Home / Romansa / Wajah Asli Adikku / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of Wajah Asli Adikku: Chapter 11 - Chapter 20

67 Chapters

Malu-Malu tapi Mau

 Kami diajak ke lantai atas dengan ruangan yang terlihat lebih besar dibandingkan lantai bawah. "Maysarah. Sini Nak, sudah ditunggu dari tadi." Bu Fatimah berseru memintaku menghampirinya yang duduk di sofa berbentuk huru L. Beliau tidak duduk sendiri. Ada lelaki berpakaian unik yang wajahnya pernah kulihat di tivi sebagai host sebuah reality show.  "Oh ini calon mantu Bu Fatimah. Cucok. Setengah bule, ye," ucap Desainer ternama yang tenar dengan nama Chandra Gunawan menatap ke arah Nirmala.  Calon ibu mertuaku itu mengernyit. Sedang Nirmala tersenyum jumawa, besar kepala karena pasti yang ditebak sang desainer adalah dirinya. "Maysarah ini, calon mantu saya. Tolong dandani dia dengan gaun pengantin yang sudah saya pesan tempo itu sama kamu," ujar Bu Fatimah merangkulku hangat menyanggah tebakan sang desainer.  "Eh maaf, salah orang ya. Eyke kira yang ono, dan
Read more

Bersikap tegas

Plak!   Aku sampai terdorong saat Ibu memberikan sebuah tamparan di pipi. Kaget, baru saja tiba di rumah dan masuk ke dalam ruang tamu, tiba-tiba Ibu datang dan langsung menamparku begitu saja.   Sakit. Perih dan panas masih terasa bekasnya menjalar di pipi ini. Ada apa dengannya? Kenapa bisa Semarah itu padaku?   "Gimana? Sakit kan? Seperti itulah rasa sakit yang dirasakan oleh Mala, May." Masih dengan wajah merah padam dan napas memburu, Ibu mengatakan semua itu padaku. Jujur, aku tidak paham dengan apa yang dimaksud olehnya.   "Apa maksud Ibu?" tanyaku masih dengan mengusap bekas tamparan kerasnya. Aku terduduk di kursi tamu. Menatap dengan tajam ke arah Nirmala yang tersenyum samar di hadapanku.   "Pake nanya lagi! Ngapain kamu ajak adikmu ke butik dengan alasan minta temenin? Hah! Kalau ujung-u
Read more

Tingkah aneh Ken

"Tinggal menghitung hari. Ayah sudah menyebar undangan untuk keluarga terdekat, jauh hari sebelumnya. Ayah sangat bersemangat. Nggak sabar menunggu hari H-nya." Ayah tampak antusias saat berkata. Senyum semringah selalu menghiasi bibir tebalnya.    "Nah, sisanya tinggal tetangga dekat dan lingkaran pertemanan kita. Terutama kamu May. Kartu undangan bisa kamu bagikan buat teman-teman di sekolahmu. Apa kamu sudah cerita?"    "Belum Yah. Mungkin hari ini," jawabku penuh kebimbangan takut pernikahan ini batal lagi.   "Bismillah, May. Kalau memang Samudra jodohmu, insyaAllah bakal dilancarkan Allah, jalan kalian. Percayalah. Jangan lupa berdoa." Ternyata Ayah memperhatikan raut wajahku. Ia mencoba menenangkanku   "Iya, Yah. InsyaAllah." ucapku disertai anggukkan kepala.   ***&nb
Read more

Seseorang dari Masa Lalu

Aku ingin berlari mengejar langkah Ken, tapi tidak jadi karena ada security yang memandangku sedari tadi. Di seberangku berdiri juga ada segerombolan anak yang masih berada di halaman sekolah, entah apa yang mereka tunggu hanya ngobrol saja tampaknya. Saat memanggil Ken, mereka ikut menatap ke arahku, karena tidak ingin membuat mereka berpikir yang tidak-tidak, maka kuputuskan kembali ke parkiran. Setelah mengambil motor, segera kulajukan kendaraan beroda dua tersebut meninggalkan halaman sekolah.    Aku tidak langsung pulang, tapi mampir sebentar ke sebuah kedai bakso yang tidak jauh dari sekolah. Lapar, aku belum makan siang. Sekalian ada yang ingin kupastikan terlebih dulu daripada menduga-duga dan tidak tenang di jalan.   Kado dari Ken. Aku kepikiran dengan kado yang sering kudapatkan di kolong laci meja guru. Kenapa sama persis modelnya seperti yang diberikan Ken. Apa jangan-jangan &helli
Read more

Ada Apa dengan Mereka?

Kuhapus cepat air mata yang membasahi pipi. Penglihatanku mengabur akibat menangisi peristiwa lampau. Kupelankan laju kendaraan takut kenapa-napa di jalan. Kembalinya Bara malah membuka kenangan buruk waktu itu. Potongan pembicaraan terakhir kami terlintas kembali di benakku. Rasa sakit itu muncul lagi. Luka yang ia torehkan masih terasa sampai hari ini. Lalu dengan mudahnya dia bilang tadi minta maaf, menyesal, telat Bar. Luka itu masih menganga dan belum sembuh. Jadi jangan harap hatiku terbuka untuk memberikan kata maaf itu padamu.  "May, kemari! Ayah ingin bicara." Aku yang baru sampai rumah dikejutkan oleh suara Ayah yang duduk di ruang tamu. Entah kenapa, dari nada bicaranya terdengar marah.   "Duduk!" titahnya lagi. Kuperhatikan rumah ini terlihat sepi. Kemana dua pasangan kompak itu berada? Ibu dan Nirmala.    "Ini apa!" Ayah menunjukkan sebuah gambar di ponse
Read more

Kukira Gagal Lagi

"Yang datang kenapa Om?" Kuhampiri Ayah dan Om Satria.   "May? Kamu … kamu kenapa kesini? Kamu tunggu saja di kamar, nanti Ibu yang akan memanggilmu kalau sudah selesai ijab," ucap Ayah dengan bibir gemetar.    Kasihan Ayah. Ia jadi segugup ini karena ku. Pasti telah terjadi sesuatu.  Kugenggam erat tangannya yang terasa dingin, walau tidak jauh beda dengan tanganku sendiri. "Apanya yang mau ijab, Yah. Kalau mempelai laki-laki saja tidak datang." Kugigit bibir menahan getir di hati setelah mengucapkan kalimat tersebut.    Gagal lagi, Yah. Anakmu gagal nikah lagi. Aku sudah menduga hal tersebut. Apalagi yang terjadi kalau bukan itu penyebabnya.   Ayah memelukku, mengelus lembut punggungku tanpa suara.    "Siapa yang bilang mempelai laki-
Read more

Tamu yang Mengusik Hatiku

  " Soal ibu sambungku itu, Iya sih, aku tahu, aku paham. Cuma Nirmala itu sudah keterlaluan. Dua kali dia rebut calon suamimu, untung yang terakhir, nggak ya May, apa karena duda?"   Ingin sekali kubilang tebakan Linda salah. Justru ia sangat tertarik dengan yang duda ini. Mungkin karena tajir.   "Maaf, Nirmala itu bukan adik kandung Mbak May?" Mbak make up artisnya ikut nimbrung bertanya. Mungkin penasaran sedari tadi mendengarkan pembicaraan kami.  Kuanggukkan kepala mengiyakan.   "Adik tiri, kenapa Mbak? Wajahnya beda ya?" tanya Linda menatap ke arah Mbak Cici-MUA untuk acara akadku ini. Kebetulan ia karyawan dari Candra Gunawan.    "Eh, nggak. Nggak papa kok. Iya, cuma nanya aja. Nah sudah selesai. Mau nangis pun nanti nggak bakal luntur Mbak May. Apalagi Mbak itu udah
Read more

Tentang Hanin

Aku tak tahu apakah ini cuma perasaanku saja atau tidak. Hanin, wanita itu hanya menyalamiku seujung jari. Terkesan enggan untuk berjabat tangan serta memberikan ucapan selamat. Dia diam, melengos dan berjalan melewatiku begitu saja setelah menyalami Samudra.   Ada yang membuatku sangat tertarik memperhatikannya. Wanita yang bernama Hanin itu terlihat akrab dengan Bu Fatimah. Mengherankan. Ia juga dekat dengan Bulan. Apa Hanin ini adalah nama yang sama dengan yang pernah diceritakan Nirmala waktu itu? Wanita yang dikabarkan sebagai saingan terberatnya di kantor memperebutkan Samudra. Aku penasaran sedekat apa wanita itu dengan keluarga samudra? Apa aku harus menanyakannya langsung pada suami sahku saat ini? Atau mencari sendiri jawabannya? Lagi pula lelaki sedingin es ini diam saja saat diperlakukan begitu oleh wanita itu, apakah memang biasa di kalangan mereka untuk cipika-cipiki saat menyapa atau memberi selamat? Padahal waktu bersalaman deng
Read more

Mencoba Percaya Padanya

Deg.   Apa kata Nirmala tadi? Kembar?  "Siapa?" tanyaku memastikan lagi apa benar, atau hanya salah dengar. Aku benar-benar terpancing.  "Hanin dan Hanum. Mereka itu kembar, Kak. Kembar identik, dan kurasa Pak Biru menganggap Bu Hanin itu pengganti Hanum, makanya mereka sangat akrab di kantor. Anaknya, itu si Bulan juga akrab banget kan sama Bu Hanin. Kakak tadi melihat sendiri kan?"   Aku tersenyum getir. Benarkah? Tidak, Nirmala sepertinya ingin merecokiku-- dengan cerita bohongnya. "Mereka hanya teman kerja dan kerabat. Jadi wajarlah dekat. Aku tidak ingin mencurigai hubungan mereka, jadi jangan mempengaruhiku untuk menaruh curiga ke mereka, terutama ke Mas Samudra," bantahku, Mencoba menenangkan diri sendiri. Padahal hati diselimuti kecemasan.  "Ya, ya ya. Baguslah kalau Kak May tidak berprasan
Read more

Kecewa

Hanin.   Wanita ini untuk apa datang ke kamar kami malam-malam? Apa dia tidak tahu kalau kami ingin istirahat? Lagipula darimana dia tahu kamar kami?  "Hanin, kamu--" kutarik Mas Sam ke belakang dan aku yang di depan. Tampak kasar atau lancang tapi itu harus kulakukan.  "Maaf, ada apa ya? Kenapa bertamu malam-malam begini?" Dengan tegas kutanyakan hal ini pada wanita tersebut.   "Maysa, aku--"  "Masuklah ke dalam dan pasang pakaianmu, Mas. Tidak sopan menghadapi tamu dengan hanya handuk di badan." Aku menyela dengan cepat ucapan Mas Sam. Entah dapat darimana keberanianku memerintahkan hal itu padanya.  "Astaga." Gumaman lirihnya masih dapat kudengar. Mungkin tersadar, Mas Samudra bergegas berlalu ke dalam meninggalkanku dan Hanin di depan. &nbs
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status