"Kamu serius mau tahu syaratnya, Mas?"Dengan tegas aku mengangguk. Aku memang serius ingin kembali dengan Weni. Jadi, apa pun persyaratannya, akan aku penuhi. Apalagi uangku sudah terpakai banyak sekali. "Ini."Aku menatap kertas yang baru saja disodorkan Weni. Kertas apa itu? "Buka aja." Dia berkata tenang. Baiklah. Aku membuka kertas yang dilipat menjadi dua itu. Mulai membacanya. Ada beberapa poin penting di sana. Aku mengembuskan napas pelan. Mulai membaca persyaratan. "Pindah rumah."Baiklah. Itu sudah terwujud. Weni mengangguk, dia kembali menyuruhku membaca. "Sayang pada anak-anak." Pandanganku berpindah ke Weni. "Aku akan usahain. Semaksimal mungkin."Meskipun ragu, Weni kembali mengangguk. "Tolong adil antara Mama kamu dan aku."Aku diam sejenak. Memangnya selama ini, aku tidak adil pada Weni? Perasaan, aku selalu adil. Bahkan, aku mengabaikan perkataan Mama untuk Weni. Tapi baiklah. Aku tidak mungkin protes. Malah Weni langsung pergi kalau begitu. "Oke. Aku akan
"Heh, kamu ngomong apa, sih, Ndre? Mama gak ngerti."Sungguh, bicara dengan Mama tidak akan pernah ada habisnya. Aku mengusap dahi, menghela napas pelan. "Kamu dengar, Ndre. Mama bakalan cariin suami baru buat Mbak kamu. Mama juga yang bakalan urus surat perceraian mereka.""Terserah Mama. Kalau Mama tetap melakukannya, Andre gak akan pernah kembali lagi ke rumah ini." Aku menahan kesal. "Andre juga gak akan jengukin Mama. Sampai kapan pun."Bergegas aku masuk ke dalam kamar Rea, mengajaknya pulang ke rumah. Tidak ada gunanya berbicara lagi dengan Mama. Sekali keras kepala, selamanya akan seperti itu. Entah kapan Mama akan sadar, kalau itu semua merusak kebahagiaan anak-anaknya. "Andre! Jangan jadi anak durhaka, ya, kamu!""Andre gak pernah mau jadi anak durhaka, Ma. Mama yang buat Andre kayak gitu."Aku menarik tangan Rea pelan. Kami masuk ke dalam mobil. Sampai di rumah, aku mengajak Rea masuk ke dalam. "Kita gak ke rumah Tante Linda, Pa? Ini rumah siapa?""Ini rumah kita yang
Ruangan seketika hening. Mama dan Papa Weni saling bertatapan. Mereka tampak sedang mempertimbangkan perkataanku."Ini bukti kalau saya sedang ada tugas. Kalau Mama dan Papa tidak percaya."Aku melirik Bang Wira yang sibuk memperhatikanku sejak tadi. Dari wajahnya, masih belum percaya.Baiklah. Tidak masalah, aku maish punya banyak waktu."Papa, Rea kapan berangkat sekolahnya? Udah jam segitu."Kami menoleh ke arah yang ditunjuk Rea."Rea berangkat sama Om, ya, hari ini. Papa lagi sibuk.""Sama Om?" tanya Rea, matanya berbinar."Iya, ayo."Bang Wira menggandeng tangan Rea. Mereka sudah keluar rumah.Aku mengembuskan napas lega. Itu tandanya, Bang Wira sudah percaya denganku. Meskipun hanya sebatas menjaga Rea."Jangan lupa telepon Papa setiap hari. Rea juga tetap butuh kamu."Apakah ini artinya, mereka sudah mempercayaiku?"Pasti, Pa. Saya berangkat dulu."Tanpa basa-basi, aku menyalami Mama dan Papa Weni. Mereka terlihat biasa saja sekarang."Makasih."Eh? Aku berbalik. Menatap Weni
"Hah?! Hamil? Hamil anak siapa?" tanyaku terkejut, sambil melepaskan pelukan Ayna. Wanita ini. Kenapa dia bisa melakukan hal seperti itu? Padahal dulu, aku mengenalnya lemah lembut. Tidak pernah macam-macam. Lalu sekarang?Sekarang? Kenapa?"S—sama laki-laki tadi, Ndre." Isak tangis Ayna pecah. Bisa bahaya. "Sstt, jangan nangis. Nanti ada yang ngira enggak-enggak lagi."Ayna tetap menangis. Hampir lima menit aku menunggunya. Mana ponselku sejak tadi berdering terus."Aku gak tau harus ngapain, Ndre. Aku bingung.""Ngapain bingung? Hubungi pria itu, minta tanggung jawab dia. Masa maunya enak aja.""Gak segampang itu, Ndre. Enggak."Apanya sih? Aku mengambil paksa ponsel Ayna. Bicara saja sulit sekali. Dia mau anak itu lahir tanpa papa? Mendingan memaksa, dari pada tidak sama sekali. Terdengar nada sambung. Aku menyenderkan punggung, menunggu telepon diangkat. "Ngapain lagi, sih, telepon? Sudah aku bilang, kamu gak usah hubungin aku. Dasar cewek gak berguna."Aku mengernyit. Kasar
"Hah?! Gila kali, ya." Refleks, aku berteriak. Aku menggelengkan kepala. Tidak paham dengan jalan pemikiran kedua wanita ini. "Gak ada yang gila, Ndre. Kamu lebih gila, kalau membiarkan Ayna melahirkan anak sendirian.""Kamu tahu, Ina, janin yang ada di kandungan Ayna bukan anak aku. Aku saja tidak tahu seluk beluknya, lalu aku yang disuruh untuk bertanggung jawab, begitu? Enak saja.""Andre, ayolah. Aku mohon. Aku gak mau merasa bersalah terus ke Ayna, karena udah ngenalin cowok kurang ajar itu."Tawaku meledak mendengarnya. "Harusnya, kamu minta pria itu bertanggung jawab. Bukan orang lain yang gak tau apa-apa."Sungguh, kalau mereka berdua bukan wanita, sudah aku habisi sejak tadi. "Aku mesini untuk pekerjaan, bukan umtuk dipaksa-paksa menikahi wanita. Niatnya mau hidup tenang, malah begini."Aku beranjak. Tidak tahan dengan pembicaraan kami ini. Rasa laparku mendadak jadi kenyang. Aku sepertinya harus cepat-cepat menyelesaikan pekerjaan di sini. "Ndre."Ah, aku terlalu lemah
"Mama apaan, sih? Baru juga Andre datang. Udah marah-marah. Awas cepat tua."Wajah Mama memerah. Dia hampir saja berteriak kembali, kalau Rea tidak berteriak. "Oma gak boleh teriak ke Papa." Rea menatap Mama kesal, aku bahkan harus menahannya agar tidak kesana."Ini juga. Tinggal di rumah ibunya, malah jadi melawan kayak gini."Mama berkacak pinggang, menatap Rea galak. Membuatku harus menggendong Rea. "Betul kata Rea, Ma. Andre udah besar. Gak perlu diatur-atur lagi. Andre gak butuh." "Kamu ini, susah banget diomongin. Kena racunnya si Weni kayaknya kalian."Wajah Mama memerah. Berganti berpindah ke Kak Anton. "Kamu segera juga pisah dari Linda. Saya sudah tidak merestui lagi." Ketus Mana"Apalagi yang Mama cari? Ma, kalau gak ada Kak Anton, gak bakalan ada rumah ini. Semuanya gak ada." Aku berusaha membela kakak iparku itu.""Saya tidak akan pisah dari Linda, Ma. Lagi pula, Andre masih butuh banyak bantuan saya."Terdengar tawa Mama. "Bantuan apa? Bantu buat kembali sama wanita
"K—kamu nyerah, Mas? Nyerah sama hubungan kita?" Suara Mbak Linda terdengar bergetar. Aku buru-buru menggandeng tangan Rea. Kami mendesak masuk ke dalam rumah. "Iya, Lin. Aku nyerah. Udah berusaha bertahan, cukup. Aku gak bisa lagi.""Kakak gak bisa kayak gitu, dong. Kenapa gak bisa bertahan?" Aku menatap Kak Anton. Sejenak, kami semua diam. Apalagi melihat ada Rea. "Kak?" Aku menyuruh Rea masuk ke dalam kamarku yang ada di sini. Kak Anton terduduk. Pandangannya tampak kosong, seperti telah berbuat kesalahan besar. Aku menoleh ke Mbak Linda yang ikut duduk di lantai. Beberapa detik, dia terisak. Jujur. Berada di posisi ini sulit. Aku jongkok, menatap Mbak Linda. Berapa tahun mereka menikah, harus menyerah sekarang. Semuanya karena Mama. Gemetar tanganku mengambil ponsel, diam-diam merekam semuanya. "Capek aku berusaha mempertahankan rumah tangga ini. Gak berhenti buat membangun semuanya. Lalu sekarang? Benar-benar tahun yang sia-sia."Mbak Linda memukul lantai. Wajahnya tamp
"Pak, ini maksudnya gimana, ya? Maaf, saya belum paham."Aku menelan ludah, meremas amplop putih itu. Bisa bahaya, apalagi sedang gawat sekali sekarang. Apa reaksi Kak Anton melihat kertas ini? Apakah dia juga sama terkejutnya sepertiku? Atau biasa-biasa saja. "Karena kinerja yang benar-benar menurun sampai merugikan perusahaan. Bahkan, kantor cabang di Semarang goyang gara-gara kakak ipar kamu."Separah itukah? Aku mengusap wajah mendengarnya. "Saya udah berusaha kasih keringanan. Biar Anton memperbaiki kinerjanya. Tapi percuma. Jangankan memperbaiki, dia saja tidak memenuhi panggilan saya."Aku menatap amplop di tangan. "Apakah tidak ada keringanan lagi, Pak? Saya mohon, Pak. Keluarga saya lagi banyak masalah.""Itu udah paling ringan. Untung kakak kamu gak dimasukin ke penjara."Astaga. Itu lebih parah."Maaf, ya. Saya harus mengikuti peraturan dari kantor. Meskipun kamu adalah karyawan kebanggaan da paling profesional, tapi maaf. Saya gak bisa bantu kamu."Baiklah. Dari pada a
"Maafkan Andre. Selama ini, Andre menghindar dari Mama. Andre salah, Ma. Maafkan Andre."Dulu, aku benar-benar menyayangi Mama. Menjaga pola makannya, semua aku jaga.Karena ada amanat dari Papa, tapi semenjak Mama memanfaatkan semuanya dariku, aku tidak lagi percaya pada Mama.Ah, apakah sekarang waktunya penyesalan? Atau saatnya memperbaiki semuanya?Aku mencium tangan Mama berkali-kali. Sedangkan Weni mengusap punggungku, berusaha menenangkan."Jangan teriak-teriak, Ndre." Mbak Linda menegurkuAstaga. Aku menutup mulut. Menatap Mama yang tampak payah. Sepertinya, rasa sakit itu terasa sekali."Mimpi apa Mama tadi malam, kamu bisa adadi sini hari ini, Ndre."Kami semua menoleh ke Mama. Wajah Mama terlihat tirus, sangat berbeda dari empat tahun yang lalu.Ini kegagalanku selanjutnya. Setelah Weni dan menegur Mama dulu. Ini juga yang menyakitkan bagiku."Semua karena Mbak Linda, Ma." Pandanganku juga beralih ke Weni. "Dan istri Andre, Weni.""Iya, Ndre. Mama tahu. Mama menyesal sudah
"Mas, ayo." Aku mengangguk, mengambil alih koper yang dibawa Weni. Kemudian mengunci pintu rumah. "Kebiasaan, deh. Aku mau bawa kopernya gak boleh.""Gak boleh, dong. Nanti kamu kecapekan.""Udah kayak pengantin baru aja, nih."Eh? Kami berdua kompak menoleh ke depan. Mbak Linda melipat tangannya di depan dada, tersenyum. "Mbak. Apa kabar?" Weni langsung menyalami Mbak Linda. Kami memang jarang bertemu dengan Mbak Linda dan Kak Anton. Ada banyak alasannya, salah satunya adalah pekerjaan aku dan Kak Anton. Rencananya, aku dan Weni akan liburan sekarang. Rea sudah di dalam mobil. Menunggu kami berangkat saja. "Eh, mana Rea cantik?" tanya Mbak Linda sambil menoleh ke mobil. "Di dalam mobil sama Putra, Mbak. Mana Kak Anton?" tanyaku sambil merangkul pinggang Weni. Putra adalah bayiku dulu. Sekarang, dia sudah empat tahun. Nah, selama empat tahun terakhir, aku memutuskan pindah ke rumah yang lebih luas. Dua tahun aku ditugaskan ke luar kota, mengajak Rea dan Putra. Sekarang, sud
"Sstt...."Aku menoleh ke Kak Anton yang baru saja memberikan kode. Dia menggelengkan kepala. "Kamu mau Rea keluar dari tempat ini dengan selamat, kan?" bisiknya. "Iyalah. Bisa dibawain pemukul aku kalau Rea gak keluar dengan selamat dari tempat ini."Pastinya. Bang Wira tidak akan terima, kalau Rea keluar tidak utuh dari tempat ini. "Maka nya, diam."Kami masih diam di tempat. Bersembunyi. Aku mengikuti perkataan Kak Anton. Benar katanya, aku tidak mungkin membiarkan anakku dalam bahaya. Entah apa yang akan dilakukan oleh Ayna. Kenapa dia sampai menculik Rea?"Kita mulai penyergapan." Kak Anton memberikan penutup mulut, membuatku mengernyit. Untuk apa?"Cepetan ambil." Kak Anton menatapku gemas. "Buat apa, Kak?""Kamu mau ikutan diculik kayak Rea? Lihat itu, banyak orang yang menjaga Rea. Bukan hanya wanita itu."Buru-buru aku mengambil penutup wajah yang diberikan oleh Kak Anton, kemudian memakainya. "Udah siap belum?""Udah.""Ayo, kita serbu sekarang."Aku dan Kak Anton ber
"Hah?! Gila kali, ya. Uang segitu banyak dari mana?" Tidak bisakah orang ini berpikir panjang? Kenapa dia malah mau memelorotiku. "Ini siapa, sih? Kenapa ngancam-ngancam?" tanyaku kesal. "Selain tidak pintar, kamu juga lambat berpikir, ya."Mendengar itu, wajahku memerah. Orang ini, membuatku marah saja. Dasar menyebalkan. "Anak kamu ada di tangan saya. Saya tunggu satu kali dua puluh empat jam. Atau anak ini, tidak akan pernah selamat."Aku mengembuskan napas pelan. Diam beberapa saat. Baiklah, aku akan menghubungi Kak Anton. Bertanya bagaimana baiknya. Baru saja menyalakan ponsel, Kak Anton sudah menghubungi duluan. Aku menggeser tombol berwarna hijau. "Halo, Ndre. Kamu dimana? Udah ketemu belum sama Rea?""Belum, Kak, tapi—""Astaga, kemana anak itu. Kenapa gak ketemu juga?""Ada yang nelepon Andre, Kak. Ada suara Rea juga, tapi dia minta tembusan lima ratus juta."Kak Anton diam sejenak di sana. "Posisi dimana, Ndre? Mbak sama Kakak kesana sekarang.""Masih di depan rumah,
"Yaudah, Mbak matiin teleponnya. Kamu pikirin baik-baik lagi, Ndre. Jangan sampai menyesal."Aku memalingkan wajah, kemudian kembali fokus menyetir. "Kenapa kamu sekarang jadi tidak mau membela Mama, Mas?""Pertanyaan apa itu, Wen?" tanyaku pelan. "Udah keliatan banget, Mas. Kamu berusaha menghindar dari Mama."Mendengar pertanyaan itu, aku tertawa. "Aku cuma gak mau ribut samakamu lagi. Hanya gara-gara Mama.""Tapi gak kayak gitu juga, Mas. Itu namanya kamu durhaka sama Mama. Itu gak baik.""Wen, udahlah. Jangan bersikap baik lagi sama Mama. Kamu udah disakitin, masih aja bela Mama.""Mas, selama itu kewajiban Weni sebagai istri buat ngingatin kamu, apa salahnya? Aku memang mau keadilan, tapi gak gini caranya."Aku menghentikan laju mobil di pinggir jalan, menatap Weni lembut."Mulai sekarang, kamu tenang aja. Aku bakalan selalu ada. Kehidupan kita bakalan tanpa Mama atau orang lain."***"Selamat datang di rumah kita yang baru." Aku membukakan pintu mobil untuk Weni. "Makasih, Ma
"Kamu lebih percaya sama rekaman pembohong itu, Ndre? Kamu gak percaya sama aku?"Mendengar itu, aku tertawa. Siapa yang mau percaya padanya, kalau dia saja pembohong?Ah, aku paling tidak suka dengab orang pembohong. "Kamu mau memilikiku, Ay?!" tanya pelan, tapi tegas."Ndre." Dia memasang wajah memohon. "Gak capek dramanya, Ay? Gak puas kamu mau hancurin rumah tanggaku? Belum puas kamu, hah?!" Wajahku memerah, sejak tadi menahan marah. Weni memegang tanganku. Saat aku menoleh, dia menggelengkan kepala. "Kamu tidak akan mengotori tangan kamu sendiri, kan, Mas?" biskk Weni. Ah, benar juga. Aku tidak akan pernah mengotori tanganku sendiri. Baiklah. Jaga sikap. "Kamu tahu, Ay. Orang yang mengganggu hidupku tidak akan pernah tenang. Walaupun Mama yang mengusuli itu, tapi kamu berperan penting di sini.""Lho, kok cuma aku? Harusnya Mama kamu juga ditangkap. Aku gak mau masuk penjara sendiri, Ndre."Aku mengabaikan perkataan Ayna. Dia harus tahu, kalau aku marah bagaimana. "Sini." A
"Ngapain kamu di sini?" tanyaku sambil menatap Ayna galak. Tanpa rasa bersalah, wanita itu mengangkat bahu. Dia langsung duduk di sebelahku, tidak peduli dengan Weni yang tampak terkejut. Aku menghela napas pelan, kalau bisa, wanita ini pergi dari hadapanku sekarang. "Eh, ini siapa? Pembantu barunya Andre, ya?" "Ayna! Bisa jaga ucapan kamu gak?!" Aku menyergahnya. "Apaan, sih? Andre, kamu jangan buat kesal, ya. Nyebelin banget, deh." Kenapa, sih, dengan Ayna? Padahal, hampir beberapa hari ini dia tidak muncul di hadapanku. Kenapa hari ini dia muncul? Mengganggu acaraku dengan Weni lagi. "Siapa dia, Mas?" tanya Weni, dia berbisik ke aku. "Orang gila. Jangan ditanggapi, Wen. Dia cuma mau cari perhatian." Aku menjawab pertanyaan Weni dengan berbisik juga. Semoga Weni bisa mengerti siapa Ayna sebenarnya. Aku melirik Weni, dia mengangguk-anggukkan kepala. "Mbak sebenarnya siapanya Andre?"Eh? Weni malah bertanya seperti itu. Tidak ada embel-embel Mas-nya lagi. Kenapa dia malah me
"Hah? Serius, Mbak?" tanyaku sedikit terkejut. "Masa Mbak bercanda. Ayo cepetan, putar balik."Aku mengangguk, berputar balik. Sepanjang perjalanan, aku sering sekali melirik Weni yang sibuk dengan bayi kami. Sebenarnya, aku takut kalau Weni tidak enak datang ke rumah sakit bertemu dengan Mama. Sampai di rumah sakit, aku memarkirkan mobil. Mbak Linda langsung turun. Sedangkan Weni masih diam di tempatnya. "Kamu tunggu di mobil aja, ya. Takutnya malah gak mau ketemu sama Mama. Aku gak bakalan maksa kamu, kok."Aku mengusap kepala bayiku. "Adek sama Mama di mobil, ya. Papa keluar sebentar."Baru setelah itu, aku keluar dari mobil. Melangkah masuk ke dalam rumah sakit. "Mas."Eh? Aku menoleh. Menatap Weni. Dia ikut keluar dari mobil. Ada apa?"Aku ikut."Serius? Apakah semuanya akan baik-baik saja, kalau Weni ikut masuk ke dalam? Ah, aku tidak yakin. "Janji, deh. Aku gak bakalan buat aneh-aneh. Aku cuma mau lihat kondisi Mama kamu. Itu aja."Buka itu yang aku takutkan. Aku takut, M
"Cie. Udah kayak pengantin baru."Weni buru-buru melepaskan pegangan kami, ketika suara Mbak Linda terdengar. "Apaan, sih, Mbak." Aku melotot ke Mbak Linda. "Kalau ada masalah, bicarain berdua. Kalian itu udah cocok, jangan sampai Mbak dengar ada masalah lagi."Aku tersenyum, mengusap leher. "Iya, Mbak."Hampir dua jam aku di sini. Membantu memindahkan barang-barang. Lelah juga rasanya. Aku meregangkan tubuh. Sebenarnya, ini masih pukul sembilan malam, tapi sudah pegal-pegal. "Kak Anton jadinya kerja di mana?" tanyaku sambil melirik Kak Anton yang baru saja duduk. Dia sejak tadi sibuk di dalam. "Ya, mulai dari awal lagi. Karyawan. Gak kayak kamu yang udah naik pangkat.""Apaan, sih, Kak. Kalau Kakak mau, aku bisa bantuin masukin Kakak lagi ke kantor.""Serius, Ndre?" tanya Kak Anton. Aku tahu, masih ada harapan di mata Kak Anton. Dia ingin sekali kembali bekerja di perusahaan, tapi tidak bisa juga. "Serius, Kak. Bos gak bakalan marahin. Buat Kakak apa, sih, yang enggak?"Kami d