“Apa yang kau bicarakan? Sudah, ayo! Para orang tua menunggu,” ujar Bhista mengalihkan pembicaraan. Dia kemudian menarik Satria menjauh dari altar.
Satria menelan kembali pertanyaan yang hendak dia ajukan, lalu melirik tangannya yang digandeng Bhista. Melihat itu, dia jadi tak bisa menahan senyum. Sementara di lain sisi, ada Pandu yang menyaksikan Bhista dan Satria dari kejauhan. Pria itu menahan nyeri di dada ketika melihat Bhista memegang erat tangan Satria."Suasana pesta begitu meriah, tapi hatiku terasa sangat sepi. Sungguh ironis. Wanita yang aku cintai baru saja mengikrarkan janji suci di hadapan Tuhan untuk mendampingi pria lain," batin Pandu.Tapi kini dia jauh lebih baik karena pertemuannya dengan Satria beberapa hari yang lalu. Pikirannya melayang mengingat pembicaraan mereka berdua. "Ah, kau sudah menerima undangannya?" tanya Satria. "Benar, aku datang untuk mengatakan selamat, dan kupastikan aku akan datang," jawab Pandu. "Terima kasih kau sudah berbesar hati untuk ini semua," ujar Satria. Pandu menarik napas panjang. "Jaga dia, Bhista adalah wanita yang sering ceroboh. Dia mudah sekali merasa tak enak dan sering sekali mengalah. Dia juga selalu menyembunyikan sakit hatinya," jelas Pandu. "Hm ... aku mengerti. Terima kasih sudah memberitahu banyak hal tentang Bhista. Aku berjanji padamu. Aku akan menjaga dan mencintai dia apa pun yang terjadi," jawab Satria. Lamunannya membuyar saat Adit menepuk bahunya. Senyum manis Pandu sunggingkan untuk menyapa Adit. "Terima kasih sudah datang," kata Adit. "Mana mungkin aku tak datang pada pesta pernikahan adik sahabatku," jawab Pandu. Mereka kemudian duduk semeja dan mengobrol. Persahabatan mereka memang tak pernah lekang oleh masalah apa pun.Di sisi lain, haru biru sedang melanda Nyonya Sintya."Selamat, Sayang. Semoga kau bahagia selamanya," ucap Nyonya Sintya seraya memeluk putrinya. "Terima kasih, Ibu. Apa kau bahagia melihat putrimu menjadi seorang istri sekarang?" canda Bhista. "Tentu saja Ibu bahagia. Dan pasti ayahmu juga sangat bahagia," sahut Nyonya Sintya sambil mengusap lembut lengan Bhista. "Ayo Ibu, kita foto bersama," ajak Satria sambil menarik lembut mertuanya itu untuk berdiri di antara dirinya dan Bhista. Satria memperlakukan Nyonya Sintya dengan sangat sopan dan lembut. Dia bahkan tanpa sungkan berpose dengan memeluk Nyonya Sintya erat saat fotografer mulai menghitung. "Astaga, putra Ibu," kata ibu mertua Satria itu. "Ibu, apa kau bahagia? Aku sudah resmi menjadi menantumu. Jangan khawatir lagi tentang putrimu, karena aku akan menjaga dia selamanya," kata Satria sambil mengantar mertuanya turun dari pelaminan. "Tentu saja, Nak. Kau pria sempurna untuk putriku," sahut Nyonya Sintya. "Pria itu benar-benar memperlakukan ibuku dengan sangat baik. Dia sangat istimewa," batin Bhista yang masih berada di pelaminan. Saat tengah fokus memperhatikan mereka, seseorang menepuk pundak Bhista. "Ah ... Kakak! Kau mengagetkanku," katanya saat tahu Adit yang menepuk pundaknya. "Kau gelisah? Mengapa wajahmu seperti itu?" tanya Adit. "Lihat mereka, Kak. Satria begitu menyayangi Ibu, dan sebaliknya. Tapi, mengapa hatiku masih sangat kaku untuk menerimanya?" keluh Bhista. Adit meraih bahu adik perempuannya itu dan menatap lembut kedua matanya. "Maafkan aku, maafkan jika aku tak bisa menghentikan pernikahan ini untukmu," sesal Adit. "Tidak, ini keputusanku. Aku ingin Ibu dan Ayah bahagia, karena putrinya bisa memenuhi permintaan mereka untuk menjadi menantu keluarga Winata," jelas Bhista. "Lihatlah di sana! Pandu datang bersama temanku yang lain. Dia juga tampak sangat terluka. Kakak yakin dia masih sangat mencintaimu," kata Adit. "Aku tak ingin melihatnya. Semakin aku melihatnya, semakin sulit bagiku untuk membuka hati untuk Satria," elak Bhista. Adit memeluk Bhista dengan erat. Dia merasa tak berdaya melihat adiknya mengorbankan cintanya yang besar pada Pandu untuk menikahi pria pilihan orang tua mereka. "Jalani semua dengan baik. Bicaralah padaku jika kau merasa tak bisa lagi menjalani ini semua. Kakak akan selalu ada untukmu," lirih Adit. Bhista mengangguk seraya menghapus air matanya yang hampir saja jatuh. "Jangan menangis, atau make up ini akan luntur," kata Rihani, sahabat masa kecil Bhista yang hingga kini selalu menemani dan mendukungnya. Selain bersahabat, Rihani juga sekretaris Bhista. Perempuan itu tahu segalanya tentang Bhista. Dan sepertinya, Rihani akan membuat Bhista menangis hari ini. Sahabatnya itu datang bersama suami dan putri kecilnya. "Selamat, Bhista," ucap Rihani seraya merebut Bhista dari pelukan Adit. Keduanya berpelukan hangat begitu lama. "Selamat, Bhista. Suamimu sangat baik dan penyayang, kau pasti akan bahagia," imbuh Raka, suami Rihani. Ucapan Raka membuat Bhista mengingat kejadian pagi tadi. Dia pikir, tadi dia ketahuan menangis gara-gara Pandu. Namun, Satria malah menggodanya dengan mengatakan bahwa kemungkinan dia takut dengan obrolan malam pertama yang memang sedang dibahas oleh keluarganya di salah satu sudut ruangan. Ya, suaminya itu memang sangat baik. Pikirannya terlalu banyak terisi hal-hal positif. "Bhis ….""Eh, iya. Terima kasih, Kak.” Bhista mengembuskan napas pelan. "Ah ... kalian membawa Alesya. Astaga, kau sangat cantik, Sayang. Aku sangat merindukanmu," kata Bhista sambil mencubit lembut pipi batita yang berada dalam gendongan ayahnya itu. Dari arah depan, Satria berjalan menghampiri mereka selepas mengantar ibu mertuanya kembali ke tempat duduk. "Ah, ada Rihani di sini," sapa Satria. "Hei, Tuan Winata. Jaga dia dan jangan pernah menyakitinya. Biarkan dia tetep di negara ini. Jangan bawa dia pergi jauh dariku!" hardik Rihani. "Tentu saja. Jangan khawatir. Aku juga hanya percaya padamu untuk jadi sekretarisnya," jawab Satria sambil menarik bahu Bhista dalam rangkulannya. Rihani melirik sadis, dia tak ingin kehilangan sahabat sekaligus bosnya itu. Bhista tersenyum melihat mereka saling menatap tajam. Kemudian, satu persatu tamu lain menyapa dan memberi selamat pada pengantin. Dan tak lama setelahnya, mereka mulai turun ke lantai dansa untuk menikmati malam puncak pernikahan itu. Begitu juga dengan Satria dan Bhista. "Kau pandai berdansa," puji Satria sembari mengeratkan rangkulannya di pinggang Bhista. "Saat SMA, aku mengambil kelas dansa karena suka," jawab Bhista.Lalu, pikirannya melayang pada kejadiaan beberapa tahun silam. Dia ingat sekali bahwa kelas dansa itulah yang menjadi awal hubungannya dengan Pandu. "Kau seperti sengaja membuatku ingat, jika aku menyemai benih cintaku pada Pandu melalui eskul dansa," batin Bhista. "Ayo bertukar pasangan! Pasti akan lebih seru," teriak Adit seakan sengaja.Adit membuat permainan bertukar pasangan di tengah acara dansa. Adit ingin Bhista mengucapkan kata terakhir untuk Pandu yang juga sahabat karibnya. Dan setelah beberapa putaran, Bhista akhirnya jatuh dalam pelukan Pandu. "Ah, kau datang? Bagaimana kabarmu?" sapa Bhista berbasa-basi. Dia pura-pura tidak melihat Pandu sebelumnya. "Seperti yang kau lihat. Aku hancur dan menyedihkan," jawab Pandu. Bhista diam walau kakinya masih terus bergerak mengikuti irama. "Selamat, Bhista. Semoga ini yang terbaik untumu. Berbahagialah bersama suamimu," ucap Pandu sambil menatap dalam kedua bola mata Bhista. "Terima kasih. Kau juga. Berbahagialah," balas Bhista. Pandu masih menantap lekat Bhista sembari mengeratkan rangkulannya di pinggang perempuan yang masih sangat dia cintai itu. Jarak di antara mereka hanya tinggal beberapa inchi saja, dan hal itu terus membuat jantung Bhista berdebar kencang. Tatapan tajam Satria dari sudut lain membuat suasana terasa canggung. "Mereka dekat sekali, apa dia mengambil kesempatan?" batin Satria."Kau lelah? Ini sangat menyenangkan," kata Satria penuh semangat ketika Bhista sudah kembali ke pelukannya."Kau benar, ini menyenangkan. Apa kau bahagia?" tanya Bhista."Tentu saja," jawab Satria sembari mendaratkan kecupan mesra di kening istrinya.Kemudian, setelah hampir satu jam berdansa, Satria dan Bhista beristirahat di kursi tamu seraya mengobrol. Sesekali Satria meneguk wine dari gelas yang dia pegang. Wajahnya sudah sangat merah saat ini. Mungkin pria itu sudah mabuk. Namun, Satria tampak kuat. Meski tengah mabuk, dia masih bisa bersikap tenang dan tampak waras."Mati aku! Dia mabuk. Apa yang akan terjadi malam ini?" batin Bhista khawatir.Bhista mulai meremas lembut gaunnya ketika membayangkan tidur seranjang dengan suami yang belum dia cintai ini. Apalagi saat ini Satria sedang mabuk, meski masih tampak baik-baik saja."Sudah larut, Sayang. Kau harus istirahat," kata Satria."Kau ingin kita masu
Pernikahan Bhista dengan Satria sudah berjalan seminggu. Hari ini mereka harus kembali pada aktivitas sebagai seorang penanggung jawab perusahaan masing-masing.Bhista turun dari kamar dan menuju meja makan untuk sarapan. Ayah dan ibu mertuanya sudah lebih dahulu duduk di sana. Pagi ini dia memang sedikit terlambat. Berkas yang ia butuhkan terlupa belum dicetak, sehingga membuatnya harus mencetak dahulu sebelum turun untuk sarapan."Di mana suamimu?" tanya Nyonya Winata."Dia akan segera turun, Ibu. Dia sedang menerima telepon," jawab Bhista"Selamat pagi Paman, Bibi, dan Bhista," sapa Lucky—sekretaris Satria—yang juga baru datang ke ruang makan."Selamat pagi, Nak," jawab Nyonya Winata lembut."Selamat pagi, Lucky," jawab Bhista singkat."Satria mendapat telepon dari Jerman tentang proyek besar itu Paman. Semoga saja minggu ini kita bisa terbang ke Jerman untuk tanda tangan kontrak kerja sama b
Suasana begitu canggung tak terhindarkan di antara Nyonya Winata, Arsy dan juga Satria. Semuanya terdiam tanpa mengucapkan apapun. Sampai akhirnya Satria memecah keheningan. “Di mana Bhista, Bu?” tanyanya. "Kenapa kau mencarinya, Sayang? Jangan biarkan Arsy menunggu lagi. Dia sudah memasak banyak sekali makanan untuk menunggumu makan malam. Jangan kecewakan dia," kata Nyonya Winata. "Bhista? Siapa dia?" tanya Arsy. "Dia is ...," sahut Satria, tapi segera dipotong oleh Nyonya Winata. "Sekretaris barunya. Abistha adalah sekretaris baru Satria. Ayo kita ke ruang makan. Ibu sudah sangat lapar," ajak Nyonya Winata mengalihkan pembicaraan. Arsy tak merasa curiga sama sekali dengan gelagat dusta Nyonya Winata itu. Dia justru semakin bersemangat karena merasa senang bertemu lagi dengan pria yang hingga kini masih sangat dia cintai. Satria tak diberi kesempatan untuk berbicara sama sekali. Dia merasa kesal da
Bhista melihat ke arah Satria yang tampak sangat kesal. Pria itu berkali-kali melayangkan pandangan sinis pada ibunya. Berulang kali dia sudah mencoba mengutarakan sesuatu. Tapi selalu saja kalah dengan suara ibunya."Hentikan, Ibu! Hentikan semuanya! Apa yang Ibu katakan? Ibu menyakiti Bistha dan menodai pernikahan kami. Aku tak akan menikah lagi dengan siapa pun. Jangan gegabah dan jangan membuat keadaan semakin sulit!" bentak Satria."Tapi, Nak, dia sakit," mohon Nyonya Winata.“Bagaimana bisa Ibu sampai berurai air mata seperti itu? Dia pasti sangat mencintai Arsy, hingga tega melakukan ini semua padaku,” batin Bhista.Pernikahan Bhista dengan Satria baru berjalan delapan hari, tapi mengapa badai ini sudah membuatnya ingin berhenti? Saat Bhista mati-matian berusaha membuka hatinya, tapi keadaan justru berbalik seperti ini. Hatinya memang masih terlalu kaku untuk Satria. Namun, pernikahan ini adalah komitmen terbesar dalam
"Aku akan pergi esok, bukankah kau akan merinduku?" seloroh Satria. "Aish," jawab Bhista. Pria ini selalu berhasil membuat Bhist merasa lebih baik setelah dihantam masalah besar. Satria membuatnya lupa akan permintaan ibu mertuanya itu. Tak hanya itu, Satria juga meyakinkan Bhista jika dia tak akan pernah menikah dengan siapapun apapun alasannya. Dan seperti biasanya Bhista pun percaya padanya. "Aku tak akan memaksa kau percaya apapun. Aku tahu semua sangat sulit. Kau menghadapi ibu yang begitu menekanmu untuk berbagai situasi," kata Satria. "Kau benar, situasi sulit yang ku hadapi tak seberapa. Aku merasa sangat hangat dan tenang saat berada di sisimu. Kita memiliki banyak sekali jarak sebelum ini. Bahkan kau tahu, hatiku masih sangat kaku untuk membuka hatiku untukmu," jelas Bhista. "Aku mengerti, kita menikah dengan kondisi yang seadanya. Dan aku juga tahu benar, kau menerimaku karena wasiat ayahmu," jawab Satr
Malam itu Bhista membuat pengakuan yang sungguh mengejutkan bagi seorang Satria Winata. Pria itu tampak begitu bahagia. Saat prahara datang dan Satria merasa di persimpangan yang sulit, istrinya mengatakan jika dia mulai bisa membalas cintanya."Terima kasih kau sudah mencobanya, Sayang," ucap Satria."Aku banyak berpikir saat aku mulai bekerja kemarin, aku merasakan waktu yang kita lewatkan bersama membuatku merasa hampa dan sendiri. Aku merasa mulai terbiasa dengan kehadiranmu di sisiku." Bhista menyadari akan segala hal yang Satria berikan."Ah, sungguh?" tandas Satria."Terima kasih sudah membuatku merasa berarti dan merasa dinantikan," ucap Bhista."Baiklah, pengakuanmu sudah cukup membuatku yakin untuk melakukannya malam ini, Nyonya Satria," canda Satria."Aish," lirih Bhista sedikit malu. Dia memalingkan wajahnya ke arah lain. Dan tanpa sengaja Bhista melihat Pandu yang tengah turun dari mobil untuk
Penerbangan Satria ditunda hingga sore karena cuaca buruk. Saat ini dia tengah menyetak beberapa dokumen yang ia revisi dari Lucky. Bhista sengaja tak masuk bekerja untuk membantunya menyiapkan keperluannya."Ah, maafkan aku, Sayang. Kau sampai tak masuk bekerja," kata Satria."Bukan masalah, aku sudah menelpon Kak Adit dan dia bisa mengerti," jelas Bhista."Terima kasih, Sayang," ujar Satria"Apa kau butuh dasi cadangan? Hanya ada dua dasi di kopermu," tanya Bhista lembut."Aku butuh kau ikut denganku, Sayang, bisakah kau masuk koper itu dan turut dalam perjalananku?" canda Satria."Curang sekali, kenapa tak membelikan aku tiket tapi memintaku masuk koper untuk kau bawa?" balasnya."Sungguh kau akan ikut jika aku membelikanmu tiket?" tanya Satria serius."Perjalananmu hanya dua hari, kurasa terlalu merepotkan jika aku ikut. Aku akan menunggumu sampai kembali," jelas Bhista.
Hati Bhista seperti dirutuki mendengar suara ibu mertuanya yang begitu menyedihkan. Bhista yakin hati Nyonya Winata benar-benar tengah gundah. Terlebih dia juga sangat menyayangi Arsy. Pikiran Bhista sekilas melayang membayangkan apa yang bisa ia lakukan demi meringankan beban yang ibu mertuanya pikul saat ini."Haruskah aku berbicara pada Satria demi ibu atau aku tetap harus bersikap seperti semalam yang menolak keras keinginan ibu itu?" batinnya berulang-ulang.Suasana begitu canggung. Nyonya Winata menatap Bhista seperti memaksa menantunya itu mengatakan sesuatu."Ayah, aku sangat bingung. Apa yang harus ku lakukan. Satu sisi aku tak ingin berbagi suami, disisi lain aku sangat sakit melihat ibu begitu kecewa," tanya Bhista pada ayah mertuanya.Dia bertanya karena saat ini hanya Tuan Winata lah yang dalam posisi netral."Kau tahu aku sangat kecewa padamu, tapi mengapa kau tetap bersikeras tak bisa membagi suamimu? Ta
Di tengah malam yang dingin, Bhista teringat jika dia berjanji akan ke kamar Satria setelah Arsy tidur. Dia segera turun dari ranjang perlahan agar tak membangunkan gadis manis yang sudah tertidur lelap itu."Aku akan ke sana sekarang," batin Bhisat.Dengan langkah kaki yang pelan dan hampir tak terdengar, Bhista menuju pintu berwarna putih itu. Dia membukanya secara perlahan dan segera keluar tanpa suara. Setelah sampai di luar dia menghela napas kasarnya."Aku beruntung, Arsy sangat lelap hingga dia tak terbangun." Bhista mengoceh sendiri.Baru saja dia akan melangkah, seseorang menepuk pundaknya. Dia merasa begitu kaget hingga hampir saja meninju orang itu."Lama sekali, aku hampir mati menunggumu," omelnya.Satria segera menarik Bhista menuju kamarnya. Suara pintu yang terkunci menandakan mereka berdua sudah masuk dan tak ingin diganggu.Bisa duduk di tepi ranjang besar kamar itu. Dia begitu rindu dengan hangatnya ranjang yang sel
Arsy selesai makan dan membuka pintu kamar Bhista. Dia melihat teman sekamarnya itu masih sibuk dengan pekerjaan kantornya."Sambil makan ini, Bhis. Biar tak terlalu tegang," kata Arsy sembari memberikan sebuah wadah plastik berisi potongan buah melon."Ah, terima kasih," jawab Bhista menerima wadah itu dan meletakan di mejanya."Kau membawa pekerjaan pulang. Apa terlalu sibuk di kantor?" tanya Arsy."Ada beberapa hal yang harus kupersiapkan untuk meeting besok," jawab Bhista."Satria ada meeting besok?" desak Arsy lagi.Bhista lupa jika Arsy tak tahu dia memegang perusahaan sendiri."Ah, bukan. Ini meeting staf," bohong Bhista beralasan."Kau pasti repot menjadi sekretaris Satria. Dia pria yang perfeksionis walau terlihat lembut. Dahulu Lucky sering mengeluh padaku," kenang Arsy."Benarkah, sekarang mungkin masih sama seperti itu," kata Bhista berpura-pura tanggap.&n
Bhista berjalan menuju kamarnya dengan langkah lemah. Hatinya begitu dipenuhi perasaan khawatir hanya saja dia tak boleh lemah. Ini adalah bagian dari rencananya sehingga dia harus bersikap dengan baik."Ayolah, Bhis. Jangan membuat hal kecil menjadi besar. Kau harus mulai terbiasa." Bhista bergumam dalam hati.Baru saja ia rebahkan tubuhnya, Arsy datang dengan membawa barangnya. Dia pindah dari kamar Satria."Bhis, boleh kuletakkan di sini?" tanyanya."Hm, letakkan saja. Aku akan pergi mandi," jawab Bhista dan segera mandi.Arsy menata beberapa bajunya di lemari Bhista dan beberapa barangnya di meja rias juga."Kau ternyata pecinta make-up, Bhis. Banyak sekali peralatan make-up yang kau miliki," lirih Arsy seraya tersenyum.Dia kembali membereskan segalanya. Setelah selesai dia menyimpan kopernya. Tak berselang lama Bhista keluar dari kamar mandi sembari menggosok rambutnya yang basah.
"Selamat datang, Sayang," sambut Nyonya Winata."Terima kasih, Ibu," jawab Satria.Dengan langkah ragu dan terpaksa, Satria masuk dan melinguk kesana kemari. Hatinya terasa tak tenang."Tunggu, Nak," kata Nyonya Winata.Satria menghentikan langkahnya dan memandang ibunya."Arsy tinggal di kamarmu, Ibu membawanya atas keputusan bersama dengan Bhista. Terimalah ini semua, demi Arsy," jelas Nyonya Winata."Di kamarku? Lalu, di mana Bhista tidur?" tanya Satria."Dia berada di kamar tamu sebelah kamarmu, Nak. Ini yang terbaik, karena memang keadaannya begitu rumit," elak Nyonya Winata.Satria tak mampu berkilah. Bisa bahkan tak memberi tahu jika Arsy menempati kamarnya."Kau sudah gila, Bhis. Kau membuat pernikahan kita benar-benar ternodai," batin Satria dengan kesal."Sat, biarkan Arsy sembuh dan membaik dahulu," ujar Nyonya Winata.Belum juga Satria menjawab, Bhista sudah datang dengan langkah panjangnya.
"Hanya kau yang bisa membujuk Arsy. Kita coba dahulu," paksa Bhista."Siapa yang menjemputnya untuk tinggal? Apakah ibuku?" desak Satria."Aku. Dia juga tak tahu jika aku istrimu. Aku berada di sana sebagai sekretarismu dan kumohon jangan buat aku dalam keadaan sulit. Aku akan bertahan," jelas Bhista."Kau benar-benar sudah gila, Bhis. Kau membuat keadaan pernikahan kita seperti neraka. Ini baru dua minggu. Bahkan kita belum bulan madu. Kau sudah menyusupkan wanita itu dalam rumah tangga kita." Satria mencecar Bhista dengan berbagai hal."Tak ada jalan lain lagi," kata Bhista."Ayo hentikan, Bhis. Kita akan segera pulang dan menghentikan semua kesalahan ini," ajak Satria."Bukan hanya aku yang menginginkan hal ini. Ibu juga tampak lebih baik setelah Arsy tinggal di rumah kita, dia lega setiap saat bisa melihat Arsy," jelas Bhista."Omong kosong. Aku tak peduli dengan apapun pendapatmu," sahut Satria.Air mata Bhista menitik lag
Waktu berlalu, hari ini Satria mendarat dari Jerman. Kerinduannya yang mendalam pada Bhista harus ditunda beberapa jam karena Lucky terlanjur membuat janji dengan seseorang di sebuah restoran."Apa ini lebih penting dari istriku?" tanya Satria."Entahlah," jawab Lucky.Hati Lucky merasa sangat tak enak. Dia hanya melakukan apa yang dia bisa lakukan. Bhista meminta Lucky membawa Satria mampir sebelum sampai rumah. Ini adalah cara agar Satria bisa bekerja sama demi Arsy."Aku tak yakin Satria mau mengerti, tapi setidaknya Satria bisa membuat keputusan yang tepat sebelum dia benar-benar menghadapi apa yang ada di rumahnya," batin Lucky.Mobil melaju ke restoran tempat di mana janji bertemu dibuat Bhista sudah duduk dengan segala kerinduan dan kegelisahannya. Dia tak yakin bisa mengatakan apa yang bisa dia katakan. Hanya saja tak ada jalan lain, ini adalah keputusan penting.Bhista terus mengelus lengannya pelan. Tampak sekali dia sedang sangat
Bhista dan Arsy selesai pemeriksaan dan mereka menuju ruang dokter membawa amplop hasil laboratorium. Arsy memegang erat tangan Bhista. Sedikit tak nyaman bagi Bhista, tapi tak ada pilihan lain. Arsy datang bersamanya dan hanya dia yang bisa menjadi tempat sandaran gadis itu."Ah, sudah keluar hasilnya?" tanya dokter.Bhista memberikan amplop itu. Dokter segera membuka amplop itu dan tiba-tiba kenyitan muncul di keningnya."Apa ada yang salah, Dok?" tanya Arsy.Dokter mengambil posisi yang tegak dan baik. Dia seperti hendak bersiap menjelaskan sesuatu."Nona, kankermu sudah masuk stadium akhir dan ini sangat mengkhawatirkan. Anda harus menjalani pengobatan rutin dan harus dalam pantauan dokter," jelas dokter.Seketika air mata menitim dari mata bening gadis itu. Hasil pemeriksaan saat ini sama persis dengan hasil pemeriksaan terakhirnya di Amerika."Sudah kuduga, aku merasa tubuhku semakin lemah akhir-akhir ini. Aku akan pikirkan dan
Bhista memutar lengannya untuk mengetahui jam berapa sekarang. Janjinya pada Arsy semalam membuatnya yak konsentrasi bekerja."Ada apa? Kau tampak melihat jam terus," tanya Rihani."Aku ada janji sebelum jam sepuluh. Semetara waktu batalkan meeting sebelum jam satu siang ini," titah Bhista."Baiklah," jawab Rihani segera membatalkan satu meeting dengan bagian pemasaran.Bhista segera meriah tas selempangnya dan berjalan menuju basement untuk mengambil mobil. Dia memiliki setengah jam sebelum jadwal bertemu dokter."Aku sudah jatuh terlalu dalam. Penderita Arsy membuatku begitu iba," batin Bhista berulang kali.Pikirannya masih saja dipenuhi dengan keadaan Arsy yang begitu menyayat hatinya. Ditengah perjalanan ponselnya berdering. Arsy menelpon dengan dalih khawatir Bhista tak segera sampai."Tunggu sepuluh menit lagi, aku segera sampai," kata Bhista."Baiklah," jawab Arsy.Arsy turun dan menemui Nyinyiran Winata. Dia ber
Hari berlalu, seperti biasanya Bhista hanya digambar mati di rumah mertuanya. Hatinya seperti teriris melihat ibu mertuanya begitu memanjakan Arsy."Kapan Satria akan kembali, Bu?" tanya Arsy."Belum tahu, Nak. Dia sangat sibuk hingga tak menjawab panggilan telepon Ibu," balas Nyonya Winata sembari menatap sinis ke arah Bhista.Mungkin Nyonya Winata pikir Bhista banyak berhubungan dengan suaminya, walau kenyataannya Bhista juga mencoba menghindar dari Satria."Banyak sekali kecurigaan di matanya. Apa ibu pikir aku banyak bicara pada Satria? Bahkan lewat sambungan telepon pun aku begitu merasa takut," batin Bhista.Makan malam berlalu, kesibukan Bhista di kantor hari ini membuatnya sangat lelah hingga dia memilih segera masuk kamar setelah menyelesaikan makan malam."Sayang, istirahatlah dahulu. Biar bibi yang membereskan ini," kata Nyonya Winata.Bhista yang semula hendak masuk kamar menjadi merasa harus membereskan meja makan.