All Chapters of Istirahatlah yang Tenang, Istriku!: Chapter 31 - Chapter 40

44 Chapters

Bang Wira Tahu Sesuatu!

"Pak, ini maksudnya gimana, ya? Maaf, saya belum paham."Aku menelan ludah, meremas amplop putih itu. Bisa bahaya, apalagi sedang gawat sekali sekarang. Apa reaksi Kak Anton melihat kertas ini? Apakah dia juga sama terkejutnya sepertiku? Atau biasa-biasa saja. "Karena kinerja yang benar-benar menurun sampai merugikan perusahaan. Bahkan, kantor cabang di Semarang goyang gara-gara kakak ipar kamu."Separah itukah? Aku mengusap wajah mendengarnya. "Saya udah berusaha kasih keringanan. Biar Anton memperbaiki kinerjanya. Tapi percuma. Jangankan memperbaiki, dia saja tidak memenuhi panggilan saya."Aku menatap amplop di tangan. "Apakah tidak ada keringanan lagi, Pak? Saya mohon, Pak. Keluarga saya lagi banyak masalah.""Itu udah paling ringan. Untung kakak kamu gak dimasukin ke penjara."Astaga. Itu lebih parah."Maaf, ya. Saya harus mengikuti peraturan dari kantor. Meskipun kamu adalah karyawan kebanggaan da paling profesional, tapi maaf. Saya gak bisa bantu kamu."Baiklah. Dari pada a
Read more

Surat Perjanjian

"Abang tahu apa?" tanyaku hati-hati."Tahu banyak. Soal kamu yang mulai mendekati Weni lagi, semuanya. Saya tahu soal itu. Dan kamu berniat untuk kembali dengan Weni, bukan?"Astaga. Aku menelan ludah, Bang Wira bisa tahu begitu dari mana?Jangan-jangan, Weni sudah memberitahukan semuanya pada Bang Wira. Ah, ini kurang tepat. "Kenapa diam?" tanya Bang Wira galak. "Iya, Bang. Saya berniat kembali dengan Weni dan saya butuh restu dari Abang kembali."Terdengar tawa. Bang Wira menggelengkan kepala, seolah tidak percaya dengan apa yang aku katakan tadi. "Kamu tidak salah? Mencari mati atau bagaimana?"Eh? Enak saja. Aku memalingkan wajah, sedikit kesal dengan pertanyaan Bang Wira. "Apa yang sudah kamu persiapkan untuk kembali membujuk saya?"Aduh, pertanyaan yang rumit. Aku menatap ke arah lain, sedang mempersiapkan untuk menjawab pertanyaan Abangnya Weni. Tanganku merogoh kantong celana, mengambil kunci mobil yang sudah aku persiapkan untuk Weni dan kunci rumah. Bang Wira menatapku
Read more

Bertengkar dengan Mama

"Surat perjanjian?" tanya Bang Wira sambil mengambil surat yang aku sodorkan.Weni menatapku. Dia terlihat sekali tidak percaya."Coba kamu baca, Wen." Bang Wira akhirnya menyerahkan kertas itu setelah membacanya."Ada ide apa kamu buat surat itu?""Biar saya bisa menepati janji saya sendiri, Bang."Bang Wira mengangguk-anggukkan kepala. Dia mengerti apa yang barusan aku katakan.Weni membaca hampir sepuluh menit. Aku menatapnya, berharap tidak ada kesalahan yang ditulis oleh Dino tadi."Gimana, Wen?""Weni setuju, Bang."Yes! Aku mengepalkan jemari."Kapan sidang kedua kalian?""Lusa, Bang." Aku yang menjawab. Weni diam saja, dia saja tadi takut-takut menjawab pertanyaan Bang Wira."Temui Abang besok di kantor. Siang hari. Ayo kita pulang, Weni."Aku melongo mendengarnya. Menemui Bang Wira di kantornya? Dia mau ngapain?Mau mempermalukanku begitu? Astaga, aku tidak mau kalau begitu.Namun, saat hendak bicara, Bang Wira sudah keluar dari rumah makan. Aku menepuk dahi. Jangan sampai ap
Read more

Keputusan Bang Wira

"Kok bisa, Ndre?" Mbak Linda menghampiriku. Di belakangnya ada Kak Anton juga. "Gak tau juga, Mbak. Mama tiba-tiba pingsan."Padahal, aku penyebabnya. Sebenarnya, ini bukan sepenuhnya salahku. Mama yang memaksaku. Bagaimana tidak, masa aku harus selalu mengikuti kata-kata Mama. Memangnya, aku ini boneka? Aku capek menghadapi Mama sendirian. "Masalah Weni?" tanya Mbak Linda sambil menepuk pundakku. Aku tersenyum tipis. Tidak menggeleng, juga mengangguk. Mbak Linda melirik Ayna yang berdiri di sebelahku. "Siapa?" bisiknya sambil melirik Ayna kembali. "Mama mau menikahiku dengan wanita itu, Mbak.""Oh." Mbak Linda menganggukkan kepala. "Ehm." Beberapa detik setelahnya, Mbak Linda berdeham cukup keras, membuat kami menoleh semua. "Istri kamu udah nunggu kayaknya, Ndre. Pulang aja. Biar Mbak sama Kak Anton yang nunggu."Mendengar itu, aku mengernyit. Bagaimana ceritanya Weni menungguku?"Ayo." Mbak Linda melotot, menyuruhku mengikutinya. "Jaga Mama sebentar, Mas," kata Mbak Linda
Read more

Kejutan

"Gimana? Udah selesai urusan sama si Wira?" tanya Mbak Linda saat aku sedang mengendarai mobil. "Udah. Besok, aku dan Weni bakalan kumpul kembali, Mbak. Sama anak-anak."Ah, senang sekali rasanya. "Bagus. Mbak suka sama cara kamu sekarang. Lebih tegas. Jangan sampai berbuat kesalahan lagi. Ingat.""Pasti, Mbak."Aku melirik Rea. Dia sejak tadi terlihat gembira. Untung sekarang sedang libur panjang, aku bisa mengajak Rea kemana saja. "Nanti malam, aku mau ambil barang-barangnya Weni, Mbak. Mau ikut, gak?" "Boleh. Jemput aja nanti.""Oke. Makasih, Mbak."Sepanjang perjalanan, aku tersenyum. Masalah ini akan selesai baik-baik. Kami sampai di rumah. Aku sudah menyiapkan pembantu dan babysitter untuk membantu Weni di rumah. "Papa ke tempat kerja dulu, ya, Sayang." Aku mencium kening Rea. "Kapan kita jemput Mama, Pa?" tanya Rea sedikit sedih. Aku tersenyum, mencubit pipinya pelan. "Besok. Nanti malam, kita ke rumah Mama. Sekalian beli es krim.""Asik. Makasih, Papa." Rea memelukku s
Read more

Sidang Kedua

"Cie. Udah kayak pengantin baru."Weni buru-buru melepaskan pegangan kami, ketika suara Mbak Linda terdengar. "Apaan, sih, Mbak." Aku melotot ke Mbak Linda. "Kalau ada masalah, bicarain berdua. Kalian itu udah cocok, jangan sampai Mbak dengar ada masalah lagi."Aku tersenyum, mengusap leher. "Iya, Mbak."Hampir dua jam aku di sini. Membantu memindahkan barang-barang. Lelah juga rasanya. Aku meregangkan tubuh. Sebenarnya, ini masih pukul sembilan malam, tapi sudah pegal-pegal. "Kak Anton jadinya kerja di mana?" tanyaku sambil melirik Kak Anton yang baru saja duduk. Dia sejak tadi sibuk di dalam. "Ya, mulai dari awal lagi. Karyawan. Gak kayak kamu yang udah naik pangkat.""Apaan, sih, Kak. Kalau Kakak mau, aku bisa bantuin masukin Kakak lagi ke kantor.""Serius, Ndre?" tanya Kak Anton. Aku tahu, masih ada harapan di mata Kak Anton. Dia ingin sekali kembali bekerja di perusahaan, tapi tidak bisa juga. "Serius, Kak. Bos gak bakalan marahin. Buat Kakak apa, sih, yang enggak?"Kami d
Read more

Membela Weni

"Hah? Serius, Mbak?" tanyaku sedikit terkejut. "Masa Mbak bercanda. Ayo cepetan, putar balik."Aku mengangguk, berputar balik. Sepanjang perjalanan, aku sering sekali melirik Weni yang sibuk dengan bayi kami. Sebenarnya, aku takut kalau Weni tidak enak datang ke rumah sakit bertemu dengan Mama. Sampai di rumah sakit, aku memarkirkan mobil. Mbak Linda langsung turun. Sedangkan Weni masih diam di tempatnya. "Kamu tunggu di mobil aja, ya. Takutnya malah gak mau ketemu sama Mama. Aku gak bakalan maksa kamu, kok."Aku mengusap kepala bayiku. "Adek sama Mama di mobil, ya. Papa keluar sebentar."Baru setelah itu, aku keluar dari mobil. Melangkah masuk ke dalam rumah sakit. "Mas."Eh? Aku menoleh. Menatap Weni. Dia ikut keluar dari mobil. Ada apa?"Aku ikut."Serius? Apakah semuanya akan baik-baik saja, kalau Weni ikut masuk ke dalam? Ah, aku tidak yakin. "Janji, deh. Aku gak bakalan buat aneh-aneh. Aku cuma mau lihat kondisi Mama kamu. Itu aja."Buka itu yang aku takutkan. Aku takut, M
Read more

Isi Rekaman Suara

"Ngapain kamu di sini?" tanyaku sambil menatap Ayna galak. Tanpa rasa bersalah, wanita itu mengangkat bahu. Dia langsung duduk di sebelahku, tidak peduli dengan Weni yang tampak terkejut. Aku menghela napas pelan, kalau bisa, wanita ini pergi dari hadapanku sekarang. "Eh, ini siapa? Pembantu barunya Andre, ya?" "Ayna! Bisa jaga ucapan kamu gak?!" Aku menyergahnya. "Apaan, sih? Andre, kamu jangan buat kesal, ya. Nyebelin banget, deh." Kenapa, sih, dengan Ayna? Padahal, hampir beberapa hari ini dia tidak muncul di hadapanku. Kenapa hari ini dia muncul? Mengganggu acaraku dengan Weni lagi. "Siapa dia, Mas?" tanya Weni, dia berbisik ke aku. "Orang gila. Jangan ditanggapi, Wen. Dia cuma mau cari perhatian." Aku menjawab pertanyaan Weni dengan berbisik juga. Semoga Weni bisa mengerti siapa Ayna sebenarnya. Aku melirik Weni, dia mengangguk-anggukkan kepala. "Mbak sebenarnya siapanya Andre?"Eh? Weni malah bertanya seperti itu. Tidak ada embel-embel Mas-nya lagi. Kenapa dia malah me
Read more

Konsekuensi Untuk Mama

"Kamu lebih percaya sama rekaman pembohong itu, Ndre? Kamu gak percaya sama aku?"Mendengar itu, aku tertawa. Siapa yang mau percaya padanya, kalau dia saja pembohong?Ah, aku paling tidak suka dengab orang pembohong. "Kamu mau memilikiku, Ay?!" tanya pelan, tapi tegas."Ndre." Dia memasang wajah memohon. "Gak capek dramanya, Ay? Gak puas kamu mau hancurin rumah tanggaku? Belum puas kamu, hah?!" Wajahku memerah, sejak tadi menahan marah. Weni memegang tanganku. Saat aku menoleh, dia menggelengkan kepala. "Kamu tidak akan mengotori tangan kamu sendiri, kan, Mas?" biskk Weni. Ah, benar juga. Aku tidak akan pernah mengotori tanganku sendiri. Baiklah. Jaga sikap. "Kamu tahu, Ay. Orang yang mengganggu hidupku tidak akan pernah tenang. Walaupun Mama yang mengusuli itu, tapi kamu berperan penting di sini.""Lho, kok cuma aku? Harusnya Mama kamu juga ditangkap. Aku gak mau masuk penjara sendiri, Ndre."Aku mengabaikan perkataan Ayna. Dia harus tahu, kalau aku marah bagaimana. "Sini." A
Read more

Masalah Besar

"Yaudah, Mbak matiin teleponnya. Kamu pikirin baik-baik lagi, Ndre. Jangan sampai menyesal."Aku memalingkan wajah, kemudian kembali fokus menyetir. "Kenapa kamu sekarang jadi tidak mau membela Mama, Mas?""Pertanyaan apa itu, Wen?" tanyaku pelan. "Udah keliatan banget, Mas. Kamu berusaha menghindar dari Mama."Mendengar pertanyaan itu, aku tertawa. "Aku cuma gak mau ribut samakamu lagi. Hanya gara-gara Mama.""Tapi gak kayak gitu juga, Mas. Itu namanya kamu durhaka sama Mama. Itu gak baik.""Wen, udahlah. Jangan bersikap baik lagi sama Mama. Kamu udah disakitin, masih aja bela Mama.""Mas, selama itu kewajiban Weni sebagai istri buat ngingatin kamu, apa salahnya? Aku memang mau keadilan, tapi gak gini caranya."Aku menghentikan laju mobil di pinggir jalan, menatap Weni lembut."Mulai sekarang, kamu tenang aja. Aku bakalan selalu ada. Kehidupan kita bakalan tanpa Mama atau orang lain."***"Selamat datang di rumah kita yang baru." Aku membukakan pintu mobil untuk Weni. "Makasih, Ma
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status