"Aku sudah memikirkan hal itu. Dan aku sudah memutuskan sesaat setelah membaca tulisan tangan Ayah. Aku bersedia menikah dengan Satria," jelas Bhista menerima perjodohan itu.
Adit—kakak Bhista—mengalihkan pandangan pada adiknya. Jelas sekali suara berat Bhista mengisyaratkan jika dia terpaksa melakukan itu. Dia mengenyitkan dahinya, merasa heran dengan apa yang adiknya katakan. "Baiklah, aku akan segera mengurus persiapan pernikahan kita jika kau sudah setuju, Bhista," kata Satria."Katakan jika kau butuh bantuanku, aku akan membantu sebisaku," jelas Bhista. Satria tersenyum dan merasa semua berjalan sesuai keinginannya. Dia pamit undur diri untuk segera pulang. Tak berapa lama setelah deru mobil Satria terdengar meninggalkan halaman rumah Bhista, Adit kembali menatap Bhista dengan tatapan tajam. "Apa kau sudah gila? Kau melakukan hal itu hanya karena Ayah menginginkannya?" cecar Adit. Bhista hanya diam. Dia tak ingin menyulut keributan. Ada ibunya di sana, sehingga dia memilih diam. "Katakan, Bhista. Apa kau benar-benar akan mengorbankan masa depanmu untuk pria yang tak kau cintai?" desak Adit. "Kak, ini bukan saatnya lagi untuk mengatakan pengorbanan. Ini tentang sebuah wasiat. Ini adalah cara terakhir bagiku untuk membuktikan pada Ayah jika aku sangat mencintainya," jelas Bhista. "Kau terlalu naif. Semua tahu jika kau mencintai Ayah. Kami semua tahu, Bhista!" bentak Adit. "Cukup, Kak. Aku sudah memutuskan. Jangan membuat keadaan semakin sulit," bantah Bhista. "Lalu sekarang apa yang akan kau katakan pada Pandu? Kau mencintainya, tapi kau justru membuatnya terluka," cecar Adit. "Aku akan segera menyelesaikan hubunganku dengan Pandu. Ini adalah permintaan terakhir Ayah. Aku tak bisa mengabaikannya dan bersikap egois," jawab Bhista, kemudian berlalu menuju kamarnya. Nyonya Sintya terlihat meremas dadanya. Kedua anaknya terlihat silang pendapat yang membuatnya merasa bersalah. Wasiat mendiang suaminya justru membuat keadaan semakin sulit.* * *
"Kita harus berakhir, maafkan aku." Bhista harus mengakhiri hubungannya dengan seorang pria yang enam tahun menjadi tambatan hatinya.
Pertemuan yang Bhista rancang untuk mengakhiri hubungannya dengan Pandu itu berlangsung penuh emosi. Pandu dengan tegas tak ingin melepaskan Bhista untuk bersama pria lain, sehingga perdebatan panjang terjadi di antara mereka. Hatinya tak henti terasa nyeri karena pada akhirnya dia harus memilih perjodohan itu. "Tidak, Bhista. Aku tak bisa melepasmu begitu saja." Pandu menolak berpisah dari Bhista. "Mengertilah, ini adalah keputusan terbaik. Aku hanya akan menyakitimu dan keluargaku jika terlalu memaksakan untuk bertahan," ujar Bhista. "Bhista, kumohon," pinta Pandu. "Ini memang pilihan sulit. Hubungan kita selama ini sangat baik-baik saja. Kita memiliki segalanya dan semua terasa mudah saat aku bersamamu. Tapi mungkin karena kita memang bukan jodoh, sehingga kita harus berakhir seperti ini," jelas Bhista. "Ini bukan akhir, Bhista. Aku bisa menikahimu, tapi tunggu sebentar. Sebentar saja. Tunggu aku benar-benar bisa memberikanmu hidup yang layak," bujuk Pandu. Bhista dengan sekuat tenaga menahan air mata yang sudah hampir berderai. Dia kembali teringat akan keinginan Pandu untuk bisa menghidupi Bhista dari pekerjaannya sebagai seorang manager keuangan perusahaan dan tak bergantung pada jabatan serta penghasilan Bhista sebagai pewaris perusahaan keluarganya. Bhista tahu benar jika Pandu bukan putra keluarga konglomerat. Namun karena ketulusan dan kasih sayangnya, membuat Bhista dan keluarganya bisa menerima Pandu hingga saat ini."Bhista, kita bersama selama enam tahun. Dan tak pernah ada masalah serius. Aku, kau, ibumu, kakakmu bahkan keluarga dekatmu, kita semua baik hingga saat ini," lanjut Pandu dengan nada yang menurun. "Pandu, kumohon jangan membuat situasiku semakin sulit. Keputusan ini sudah final dan tak ada lagi yang bisa aku lakukan," jawab Bhista. "Aku mengerti, tapi tak bisakah semua ini ditawar?" tanya Pandu. "Kepada siapa kita akan menawar? Ayahku sudah meninggal, dan ini keinginan terakhirnya. Haruskah aku menjadi putri yang ingkar untuk keinginan terakhir ayahku ini?" sahut Bhista. Air mata Pandu luruh begitu saja mengenang nasib percintaannya yang sudah terjalin hampir enam tahun itu."Apapun yang terjadi aku tak akan membiarkan pria manapun menikahimu," ujar Pandu. "Kumohon, jangan siksa aku dengan sikap yang seperti ini," pinta Bhista. "Tidak, Bhista. Aku mencintaimu lebih dari apa pun. Dan aku hanya memintamu sedikit menunggu, agar aku bisa memberimu yang terbaik," balas Pandu. Pandu beranjak dari kursinya dan meninggalkan gadis yang tengah terisak itu sendiri di sana. Dia memutuskan untuk menemui Satria Winata untuk memberikan peringatan. Pandu sudah sangat gila dengan perasaannya. Cintanya yang tulus dan dalam adalah alasan utamanya untuk mempertahankan hubungannya dengan Bhista. Langkah kakinya membawa pria itu menghilang dari pandangan Bhista. "Aku harus menemui pria itu, tak ada jalan lain," gumamnya sembari menginjak pedal gas mobilnya menuju perusahaan Satria.* * *
Di sisi lain Satria tengah menjamu ibunya yang datang berkunjung. Nyonya Winata itu sedang memaki putranya karena dia tak setuju jika Satria menikah dengan Bhista.
"Dia wanita karir. Ibu hanya akan tetap kesepian jika kau menikah dengannya. Dia pasti akan sibuk dengan setumpuk dokumennya daripada menjadi menantuku," protes Nyonya Winata. "Ibu, dia pejabat penting di perusahaan. Jadi jangan membuat alasan murahan untuk merengek," jelas Satria dengan lembut. "Kau putraku satu-satunya, apa tak bisa mencari istri yang bisa juga menjadi menantu yang baik untuk Ibu?" desak Nyonya Winata. "Ibu, kau belum mengenal Bhista. Tapi kau sudah menilainya tak akan menjadi menantu yang baik," tukas Satria. Nyonya Winata tak bisa menyanggah lagi ucapan putranya. Dia terpaksa mengalah dan beranjak dari ruangan Satria. Wajahnya yang terlihat kesal itu membuat Satria tersenyum.Saat keluar ruangan, Nyonya Winata berpapasan dengan Pandu di depan pintu ruangan Satria. Dia mengabaikan sapaan dari pemuda itu, dan lanjut berjalan menuju lobi. Sementara itu, Pandu hanya mengernyit ketika sapaannya diabaikan. Dia kemudian melanjutkan tujuannya untuk bertemu Satria. Diketuknya pintu kantor lelaki yang dijodohkan dengan kekasihnya itu. "Ah, ada yang bisa kubantu? Resepsionis menelepon, katanya Anda adalah seorang utusan dari perusahaan Candra. Silakan duduk." Satria menyapa dengan ramah. Pandu duduk dengan gagah. Dia menunjukan sisi tegasnya. Terpaksa dia berbohong jika dia adalah utusan perusahaan agar bisa menemui Satria."Aku Pandu. Dan aku datang untuk bicara denganmu sebagai seorang lelaki," jawab Pandu.
Satria tersenyum. Dia mendekat dan duduk di kursi seberang tamunya itu. "Bicara sebagai seorang lelaki? Apa maksud Anda?" tanya Satria dengan nada santai. "Bhista. Abhista Sintya. Dia kekasihku," jawab Pandu. Satria tak merasa kaget. Pasalnya selama dekat dengan calon ibu mertuanya, Satria sudah tahu jika Bhista memiliki kekasih bernama Pandu. "Ibunya menceritakan semua tentangmu. Kau pria yang baik. Kau juga sangat membangun Bhista," ujar Satria. Pandu menjadi bingung. Pria ini membuatnya kagum. Bukan makian, tapi justru pujian yang Satria lontarkan setelah Pandu mengaku dia adalah kekasih Bhista. "Kau datang untuk memintaku membatalkan perjodohan kami?" tebak Satria. "Benar. Kami saling mencintai. Kami akan segera menikah setelah aku selesai mempersiapkan rumah kami." Pandu menjelaskan. "Semua keputusan ada di tangan Bhista. Aku tak bisa katakan apa pun jika bukan Bhista yang katakan," sahut Satria. Pandu mengepalkan tangannya. Darahnya mendidih karena pria ini membuatnya semakin gelisah dengan sikap santainya. "Jangan katakan kau mencintai kekasihku, dan memaksanya untuk menuruti wasiat ayahnya itu?" tanya Pandu dengan sorot mata tajam.Pandu mendatangi kediaman Candra pagi itu. Dia sengaja datang untuk meminta pertolongan Adit untuk yang terakhir kalinya. Mereka duduk berdua di ruang perpustakaan rumah."Bhista keluar," kata Adit."Aku sengaja datang saat dia tak di rumah," jawab Pandu."Apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Adit."Dit, apakah kau benar-benar tak bisa membantuku? Apakah Bhista sama sekali sudah tak bisa dibujuk?" Pandu menatap Adit dengan sorot nyaris putus asa."Sungguh, maafkan aku. Aku sudah mencoba berkali-kali. Bahkan kami hampir ribut, tapi Bhista tetap dengan keputusannya. Dia tetap akan melaksakan pernikahan yang ayahku inginkan," jelas Adit."Jika kau masih ingin berusaha, lakukanlah semampumu. Aku akan mendukungmu. Bagiku Bhista hanya akan bahagia bersamamu," kata Adit."Aku akan menemui Ibu. Kurasa hanya Ibu yang bisa membujuk Bhista," putus Pandu akhirnya. Itu adalah usaha terakhir yang bisa dia pikirkan. Sebab, dia
“Apa yang kau bicarakan? Sudah, ayo! Para orang tua menunggu,” ujar Bhista mengalihkan pembicaraan. Dia kemudian menarik Satria menjauh dari altar. Satria menelan kembali pertanyaan yang hendak dia ajukan, lalu melirik tangannya yang digandeng Bhista. Melihat itu, dia jadi tak bisa menahan senyum.Sementara di lain sisi, ada Pandu yang menyaksikan Bhista dan Satria dari kejauhan. Pria itu menahan nyeri di dada ketika melihat Bhista memegang erat tangan Satria."Suasana pesta begitu meriah, tapi hatiku terasa sangat sepi. Sungguh ironis. Wanita yang aku cintai baru saja mengikrarkan janji suci di hadapan Tuhan untuk mendampingi pria lain," batin Pandu.Tapi kini dia jauh lebih baik karena pertemuannya dengan Satria beberapa hari yang lalu. Pikirannya melayang mengingat pembicaraan mereka berdua."Ah, kau sudah menerima undangannya?" tanya Satria."Benar, aku datang untuk mengatakan selamat, dan kupastikan aku akan dat
"Kau lelah? Ini sangat menyenangkan," kata Satria penuh semangat ketika Bhista sudah kembali ke pelukannya."Kau benar, ini menyenangkan. Apa kau bahagia?" tanya Bhista."Tentu saja," jawab Satria sembari mendaratkan kecupan mesra di kening istrinya.Kemudian, setelah hampir satu jam berdansa, Satria dan Bhista beristirahat di kursi tamu seraya mengobrol. Sesekali Satria meneguk wine dari gelas yang dia pegang. Wajahnya sudah sangat merah saat ini. Mungkin pria itu sudah mabuk. Namun, Satria tampak kuat. Meski tengah mabuk, dia masih bisa bersikap tenang dan tampak waras."Mati aku! Dia mabuk. Apa yang akan terjadi malam ini?" batin Bhista khawatir.Bhista mulai meremas lembut gaunnya ketika membayangkan tidur seranjang dengan suami yang belum dia cintai ini. Apalagi saat ini Satria sedang mabuk, meski masih tampak baik-baik saja."Sudah larut, Sayang. Kau harus istirahat," kata Satria."Kau ingin kita masu
Pernikahan Bhista dengan Satria sudah berjalan seminggu. Hari ini mereka harus kembali pada aktivitas sebagai seorang penanggung jawab perusahaan masing-masing.Bhista turun dari kamar dan menuju meja makan untuk sarapan. Ayah dan ibu mertuanya sudah lebih dahulu duduk di sana. Pagi ini dia memang sedikit terlambat. Berkas yang ia butuhkan terlupa belum dicetak, sehingga membuatnya harus mencetak dahulu sebelum turun untuk sarapan."Di mana suamimu?" tanya Nyonya Winata."Dia akan segera turun, Ibu. Dia sedang menerima telepon," jawab Bhista"Selamat pagi Paman, Bibi, dan Bhista," sapa Lucky—sekretaris Satria—yang juga baru datang ke ruang makan."Selamat pagi, Nak," jawab Nyonya Winata lembut."Selamat pagi, Lucky," jawab Bhista singkat."Satria mendapat telepon dari Jerman tentang proyek besar itu Paman. Semoga saja minggu ini kita bisa terbang ke Jerman untuk tanda tangan kontrak kerja sama b
Suasana begitu canggung tak terhindarkan di antara Nyonya Winata, Arsy dan juga Satria. Semuanya terdiam tanpa mengucapkan apapun. Sampai akhirnya Satria memecah keheningan. “Di mana Bhista, Bu?” tanyanya. "Kenapa kau mencarinya, Sayang? Jangan biarkan Arsy menunggu lagi. Dia sudah memasak banyak sekali makanan untuk menunggumu makan malam. Jangan kecewakan dia," kata Nyonya Winata. "Bhista? Siapa dia?" tanya Arsy. "Dia is ...," sahut Satria, tapi segera dipotong oleh Nyonya Winata. "Sekretaris barunya. Abistha adalah sekretaris baru Satria. Ayo kita ke ruang makan. Ibu sudah sangat lapar," ajak Nyonya Winata mengalihkan pembicaraan. Arsy tak merasa curiga sama sekali dengan gelagat dusta Nyonya Winata itu. Dia justru semakin bersemangat karena merasa senang bertemu lagi dengan pria yang hingga kini masih sangat dia cintai. Satria tak diberi kesempatan untuk berbicara sama sekali. Dia merasa kesal da
Bhista melihat ke arah Satria yang tampak sangat kesal. Pria itu berkali-kali melayangkan pandangan sinis pada ibunya. Berulang kali dia sudah mencoba mengutarakan sesuatu. Tapi selalu saja kalah dengan suara ibunya."Hentikan, Ibu! Hentikan semuanya! Apa yang Ibu katakan? Ibu menyakiti Bistha dan menodai pernikahan kami. Aku tak akan menikah lagi dengan siapa pun. Jangan gegabah dan jangan membuat keadaan semakin sulit!" bentak Satria."Tapi, Nak, dia sakit," mohon Nyonya Winata.“Bagaimana bisa Ibu sampai berurai air mata seperti itu? Dia pasti sangat mencintai Arsy, hingga tega melakukan ini semua padaku,” batin Bhista.Pernikahan Bhista dengan Satria baru berjalan delapan hari, tapi mengapa badai ini sudah membuatnya ingin berhenti? Saat Bhista mati-matian berusaha membuka hatinya, tapi keadaan justru berbalik seperti ini. Hatinya memang masih terlalu kaku untuk Satria. Namun, pernikahan ini adalah komitmen terbesar dalam
"Aku akan pergi esok, bukankah kau akan merinduku?" seloroh Satria. "Aish," jawab Bhista. Pria ini selalu berhasil membuat Bhist merasa lebih baik setelah dihantam masalah besar. Satria membuatnya lupa akan permintaan ibu mertuanya itu. Tak hanya itu, Satria juga meyakinkan Bhista jika dia tak akan pernah menikah dengan siapapun apapun alasannya. Dan seperti biasanya Bhista pun percaya padanya. "Aku tak akan memaksa kau percaya apapun. Aku tahu semua sangat sulit. Kau menghadapi ibu yang begitu menekanmu untuk berbagai situasi," kata Satria. "Kau benar, situasi sulit yang ku hadapi tak seberapa. Aku merasa sangat hangat dan tenang saat berada di sisimu. Kita memiliki banyak sekali jarak sebelum ini. Bahkan kau tahu, hatiku masih sangat kaku untuk membuka hatiku untukmu," jelas Bhista. "Aku mengerti, kita menikah dengan kondisi yang seadanya. Dan aku juga tahu benar, kau menerimaku karena wasiat ayahmu," jawab Satr
Malam itu Bhista membuat pengakuan yang sungguh mengejutkan bagi seorang Satria Winata. Pria itu tampak begitu bahagia. Saat prahara datang dan Satria merasa di persimpangan yang sulit, istrinya mengatakan jika dia mulai bisa membalas cintanya."Terima kasih kau sudah mencobanya, Sayang," ucap Satria."Aku banyak berpikir saat aku mulai bekerja kemarin, aku merasakan waktu yang kita lewatkan bersama membuatku merasa hampa dan sendiri. Aku merasa mulai terbiasa dengan kehadiranmu di sisiku." Bhista menyadari akan segala hal yang Satria berikan."Ah, sungguh?" tandas Satria."Terima kasih sudah membuatku merasa berarti dan merasa dinantikan," ucap Bhista."Baiklah, pengakuanmu sudah cukup membuatku yakin untuk melakukannya malam ini, Nyonya Satria," canda Satria."Aish," lirih Bhista sedikit malu. Dia memalingkan wajahnya ke arah lain. Dan tanpa sengaja Bhista melihat Pandu yang tengah turun dari mobil untuk
Di tengah malam yang dingin, Bhista teringat jika dia berjanji akan ke kamar Satria setelah Arsy tidur. Dia segera turun dari ranjang perlahan agar tak membangunkan gadis manis yang sudah tertidur lelap itu."Aku akan ke sana sekarang," batin Bhisat.Dengan langkah kaki yang pelan dan hampir tak terdengar, Bhista menuju pintu berwarna putih itu. Dia membukanya secara perlahan dan segera keluar tanpa suara. Setelah sampai di luar dia menghela napas kasarnya."Aku beruntung, Arsy sangat lelap hingga dia tak terbangun." Bhista mengoceh sendiri.Baru saja dia akan melangkah, seseorang menepuk pundaknya. Dia merasa begitu kaget hingga hampir saja meninju orang itu."Lama sekali, aku hampir mati menunggumu," omelnya.Satria segera menarik Bhista menuju kamarnya. Suara pintu yang terkunci menandakan mereka berdua sudah masuk dan tak ingin diganggu.Bisa duduk di tepi ranjang besar kamar itu. Dia begitu rindu dengan hangatnya ranjang yang sel
Arsy selesai makan dan membuka pintu kamar Bhista. Dia melihat teman sekamarnya itu masih sibuk dengan pekerjaan kantornya."Sambil makan ini, Bhis. Biar tak terlalu tegang," kata Arsy sembari memberikan sebuah wadah plastik berisi potongan buah melon."Ah, terima kasih," jawab Bhista menerima wadah itu dan meletakan di mejanya."Kau membawa pekerjaan pulang. Apa terlalu sibuk di kantor?" tanya Arsy."Ada beberapa hal yang harus kupersiapkan untuk meeting besok," jawab Bhista."Satria ada meeting besok?" desak Arsy lagi.Bhista lupa jika Arsy tak tahu dia memegang perusahaan sendiri."Ah, bukan. Ini meeting staf," bohong Bhista beralasan."Kau pasti repot menjadi sekretaris Satria. Dia pria yang perfeksionis walau terlihat lembut. Dahulu Lucky sering mengeluh padaku," kenang Arsy."Benarkah, sekarang mungkin masih sama seperti itu," kata Bhista berpura-pura tanggap.&n
Bhista berjalan menuju kamarnya dengan langkah lemah. Hatinya begitu dipenuhi perasaan khawatir hanya saja dia tak boleh lemah. Ini adalah bagian dari rencananya sehingga dia harus bersikap dengan baik."Ayolah, Bhis. Jangan membuat hal kecil menjadi besar. Kau harus mulai terbiasa." Bhista bergumam dalam hati.Baru saja ia rebahkan tubuhnya, Arsy datang dengan membawa barangnya. Dia pindah dari kamar Satria."Bhis, boleh kuletakkan di sini?" tanyanya."Hm, letakkan saja. Aku akan pergi mandi," jawab Bhista dan segera mandi.Arsy menata beberapa bajunya di lemari Bhista dan beberapa barangnya di meja rias juga."Kau ternyata pecinta make-up, Bhis. Banyak sekali peralatan make-up yang kau miliki," lirih Arsy seraya tersenyum.Dia kembali membereskan segalanya. Setelah selesai dia menyimpan kopernya. Tak berselang lama Bhista keluar dari kamar mandi sembari menggosok rambutnya yang basah.
"Selamat datang, Sayang," sambut Nyonya Winata."Terima kasih, Ibu," jawab Satria.Dengan langkah ragu dan terpaksa, Satria masuk dan melinguk kesana kemari. Hatinya terasa tak tenang."Tunggu, Nak," kata Nyonya Winata.Satria menghentikan langkahnya dan memandang ibunya."Arsy tinggal di kamarmu, Ibu membawanya atas keputusan bersama dengan Bhista. Terimalah ini semua, demi Arsy," jelas Nyonya Winata."Di kamarku? Lalu, di mana Bhista tidur?" tanya Satria."Dia berada di kamar tamu sebelah kamarmu, Nak. Ini yang terbaik, karena memang keadaannya begitu rumit," elak Nyonya Winata.Satria tak mampu berkilah. Bisa bahkan tak memberi tahu jika Arsy menempati kamarnya."Kau sudah gila, Bhis. Kau membuat pernikahan kita benar-benar ternodai," batin Satria dengan kesal."Sat, biarkan Arsy sembuh dan membaik dahulu," ujar Nyonya Winata.Belum juga Satria menjawab, Bhista sudah datang dengan langkah panjangnya.
"Hanya kau yang bisa membujuk Arsy. Kita coba dahulu," paksa Bhista."Siapa yang menjemputnya untuk tinggal? Apakah ibuku?" desak Satria."Aku. Dia juga tak tahu jika aku istrimu. Aku berada di sana sebagai sekretarismu dan kumohon jangan buat aku dalam keadaan sulit. Aku akan bertahan," jelas Bhista."Kau benar-benar sudah gila, Bhis. Kau membuat keadaan pernikahan kita seperti neraka. Ini baru dua minggu. Bahkan kita belum bulan madu. Kau sudah menyusupkan wanita itu dalam rumah tangga kita." Satria mencecar Bhista dengan berbagai hal."Tak ada jalan lain lagi," kata Bhista."Ayo hentikan, Bhis. Kita akan segera pulang dan menghentikan semua kesalahan ini," ajak Satria."Bukan hanya aku yang menginginkan hal ini. Ibu juga tampak lebih baik setelah Arsy tinggal di rumah kita, dia lega setiap saat bisa melihat Arsy," jelas Bhista."Omong kosong. Aku tak peduli dengan apapun pendapatmu," sahut Satria.Air mata Bhista menitik lag
Waktu berlalu, hari ini Satria mendarat dari Jerman. Kerinduannya yang mendalam pada Bhista harus ditunda beberapa jam karena Lucky terlanjur membuat janji dengan seseorang di sebuah restoran."Apa ini lebih penting dari istriku?" tanya Satria."Entahlah," jawab Lucky.Hati Lucky merasa sangat tak enak. Dia hanya melakukan apa yang dia bisa lakukan. Bhista meminta Lucky membawa Satria mampir sebelum sampai rumah. Ini adalah cara agar Satria bisa bekerja sama demi Arsy."Aku tak yakin Satria mau mengerti, tapi setidaknya Satria bisa membuat keputusan yang tepat sebelum dia benar-benar menghadapi apa yang ada di rumahnya," batin Lucky.Mobil melaju ke restoran tempat di mana janji bertemu dibuat Bhista sudah duduk dengan segala kerinduan dan kegelisahannya. Dia tak yakin bisa mengatakan apa yang bisa dia katakan. Hanya saja tak ada jalan lain, ini adalah keputusan penting.Bhista terus mengelus lengannya pelan. Tampak sekali dia sedang sangat
Bhista dan Arsy selesai pemeriksaan dan mereka menuju ruang dokter membawa amplop hasil laboratorium. Arsy memegang erat tangan Bhista. Sedikit tak nyaman bagi Bhista, tapi tak ada pilihan lain. Arsy datang bersamanya dan hanya dia yang bisa menjadi tempat sandaran gadis itu."Ah, sudah keluar hasilnya?" tanya dokter.Bhista memberikan amplop itu. Dokter segera membuka amplop itu dan tiba-tiba kenyitan muncul di keningnya."Apa ada yang salah, Dok?" tanya Arsy.Dokter mengambil posisi yang tegak dan baik. Dia seperti hendak bersiap menjelaskan sesuatu."Nona, kankermu sudah masuk stadium akhir dan ini sangat mengkhawatirkan. Anda harus menjalani pengobatan rutin dan harus dalam pantauan dokter," jelas dokter.Seketika air mata menitim dari mata bening gadis itu. Hasil pemeriksaan saat ini sama persis dengan hasil pemeriksaan terakhirnya di Amerika."Sudah kuduga, aku merasa tubuhku semakin lemah akhir-akhir ini. Aku akan pikirkan dan
Bhista memutar lengannya untuk mengetahui jam berapa sekarang. Janjinya pada Arsy semalam membuatnya yak konsentrasi bekerja."Ada apa? Kau tampak melihat jam terus," tanya Rihani."Aku ada janji sebelum jam sepuluh. Semetara waktu batalkan meeting sebelum jam satu siang ini," titah Bhista."Baiklah," jawab Rihani segera membatalkan satu meeting dengan bagian pemasaran.Bhista segera meriah tas selempangnya dan berjalan menuju basement untuk mengambil mobil. Dia memiliki setengah jam sebelum jadwal bertemu dokter."Aku sudah jatuh terlalu dalam. Penderita Arsy membuatku begitu iba," batin Bhista berulang kali.Pikirannya masih saja dipenuhi dengan keadaan Arsy yang begitu menyayat hatinya. Ditengah perjalanan ponselnya berdering. Arsy menelpon dengan dalih khawatir Bhista tak segera sampai."Tunggu sepuluh menit lagi, aku segera sampai," kata Bhista."Baiklah," jawab Arsy.Arsy turun dan menemui Nyinyiran Winata. Dia ber
Hari berlalu, seperti biasanya Bhista hanya digambar mati di rumah mertuanya. Hatinya seperti teriris melihat ibu mertuanya begitu memanjakan Arsy."Kapan Satria akan kembali, Bu?" tanya Arsy."Belum tahu, Nak. Dia sangat sibuk hingga tak menjawab panggilan telepon Ibu," balas Nyonya Winata sembari menatap sinis ke arah Bhista.Mungkin Nyonya Winata pikir Bhista banyak berhubungan dengan suaminya, walau kenyataannya Bhista juga mencoba menghindar dari Satria."Banyak sekali kecurigaan di matanya. Apa ibu pikir aku banyak bicara pada Satria? Bahkan lewat sambungan telepon pun aku begitu merasa takut," batin Bhista.Makan malam berlalu, kesibukan Bhista di kantor hari ini membuatnya sangat lelah hingga dia memilih segera masuk kamar setelah menyelesaikan makan malam."Sayang, istirahatlah dahulu. Biar bibi yang membereskan ini," kata Nyonya Winata.Bhista yang semula hendak masuk kamar menjadi merasa harus membereskan meja makan.