Semua Bab Istirahatlah yang Tenang, Istriku!: Bab 11 - Bab 20

44 Bab

Haruskah Mempertahankannya?

"Kok bisa, sih, Ma? Aduh, mana kerjaan Andre belum selesai." "Ya, mana Mama tau, sampai sekarang belum pulang. Mama tadi sibuk juga, kamu jangan nyalahin Mama, dong." Aku memijat kening. "Siapa yang nyalahin Mama? Andre gak pernah ada niat buat nyalahin Mama." "Halah, kamu itu nadanya nyalahin Mama tadi. Udah kena racunnya Weni kayaknya kamu." Cukup. Aku mengembuskan napas pelan. Merasa lelah dengan sikap Mama yang sedikit menyebalkan.  "Mama tanyain ke guru Rea atau ke teman-temannya. Andre selesaiin pekerjaan dulu." Tanpa kalimat penutup, aku mematikan telepon. Jantungku sejak tadi berdegup kencang, aku takut kalau Rea kenapa-napa.  Ah, ini salahku juga. Kenapa aku tidak terlalu memperhatikan Rea kemarin.&n
Baca selengkapnya

Weni Mengamuk

"Ngapain kamu di sini?"Eh? Aku menoleh ke belakang, tersenyum kikuk, ketika melihat Bang Wira. Dia menatapku galak, berkacak pinggang. "Boleh aku ketemu sama Weni, Bang? Lagi pula, Rea ada di dalam. Aku mau ketemu sama anakku."Mendengar perkataanku barusan, Bang Wira tertawa. Dia tampak sekali sedang menyindir. Pertanyaanku tadi sama sekali tidak dijawab. Aku sebenarnya sudah tahu jawabannya, tidak akan pernah bisa bertemu lagi dengan Weni. Hanya saja, apa salahnya mencoba. Iya, 'kan?Bang Wira melirikku sekilas, dia kembali melangkah. "Ada baiknya, Rea sama Weni. Kamu tidak akan bisa mendidik Rea dengan baik. Gak terbayang nasib Rea nanti, kalau tinggal sama kamu dan Mama tersayang kamu itu."Mendengar itu, aku terdiam. Memang benar, aku belum bisa jadi Papa yang baik untuk Rea, tapi aku akan berusaha. Masa semuanya diambil dariku. "Gak bisa gitu, dong, Bang. Aku punya hak untuk Rea. Kalau Weni ambil bayiku, kenapa aku gak boleh ambil Rea? Itu gak adil." "Oh, ya? Lebih baik ka
Baca selengkapnya

Maling di Rumah Sendiri

"Memangnya, Bapak siapanya Pak Wira?" Aku tidak menjawab pertanyaan itu. Fokusku pada Weni. Tanpa basa-basi lagi, aku kembali menyeruak kerumunan, menuju ke rumah sakit. Ponselku berdering beberapa kali. Pasti dari Mama. Nanti-nanti saja, aku harus segera sampai di rumah sakit. Sebenarnya, aku tidak mendapatkan informasi di mana runah sakitnya. Tapi bisa menebak-nebak, pasti rumah sakit paling dekat. "Pasien bernama Weni ada di ruang UGD, Pak."Aku langsung kesana, tanpa mengucapkan terima kasih pada petugas, mengusap dahi. Jantungku berdetak cepat. "Mana Weni, Bang?" tanyaku saat sampai di depan ruang UGD. "Ngapain kamu di sini, hah?! Bisa kamu itu cuma nyakitin Weni, Weni kena PPD sekarang gara-gara kamu. Gak nyadar juga?" Kata-kata yang sudah ada di mulutku, batal keluar. Bang Wira agak seram kalau sedang marah. Dia melotot menatapku. "Mana Rea, Bang?" tanyaku lagi. Kalau aku tidak boleh bertemu dengan Weni, bukan berarti aku tidak boleh bertemu dengan Rea. Anakku sendiri.
Baca selengkapnya

Masa Lalu

"Pembantu itu, Ma?"Mama mengangguk, kemudian berdiri. Dia mengusap dahi, melangkah ke ruang tamu. Rumah kacau sekali, lampu mati semua, sepertinya sengaja, agar tidak kelihatan di CCTV. "Perhiasan Mama diambil semua, Ndre. Pokoknya, kamu harus beliin Mama perhiasan lagi.""Gimana caranya mau beliin, Ma? Uang yang Andre simpan di lemari ikut hilang. Banya benda berharga dicuri. Gara-gara Mama gak benar jaga rumah, sih. Jadi gini."Aku memijat kening. Mataku berbinar, setidaknya masih ada sertifikat rumah dan tanah. Bisa bahaya, kalau surat penting ini diambil juga. Habis sudah hartaku. Semua simpanan di dalam lemari ikut diambil. Televisi, beberapa ponsel, perhiasan Mama juga. Ah, ini semua gara-gara Mama. "Mana Rea? Kamu ini gimana, sih? Lama banget perginya, sampai rumah kemalingan. Ternyata, sampai rumah gak bawa Rea. Aduh, gimana sih.""Udah, Ma. Aku capek." Aku mengembuskan napas lelah, menyenderkan punggung. "Heh, kamu itu gak boleh kasih Rea ke wanita itu. Dia itu gak waras
Baca selengkapnya

Lebam Biru di Tangan Bayiku

"Wah, kayaknya kita beneran jodoh, deh." Dia tersenyum manis sekali. Aku ikut tersenyum, menatap ke arah lain. Di sisi lain, pikiranku terbagi ke Weni. Kalau aku buru-buru menyelesaikan makan, nanti tidak bisa bertemu dengan Andin lagi. "Aku minta kontak kamu, boleh? Kebetulan, aku harus langsung ke kantor sekarang."Andin melebarkan mata, tapi dia langsung tersenyum senang. "Boleh, dong. Mana ponsel kamu?"Aku menyodorkan ponsel, menatap Andin. Jarinya lincah bergerak di layar. Terlihat cantik sekali, tidak seperti Weni yang sudah tidak cantik sekarang. Setelah tukaran nomor ponsel, aku pamit pada Andin. "Semoga kita bisa ketemu lagi, ya."Aku melangkah keluar kantin, sekarang menuju ruangan Weni. Masih ada waktu untuk mampir."Ngapain lagi kamu kesini?" Eh? Aku menatap Bang Wira aneh. Kenapa dia bertanya begitu? Bukankah dia yang menyuruhku datang kesini?"Gak ada gunanya lagi. Kamu udah dilarang masuk ke dalam.""Kok bisa, Bang? Gak ada larangannya. Lagi pula, Weni masih istrik
Baca selengkapnya

Pembicaraan Penting dengan Weni

"Udah? Kelamaan banget mikirnya. Sana pergi. Pintu rumah mau dikunci semua."Eh? Aku diusir. Mama Weni memang benar-benar menyebalkan. Aku masuk ke dalam mobil, kembali pulang ke rumah. Tidak ada gunanya di sana. Lagi pula, keluarga Weni sering judes padaku. "Kamu kemana aja, sih? Udah malam, nih. Si Rea bahkan udah dibawa pulang sama kakak kamu. Buat susah orang aja."Mbak Linda mengambil tasnya. Dia kelihatan mengantuk sekali. "Mbak kenapa gak ikutan pulang juga?" tanyaku sambil menyampirkan jas ke sofa. "Gak tau diuntung kali, ya, ini anak. Kamu mau rumah kamu dimaling orang lagi, hah?!" Eh? Aku mengusap telinga. Mbak Linda serasa berteriak di samping telingaku barusan. "Santai, Mbak. Jangan marah-marah, apalagi teriak gitu. Pusing dengarnya."Mbak Linda mendelik. Dia berkacak pinggang, menatapku galak. "Jagain Mama, Mbak pulang dulu. Kalau sempat, Mama kesini besok."Sebelum Mbak Linda pergi, aku buru-buru mengambil kunci mobil di atas meja. "Aku antar, deh, Mbak.""Gak usah
Baca selengkapnya

Pindah Rumah

"Kamu serius, Mas?" tanyanya sambil menatapku. Tentu saja, aku serius. Weni bagiku adalah segalanya. Begitu juga dengan anak-anak. Weni diam sejenak. Dia terlihat menghela napas, melirikku berkali-kali. "Kamu belum percaya juga? Lihat ini, Wen. Aku udah beli rumah. Di sini udah tertera, rumah ini sekarang milik aku. Kamu gak perlu jaminan, 'kan?"Senyum Weni setengah terpaksa. Dia menggelengkan kepala. "Makasih, Mas."Eh? Makasih apa? Kenapa dia malah bilang terima kasih?Aku kembali menunjukkan ponsel. Weni harus tahu, dia itu segalanya untukku. Kenapa dia seakan tidak mau lagi menerimaku di kehidupannya?"Kamu lihat Rea, Weni. Dia nangis, gara-gara kamu tinggal. Kamu mau, buat dia terus-terusan nangis? Juga bayi kita. Gak akan bisa dia tumbuh tanpa Papa. Kamu saja sudah begini."Weni tertawa masam. Dia tampak tersinggung mendengar perkataanku barusan. Memang benar, apalagi Weni tidak mau memberiku kesempatan. Dia menyebalkan sekali. "Udah bicaranya, Mas?"Eh? Aku menatap Weni t
Baca selengkapnya

Jangan Main Licik!

"Pi—pindah? Kamu mau pindah kemana, Ndre?"Mata Mama tampak berkaca-kaca. Aku mengembuskan napas pelan, tidak boleh terpengaruh oleh Mama. Ya. Tekadku sudah bulat sekarang. Mau Mama menangis atau apa, aku akan tetap pindah dari rumah ini. "Maaf, Ma. Andre udah pusing dengan semua yang Mama lakukan. Andre udah punya ruma sendiri. Kebetulan, rumah ini besar, Mama bisa pakai untuk apa aja."Aku melirik Mbak Linda yang mengangguk-anggukkan kepala. "Untuk sementara, Rea masih aku titipin ke Mbak. Setiap pulang kerja, aku bakalan jenguk dia."Mbak Linda kembali mengangguk. Dia mengambil nasi goreng, pura-pura tidak ikut campur. Padahal, aku tahu, Mbak Linda pasti ingin sekali nimbrung. Aku memakai sepatu. Mengabaikan Mama yang terus saja melarangku untuk pergi. Sebenarnya, aku juga tidak tega melihat Mama. Ah, tapi aku tidak boleh lemah. Jangan sampai terpancing oleh Mama. Itu yang ditekankan Kak Anton kemarin. "Andre berangkat dulu, Ma, Mbak. Kalau Mama kangen, telepon aja. Andre pas
Baca selengkapnya

Sidang Pertama

"Halo, Ma. Kenapa dari tadi telepon terus? Ada masalah di rumah?"Aku menguap, menatap layar ponsel, baru pukul setengah empat pagi, tapi Mama sejak tadi menelepon. "Bangun, beresan. Ingat, kamu hari ini sidang pertama."Mama benar-benar. Aku beranjak, mematikan telepon tanpa mengucapkan apa pun pada Mama. Sebenarnya tinggal di sini dan di rumah sama saja, aku tetap diganggu Mama. Ah, rasanya ingin mengganti nomor telepon saja. Ponselku berdering kembali. Pasti dari Mama. Aku memilih untuk mengambil handuk. Mandi. Selesai mandi, baru aku menatap ponsel. Mulutku setengah terbuka, ketika melihat siapa yang menelepon. Hey, seperti mimpi saja rasanya. Weni yang meneleponku seelum aku mandi tadi! Aku menepuk pipi. Tidak, ini bukan mimpi. Ah, kenapa aku mengabaikan teleponnya? Aku menepuk dahi, benar-benar kesalahan fatal.Nada sambung terdengar. Aku menunggu sekaligus melangkah ke ruang dapur. Hendak menggoreng telor. "Halo." Terdengar suara serak menyapa dari seberang sana. "Halo,
Baca selengkapnya

Kemajuan yang Pesat

"Tapi kamu benar-benar akan memberikanku kesempatan, kan? Percuma kalau gak ada kesempatan lagi."Weni tersenyum tipis. Senyum yang ingin sekali aku lihat. "Tergantung seberapa keras usaha kamu, Mas.""Weni! Ayo pulang!"Kami berdua langsung menoleh. Bang Wira sudah berdiri di samping mobilnya. Menatap kami dari jauh. "Kesempatan jangan pernah disia-siakan."Wanita itu langsung pergi meninggalkanku. Dia pergi tanpa pamit, tanpa lambaian tangan. Bisakah aku kembali memperjuangkan Weni?"Gimana? Udah baikan sama Weni?"Aku menoleh. Mendapati Mbak Linda yang baru saja menepuk pundakku. Dia nyengir, langsung membuka pintu mobil. Mengajak pulang ke rumah. Selama perjalanan, aku hanya diam. Mbak Linda sesekali menggodaku. Dia sebenarnya tahu, kecil kemungkinan aku dan Weni bisa bersatu kembali. "Kalau aku cari wanita lain aja gimana, Mbak?""Eh?" Mbak Linda tersedak. Dia sedang minum. Salahku juga, berbicara saat dia sedang minum. "Gila, ya, kamu. Katanya mau komitmen buat ambil hati W
Baca selengkapnya
Sebelumnya
12345
DMCA.com Protection Status