Semua Bab Noktah Hari Kedelapan Perkawinan: Bab 1 - Bab 10

26 Bab

1. Penolakan

"Aku sudah memikirkan hal itu. Dan aku sudah memutuskan sesaat setelah membaca tulisan tangan Ayah. Aku bersedia menikah dengan Satria," jelas Bhista menerima perjodohan itu. Adit—kakak Bhista—mengalihkan pandangan pada adiknya. Jelas sekali suara berat Bhista mengisyaratkan jika dia terpaksa melakukan itu. Dia mengenyitkan dahinya, merasa heran dengan apa yang adiknya katakan. "Baiklah, aku akan segera mengurus persiapan pernikahan kita jika kau sudah setuju, Bhista," kata Satria."Katakan jika kau butuh bantuanku, aku akan membantu sebisaku," jelas Bhista. Satria tersenyum dan merasa semua berjalan sesuai keinginannya. Dia pamit undur diri untuk segera pulang. Tak berapa lama setelah deru mobil Satria terdengar meninggalkan halaman rumah Bhista, Adit kembali menatap Bhista dengan tatapan tajam. "Apa kau sudah gila? Kau melakukan hal itu hanya karena Ayah menginginkannya?
Baca selengkapnya

2. Pernikahan

Pandu mendatangi kediaman Candra pagi itu. Dia sengaja datang untuk meminta pertolongan Adit untuk yang terakhir kalinya. Mereka duduk berdua di ruang perpustakaan rumah. "Bhista keluar," kata Adit."Aku sengaja datang saat dia tak di rumah," jawab Pandu. "Apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Adit. "Dit, apakah kau benar-benar tak bisa membantuku? Apakah Bhista sama sekali sudah tak bisa dibujuk?" Pandu menatap Adit dengan sorot nyaris putus asa. "Sungguh, maafkan aku. Aku sudah mencoba berkali-kali. Bahkan kami hampir ribut, tapi Bhista tetap dengan keputusannya. Dia tetap akan melaksakan pernikahan yang ayahku inginkan," jelas Adit. "Jika kau masih ingin berusaha, lakukanlah semampumu. Aku akan mendukungmu. Bagiku Bhista hanya akan bahagia bersamamu," kata Adit. "Aku akan menemui Ibu. Kurasa hanya Ibu yang bisa membujuk Bhista," putus Pandu akhirnya. Itu adalah usaha terakhir yang bisa dia pikirkan. Sebab, dia
Baca selengkapnya

3. Dansa

“Apa yang kau bicarakan? Sudah, ayo! Para orang tua menunggu,” ujar Bhista mengalihkan pembicaraan. Dia kemudian menarik Satria menjauh dari altar.  Satria menelan kembali pertanyaan yang hendak dia ajukan, lalu melirik tangannya yang digandeng Bhista. Melihat itu, dia jadi tak bisa menahan senyum. Sementara di lain sisi, ada Pandu yang menyaksikan Bhista dan Satria dari kejauhan. Pria itu menahan nyeri di dada ketika melihat Bhista memegang erat tangan Satria."Suasana pesta begitu meriah, tapi hatiku terasa sangat sepi. Sungguh ironis. Wanita yang aku cintai baru saja mengikrarkan janji suci di hadapan Tuhan untuk mendampingi pria lain," batin Pandu.Tapi kini dia jauh lebih baik karena pertemuannya dengan Satria beberapa hari yang lalu. Pikirannya melayang mengingat pembicaraan mereka berdua. "Ah, kau sudah menerima undangannya?" tanya Satria. "Benar, aku datang untuk mengatakan selamat, dan kupastikan aku akan dat
Baca selengkapnya

4. Mulai

"Kau lelah? Ini sangat menyenangkan," kata Satria penuh semangat ketika Bhista sudah kembali ke pelukannya. "Kau benar, ini menyenangkan. Apa kau bahagia?" tanya Bhista. "Tentu saja," jawab Satria sembari mendaratkan kecupan mesra di kening istrinya. Kemudian, setelah hampir satu jam berdansa, Satria dan Bhista beristirahat di kursi tamu seraya mengobrol. Sesekali Satria meneguk wine dari gelas yang dia pegang. Wajahnya sudah sangat merah saat ini. Mungkin pria itu sudah mabuk. Namun, Satria tampak kuat. Meski tengah mabuk, dia masih bisa bersikap tenang dan tampak waras. "Mati aku! Dia mabuk. Apa yang akan terjadi malam ini?" batin Bhista khawatir. Bhista mulai meremas lembut gaunnya ketika membayangkan tidur seranjang dengan suami yang belum dia cintai ini. Apalagi saat ini Satria sedang mabuk, meski masih tampak baik-baik saja."Sudah larut, Sayang. Kau harus istirahat," kata Satria. "Kau ingin kita masu
Baca selengkapnya

5. Dia Kembali

Pernikahan Bhista dengan Satria sudah berjalan seminggu. Hari ini mereka harus kembali pada aktivitas sebagai seorang penanggung jawab perusahaan masing-masing. Bhista turun dari kamar dan menuju meja makan untuk sarapan. Ayah dan ibu mertuanya sudah lebih dahulu duduk di sana. Pagi ini dia memang sedikit terlambat. Berkas yang ia butuhkan terlupa belum dicetak, sehingga membuatnya harus mencetak dahulu sebelum turun untuk sarapan. "Di mana suamimu?" tanya Nyonya Winata. "Dia akan segera turun, Ibu. Dia sedang menerima telepon," jawab Bhista "Selamat pagi Paman, Bibi, dan Bhista," sapa Lucky—sekretaris Satria—yang juga baru datang ke ruang makan. "Selamat pagi, Nak," jawab Nyonya Winata lembut."Selamat pagi, Lucky," jawab Bhista singkat. "Satria mendapat telepon dari Jerman tentang proyek besar itu Paman. Semoga saja minggu ini kita bisa terbang ke Jerman untuk tanda tangan kontrak kerja sama b
Baca selengkapnya

6. Permintaan Konyol

Suasana begitu canggung tak terhindarkan di antara Nyonya Winata, Arsy dan juga Satria. Semuanya terdiam tanpa mengucapkan apapun. Sampai akhirnya Satria memecah keheningan. “Di mana Bhista, Bu?” tanyanya.  "Kenapa kau mencarinya, Sayang? Jangan biarkan Arsy menunggu lagi. Dia sudah memasak banyak sekali makanan untuk menunggumu makan malam. Jangan kecewakan dia," kata Nyonya Winata.  "Bhista? Siapa dia?" tanya Arsy.  "Dia is ...," sahut Satria, tapi segera dipotong oleh Nyonya Winata.  "Sekretaris barunya. Abistha adalah sekretaris baru Satria. Ayo kita ke ruang makan. Ibu sudah sangat lapar," ajak Nyonya Winata mengalihkan pembicaraan.  Arsy tak merasa curiga sama sekali dengan gelagat dusta Nyonya Winata itu. Dia justru semakin bersemangat karena merasa senang bertemu lagi dengan pria yang hingga kini masih sangat dia cintai.  Satria tak diberi kesempatan untuk berbicara sama sekali. Dia merasa kesal da
Baca selengkapnya

7. Ingkari Saja

Bhista melihat ke arah Satria yang tampak sangat kesal. Pria itu berkali-kali melayangkan pandangan sinis pada ibunya. Berulang kali dia sudah mencoba mengutarakan sesuatu. Tapi selalu saja kalah dengan suara ibunya. "Hentikan, Ibu! Hentikan semuanya! Apa yang Ibu katakan? Ibu menyakiti Bistha dan menodai pernikahan kami. Aku tak akan menikah lagi dengan siapa pun. Jangan gegabah dan jangan membuat keadaan semakin sulit!" bentak Satria. "Tapi, Nak, dia sakit," mohon Nyonya Winata. “Bagaimana bisa Ibu sampai berurai air mata seperti itu? Dia pasti sangat mencintai Arsy, hingga tega melakukan ini semua padaku,” batin Bhista.Pernikahan Bhista dengan Satria baru berjalan delapan hari, tapi mengapa badai ini sudah membuatnya ingin berhenti? Saat Bhista mati-matian berusaha membuka hatinya, tapi keadaan justru berbalik seperti ini. Hatinya memang masih terlalu kaku untuk Satria. Namun, pernikahan ini adalah komitmen terbesar dalam
Baca selengkapnya

8. Pengakuan

"Aku akan pergi esok, bukankah kau akan merinduku?" seloroh Satria.  "Aish," jawab Bhista.  Pria ini selalu berhasil membuat Bhist merasa lebih baik setelah dihantam masalah besar. Satria membuatnya lupa akan permintaan ibu mertuanya itu. Tak hanya itu, Satria juga meyakinkan Bhista jika dia tak akan pernah menikah dengan siapapun apapun alasannya. Dan seperti biasanya Bhista pun percaya padanya.  "Aku tak akan memaksa kau percaya apapun. Aku tahu semua sangat sulit. Kau menghadapi ibu yang begitu menekanmu untuk berbagai situasi," kata Satria.  "Kau benar, situasi sulit yang ku hadapi tak seberapa. Aku merasa sangat hangat dan tenang saat berada di sisimu. Kita memiliki banyak sekali jarak sebelum ini. Bahkan kau tahu, hatiku masih sangat kaku untuk membuka hatiku untukmu," jelas Bhista.  "Aku mengerti, kita menikah dengan kondisi yang seadanya. Dan aku juga tahu benar, kau menerimaku karena wasiat ayahmu," jawab Satr
Baca selengkapnya

9. Malam Pengantin Yang Tertunda

Malam itu Bhista membuat pengakuan yang sungguh mengejutkan bagi seorang Satria Winata. Pria itu tampak begitu bahagia. Saat prahara datang dan Satria merasa di persimpangan yang sulit, istrinya mengatakan jika dia mulai bisa membalas cintanya. "Terima kasih kau sudah mencobanya, Sayang," ucap Satria. "Aku banyak berpikir saat aku mulai bekerja kemarin, aku merasakan waktu yang kita lewatkan bersama membuatku merasa hampa dan sendiri. Aku merasa mulai terbiasa dengan kehadiranmu di sisiku." Bhista menyadari akan segala hal yang Satria berikan. "Ah, sungguh?" tandas Satria. "Terima kasih sudah membuatku merasa berarti dan merasa dinantikan," ucap Bhista. "Baiklah, pengakuanmu sudah cukup membuatku yakin untuk melakukannya malam ini, Nyonya Satria," canda Satria. "Aish," lirih Bhista sedikit malu. Dia memalingkan wajahnya ke arah lain. Dan tanpa sengaja Bhista melihat Pandu yang tengah turun dari mobil untuk
Baca selengkapnya

10. Penerbangan Ditunda

Penerbangan Satria ditunda hingga sore karena cuaca buruk. Saat ini dia tengah menyetak beberapa dokumen yang ia revisi dari Lucky. Bhista sengaja tak masuk bekerja untuk membantunya menyiapkan keperluannya. "Ah, maafkan aku, Sayang. Kau sampai tak masuk bekerja," kata Satria. "Bukan masalah, aku sudah menelpon Kak Adit dan dia bisa mengerti," jelas Bhista. "Terima kasih, Sayang," ujar Satria"Apa kau butuh dasi cadangan? Hanya ada dua dasi di kopermu," tanya Bhista lembut. "Aku butuh kau ikut denganku, Sayang, bisakah kau masuk koper itu dan turut dalam perjalananku?" canda Satria. "Curang sekali, kenapa tak membelikan aku tiket tapi memintaku masuk koper untuk kau bawa?" balasnya. "Sungguh kau akan ikut jika aku membelikanmu tiket?" tanya Satria serius. "Perjalananmu hanya dua hari, kurasa terlalu merepotkan jika aku ikut. Aku akan menunggumu sampai kembali," jelas Bhista. 
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123
DMCA.com Protection Status