Home / Romansa / Noktah Hari Kedelapan Perkawinan / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of Noktah Hari Kedelapan Perkawinan: Chapter 11 - Chapter 20

26 Chapters

11. Tinggal Bersama

Hati Bhista seperti dirutuki mendengar suara ibu mertuanya yang begitu menyedihkan. Bhista yakin hati Nyonya Winata benar-benar tengah gundah. Terlebih dia juga sangat menyayangi Arsy. Pikiran Bhista sekilas melayang membayangkan apa yang bisa ia lakukan demi meringankan beban yang ibu mertuanya pikul saat ini. "Haruskah aku berbicara pada Satria demi ibu atau aku tetap harus bersikap seperti semalam yang menolak keras keinginan ibu itu?" batinnya berulang-ulang. Suasana begitu canggung. Nyonya Winata menatap Bhista seperti memaksa menantunya itu mengatakan sesuatu. "Ayah, aku sangat bingung. Apa yang harus ku lakukan. Satu sisi aku tak ingin berbagi suami, disisi lain aku sangat sakit melihat ibu begitu kecewa," tanya Bhista pada ayah mertuanya. Dia bertanya karena saat ini hanya Tuan Winata lah yang dalam posisi netral. "Kau tahu aku sangat kecewa padamu, tapi mengapa kau tetap bersikeras tak bisa membagi suamimu? Ta
Read more

12. Menjemput

Tok ... Tok ... Tok ... Seseorang mengedor pintu kamar dan membuat dua insan yang hampir berciuman itu terkejut. "Aish, siapa yang datang?" omel Satria. Dia segera bangkit dan membuka pintu. "Mobil sudah siap, Kak. Ayo segera turun. Kita akan segera ke bandara," kata Lucky. "Hyak, apa tak bisa datangnya nanti setelah istriku memberiku kecupan manis dibibirku?" omel Satria. Suara tawa Lucky memecah keheningan."Oke.Masuk dan lanjutkan ciuman itu. Kuberi waktu sepuluh menit. Setelah itu aku akan datang lagi untuk membawa kopermu turun," kata Lucky dengan santai. Satria menutup pintu dan menghampiri istrinya yang sedang duduk di tepi ranjang itu. Tanpa aba-aba suami Bhista itu menyerang istrinya dengan brutal."Kita hanya punya waktu sepuluh menit sebelum si brengsek itu kembali, ayo manfaatkan," bisik Satria. Mereka merengkuh nikmatnya ciuman dan sentuhan dalam waktu sep
Read more

13. Terakhir

Mobil Bhista memasuki halaman kediaman Winata yang tak lain adalah rumah suaminya sendiri. Saat dia melangkah masuk terasa ada yang aneh. Setelah dia amati, ibu mertuanya menyimpan semua foto pernikahannya dengan Satria. Belum ada lima hari foto-foto itu di gantung kini sudah harus diturunkan. "Baru beberapa hari yang lalu, orang studio mengantarnya. Sudah harus diturunkan," batin Bhista menyayat hati. Dia berjalan masuk dan tiba-tiba ibunya menghentikan langkahnya. "Kau tidurlah di kamar sebelah kamar Satria, agar Arsy tak curiga," bisik ibu mertua Bhista. Dia tak bisa menolak, "Baiklah, Ibu."Setelah beberapa hari lalu Bhista terabaikan, kini dia telah terusir dari kamarnya sendiri. Bhista membawa beberapa berkas yang harus ia kerjakan. Bhista juga membawa alat cetak dokumen dari kamar Satria ke kamar barunya. Batin Bhista sedikit perih, tapi dia mencoba menepis segalanya demi kewarasannya sendiri. "Ini keputu
Read more

14. Jangan Simpan Sendiri

Saat hendak berangkat ke perusahaan ponsel Bhista berdering. Siapa lagi kalau bukan Satria yang menelponnya. Bhista sengaja mengabaikannya karena dia masih berada di sekitar rumah. Dia terlalu takut Arsy melihatnya bertelepon mesra bersama suaminya sendiri. "Siapa yang menelpon? Mengapa diabaikan?" tanya Arsy. "Bukan siapa-siapa, hanya orang perusahaan. Bisa ku jawab nanti," dusta Bhista. "Pasti Satria yang menghubunginya," batin Nyonya Winata. Ibu mertua Bhista itu sengaja meraih ponselnya. "Bukankah, Satria sudah sampai? Aku akan menelponnya," ujar Nyonya Winata. Bhista menghentikan kunyahan makanannya. Dia melirik sadis ke arah ibu mertuanya itu. "Aku sudah selesai, ada beberapa hal yang harus segera aku tangani. Aku berangkat sekarang," pamit Bhista. Bhista melajukan mobilnya menuju perusahaan sembari menghubungi Satria lagi. Beberapa kali tak terhubung, mungkin karena dia sedang dalam panggilan bersama ibunya. Saat
Read more

15. Pingsan

Bhista sampai rumah dengan wajah lusuhnya. Dia malas sekali pulang tapi tak ada pilihan lain. Dia membuka pintu, nampak ibu mertuanh sedang memangku kepala Arsy di sofa ruang tengah. Mereka seperti ibu dan putrinya yang sedang saling memberi perhatian."Selamat malam, Ibu. Maaf aku pulang terlambat," ujar Bhista."Dari mana kau baru pulang?" tanya Nyonya Winata."Ada beberapa hal yang harus ku selesaikan, dan sepulang bekerja aku mampir ke rumah sahabatku," jawab Bhista jujur."Apa kau sudah makan malam? Makanlah, aku akan menghangatkan makanan untukmu adikku," kata Arsy.Apa ini, dia memanggil Bhista dengan panggilan adik dan memberinya perhatian yang lebih. Apa ini bagian dari rencananya untuk menyingkirkannya."Aku sudah makan, aku makan malam bersama sahabatku. Aku akan ke kamar," jawab Bhista menolak.Arsy bangun dari baringannya dan menuntun Bhista ke dapur. Dia benar-benar memaksa Bhista makan malam. Tak ada raut benci di wajah
Read more

16. Merindu

Bhista berdiri dengan menyilangkan tangannya di tepi pembaringan Arsy. Dia menatap lekat gadis berwajah pucat itu dengan seksama. Rasa iba muncul begitu saja tanpa aba-aba."Pasti tubuhmu terasa sangat sakit. Terlihat sekali kau begitu pucat dan lemah," batin Bhista.Saat pandangannya masih lekat pada Arsy, tiba-tiba ibu mertuanya menghampirinya dan menariknya keluar kamar."Apa yang kalian bicarakan? Apa kau mengatakan sesuatu yang membuatnya syok?" desak Nyonya Winata."Tidak, Ibu, aku hanya mendengarkan dia bercerita tentang Satria. Tak lebih," jawab Bhista sesuai kenyataan."Aish, kau tak bisa dipercaya. Ingat Bhista, mulai sekarang jangan banyak bicara padanya. Kau bisa mengacaukan semuanya jika kau banyak bicara dengannya," ancam Nyonya Winata."Tapi, Ibu. Aku benar-benar tak mengatakan apapun padanya," jelas Bhista.Ibu mertua Bhista berlalu tanpa memperdulikan penjelasan menantunya itu. Bhista menundukkan kepalanya."Be
Read more

17. Kamar Satria

Bhista memohon pada Lucky untuk tak mengatakan apapun pada Satria tentang keadaan di rumah saat ini. Dia hanya ingin Satria kembali dan bicara langsung untuk menjelaskan semuanya.Tapi tidak demikian dengan Lucky. Dia terbiasa jujur dan mengatakan segala sesuatunya pada bos yang sudah dianggap seperti kakak itu."Kak, Kak Bhista mengirim pesan. Sebenarnya, ... em ... sebenarnya di rumah ...," kata Lucky ragu.Satria menatap Lucky penuh penantian. Dia ingin tahu apa yang ingin sekretarisnya itu katakan."Ada apa? Mengapa bicara terbata seperti itu?" desak Satria tak sabar."Em, sebenarnya. Ah, tak ada apapun. Istrimu hanya memastikan kau sudah makan karena dia sudah mengantuk dan ingin tidur," dusta Lucky.Hati Satria merasa tak percaya. Dia tak bisa dibohongi tapi tak ada yang bisa dia ucapkan untuk membantah."Baiklah, aku akan menelponnya nanti. Aku akan memintanya banyak istirahat," jawab Satria.Raut wajah bersalah Lucky te
Read more

18. Hampir Saja

Hari berlalu, seperti biasanya Bhista hanya digambar mati di rumah mertuanya. Hatinya seperti teriris melihat ibu mertuanya begitu memanjakan Arsy."Kapan Satria akan kembali, Bu?" tanya Arsy."Belum tahu, Nak. Dia sangat sibuk hingga tak menjawab panggilan telepon Ibu," balas Nyonya Winata sembari menatap sinis ke arah Bhista.Mungkin Nyonya Winata pikir Bhista banyak berhubungan dengan suaminya, walau kenyataannya Bhista juga mencoba menghindar dari Satria."Banyak sekali kecurigaan di matanya. Apa ibu pikir aku banyak bicara pada Satria? Bahkan lewat sambungan telepon pun aku begitu merasa takut," batin Bhista.Makan malam berlalu, kesibukan Bhista di kantor hari ini membuatnya sangat lelah hingga dia memilih segera masuk kamar setelah menyelesaikan makan malam."Sayang, istirahatlah dahulu. Biar bibi yang membereskan ini," kata Nyonya Winata.Bhista yang semula hendak masuk kamar menjadi merasa harus membereskan meja makan.
Read more

19. Teman

Bhista memutar lengannya untuk mengetahui jam berapa sekarang. Janjinya pada Arsy semalam membuatnya yak konsentrasi bekerja."Ada apa? Kau tampak melihat jam terus," tanya Rihani."Aku ada janji sebelum jam sepuluh. Semetara waktu batalkan meeting sebelum jam satu siang ini," titah Bhista."Baiklah," jawab Rihani segera membatalkan satu meeting dengan bagian pemasaran.Bhista segera meriah tas selempangnya dan berjalan menuju basement untuk mengambil mobil. Dia memiliki setengah jam sebelum jadwal bertemu dokter."Aku sudah jatuh terlalu dalam. Penderita Arsy membuatku begitu iba," batin Bhista berulang kali.Pikirannya masih saja dipenuhi dengan keadaan Arsy yang begitu menyayat hatinya. Ditengah perjalanan ponselnya berdering. Arsy menelpon dengan dalih khawatir Bhista tak segera sampai."Tunggu sepuluh menit lagi, aku segera sampai," kata Bhista."Baiklah," jawab Arsy.Arsy turun dan menemui Nyinyiran Winata. Dia ber
Read more

20. Rahasia

Bhista dan Arsy selesai pemeriksaan dan mereka menuju ruang dokter membawa amplop hasil laboratorium. Arsy memegang erat tangan Bhista. Sedikit tak nyaman bagi Bhista, tapi tak ada pilihan lain. Arsy datang bersamanya dan hanya dia yang bisa menjadi tempat sandaran gadis itu."Ah, sudah keluar hasilnya?" tanya dokter.Bhista memberikan amplop itu. Dokter segera membuka amplop itu dan tiba-tiba kenyitan muncul di keningnya."Apa ada yang salah, Dok?" tanya Arsy.Dokter mengambil posisi yang tegak dan baik. Dia seperti hendak bersiap menjelaskan sesuatu."Nona, kankermu sudah masuk stadium akhir dan ini sangat mengkhawatirkan. Anda harus menjalani pengobatan rutin dan harus dalam pantauan dokter," jelas dokter.Seketika air mata menitim dari mata bening gadis itu. Hasil pemeriksaan saat ini sama persis dengan hasil pemeriksaan terakhirnya di Amerika."Sudah kuduga, aku merasa tubuhku semakin lemah akhir-akhir ini. Aku akan pikirkan dan
Read more
PREV
123
DMCA.com Protection Status