Bhista melihat ke arah Satria yang tampak sangat kesal. Pria itu berkali-kali melayangkan pandangan sinis pada ibunya. Berulang kali dia sudah mencoba mengutarakan sesuatu. Tapi selalu saja kalah dengan suara ibunya.
"Hentikan, Ibu! Hentikan semuanya! Apa yang Ibu katakan? Ibu menyakiti Bistha dan menodai pernikahan kami. Aku tak akan menikah lagi dengan siapa pun. Jangan gegabah dan jangan membuat keadaan semakin sulit!" bentak Satria.
"Tapi, Nak, dia sakit," mohon Nyonya Winata.
“Bagaimana bisa Ibu sampai berurai air mata seperti itu? Dia pasti sangat mencintai Arsy, hingga tega melakukan ini semua padaku,” batin Bhista.
Pernikahan Bhista dengan Satria baru berjalan delapan hari, tapi mengapa badai ini sudah membuatnya ingin berhenti? Saat Bhista mati-matian berusaha membuka hatinya, tapi keadaan justru berbalik seperti ini. Hatinya memang masih terlalu kaku untuk Satria. Namun, pernikahan ini adalah komitmen terbesar dalam hidupnya yang harus dia jaga sampai maut menjemput.
"Ibu, apa ini semua karena aku tak bisa menjadi istri yang baik untuk putramu? Apa karena aku mementingkan pekerjaan dari pada menjadi istri yang berada di rumah dan melayani suamiku setiap saat?" tanya Bhista.
"Maafkan Ibu tentang itu, Nak. Sungguh bukan karena itu. Ini semua karena janji Ibu pada mendiang Ibu Arsy. Hanya itu," jelas Nyonya Winata.
Hati Bhista sudah hampir meledak. Dia benar-benar dibuat marah dengan keinginan tak lazim ibu mertuanya.
"Janji? Semata demi sebuah janji?" lirih Bhista.
Nada bicara Bhista terdengar lembut dan juga halus. Sangat berbeda dengan hatinya yang berkecamuk luar biasa. Bhista berpindah dari hadapan ibu mertuanya itu.
"Ingkari saja janji itu, Ibu. Lagi pula Ibu Arsy sudah meninggal. Kurasa tak ada gunanya memikirkan orang yang sudah meninggal. Kita harus memikirkan yang terbaik dari pada membuat keadaan semakin keruh," jawab Bhista pada akhirnya. Dia tak bisa menahan diri lagi.
Nyonya Winata membelalakan matanya mendengar perkataan Bhista yang menurutnya kasar dan arogan. Satria pun tampak sangat kaget isrtinya bisa berbicara setegas dan setajam itu.
"Sayang," ujar Satria meredam emosi istrinya.
"Akal sehat Ibu sudah hilang. Bagaimana bisa Ibu menghancurkan rumah tangga putra Ibu sendiri dengan permintaan seperti itu?" sebut Bhista.
"Ibu berjanji ini tak akan lama, usianya tak lama lagi. Dan Ibu mohon kalian mengerti," jelas Nyonya Winata.
"Apa sekarang Ibu sudah menjadi Tuhan yang bisa menentukan usia seseorang?" cecar Bhista dengan menahan emosinya.
"Jangan bertele-tele lagi. Ini semua semata demi hidup Arsy. Apa kalian akan merelakan sisa usianya untuk menderita? Apa tak bisa bersandiwara sebentar saja dan menikah dengan dia?" hardik Nyonya Winata.
"Aku tak akan menikahinya, Ibu, aku hanya mencintai istriku," sahut Satria dengan nada tinggi dan tegas.
Bhista tersenyum menang mendengar penolakan suaminya. Dia menyilangkan tangannya di dada dan tanpa sengaja pandangan matanya bertemu dengan sang ibu mertua.
"Kau tak hanya wanita yang buruk, kau juga sangat kejam," bentak Nyonya Winata sembari menunjuk wajah menantunya itu.
Nyonya Winata berjalan keluar kamar Satria dengan hati yang penuh emosi dan pikiran kalut. Bhista melengguh keras, hatinya semakin berkecamuk. Bagaimana bisa dia berbagi suami dengan alasan kesehatan gadis itu. Walau dia belum mencintai Satria, tapi bukan berarti dia akan dengan mudah merelakan suaminya menjadi milik orang lain selain dirinya.
Satria mendekati istrinya dan mulai membelai lembut punggungnya. Dia merasa harus menjelaskan sesuatu pada Bhista.
"Tenangkan dirimu setelah itu kita bicara," katanya lembut.
"Bicara? Apa ada yang perlu dibicarakan?" desak Bhista.
Satria menatap sendu wanita yang baru delapan hari dia nikahi itu. Rasa cinta pria itu begitu besar pada Bhista. Dia tak pernah berpikir untuk pergi sedikitpun walau Bhista belum mencintainya sekalipun.
"Menurutmu?" tanya Satria.
"Tidak ada jika tentang wanita itu," jawab Bhista.
"Bukan tentang itu. Tentang keberangkatanku esok," kata Satria.
Bhista terpana, dia tak menyangka suaminya begitu pandai membalikkan suasana hatinya. Satria sengaja mengganti topik agar istrinya itu tak banyak berpikir tentang permintaan konyol Nyonya Winata.
"Semua keperluanmu sudah aku masukan koper. Visa dan paspor juga sudah ku siapkan di nakas. Hanya perlu memasukan pada dompetmu agar tak tercecer," jelas Bhista.
Satria mengangguk, bagaimana pun dia merasa sangat bersalah atas apa yang ibunya katakan pada Bhista. Satria berusaha membuat istrinya melupakan perkataan ibunya dengan mengajak keluar menikmati udara malam.
"Ingin keluar sebentar? Udara malam terkadang bisa membuat hati lebih tenang," ajak Satria.
Bhista mengiyakan ajakannya karena ia juga butuh penghiburan. Namun tiba-tiba Bhista berpikir jika Satria melakukan semua ini untuk membuat suasana tenang sebelum badai. Ketakutan yang amat membuat hatinya sedikit bergidik.
"Jangan katakan kau melakukan ini karena kau akan setuju dengan keinginan konyol Ibu itu," hardik Bhista.
Satria tersenyum mendengar kecurigaan istrinya. Senyumnya begitu pasi mengisyaratkan sebuah teka-teki.
* * *"Aku akan pergi esok, bukankah kau akan merinduku?" seloroh Satria. "Aish," jawab Bhista. Pria ini selalu berhasil membuat Bhist merasa lebih baik setelah dihantam masalah besar. Satria membuatnya lupa akan permintaan ibu mertuanya itu. Tak hanya itu, Satria juga meyakinkan Bhista jika dia tak akan pernah menikah dengan siapapun apapun alasannya. Dan seperti biasanya Bhista pun percaya padanya. "Aku tak akan memaksa kau percaya apapun. Aku tahu semua sangat sulit. Kau menghadapi ibu yang begitu menekanmu untuk berbagai situasi," kata Satria. "Kau benar, situasi sulit yang ku hadapi tak seberapa. Aku merasa sangat hangat dan tenang saat berada di sisimu. Kita memiliki banyak sekali jarak sebelum ini. Bahkan kau tahu, hatiku masih sangat kaku untuk membuka hatiku untukmu," jelas Bhista. "Aku mengerti, kita menikah dengan kondisi yang seadanya. Dan aku juga tahu benar, kau menerimaku karena wasiat ayahmu," jawab Satr
Malam itu Bhista membuat pengakuan yang sungguh mengejutkan bagi seorang Satria Winata. Pria itu tampak begitu bahagia. Saat prahara datang dan Satria merasa di persimpangan yang sulit, istrinya mengatakan jika dia mulai bisa membalas cintanya."Terima kasih kau sudah mencobanya, Sayang," ucap Satria."Aku banyak berpikir saat aku mulai bekerja kemarin, aku merasakan waktu yang kita lewatkan bersama membuatku merasa hampa dan sendiri. Aku merasa mulai terbiasa dengan kehadiranmu di sisiku." Bhista menyadari akan segala hal yang Satria berikan."Ah, sungguh?" tandas Satria."Terima kasih sudah membuatku merasa berarti dan merasa dinantikan," ucap Bhista."Baiklah, pengakuanmu sudah cukup membuatku yakin untuk melakukannya malam ini, Nyonya Satria," canda Satria."Aish," lirih Bhista sedikit malu. Dia memalingkan wajahnya ke arah lain. Dan tanpa sengaja Bhista melihat Pandu yang tengah turun dari mobil untuk
Penerbangan Satria ditunda hingga sore karena cuaca buruk. Saat ini dia tengah menyetak beberapa dokumen yang ia revisi dari Lucky. Bhista sengaja tak masuk bekerja untuk membantunya menyiapkan keperluannya."Ah, maafkan aku, Sayang. Kau sampai tak masuk bekerja," kata Satria."Bukan masalah, aku sudah menelpon Kak Adit dan dia bisa mengerti," jelas Bhista."Terima kasih, Sayang," ujar Satria"Apa kau butuh dasi cadangan? Hanya ada dua dasi di kopermu," tanya Bhista lembut."Aku butuh kau ikut denganku, Sayang, bisakah kau masuk koper itu dan turut dalam perjalananku?" canda Satria."Curang sekali, kenapa tak membelikan aku tiket tapi memintaku masuk koper untuk kau bawa?" balasnya."Sungguh kau akan ikut jika aku membelikanmu tiket?" tanya Satria serius."Perjalananmu hanya dua hari, kurasa terlalu merepotkan jika aku ikut. Aku akan menunggumu sampai kembali," jelas Bhista.
Hati Bhista seperti dirutuki mendengar suara ibu mertuanya yang begitu menyedihkan. Bhista yakin hati Nyonya Winata benar-benar tengah gundah. Terlebih dia juga sangat menyayangi Arsy. Pikiran Bhista sekilas melayang membayangkan apa yang bisa ia lakukan demi meringankan beban yang ibu mertuanya pikul saat ini."Haruskah aku berbicara pada Satria demi ibu atau aku tetap harus bersikap seperti semalam yang menolak keras keinginan ibu itu?" batinnya berulang-ulang.Suasana begitu canggung. Nyonya Winata menatap Bhista seperti memaksa menantunya itu mengatakan sesuatu."Ayah, aku sangat bingung. Apa yang harus ku lakukan. Satu sisi aku tak ingin berbagi suami, disisi lain aku sangat sakit melihat ibu begitu kecewa," tanya Bhista pada ayah mertuanya.Dia bertanya karena saat ini hanya Tuan Winata lah yang dalam posisi netral."Kau tahu aku sangat kecewa padamu, tapi mengapa kau tetap bersikeras tak bisa membagi suamimu? Ta
Tok ... Tok ... Tok ...Seseorang mengedor pintu kamar dan membuat dua insan yang hampir berciuman itu terkejut."Aish, siapa yang datang?" omel Satria.Dia segera bangkit dan membuka pintu."Mobil sudah siap, Kak. Ayo segera turun. Kita akan segera ke bandara," kata Lucky."Hyak, apa tak bisa datangnya nanti setelah istriku memberiku kecupan manis dibibirku?" omel Satria.Suara tawa Lucky memecah keheningan."Oke.Masuk dan lanjutkan ciuman itu. Kuberi waktu sepuluh menit. Setelah itu aku akan datang lagi untuk membawa kopermu turun," kata Lucky dengan santai.Satria menutup pintu dan menghampiri istrinya yang sedang duduk di tepi ranjang itu. Tanpa aba-aba suami Bhista itu menyerang istrinya dengan brutal."Kita hanya punya waktu sepuluh menit sebelum si brengsek itu kembali, ayo manfaatkan," bisik Satria.Mereka merengkuh nikmatnya ciuman dan sentuhan dalam waktu sep
Mobil Bhista memasuki halaman kediaman Winata yang tak lain adalah rumah suaminya sendiri. Saat dia melangkah masuk terasa ada yang aneh. Setelah dia amati, ibu mertuanya menyimpan semua foto pernikahannya dengan Satria. Belum ada lima hari foto-foto itu di gantung kini sudah harus diturunkan."Baru beberapa hari yang lalu, orang studio mengantarnya. Sudah harus diturunkan," batin Bhista menyayat hati.Dia berjalan masuk dan tiba-tiba ibunya menghentikan langkahnya."Kau tidurlah di kamar sebelah kamar Satria, agar Arsy tak curiga," bisik ibu mertua Bhista.Dia tak bisa menolak, "Baiklah, Ibu."Setelah beberapa hari lalu Bhista terabaikan, kini dia telah terusir dari kamarnya sendiri. Bhista membawa beberapa berkas yang harus ia kerjakan. Bhista juga membawa alat cetak dokumen dari kamar Satria ke kamar barunya. Batin Bhista sedikit perih, tapi dia mencoba menepis segalanya demi kewarasannya sendiri."Ini keputu
Saat hendak berangkat ke perusahaan ponsel Bhista berdering. Siapa lagi kalau bukan Satria yang menelponnya. Bhista sengaja mengabaikannya karena dia masih berada di sekitar rumah. Dia terlalu takut Arsy melihatnya bertelepon mesra bersama suaminya sendiri. "Siapa yang menelpon? Mengapa diabaikan?" tanya Arsy. "Bukan siapa-siapa, hanya orang perusahaan. Bisa ku jawab nanti," dusta Bhista. "Pasti Satria yang menghubunginya," batin Nyonya Winata. Ibu mertua Bhista itu sengaja meraih ponselnya. "Bukankah, Satria sudah sampai? Aku akan menelponnya," ujar Nyonya Winata. Bhista menghentikan kunyahan makanannya. Dia melirik sadis ke arah ibu mertuanya itu. "Aku sudah selesai, ada beberapa hal yang harus segera aku tangani. Aku berangkat sekarang," pamit Bhista. Bhista melajukan mobilnya menuju perusahaan sembari menghubungi Satria lagi. Beberapa kali tak terhubung, mungkin karena dia sedang dalam panggilan bersama ibunya. Saat
Bhista sampai rumah dengan wajah lusuhnya. Dia malas sekali pulang tapi tak ada pilihan lain. Dia membuka pintu, nampak ibu mertuanh sedang memangku kepala Arsy di sofa ruang tengah. Mereka seperti ibu dan putrinya yang sedang saling memberi perhatian."Selamat malam, Ibu. Maaf aku pulang terlambat," ujar Bhista."Dari mana kau baru pulang?" tanya Nyonya Winata."Ada beberapa hal yang harus ku selesaikan, dan sepulang bekerja aku mampir ke rumah sahabatku," jawab Bhista jujur."Apa kau sudah makan malam? Makanlah, aku akan menghangatkan makanan untukmu adikku," kata Arsy.Apa ini, dia memanggil Bhista dengan panggilan adik dan memberinya perhatian yang lebih. Apa ini bagian dari rencananya untuk menyingkirkannya."Aku sudah makan, aku makan malam bersama sahabatku. Aku akan ke kamar," jawab Bhista menolak.Arsy bangun dari baringannya dan menuntun Bhista ke dapur. Dia benar-benar memaksa Bhista makan malam. Tak ada raut benci di wajah
Di tengah malam yang dingin, Bhista teringat jika dia berjanji akan ke kamar Satria setelah Arsy tidur. Dia segera turun dari ranjang perlahan agar tak membangunkan gadis manis yang sudah tertidur lelap itu."Aku akan ke sana sekarang," batin Bhisat.Dengan langkah kaki yang pelan dan hampir tak terdengar, Bhista menuju pintu berwarna putih itu. Dia membukanya secara perlahan dan segera keluar tanpa suara. Setelah sampai di luar dia menghela napas kasarnya."Aku beruntung, Arsy sangat lelap hingga dia tak terbangun." Bhista mengoceh sendiri.Baru saja dia akan melangkah, seseorang menepuk pundaknya. Dia merasa begitu kaget hingga hampir saja meninju orang itu."Lama sekali, aku hampir mati menunggumu," omelnya.Satria segera menarik Bhista menuju kamarnya. Suara pintu yang terkunci menandakan mereka berdua sudah masuk dan tak ingin diganggu.Bisa duduk di tepi ranjang besar kamar itu. Dia begitu rindu dengan hangatnya ranjang yang sel
Arsy selesai makan dan membuka pintu kamar Bhista. Dia melihat teman sekamarnya itu masih sibuk dengan pekerjaan kantornya."Sambil makan ini, Bhis. Biar tak terlalu tegang," kata Arsy sembari memberikan sebuah wadah plastik berisi potongan buah melon."Ah, terima kasih," jawab Bhista menerima wadah itu dan meletakan di mejanya."Kau membawa pekerjaan pulang. Apa terlalu sibuk di kantor?" tanya Arsy."Ada beberapa hal yang harus kupersiapkan untuk meeting besok," jawab Bhista."Satria ada meeting besok?" desak Arsy lagi.Bhista lupa jika Arsy tak tahu dia memegang perusahaan sendiri."Ah, bukan. Ini meeting staf," bohong Bhista beralasan."Kau pasti repot menjadi sekretaris Satria. Dia pria yang perfeksionis walau terlihat lembut. Dahulu Lucky sering mengeluh padaku," kenang Arsy."Benarkah, sekarang mungkin masih sama seperti itu," kata Bhista berpura-pura tanggap.&n
Bhista berjalan menuju kamarnya dengan langkah lemah. Hatinya begitu dipenuhi perasaan khawatir hanya saja dia tak boleh lemah. Ini adalah bagian dari rencananya sehingga dia harus bersikap dengan baik."Ayolah, Bhis. Jangan membuat hal kecil menjadi besar. Kau harus mulai terbiasa." Bhista bergumam dalam hati.Baru saja ia rebahkan tubuhnya, Arsy datang dengan membawa barangnya. Dia pindah dari kamar Satria."Bhis, boleh kuletakkan di sini?" tanyanya."Hm, letakkan saja. Aku akan pergi mandi," jawab Bhista dan segera mandi.Arsy menata beberapa bajunya di lemari Bhista dan beberapa barangnya di meja rias juga."Kau ternyata pecinta make-up, Bhis. Banyak sekali peralatan make-up yang kau miliki," lirih Arsy seraya tersenyum.Dia kembali membereskan segalanya. Setelah selesai dia menyimpan kopernya. Tak berselang lama Bhista keluar dari kamar mandi sembari menggosok rambutnya yang basah.
"Selamat datang, Sayang," sambut Nyonya Winata."Terima kasih, Ibu," jawab Satria.Dengan langkah ragu dan terpaksa, Satria masuk dan melinguk kesana kemari. Hatinya terasa tak tenang."Tunggu, Nak," kata Nyonya Winata.Satria menghentikan langkahnya dan memandang ibunya."Arsy tinggal di kamarmu, Ibu membawanya atas keputusan bersama dengan Bhista. Terimalah ini semua, demi Arsy," jelas Nyonya Winata."Di kamarku? Lalu, di mana Bhista tidur?" tanya Satria."Dia berada di kamar tamu sebelah kamarmu, Nak. Ini yang terbaik, karena memang keadaannya begitu rumit," elak Nyonya Winata.Satria tak mampu berkilah. Bisa bahkan tak memberi tahu jika Arsy menempati kamarnya."Kau sudah gila, Bhis. Kau membuat pernikahan kita benar-benar ternodai," batin Satria dengan kesal."Sat, biarkan Arsy sembuh dan membaik dahulu," ujar Nyonya Winata.Belum juga Satria menjawab, Bhista sudah datang dengan langkah panjangnya.
"Hanya kau yang bisa membujuk Arsy. Kita coba dahulu," paksa Bhista."Siapa yang menjemputnya untuk tinggal? Apakah ibuku?" desak Satria."Aku. Dia juga tak tahu jika aku istrimu. Aku berada di sana sebagai sekretarismu dan kumohon jangan buat aku dalam keadaan sulit. Aku akan bertahan," jelas Bhista."Kau benar-benar sudah gila, Bhis. Kau membuat keadaan pernikahan kita seperti neraka. Ini baru dua minggu. Bahkan kita belum bulan madu. Kau sudah menyusupkan wanita itu dalam rumah tangga kita." Satria mencecar Bhista dengan berbagai hal."Tak ada jalan lain lagi," kata Bhista."Ayo hentikan, Bhis. Kita akan segera pulang dan menghentikan semua kesalahan ini," ajak Satria."Bukan hanya aku yang menginginkan hal ini. Ibu juga tampak lebih baik setelah Arsy tinggal di rumah kita, dia lega setiap saat bisa melihat Arsy," jelas Bhista."Omong kosong. Aku tak peduli dengan apapun pendapatmu," sahut Satria.Air mata Bhista menitik lag
Waktu berlalu, hari ini Satria mendarat dari Jerman. Kerinduannya yang mendalam pada Bhista harus ditunda beberapa jam karena Lucky terlanjur membuat janji dengan seseorang di sebuah restoran."Apa ini lebih penting dari istriku?" tanya Satria."Entahlah," jawab Lucky.Hati Lucky merasa sangat tak enak. Dia hanya melakukan apa yang dia bisa lakukan. Bhista meminta Lucky membawa Satria mampir sebelum sampai rumah. Ini adalah cara agar Satria bisa bekerja sama demi Arsy."Aku tak yakin Satria mau mengerti, tapi setidaknya Satria bisa membuat keputusan yang tepat sebelum dia benar-benar menghadapi apa yang ada di rumahnya," batin Lucky.Mobil melaju ke restoran tempat di mana janji bertemu dibuat Bhista sudah duduk dengan segala kerinduan dan kegelisahannya. Dia tak yakin bisa mengatakan apa yang bisa dia katakan. Hanya saja tak ada jalan lain, ini adalah keputusan penting.Bhista terus mengelus lengannya pelan. Tampak sekali dia sedang sangat
Bhista dan Arsy selesai pemeriksaan dan mereka menuju ruang dokter membawa amplop hasil laboratorium. Arsy memegang erat tangan Bhista. Sedikit tak nyaman bagi Bhista, tapi tak ada pilihan lain. Arsy datang bersamanya dan hanya dia yang bisa menjadi tempat sandaran gadis itu."Ah, sudah keluar hasilnya?" tanya dokter.Bhista memberikan amplop itu. Dokter segera membuka amplop itu dan tiba-tiba kenyitan muncul di keningnya."Apa ada yang salah, Dok?" tanya Arsy.Dokter mengambil posisi yang tegak dan baik. Dia seperti hendak bersiap menjelaskan sesuatu."Nona, kankermu sudah masuk stadium akhir dan ini sangat mengkhawatirkan. Anda harus menjalani pengobatan rutin dan harus dalam pantauan dokter," jelas dokter.Seketika air mata menitim dari mata bening gadis itu. Hasil pemeriksaan saat ini sama persis dengan hasil pemeriksaan terakhirnya di Amerika."Sudah kuduga, aku merasa tubuhku semakin lemah akhir-akhir ini. Aku akan pikirkan dan
Bhista memutar lengannya untuk mengetahui jam berapa sekarang. Janjinya pada Arsy semalam membuatnya yak konsentrasi bekerja."Ada apa? Kau tampak melihat jam terus," tanya Rihani."Aku ada janji sebelum jam sepuluh. Semetara waktu batalkan meeting sebelum jam satu siang ini," titah Bhista."Baiklah," jawab Rihani segera membatalkan satu meeting dengan bagian pemasaran.Bhista segera meriah tas selempangnya dan berjalan menuju basement untuk mengambil mobil. Dia memiliki setengah jam sebelum jadwal bertemu dokter."Aku sudah jatuh terlalu dalam. Penderita Arsy membuatku begitu iba," batin Bhista berulang kali.Pikirannya masih saja dipenuhi dengan keadaan Arsy yang begitu menyayat hatinya. Ditengah perjalanan ponselnya berdering. Arsy menelpon dengan dalih khawatir Bhista tak segera sampai."Tunggu sepuluh menit lagi, aku segera sampai," kata Bhista."Baiklah," jawab Arsy.Arsy turun dan menemui Nyinyiran Winata. Dia ber
Hari berlalu, seperti biasanya Bhista hanya digambar mati di rumah mertuanya. Hatinya seperti teriris melihat ibu mertuanya begitu memanjakan Arsy."Kapan Satria akan kembali, Bu?" tanya Arsy."Belum tahu, Nak. Dia sangat sibuk hingga tak menjawab panggilan telepon Ibu," balas Nyonya Winata sembari menatap sinis ke arah Bhista.Mungkin Nyonya Winata pikir Bhista banyak berhubungan dengan suaminya, walau kenyataannya Bhista juga mencoba menghindar dari Satria."Banyak sekali kecurigaan di matanya. Apa ibu pikir aku banyak bicara pada Satria? Bahkan lewat sambungan telepon pun aku begitu merasa takut," batin Bhista.Makan malam berlalu, kesibukan Bhista di kantor hari ini membuatnya sangat lelah hingga dia memilih segera masuk kamar setelah menyelesaikan makan malam."Sayang, istirahatlah dahulu. Biar bibi yang membereskan ini," kata Nyonya Winata.Bhista yang semula hendak masuk kamar menjadi merasa harus membereskan meja makan.