"Yang datang kenapa Om?" Kuhampiri Ayah dan Om Satria.
"May? Kamu … kamu kenapa kesini? Kamu tunggu saja di kamar, nanti Ibu yang akan memanggilmu kalau sudah selesai ijab," ucap Ayah dengan bibir gemetar.
Kasihan Ayah. Ia jadi segugup ini karena ku. Pasti telah terjadi sesuatu.
Kugenggam erat tangannya yang terasa dingin, walau tidak jauh beda dengan tanganku sendiri. "Apanya yang mau ijab, Yah. Kalau mempelai laki-laki saja tidak datang." Kugigit bibir menahan getir di hati setelah mengucapkan kalimat tersebut.
Gagal lagi, Yah. Anakmu gagal nikah lagi. Aku sudah menduga hal tersebut. Apalagi yang terjadi kalau bukan itu penyebabnya.
Ayah memelukku, mengelus lembut punggungku tanpa suara.
"Siapa yang bilang mempelai laki-
" Soal ibu sambungku itu, Iya sih, aku tahu, aku paham. Cuma Nirmala itu sudah keterlaluan. Dua kali dia rebut calon suamimu, untung yang terakhir, nggak ya May, apa karena duda?"Ingin sekali kubilang tebakan Linda salah. Justru ia sangat tertarik dengan yang duda ini. Mungkin karena tajir."Maaf, Nirmala itu bukan adik kandung Mbak May?" Mbak make up artisnya ikut nimbrung bertanya. Mungkin penasaran sedari tadi mendengarkan pembicaraan kami.Kuanggukkan kepala mengiyakan."Adik tiri, kenapa Mbak? Wajahnya beda ya?" tanya Linda menatap ke arah Mbak Cici-MUA untuk acara akadku ini. Kebetulan ia karyawan dari Candra Gunawan."Eh, nggak. Nggak papa kok. Iya, cuma nanya aja. Nah sudah selesai. Mau nangis pun nanti nggak bakal luntur Mbak May. Apalagi Mbak itu udah
Aku tak tahu apakah ini cuma perasaanku saja atau tidak. Hanin, wanita itu hanya menyalamiku seujung jari. Terkesan enggan untuk berjabat tangan serta memberikan ucapan selamat. Dia diam, melengos dan berjalan melewatiku begitu saja setelah menyalami Samudra.Ada yang membuatku sangat tertarik memperhatikannya. Wanita yang bernama Hanin itu terlihat akrab dengan Bu Fatimah. Mengherankan. Ia juga dekat dengan Bulan. Apa Hanin ini adalah nama yang sama dengan yang pernah diceritakan Nirmala waktu itu? Wanita yang dikabarkan sebagai saingan terberatnya di kantor memperebutkan Samudra. Aku penasaran sedekat apa wanita itu dengan keluarga samudra? Apa aku harus menanyakannya langsung pada suami sahku saat ini? Atau mencari sendiri jawabannya? Lagi pula lelaki sedingin es ini diam saja saat diperlakukan begitu oleh wanita itu, apakah memang biasa di kalangan mereka untuk cipika-cipiki saat menyapa atau memberi selamat? Padahal waktu bersalaman deng
Deg.Apa kata Nirmala tadi? Kembar?"Siapa?" tanyaku memastikan lagi apa benar, atau hanya salah dengar. Aku benar-benar terpancing."Hanin dan Hanum. Mereka itu kembar, Kak. Kembar identik, dan kurasa Pak Biru menganggap Bu Hanin itu pengganti Hanum, makanya mereka sangat akrab di kantor. Anaknya, itu si Bulan juga akrab banget kan sama Bu Hanin. Kakak tadi melihat sendiri kan?"Aku tersenyum getir. Benarkah? Tidak, Nirmala sepertinya ingin merecokiku-- dengan cerita bohongnya. "Mereka hanya teman kerja dan kerabat. Jadi wajarlah dekat. Aku tidak ingin mencurigai hubungan mereka, jadi jangan mempengaruhiku untuk menaruh curiga ke mereka, terutama ke Mas Samudra," bantahku, Mencoba menenangkan diri sendiri. Padahal hati diselimuti kecemasan."Ya, ya ya. Baguslah kalau Kak May tidak berprasan
Hanin.Wanita ini untuk apa datang ke kamar kami malam-malam? Apa dia tidak tahu kalau kami ingin istirahat? Lagipula darimana dia tahu kamar kami?"Hanin, kamu--" kutarik Mas Sam ke belakang dan aku yang di depan. Tampak kasar atau lancang tapi itu harus kulakukan."Maaf, ada apa ya? Kenapa bertamu malam-malam begini?" Dengan tegas kutanyakan hal ini pada wanita tersebut."Maysa, aku--""Masuklah ke dalam dan pasang pakaianmu, Mas. Tidak sopan menghadapi tamu dengan hanya handuk di badan." Aku menyela dengan cepat ucapan Mas Sam. Entah dapat darimana keberanianku memerintahkan hal itu padanya."Astaga." Gumaman lirihnya masih dapat kudengar. Mungkin tersadar, Mas Samudra bergegas berlalu ke dalam meninggalkanku dan Hanin di depan.&nbs
"Pergilah!""Ak--"Pintu kututup kembali. Tidak kugubris apa yang ingin disampaikannya. Entah kenapa air mata menitik dengan sendirinya. Aku tahu dia berbohong. Pekerjaan apa yang ingin dibicarakan tengah malam dengan wanita itu? Padahal kenyataannya aku sudah mendengar sekilas pembicaraan mereka tadi di depan. Seharusnya Mas Sam mengusirnya, bukan malah menemuinya dan meninggalkanku.Tak terdengar lagi suara Mas Sam dari balik pintu. Mungkin ia telah pergi. Harusnya ia memanggilku kembali memastikan kalau istrinya ini ikhlas mengizinkannya pergi. Apa caraku menjawab tadi tidak dianggapnya serius? Atau dia yang tidak peka?Aku menangis di dalam kamar mandi. Meratapi diri yang terabaikan oleh suami. Pernikahan apa yang sedang kujalani saat ini? Niat hati ingin membahagiakan Ayah ternyata harus kubayar mahal. Menikah dengan ses
Hanya semalam kami menginap di hotel ini, itupun tanpa terjadi apa-apa. Memangnya apa yang kuharapkan? Sudahlah, aku sendiri malu membayangkannya."Sudah siap?" Kuanggukkan kepala."Ada yang ketinggalan?" tanyanya lagi memastikan. Hanya gelengan kepala menjawab pertanyaannya tersebut."Kita pulang," ucapnya setelah itu. Aku diminta berjalan di depan dan dia di belakang dengan membawakan paper bag punyaku berisi pakaian. Sedangkan dia, tampaknya tidak membawa apa-apa."Kuantar pulang ke rumahmu," ucapnya setelah berada di mobil."Hah!" Terkaget, mataku melebar mendengarnya. Apa aku mau dipulangkan? Begitu?"Pamit dulu sama keluargamu, baru kita pulang ke rumahku," lanjutnya lagi menjelaskan. Mungkin dia paham arti keterkejutanku makanya
"Pergilah! Jangan sampai rekaman suaramu itu sampai ke telinga Ayah." Kusodorkan ponsel ke hadapannya. Menunjukkan rekaman suaranya yang pernah kujadikan senjata. Masih tersimpan dengan baik. Lagipula aku sudah muak menghadapi tingkahnya. Mungkin ancaman ini bisa membuatnya pergi."Lah, make ngancam segala. Kak May udah menikah, udah jadi istri orang, udah nggak gagal nikah lagi, ngapain masih mengancam. Kali ini aku tidak menggagalkan pernikahan Kak May, Kakak berhasil nikah, bukan?" Gegas ia berucap. Kok jadi dia yang sewot, bukannya takut dengar ancamanku."Ekhem." Suara dehaman seseorang mengejutkan kami berdua.Mas Samudra. Dia berdiri di depan pintu kamar. Mengumbar senyum tipis ke arahku.Astaga! Apa dia dengar semua yang kami bicarakan?"Sudah Sayang, siap-siapnya?" Mataku terbelalak
Aku terpukau saat masuk ke dalam rumah orang tua Samudra. Rumahnya mirip seperti rumah artis yang sering kulihat di tivi, besar dan megah. Barang-barang mewah dan cantik menghiasi setiap ruang dan sudut rumah.Tanganku masih digandeng erat Mas Sam. Ini yang kusebut sikapnya aneh. Kadang cuek, dan kadang seperti saat ini, perhatian. Aku takut di pehape(pemberi harapan palsu) olehnya, karena saat ini jujur mulai menyukai setiap perlakuan manis yang ia tunjukkan padaku.Mas Sam menuntunku masuk lebih dalam setelah melewati ruang tamu."Ayah …!" Bulan, anak manis itu berteriak memanggil Mas Sam dan berlari mendatanginya dari arah dalam. Mas Sam melepas pegangan tanganku dan berjongkok mensejajarkan tinggi badannya dengan Bulan."Gimana malam tadi nggak rewel kan? Nggak nyusahin Nenek?" Bulan menggeleng. Ia mengalungkan ked
POV AuthorTernyata belum siap aku,Kehilangan dirimu.Belum sanggup untuk jauh darimu.Yang masih s'lalu ada dalam hatiku.Tuhan, tolong mampukan aku.'Tuk lupakan dirinya.Semua cerita tentangnya. yang membuatku s'lalu teringat akan cinta yang dulu, hidupkanku.Ken menghela napas panjang, lalu menghembuskannya. Lagu yang sedang diputar di cafe shopnya, membuat dadanya terasa sesak karena terkenang seseorang. Padahal lagu dari Stevan Pasaribu tersebut sedang hits dan sering diputar di media elektronik."Gas, matikan lagu itu. Putar yang lain saja," titahnya pada pegawainya bernama Bagas, yang kebetulan lewat di hadapannya."Siap Bro!" Ken hanya mengerjap. Ia kembali duduk di pojok kursi sambil mengamati ruangan cafe yang mulai terisi oleh para pengunjung. Cafenya mulai menamp
Semalaman mengurung diri di kamar. Mata sembab dan bengkak. Penampilanku kacau. Ibu ternyata memanggil Kak May. Sebenarnya aku malu, tapi mungkin ada baiknya meminta maaf padanya, siapa tahu rasa sakit ini berkurang. Kami akhirnya bicara dari hati ke hati. Kuceritakan bagaimana Raihan memutuskanku. Kak May bilang dia tidak pernah mendoakan yang buruk untukku. Kenapa aku bisa berpikiran seperti itu padanya? Kak May benar, inii hanya teguran dari Allah karena perbuatan jahatku. Aku kembali menuturkan kata maaf padanya. Sekarang aku sadar kalau perbuatan kita, entah baik atau buruk pasti akan berbalik ke arah kita kembali. Aku berjanji akan menjadi pribadi yang baru dan tidak akan menyakiti orang lain.***Di kantor, aku bersikap biasa saja. Aku dan Raihan seolah tidak saling kenal. Kami bagaikan orang asing kembali. Kulihat ia malah menjalin hubungan dengan wanita lain, teman satu kantor lainnya, padahal baru bebera
Aku tidak ingin dipenjara. Kenapa perhiasan itu bisa berada di kosanku? Siapa yang sengaja meletakkannya di sana? Pasti Hanin. Bukankah dia yang melaporkanku atas kasus ini?Kak May. Hanya dia yang bisa membantu. Dengan bersuamikan Pak Biru, masalahku pasti teratasi. Kak May tidak mungkin abai.Aku meminta Ibu membujuk Kak May agar mau membantuku. Pasti Kak May tidak akan menolak. Kenapa sulit sekali menjadi orang baik. Baru saja memulai hubungan baik dengan Kak May, sudah ditimpa musibah seberat ini.Beberapa kali melihat ke arah arloji. Tidak terasa sudah dua jam berada di sini. Lelah. Entah sudah berapa pertanyaan mereka lontarkan kepadaku. Hingga tiba-tiba salah satu petugas bilang aku bisa pulang.Aku tercengang. Katanya aku bebas. Laporan untukku sudah dicabut, dan aku boleh pulang. Secepat ini
"Bodoh! Bodohnya aku! Seharusnya kujauhi wanita licik sepertimu. Mana ada wanita baik yang merebut kekasih hati kakaknya. Kenapa aku baru sadar sekarang?""Aku yakin kamu cuma mempermainkanku. Sedari awal kamu yang mendekati, merayuku hingga rela meninggalkan Maysarah dan menyakiti hatinya. Benar kan? Kenapa La? Kenapa tega melakukan semua ini padaku?" tambahnya lagi. Tidak ada tatapan cinta yang kutangkap dari kedua matanya.Akhirnya lelaki di depanku ini sadar juga. Sayang sudah terlambat.'Ayo Mala, bersandiwara lah dulu. Yakinkan Ibram jangan sampai lelaki ini bertindak diluar kuasamu.'"Kamu berkata apa? Jangan berspekulasi yang tidak-tidak tentangku. Kamu salah paham, Mas." Aku mencoba bertahan dengan kepura-puraan ini, meyakinkannya kembali."Aku tidak bisa dibohongi lag
POV NirmalaAku menatap seseorang dari atas ke bawah. Kupindai penampilannya. Masih cantikkan aku. Masih tinggian aku, dan masih lebih aku kemana-mana.Kulihat ia mendekap erat boneka bear kecil yang sudah berwarna kusam. Pasti itu benda kesayangannya.Muncul sebuah ide di kepalaku. "Bu, Mala mau itu," tunjukku pada boneka tersebut. Ibu memandang heran ke arah sosok anak kecil yang berada di hadapanku."Jangan, itu kotor. Mending kita beli yang baru yang lebih besar," bujuk Ibu berbisik di telingaku. Namun aku bersikeras menginginkan boneka yang berada di tangan anak tersebut. Dengan rengekan dan tangisan kerasku, Ibu dan laki-laki dewasa yang sekarang harus kupanggil ayah, akhirnya luluh dan memaksa anak itu memberikannya padaku.***
"Karma apaan? Kamu memangnya dapat karma apa?" tanyaku sedikit kesal setelah ditudingnya begitu."Karma sama kayak Kak May. Ditinggal pas lagi sayang-sayangnya." Nirmala menarik tisu dan menyapu air matanya yang kembali menitik. Wajah sembabnya menandakan ia menangis sudah terlalu lama."Jangan muter-muter jelasinnya. Aku ada kelas hari ini. Dari tadi kamu bilang karma dan karma. Ingat Nir, di dunia ini tidak ada yang namanya karma. Yang ada tabur, tuai. Siapa yang menabur, dia pula yang kelak menuai. Jadi apa yang terjadi denganmu bisa saja akibat perbuatanmu sendiri." Mendengar penjelasanku, Isak tangisnya semakin keras."Kak May benar. Ini semua pasti azab dari Tuhan karena dulu menyakiti Kak May. Raihan meninggalkanku dengan alasan yang sama seperti laki-laki brengsek itu katakan pada Kak May." Ia mengelap air mata yang membasah
Ibu seperti terkejut saat melihatku datang bersama Mas Sam dan ibu mertua. Namun dia tetap mempersilakan kami masuk."May, kok kamu bawa ibu mertua sama suamimu kemari," bisik Ibu saat aku berdiri di sampingnya."Oh, itu kan May bilang mau ke sekolah pas di telepon tadi, dan waktu itu bareng mereka, Bu," bisikku pula. Sepertinya Ibu tidak suka aku datang bersama Mas Sam dan ibu mertua. Nampak sekali dari raut wajahnya."Silakan duduk besan, izin sebentar mau membuat minuman," ucap Ibu ramah mempersilakan Mas Sam dan ibu mertua duduk."Nggak perlu repot Bu, kita cuma mengantarkan May ke sini. May, Ibu sama Sam pergi dulu, nanti biar Mang Diman yang kemari buat antar kamu ke sekolah. Ibu lupa ternyata ada janji sama klien sekarang ini," ujar Ibu sembari menengok jam di pergelangan tangannya dan beralih
"Bu Asri masih menghubungi Ibu. Dia terus mengabarkan keadaan Hanin. Ibu belum membalas apapun pesan darinya. Jadi, menurut kalian, Ibu harus gimana?" Tampak gurat kebingungan menghiasi wajah Ibu.Hubunganku dengan Ibu sudah membaik. Semalam kami bicara dari hati ke hati.Aku dan Mas Sam saling lirik di meja makan mendapati pertanyaan Ibu."Gimana May?" Mas Sam ikutan bertanya."Kok May yang harus jawab. Bu, hubungan Ibu sama Ibu Asri itu urusan Ibu. Kalau beliau meminta dijenguk atau meminta support ya silakan saja Bu. May tidak keberatan. Kecuali Ibu ikut mendukung menikahkan Mas Sam sama Hanin, baru May protes dan tidak setuju," ujarku menjawab kerisauan beliau dengan mendelik tajam ke arah Mas Sam.Mas Sam mengerutkan keningnya kutatap seperti itu.
Sejak naik ke lantai atas, aku tidak turun lagi ke bawah. Mengurung diri di kamar hanya dengan rebahan di atas kasur. Rasa kesal masih menghinggapi relung hati. Aku terus berpikir tentang permintaan gila ibunya Hanin. Seharusnya ibunya berpikir bagaimana cara menyembuhkan sakit jiwanya anaknya, bukan malah menjerumuskan lebih dalam, dengan menuruti semua keinginannya.Suara pintu dibuka, memaksaku menoleh ke arah sana. Mas Sam, ia baru pulang kerja. Aku hanya melihatnya sekilas lalu fokus kembali ke layar ponsel berpura sibuk mengamati isi dalamnya.Saat kami bertaut pandang, tatapan Mas Sam menyiratkan sesuatu. Dia pasti sudah tahu kejadian di ruang tengah dari ibunya. Mungkin juga Ibu cerita tentang aku yang mengabaikannya dengan tidak mau membuka pintu kamar ini saat diketuk. Bukannya tidak sopan, hanya saja aku perlu waktu untuk menenangkan hati yang sempat panas akibat mendengar sebuah per