ke sebuah pusat kecantikan. Rambut panjangku dicat berwarna pirang kemerahan oleh Namboru karena permintaan pihak laki-laki yang ingin menikahkan aku dengan anak mereka. Damian mengembalikan warna alami rambutku.
Setelah mendapatkan perawatan rambut, kaki, dan tangan, aku juga mendapatkan perawatan kulit serta pijat. Total sepanjang hari itu kami habiskan di tempat tersebut. Ketika aku keluar mengenakan dress berwarna hitam, rambut yang dibiarkan tergerai, dan wajah yang sedikit diberi riasan, dia nyaris tidak bisa berkata-kata.
Penerbangan kami kembali ke Jakarta masih dengan kelas yang sama. Dia mengalami serangan panik, dan aku menolong untuk menenangkannya dengan memegang tangannya. Saat kami tiba di Bandara Soekarno-Hatta, aku menolak untuk pulang bersamanya.
“Baiklah,” katanya mengalah. Dia mencium bibirku, lalu membukakan pintu mo
Papa Damian menatap putranya tanpa berkedip. Seluruh anggota keluarga yang lain juga melihat ke arah pria itu. Aku tidak mengerti apa yang sedang mereka lakukan, jadi aku juga ikut melihat ke arah tunanganku. Sebaliknya, Damian sedang mengarahkan pandangannya kepadaku. Sebenarnya, aku belum bisa menyebutnya sebagai tunangan karena ada proses panjang yang harus kami jalani dalam adat Batak sebelum resmi menjadi tunangan. Tidak semudah memberikan cincin dan menerima lamarannya. Hal itu tidak akan pernah terjadi dalam adat kami. “Maafkan aku. Ada apa ini, Damian? Mengapa reaksi keluargamu aneh begini?” tanyaku bingung. Mereka semua bergerak tidak nyaman di tempat duduk mereka masing-masing, tetapi tidak ada yang mau membuka mulut. “Nia, apa kamu berkata jujur mengenai boru* kamu?” tanya Damian dengan nada serius. Aku mengangguk meskipun tidak mengerti maksud dari pertanyaannya itu. “Iya. Aku serius. Itu adalah margaku,” kataku membenarkan. Dia memejamkan
~Damian~ “Wah! Senang sekali yang mau bawa calon istrinya ke rumah,” goda Rhea yang sedang duduk di ruang tengah sambil asyik memakan potongan apel yang dibersihkan oleh suaminya, Lae* Luhut. “Jaga sikapmu saat dia ada di sini nanti. Aku tidak mau dia kabur karena ulahmu,” ucapku yang dengan serius mengingatkannya. “Sayang, dengar, tuh. Kakak memarahi aku,” adunya kepada suaminya. “Lae, mengalahlah. Dia sedang hamil tua.” Lae Luhut melirik ke arah perut istrinya yang sangat besar. Adikku diperkirakan akan melahirkan pada bulan depan. Seluruh keluarga kami sudah tidak sabar menantikan kehadiran cucu kedua di rumah ini. “Begitu anak kalian lahir, apa lagi alasanmu untuk menyuruh aku mengalah dengannya?” tanyaku kepadanya. Pria itu hanya tertawa, sedangkan adikku menjulurkan lidahnya. “Kamu akan menjemput Nia?” tanya Mama yang berjalan masuk ke rumah dari teras, pasti baru saja memeriksa kebun kecilnya. Aku mengangguk. “Hati-hati di jalan
~Nia~ Ishana memercayakan aku kepada temannya yang memiliki usaha properti yang cukup besar dan ternama di ibu kota. Aku ditempatkan di divisi pemasaran sebagai anggota. Aku hanya akan bekerja selama kurang dari satu bulan, maka apa pun posisinya, bukan masalah untukku. Pada hari pertama kerja, aku diperkenalkan kepada manajer dan supervisor timku. Mereka memberi aku sebuah meja kerja dengan papan pemisah antara aku dengan orang yang duduk di sebelah kanan dan depanku. Sayang sekali, bentuknya bukan bilik seperti di kantor lamaku sehingga aku tidak bisa melakukan apa pun tanpa dilihat oleh rekan yang duduk di barisan belakangku. Seperti kebiasaan kantor pada umumnya, hari Senin selalu dipenuhi dengan rapat. Itu juga yang kami lakukan. Mereka saling bertukar pikiran mengenai ide untuk mempromosikan unit perumahan dan apartemen yang belum laku. “Kita sudah membuka stan di mal, menggencarkan iklan di situs bisnis dan surat kabar daring yang cukup populer
“Wah, itu Damian! Pembawa berita favoritku!” pekik Bintang dengan suara tertahan agar orang-orang tidak melihat ke arah kami. “Oh, Tuhan! Dia melihat ke arahku, Nia!” Dia sedang melihat ke arah aku, tetapi aku tidak akan meralat ucapan rekan kerjaku itu. Pria itu sudah menghubungi aku berkali-kali sejak hari aku pergi dari rumahnya. Dia juga mengirim begitu banyak pesan yang tidak aku baca, apalagi balas. Hubungan kami tidak akan bisa dibawa ke mana pun. Jadi, tidak ada lagi yang perlu kami bicarakan. Bila hanya ingin mengucapkan kata putus, aku sudah mengembalikan cincin yang dia berikan kepadaku. Itu sudah menjadi simbol berakhirnya hubungan kami. Lalu untuk apa lagi kami bicara? Hal yang berikutnya terjadi berada di luar dugaanku. Damian melangkah mendekati meja di mana aku dan rekan-rekanku berada. Padahal teman-temannya berjalan ke arah sebaliknya. Mereka menatapnya dengan bingung, ketika teman-temanku malah berwajah ceria menyambutnya. “Hai, Dil
Aku tidak terkejut dengan pertanyaan yang dia ajukan, aku bahkan sudah siap harus memberi jawaban apa saat dia menanyakan hal itu. “Mengapa kamu menuduhku begitu? Aku tidak menggoda atau merayu kamu untuk dekat denganku. Aku juga tidak memberi harapan apa pun kepadamu. Kamu sendiri yang mengundang aku duduk di sisimu selama dalam penerbangan. Kamu juga yang meminta imbalan atas tindakanmu itu. Lalu kamu yang mengikuti aku ke mana pun aku pergi selama kita berada di Bangkok. “Bukankah dari tindakanku itu menunjukkan dengan jelas bahwa aku tidak tertarik kepadamu? Lalu untuk apa aku membahas hal pribadi denganmu? Kamu terbiasa dengan kehadiran wanita yang rela tidur denganmu, jadi kamu curiga saat bertemu dengan perempuan yang bersikap berbeda, begitu? Orang tuaku tidak membubuhkan marga pada nama lengkapku. Kamu juga begitu. Lalu mengapa aku yang kamu salahkan? Kamu juga salah tidak menyebut marga saat kita berkenalan.” Aku sengaja tidak menjawab pertanyaannya
~Damian~ Aku meletakkan ponselku ke dalam saku celanaku dan berjalan keluar rumah. Ada apa dengan Nia? Mengapa dia tidak mau menjawab panggilan masuk dariku? Aku tahu bahwa kami tidak akan bisa melanjutkan hubungan kami. Tetapi kami memulainya dengan baik, jadi aku ingin mengakhirinya dengan cara yang baik juga. Kepalaku tidak berhenti memikirkan dia meskipun aku tahu bahwa kami tidak akan bisa bersama. Aku terus mengingatkan diriku sendiri bahwa menjalin hubungan dengan perempuan satu marga saja mustahil apalagi menikah dengannya. Selangkah lagi, hanya tinggal satu langkah lagi, maka dia akan menjadi milikku seutuhnya. Sial. Semua ini karena kesalahanku sendiri yang tidak bisa mengendalikan diri. Aku tidak tahu apakah ini karena suara indahnya, wajah cantiknya, atau sikap misteriusnya, tetapi aku tidak bisa melepaskan diri dari pesonanya. Ini pertama kalinya terjadi dan aku tidak tahu bagaimana mengendalikan diriku sendiri. Seolah-olah aku tidak punya kuasa
~Nia~ Studio itu sangat besar dan luas. Satu sisi keadaannya gelap, sedangkan di sisi lain terang-benderang dengan cahaya lampu. Pada sisi yang gelap dipenuhi dengan peralatan syuting sehingga aku harus berhati-hati dengan langkahku atau kakiku akan terlilit kabel. Aku belum sempat melihat ke sisi yang diterangi cahaya, seorang wanita mendekat dan memasang sesuatu di kerah blazerku. Dia meminta aku untuk mengenakan earphonedi telingaku. Kemudian seorang pria membantu meletakkan suatu alat di dalam saku blazerku tersebut. Wanita lain datang untuk membantu merapikan rambut dan riasan wajahku. “Semuanya segera bersiap pada posisi. Sesi berikutnya akan dimulai dalam lima detik.” Terdengar suara seorang pria dari earphonepada telingaku. Wanita yang membawaku ke studio ini segera menggandeng tanganku, kemudian membawaku mendekati sebuah sofa tidak jauh dari tempat kami berdiri. Lalu dia melepas kartu nama yang aku kalungkan di
Aku membuka mata dan melihat Damian berdiri begitu dekat di depanku. Apa yang sedang dia lakukan? Aku melihat ke sekeliling kami, hanya ada dia dan aku di dalam ruangan ini. Aku kembali menatap dia yang hanya diam saja memandangku dengan saksama. Kedua tangannya berada di kedua sisi kepalaku, seolah-olah mengurung aku agar tidak pergi ke mana pun. Matanya menatapku dengan penuh cinta, aku tidak melihat kesedihan yang aku temukan di sana semalam. Aku membuka mulut, ingin bertanya. “Aku harus melakukan ini,” katanya yang dengan gerakan cepat mencium bibirku. Salah satu tangannya memeluk tubuhku, sedangkan tangannya yang lain berada di belakang kepalaku. Karena tangannya yang ada di belakang leherku, aku tidak bisa menggerakkan kepalaku untuk menghindari ciumannya. Aku hanya punya kedua tanganku untuk mendorong tubuhnya menjauh dariku. Kedua kakiku bebas dan aku bisa saja menendangnya, tetapi jarak kami begitu dekat sehingga aku tidak bisa menyerang alat vitalny
~Damian~ Meskipun tidak ada banyak hal yang bisa aku lakukan di tempat ini, aku menggunakan fasilitas yang ada dengan baik. Aku membaca hampir semua buku yang ada di perpustakaan, berolahraga setiap pagi dan sore bersama teman-teman, menjauhi masalah, dan berkenalan dengan orang-orang baru. Sebagian besar dari mereka adalah orang baik yang terpaksa berbuat jahat karena keadaan. Aku menyukai diriku yang baru. Aku mengetahui lebih banyak hal baru, bukan hanya yang telah aku pelajari selama ini di dunia jurnalistik. Ilmu yang aku dapat tidak hanya dari membaca, tetapi juga dari bicara dengan orang-orang yang ada di penjara. Keluarga dan sahabatku tidak pernah datang berkunjung atas permintaanku. Walaupun ini adalah keinginanku sendiri, aku tidak mau mereka melihat aku dalam keadaan paling terpuruk. Aku lebih memilih menahan rasa rindu yang berat kepada istriku daripada melihatnya berduka setiap kali melihat aku berada di tempat yang tidak bisa dijangkaunya.
~Brie~ “Sayang, ayo, cepat!” seruku dari ambang pintu apartemen. Aku menepati semua kesepakatan yang kami bicarakan pada hari terakhir kami bersama. Aku tidak datang menjenguknya atau mengirim apa pun untuknya. Aku fokus menjalani hidup dan pekerjaanku. Setelah sahabatku menikah, aku yang bertanggung jawab penuh atas hotel. Sebagai seorang wanita yang jauh dari suami, tentu saja aku mengalami banyak godaan. Apalagi aku bekerja di hotel. Meskipun aku jarang bertemu dengan orang-orang karena aku mengangkat Gerald menjadi asistenku untuk urusan rapat dan bertemu dengan klien di luar hotel. Tetapi aku sering bertemu tamu hotel yang tertari kepadaku saat makan bersama Papa dan Saoirse di restoran. Waktu berjalan begitu cepat karena kesibukanku di hotel. Ditambah lagi putri kami yang sangat aktif menyita waktu luangku yang sepenuhnya aku curahkan untuknya. Hanya pada saat aku tidur seorang diri di kamar, aku merasakan kesepian yang tidak bisa ditutupi denga
~Damian~ Aku tidak pernah menyangka bahwa aku bisa jatuh cinta semakin dalam kepada istriku. Aku pikir rasa cintaku kepadanya sangat dalam dan tidak akan bisa lebih dalam lagi. Tetapi aku merasakan sendiri pada hari ini bahwa hal itu bisa terjadi. Dia duduk di sana, di kursi saksi dengan wajah yang berani, mata menatap tajam ke seluruh penjuru, saat menjawab satu per satu pertanyaan yang diajukan oleh jaksa penuntut, kuasa hukum yang membela kami para pelaku, bahkan hakim. Meskipun sesekali dia bersuara berat mengulang kembali kejadian menyakitkan itu, dia tidak gugup apalagi bicara dengan gagap. Mendengar semua kalimat itu, aku teringat pada peristiwa pada hari reuni tersebut. Malam di mana untuk pertama kalinya, aku tahu siapa dia yang sebenarnya. Sikap teman-temanku masih sama, merasa layak untuk menudingkan jari mereka menyalahkan dia. Hari ini aku tidak melihat tatapan arogan itu. Foto-foto bukti kekerasan yang kami lakukan sudah cukup untuk memb
Aku menatap putriku yang tertidur pulas setelah aku membacakan sebuah cerita untuknya. Dia anak yang baik, tidak pernah sekalipun aku mendengar dia mengeluh. Kami baru saja beberapa minggu bersama, bagaimana aku tega merebut kebahagiaan ini darinya? Dia telah kehilangan kasih sayang orang tuanya sejak dia lahir ke dunia. Setelah dia begitu bahagia bisa tinggal bersama kami, aku tidak sanggup memisahkan dia dari ayahnya sendiri. Aku tidak mau putriku menderita seperti aku. Papa dan Damian tidak bisa melakukan ini kepadaku, kepada putriku. Apa yang kami miliki sekarang telah kami perjuangkan dengan mahal. Aku menikah dengan laki-laki satu margaku dan menentang adat, kami menanggalkan nama keluarga kami, dan kami tinggal jauh dari komunitas yang menjadi identitas kami sejak lahir. Setelah melalui semua tantangan, aku tidak mau berpisah dari suamiku. Namun apa yang kami jalani saat ini juga tidak sehat. Dia tidak jauh dariku, dia ada di sini di dekatku. Tetapi ka
Kami baru menikah selama satu minggu, membicarakan banyak hal mengenai masa depan keluarga kecil kami, mendiskusikan yang terbaik untuk putri kami, dan dia meminta aku untuk melakukan hal yang akan merenggut dia dariku? Apa yang sedang dia pikirkan? “Apa kamu sadar dengan apa yang baru saja kamu katakan?” tanyaku yang menatapnya dengan saksama. Inikah hal yang beberapa hari ini meresahkannya? “Iya. Aku juga sudah membicarakan ini dengan psikolog. Dia mendukung keputusanku, tetapi keputusan terakhir tetap ada di tanganmu. Kamulah yang menentukan segalanya.” Dia menatapku penuh harap. Aku menarik kedua tanganku dari genggamannya. “Aku tidak mau melakukan itu. Aku tidak akan menuntut suamiku sendiri. Apalagi kasus ini sudah sangat lama dan kamu sudah mendapatkan balasannya. Kamu tidak punya hutang apa pun lagi padaku,” kataku menolak. “Itu bukan hukuman, Brie. Aku tidak bisa selamanya lari dari jerat hukum. Hal ini yang menghalangi aku untuk bahagia. Kam
Aku tidak membiarkan kekurangannya itu merusak suasana bulan madu kami. Ada banyak hal yang bisa kami lakukan bersama yang membuat pengalaman bercinta tetap menyenangkan. Beberapa kali dia berhasil membuatku mencapai puncak kenikmatan, dan wajahnya sangat bahagia. Bukan ini yang aku pikirkan sebagai solusi, tetapi dia tidak kelihatan keberatan hanya aku yang bisa menikmati setiap kali kami bercinta. Melihat wajah bahagianya, maka aku tidak mau membuatnya merasa sedih dengan merasa bersalah. “Aku mencintaimu, Ian. Apa adanya,” ucapku saat sekali lagi dia membuatku bahagia. “Aku tahu. Dan aku mencintaimu, istriku.” Dia mengecup keningku, lalu memeluk tubuhku saat kami berbaring bersama. Sesaat setelahnya, kami tertidur pulas. Bosan hanya berdua saja di dalam kamar dan melihat pemandangan itu-itu saja, maka pada Minggu malam itu, kami memutuskan untuk makan malam di restoran. Keluarga kami sedang makan juga, jadi kami segera bergabung bersama mereka.
~Brie~ Hari ini adalah hari yang sangat membahagiakan bagiku. Pendeta yang baik hati itu mengumumkan bahwa aku dan keluargaku diterima sebagai anggota jemaat yang baru. Aku senang sekali karena pertemuan Papa dengan pendeta itu membuahkan hasil. Usai ibadah, aku dan Damian menemui pendeta tersebut di ruang rapat. Dia memberi kami daftar dokumen yang perlu kami siapkan sebagai syarat menikah. Begitu semua syarat dipenuhi, maka kami boleh menentukan tanggal. Sembari menunggu berkas dari orang tua Damian dikirim, dia memberi pilihan tanggal untuk melakukan konseling pranikah yang segera kami iyakan. Entah bagaimana Mama bisa membujuk papa Damian menandatangani surat persetujuan dari orang tua, kami menangis bahagia saat melihat tanda tangan dan namanya tersebut. Karena kami sudah mengikuti konseling dan tetap bertekad melangsungkan pernikahan, maka begitu berkas kami dinyatakan lengkap, pendeta setuju untuk menikahkan kami pada minggu berikutnya. Kami se
~Damian~ Saoirse berenang begitu bahagia dari satu tepi ke tepi lain kolam renang. Aku tidak menduga bahwa dia bisa berenang. Keahlian apa lagi yang dimiliki anak perempuan ini? Dia masih begitu muda, tetapi dia tidak berhenti membuat aku kagum pada bakatnya. Yang tidak terduga adalah bagaimana dia bisa menyayangi aku begitu cepat. Kami bertahun-tahun tidak pernah bertemu sepertinya bukan fakta yang menakutkan baginya. Iya bagiku. Mendadak menjadi seorang ayah bukanlah hal yang menyenangkan karena aku tidak siap dengan ini. Aku harus mengubah begitu banyak kebiasaan buruk agar dia tidak menirunya, dan aku harus belajar dengan cepat untuk memahami dia sekaligus ibunya. Mengerti hati seorang wanita saja menjadi tantangan besar bagiku, apalagi dua. Aku kagum melihat Papa bisa menangani kedua wanita rumit ini dengan baik. Wajar saja, mereka adalah anak dan cucunya. Aku menarik napas panjang saat putriku berjalan mendekati aku. “Sayang, jangan berjalan sec
Makanan sudah hampir siap, Damian keluar dari kamarnya dengan wajah masih mengantuk. Wajar saja. Dia tidak berhenti menciumku sampai lewat tengah malam. Dia menyapaku, lalu memberi kecupan di bibirku sebelum ke kamarku untuk membangunkan putri kami. “Jangan marah lagi kepadanya. Dia masih terlalu muda saat semua itu terjadi. Dan dia tidak bisa sendirian melawan kedua orang tuanya juga orang tua teman-temannya yang ingin melindungi reputasi mereka. Kamu tahu sendiri bahwa mereka melakukan segalanya untuk menyembunyikan perbuatan jahat anak-anak mereka.” Kalimat Papa tadi kembali terngiang di telingaku. Aku tidak marah lagi kepadanya, aku bahkan tidak kecewa saat tahu dia adalah ayah kandung Saoirse. Tetapi mengetahui semua ini membuat aku semakin mengerti beban yang telah dia tanggung sendirian selama ini. Dia dan aku berada pada posisi yang sama. Aku dijebak oleh dua sahabatku, sedangkan dia oleh teman-temannya. Kejahatan mereka semakin biadab karena membiark