"Kamu serius, Mas?" tanyanya sambil menatapku. Tentu saja, aku serius. Weni bagiku adalah segalanya. Begitu juga dengan anak-anak. Weni diam sejenak. Dia terlihat menghela napas, melirikku berkali-kali. "Kamu belum percaya juga? Lihat ini, Wen. Aku udah beli rumah. Di sini udah tertera, rumah ini sekarang milik aku. Kamu gak perlu jaminan, 'kan?"Senyum Weni setengah terpaksa. Dia menggelengkan kepala. "Makasih, Mas."Eh? Makasih apa? Kenapa dia malah bilang terima kasih?Aku kembali menunjukkan ponsel. Weni harus tahu, dia itu segalanya untukku. Kenapa dia seakan tidak mau lagi menerimaku di kehidupannya?"Kamu lihat Rea, Weni. Dia nangis, gara-gara kamu tinggal. Kamu mau, buat dia terus-terusan nangis? Juga bayi kita. Gak akan bisa dia tumbuh tanpa Papa. Kamu saja sudah begini."Weni tertawa masam. Dia tampak tersinggung mendengar perkataanku barusan. Memang benar, apalagi Weni tidak mau memberiku kesempatan. Dia menyebalkan sekali. "Udah bicaranya, Mas?"Eh? Aku menatap Weni t
"Pi—pindah? Kamu mau pindah kemana, Ndre?"Mata Mama tampak berkaca-kaca. Aku mengembuskan napas pelan, tidak boleh terpengaruh oleh Mama. Ya. Tekadku sudah bulat sekarang. Mau Mama menangis atau apa, aku akan tetap pindah dari rumah ini. "Maaf, Ma. Andre udah pusing dengan semua yang Mama lakukan. Andre udah punya ruma sendiri. Kebetulan, rumah ini besar, Mama bisa pakai untuk apa aja."Aku melirik Mbak Linda yang mengangguk-anggukkan kepala. "Untuk sementara, Rea masih aku titipin ke Mbak. Setiap pulang kerja, aku bakalan jenguk dia."Mbak Linda kembali mengangguk. Dia mengambil nasi goreng, pura-pura tidak ikut campur. Padahal, aku tahu, Mbak Linda pasti ingin sekali nimbrung. Aku memakai sepatu. Mengabaikan Mama yang terus saja melarangku untuk pergi. Sebenarnya, aku juga tidak tega melihat Mama. Ah, tapi aku tidak boleh lemah. Jangan sampai terpancing oleh Mama. Itu yang ditekankan Kak Anton kemarin. "Andre berangkat dulu, Ma, Mbak. Kalau Mama kangen, telepon aja. Andre pas
"Halo, Ma. Kenapa dari tadi telepon terus? Ada masalah di rumah?"Aku menguap, menatap layar ponsel, baru pukul setengah empat pagi, tapi Mama sejak tadi menelepon. "Bangun, beresan. Ingat, kamu hari ini sidang pertama."Mama benar-benar. Aku beranjak, mematikan telepon tanpa mengucapkan apa pun pada Mama. Sebenarnya tinggal di sini dan di rumah sama saja, aku tetap diganggu Mama. Ah, rasanya ingin mengganti nomor telepon saja. Ponselku berdering kembali. Pasti dari Mama. Aku memilih untuk mengambil handuk. Mandi. Selesai mandi, baru aku menatap ponsel. Mulutku setengah terbuka, ketika melihat siapa yang menelepon. Hey, seperti mimpi saja rasanya. Weni yang meneleponku seelum aku mandi tadi! Aku menepuk pipi. Tidak, ini bukan mimpi. Ah, kenapa aku mengabaikan teleponnya? Aku menepuk dahi, benar-benar kesalahan fatal.Nada sambung terdengar. Aku menunggu sekaligus melangkah ke ruang dapur. Hendak menggoreng telor. "Halo." Terdengar suara serak menyapa dari seberang sana. "Halo,
"Tapi kamu benar-benar akan memberikanku kesempatan, kan? Percuma kalau gak ada kesempatan lagi."Weni tersenyum tipis. Senyum yang ingin sekali aku lihat. "Tergantung seberapa keras usaha kamu, Mas.""Weni! Ayo pulang!"Kami berdua langsung menoleh. Bang Wira sudah berdiri di samping mobilnya. Menatap kami dari jauh. "Kesempatan jangan pernah disia-siakan."Wanita itu langsung pergi meninggalkanku. Dia pergi tanpa pamit, tanpa lambaian tangan. Bisakah aku kembali memperjuangkan Weni?"Gimana? Udah baikan sama Weni?"Aku menoleh. Mendapati Mbak Linda yang baru saja menepuk pundakku. Dia nyengir, langsung membuka pintu mobil. Mengajak pulang ke rumah. Selama perjalanan, aku hanya diam. Mbak Linda sesekali menggodaku. Dia sebenarnya tahu, kecil kemungkinan aku dan Weni bisa bersatu kembali. "Kalau aku cari wanita lain aja gimana, Mbak?""Eh?" Mbak Linda tersedak. Dia sedang minum. Salahku juga, berbicara saat dia sedang minum. "Gila, ya, kamu. Katanya mau komitmen buat ambil hati W
"Kamu kesini lagi? Tadi teman perempuan aku, teman sekolah udah lama banget.""Oh." Dia menganggukkan kepala. "Aku kira siapa."Aku tersenyum terpaksa. Kembali memilih makanan ringan dan mengambil minuman. Sejak tadi, Ayna mengikutiku. Tidak bisakah dia memilih tempat lain?"Yes!"Eh? Aku menoleh ke ke Ayna. Kenapa dia barusan berteriak sendiri? Seperti orang gila. Kami sampai diliatin orang lain. Membuat malu saja, dia seperrinya sudah kehilangan urat malu. Aku bergidik sendiri."Kamu udah lihat pesan di grup WA, Ndre?"Pesan apa? Aku menoleh ke Ayna. Merogoh kantong celana, tidak ada ponsel di sana. Sepertinya, ketinggalan di mobil. "Lihat, dong."Ayna dengan senang hati memberikan ponselnya ke aku. Dia tersenyum manis sekali. [Dengar-dengar, Andre sama Ayna yang ditugasin keluar kota.][Serius? Wah, anak baru udah ditugasin aja.][Si Andre menang banyak. Kenapa bukan aku yang ditugasin sama Pak Bos.]Aku menelan ludah. Ditugaskan keluar kota, sih, tidak masalah. Tapi dengan Ayn
"Kalau saya diganti orang lain bisa, gak, Pak?"Entah kenapa, pertanyaan komyol itu keluar dari mulutku. Bukan hanya bos yang menoleh bingung. Ayna juga, padahal wajahnya tampak senang sekali. "Lho, kenapa? Justru ini bagus sekali, untuk karir kamu. Kalau kinerja kamu bagus, bulan depan ada kemungkinan naik pangkat."Aku menggigit bibir. Bukannya tidak senang atau apa. Pikiranku justru ke Weni sekarang. Sungguh, aku tidak akan bisa pergi sekarang. Dengan pelan, aku mendorong surat itu. "Maaf, Pak. Bapak bisa cari orang lain yang lebih baik dari saya."Bergegas aku pergi dari ruangan itu tapa peduli teriakan dari Ayna. "Gimana? Kamu ditawarin keluar kota sama Pak bos?" tanya Kak Anton sesaat setelah aku duduk. "Iya. Gak aku ambil tapi, Kak.""Eh?" Kak Anton langsung melepaskan tumpukan kertas yang dia pegang. "Serius?"Aku mengusap wajah. "Mana ada wajahku bohong, Kak.""Tapi bukannya kamu nunggu momen ini? Kamu selalu pengen dipanggil tugas keluar kota, 'kan?""Weni alasannya,
"Dek, ayo. Makasih udah bantu jagain Weni, Lin."Mbak Linda menganggukkan kepala. Sedangkan Weni menoleh ke belakang. Pandangannya terhenti ketika melihatku. "Ngeliat apa?" tanya Bang Wira sambil menoleh ke arah yang aku tuju. "Eh?" Weni pura-pura tersenyum, dia menggelengkan kepala. "Ayo, Bang."Beberapa menit setelah mereka pergi, aku keluar dari persembunyian, buru-buru menyalimi Mbak Linda. "Aku pamit ke rumah sakit, Mbak."Mbak Linda mengangguk. Dia sambil menonton televisi, seolah tidak peduli denganku. "Doain bisa ngambil hati Weni, Mbak.""Iya. Weni udah mulai percaya lagi sama kamu. Jangan buat dia berubah pikiran."Aku tersenyum tipis, kemudian menganggukkan kepala. Buru-buru keluar dari rumah. Menyusul mobil Bang Wira. Hampir lima belas menit perjalanan. Mobil berhenti di halaman rumah sakit. Aku menatap spion, mobil Bang Wira parkir tidak jauh dariku. Ponselku berdering. Dari Ayna. "Kenapa?" Tanpa salam, aku langsung bertanya inti kenapa Ayna menelepon. "Halo, And
"Kamu serius mau tahu syaratnya, Mas?"Dengan tegas aku mengangguk. Aku memang serius ingin kembali dengan Weni. Jadi, apa pun persyaratannya, akan aku penuhi. Apalagi uangku sudah terpakai banyak sekali. "Ini."Aku menatap kertas yang baru saja disodorkan Weni. Kertas apa itu? "Buka aja." Dia berkata tenang. Baiklah. Aku membuka kertas yang dilipat menjadi dua itu. Mulai membacanya. Ada beberapa poin penting di sana. Aku mengembuskan napas pelan. Mulai membaca persyaratan. "Pindah rumah."Baiklah. Itu sudah terwujud. Weni mengangguk, dia kembali menyuruhku membaca. "Sayang pada anak-anak." Pandanganku berpindah ke Weni. "Aku akan usahain. Semaksimal mungkin."Meskipun ragu, Weni kembali mengangguk. "Tolong adil antara Mama kamu dan aku."Aku diam sejenak. Memangnya selama ini, aku tidak adil pada Weni? Perasaan, aku selalu adil. Bahkan, aku mengabaikan perkataan Mama untuk Weni. Tapi baiklah. Aku tidak mungkin protes. Malah Weni langsung pergi kalau begitu. "Oke. Aku akan
"Maafkan Andre. Selama ini, Andre menghindar dari Mama. Andre salah, Ma. Maafkan Andre."Dulu, aku benar-benar menyayangi Mama. Menjaga pola makannya, semua aku jaga.Karena ada amanat dari Papa, tapi semenjak Mama memanfaatkan semuanya dariku, aku tidak lagi percaya pada Mama.Ah, apakah sekarang waktunya penyesalan? Atau saatnya memperbaiki semuanya?Aku mencium tangan Mama berkali-kali. Sedangkan Weni mengusap punggungku, berusaha menenangkan."Jangan teriak-teriak, Ndre." Mbak Linda menegurkuAstaga. Aku menutup mulut. Menatap Mama yang tampak payah. Sepertinya, rasa sakit itu terasa sekali."Mimpi apa Mama tadi malam, kamu bisa adadi sini hari ini, Ndre."Kami semua menoleh ke Mama. Wajah Mama terlihat tirus, sangat berbeda dari empat tahun yang lalu.Ini kegagalanku selanjutnya. Setelah Weni dan menegur Mama dulu. Ini juga yang menyakitkan bagiku."Semua karena Mbak Linda, Ma." Pandanganku juga beralih ke Weni. "Dan istri Andre, Weni.""Iya, Ndre. Mama tahu. Mama menyesal sudah
"Mas, ayo." Aku mengangguk, mengambil alih koper yang dibawa Weni. Kemudian mengunci pintu rumah. "Kebiasaan, deh. Aku mau bawa kopernya gak boleh.""Gak boleh, dong. Nanti kamu kecapekan.""Udah kayak pengantin baru aja, nih."Eh? Kami berdua kompak menoleh ke depan. Mbak Linda melipat tangannya di depan dada, tersenyum. "Mbak. Apa kabar?" Weni langsung menyalami Mbak Linda. Kami memang jarang bertemu dengan Mbak Linda dan Kak Anton. Ada banyak alasannya, salah satunya adalah pekerjaan aku dan Kak Anton. Rencananya, aku dan Weni akan liburan sekarang. Rea sudah di dalam mobil. Menunggu kami berangkat saja. "Eh, mana Rea cantik?" tanya Mbak Linda sambil menoleh ke mobil. "Di dalam mobil sama Putra, Mbak. Mana Kak Anton?" tanyaku sambil merangkul pinggang Weni. Putra adalah bayiku dulu. Sekarang, dia sudah empat tahun. Nah, selama empat tahun terakhir, aku memutuskan pindah ke rumah yang lebih luas. Dua tahun aku ditugaskan ke luar kota, mengajak Rea dan Putra. Sekarang, sud
"Sstt...."Aku menoleh ke Kak Anton yang baru saja memberikan kode. Dia menggelengkan kepala. "Kamu mau Rea keluar dari tempat ini dengan selamat, kan?" bisiknya. "Iyalah. Bisa dibawain pemukul aku kalau Rea gak keluar dengan selamat dari tempat ini."Pastinya. Bang Wira tidak akan terima, kalau Rea keluar tidak utuh dari tempat ini. "Maka nya, diam."Kami masih diam di tempat. Bersembunyi. Aku mengikuti perkataan Kak Anton. Benar katanya, aku tidak mungkin membiarkan anakku dalam bahaya. Entah apa yang akan dilakukan oleh Ayna. Kenapa dia sampai menculik Rea?"Kita mulai penyergapan." Kak Anton memberikan penutup mulut, membuatku mengernyit. Untuk apa?"Cepetan ambil." Kak Anton menatapku gemas. "Buat apa, Kak?""Kamu mau ikutan diculik kayak Rea? Lihat itu, banyak orang yang menjaga Rea. Bukan hanya wanita itu."Buru-buru aku mengambil penutup wajah yang diberikan oleh Kak Anton, kemudian memakainya. "Udah siap belum?""Udah.""Ayo, kita serbu sekarang."Aku dan Kak Anton ber
"Hah?! Gila kali, ya. Uang segitu banyak dari mana?" Tidak bisakah orang ini berpikir panjang? Kenapa dia malah mau memelorotiku. "Ini siapa, sih? Kenapa ngancam-ngancam?" tanyaku kesal. "Selain tidak pintar, kamu juga lambat berpikir, ya."Mendengar itu, wajahku memerah. Orang ini, membuatku marah saja. Dasar menyebalkan. "Anak kamu ada di tangan saya. Saya tunggu satu kali dua puluh empat jam. Atau anak ini, tidak akan pernah selamat."Aku mengembuskan napas pelan. Diam beberapa saat. Baiklah, aku akan menghubungi Kak Anton. Bertanya bagaimana baiknya. Baru saja menyalakan ponsel, Kak Anton sudah menghubungi duluan. Aku menggeser tombol berwarna hijau. "Halo, Ndre. Kamu dimana? Udah ketemu belum sama Rea?""Belum, Kak, tapi—""Astaga, kemana anak itu. Kenapa gak ketemu juga?""Ada yang nelepon Andre, Kak. Ada suara Rea juga, tapi dia minta tembusan lima ratus juta."Kak Anton diam sejenak di sana. "Posisi dimana, Ndre? Mbak sama Kakak kesana sekarang.""Masih di depan rumah,
"Yaudah, Mbak matiin teleponnya. Kamu pikirin baik-baik lagi, Ndre. Jangan sampai menyesal."Aku memalingkan wajah, kemudian kembali fokus menyetir. "Kenapa kamu sekarang jadi tidak mau membela Mama, Mas?""Pertanyaan apa itu, Wen?" tanyaku pelan. "Udah keliatan banget, Mas. Kamu berusaha menghindar dari Mama."Mendengar pertanyaan itu, aku tertawa. "Aku cuma gak mau ribut samakamu lagi. Hanya gara-gara Mama.""Tapi gak kayak gitu juga, Mas. Itu namanya kamu durhaka sama Mama. Itu gak baik.""Wen, udahlah. Jangan bersikap baik lagi sama Mama. Kamu udah disakitin, masih aja bela Mama.""Mas, selama itu kewajiban Weni sebagai istri buat ngingatin kamu, apa salahnya? Aku memang mau keadilan, tapi gak gini caranya."Aku menghentikan laju mobil di pinggir jalan, menatap Weni lembut."Mulai sekarang, kamu tenang aja. Aku bakalan selalu ada. Kehidupan kita bakalan tanpa Mama atau orang lain."***"Selamat datang di rumah kita yang baru." Aku membukakan pintu mobil untuk Weni. "Makasih, Ma
"Kamu lebih percaya sama rekaman pembohong itu, Ndre? Kamu gak percaya sama aku?"Mendengar itu, aku tertawa. Siapa yang mau percaya padanya, kalau dia saja pembohong?Ah, aku paling tidak suka dengab orang pembohong. "Kamu mau memilikiku, Ay?!" tanya pelan, tapi tegas."Ndre." Dia memasang wajah memohon. "Gak capek dramanya, Ay? Gak puas kamu mau hancurin rumah tanggaku? Belum puas kamu, hah?!" Wajahku memerah, sejak tadi menahan marah. Weni memegang tanganku. Saat aku menoleh, dia menggelengkan kepala. "Kamu tidak akan mengotori tangan kamu sendiri, kan, Mas?" biskk Weni. Ah, benar juga. Aku tidak akan pernah mengotori tanganku sendiri. Baiklah. Jaga sikap. "Kamu tahu, Ay. Orang yang mengganggu hidupku tidak akan pernah tenang. Walaupun Mama yang mengusuli itu, tapi kamu berperan penting di sini.""Lho, kok cuma aku? Harusnya Mama kamu juga ditangkap. Aku gak mau masuk penjara sendiri, Ndre."Aku mengabaikan perkataan Ayna. Dia harus tahu, kalau aku marah bagaimana. "Sini." A
"Ngapain kamu di sini?" tanyaku sambil menatap Ayna galak. Tanpa rasa bersalah, wanita itu mengangkat bahu. Dia langsung duduk di sebelahku, tidak peduli dengan Weni yang tampak terkejut. Aku menghela napas pelan, kalau bisa, wanita ini pergi dari hadapanku sekarang. "Eh, ini siapa? Pembantu barunya Andre, ya?" "Ayna! Bisa jaga ucapan kamu gak?!" Aku menyergahnya. "Apaan, sih? Andre, kamu jangan buat kesal, ya. Nyebelin banget, deh." Kenapa, sih, dengan Ayna? Padahal, hampir beberapa hari ini dia tidak muncul di hadapanku. Kenapa hari ini dia muncul? Mengganggu acaraku dengan Weni lagi. "Siapa dia, Mas?" tanya Weni, dia berbisik ke aku. "Orang gila. Jangan ditanggapi, Wen. Dia cuma mau cari perhatian." Aku menjawab pertanyaan Weni dengan berbisik juga. Semoga Weni bisa mengerti siapa Ayna sebenarnya. Aku melirik Weni, dia mengangguk-anggukkan kepala. "Mbak sebenarnya siapanya Andre?"Eh? Weni malah bertanya seperti itu. Tidak ada embel-embel Mas-nya lagi. Kenapa dia malah me
"Hah? Serius, Mbak?" tanyaku sedikit terkejut. "Masa Mbak bercanda. Ayo cepetan, putar balik."Aku mengangguk, berputar balik. Sepanjang perjalanan, aku sering sekali melirik Weni yang sibuk dengan bayi kami. Sebenarnya, aku takut kalau Weni tidak enak datang ke rumah sakit bertemu dengan Mama. Sampai di rumah sakit, aku memarkirkan mobil. Mbak Linda langsung turun. Sedangkan Weni masih diam di tempatnya. "Kamu tunggu di mobil aja, ya. Takutnya malah gak mau ketemu sama Mama. Aku gak bakalan maksa kamu, kok."Aku mengusap kepala bayiku. "Adek sama Mama di mobil, ya. Papa keluar sebentar."Baru setelah itu, aku keluar dari mobil. Melangkah masuk ke dalam rumah sakit. "Mas."Eh? Aku menoleh. Menatap Weni. Dia ikut keluar dari mobil. Ada apa?"Aku ikut."Serius? Apakah semuanya akan baik-baik saja, kalau Weni ikut masuk ke dalam? Ah, aku tidak yakin. "Janji, deh. Aku gak bakalan buat aneh-aneh. Aku cuma mau lihat kondisi Mama kamu. Itu aja."Buka itu yang aku takutkan. Aku takut, M
"Cie. Udah kayak pengantin baru."Weni buru-buru melepaskan pegangan kami, ketika suara Mbak Linda terdengar. "Apaan, sih, Mbak." Aku melotot ke Mbak Linda. "Kalau ada masalah, bicarain berdua. Kalian itu udah cocok, jangan sampai Mbak dengar ada masalah lagi."Aku tersenyum, mengusap leher. "Iya, Mbak."Hampir dua jam aku di sini. Membantu memindahkan barang-barang. Lelah juga rasanya. Aku meregangkan tubuh. Sebenarnya, ini masih pukul sembilan malam, tapi sudah pegal-pegal. "Kak Anton jadinya kerja di mana?" tanyaku sambil melirik Kak Anton yang baru saja duduk. Dia sejak tadi sibuk di dalam. "Ya, mulai dari awal lagi. Karyawan. Gak kayak kamu yang udah naik pangkat.""Apaan, sih, Kak. Kalau Kakak mau, aku bisa bantuin masukin Kakak lagi ke kantor.""Serius, Ndre?" tanya Kak Anton. Aku tahu, masih ada harapan di mata Kak Anton. Dia ingin sekali kembali bekerja di perusahaan, tapi tidak bisa juga. "Serius, Kak. Bos gak bakalan marahin. Buat Kakak apa, sih, yang enggak?"Kami d