Home / Romansa / Ranjang Pengantin / Chapter 21 - Chapter 30

All Chapters of Ranjang Pengantin : Chapter 21 - Chapter 30

39 Chapters

Dua Puluh Satu

Kondisi Jim sebenarnya semakin membaik, cidera yang dideritanya hanya bagian leher dan kepala, sedangkan pinggang ke bawah saat itu jatuh membentur rumput taman, sedangkan kepala menghantam beton pembatas antara rumput dan kolam buatan.Pagi ini, Jim mulai melupakan kursi rodanya, gips masih setia menyangga lehernya, sedangkan kepala yang botak itu masih nyeri sesekali. Luka operasi sudah mengering dengan sempurna.Luna muncul dari dapur dengan apron bunga-bunga kesayangannya. Sedangkan Jim baru keluar dari kamar dengan wajah bantal khas bangun tidur. Tidurnya sangat nyenyak, bahkan dia baru terjaga saat ponsel Luna meraung tak sabar.Hari ini adalah hari Minggu, mereka pasti akan menghabiskan waktu seharian di rumah. Sebenarnya Luna agak terganggu dengan adanya Jim di apartemennya, dia lebih suka sendiri dan melakukan apa yang dia suka tanpa adanya orang lain disekitarnya. Membersihkan rumah atau merawat tanaman hias yang ditanam dan digantung di balkon kamarnya, atau membuat pernak-
Read more

Dua Puluh Dua

Seharian, Luna menjaga jarak dengan Jim. Dia lebih memilih berkutat dengan laptopnya dan mengurung diri di kamar, apa yang terjadi di luar dugaannya, membuat Luna menyesali dirinya yang hanyut kerena pesona laki-laki itu. Sedangkan Jim sangat resah, wanita itu menyiapkan makan malam tapi tak ikut duduk makan bersama seperti biasanya, saat dia keluar kamar menuju kamar mandi saat berwudhu, Luna menganggap Jim tidak ada. Semua jadi serba salah, setelah kemesraan intim itu, Luna malah semakin menjauh.Jim masih ingat, bagaimana reaksi wajah Luna yang berhasil mengembalikan kesadarannya lebih dulu, gadis itu membelalak dan menutup mulutnya, mengemasi pakaian basahnya yang tercecer. Mereka hampir melakukannya, di tempat yang tidak tepat dan situasi yang tidak tepat juga.Jim melirik pintu kamar Luna, kemudian mematikan televisi yang sedari tadi tampak membosankan baginya. Haruskah Jim memberi penjelasan pada gadis itu? Tapi buat apa? Jim bangkit hati-hati, berjalan perlahan dan mengetuk
Read more

Dua Puluh Tiga

Luna berusaha untuk fokus dengan laporan di depannya. Setelah melalui malam pertama secara tak sengaja, pagi-pagi sekali Luna sudah berkemas dan berangkat menuju kantor, meninggalkan Jim yang masih tertidur pulas. Bahkan security-nya saja belum datang, untung saja Luna punya kunci kantor sehingga bisa datang dan pulang kapan saja.Luna mengabaikan kondisinya yang tak nyaman. Rasa sakit dan nyeri itu masih kentara di sana. Luna tak habis pikir, ide isengnya malah menenggelamkan dia sendiri.Sekarang jam tujuh pagi, beberapa karyawannya sudah mulai berdatangan termasuk Lia. Gadis judes itu mengerutkan kening sambil menerobos masuk ke ruangan Luna tanpa permisi."Apa ini? Jam berapa kau datang, wajahmu terlihat kacau." Lia meneliti ingin tahu, wajah gelisah Luna tak bisa diabaikan begitu saja."Bisa kau tutup pintunya dulu? Aku tau betul, suara cemprengmu akan membuat se isi kantor tau apa yang akan aku ceritakan."Lia mendekati Luna. Lalu memicing curiga."Bibirmu bengkak, dan lecet. Ja
Read more

Dua Puluh Empat

Luna menatap Jim nyalang, sinar matanya berapi-api. Tapi ternyata Jim bukanlah orang yang mudah diintimidasi. Tanpa gentar dia maju merengsek sehingga membuat Luna terjebak di antara Jim dan dinding belakangnya.Luna mempertahankan raut wajahnya, menantang mata Jim dengan berani."Menjauhlah!" Luna berdesis. Jim tak menghiraukannya, tangan besarnya mengambil segenggam rambut Luna dan menghirup wangi wanita itu yang membuatnya mabuk kepayang. Jim memejamkan matanya, hal itu tak luput dari pengawasan Luna."Wangi ini, sangat berbekas di fikiranku." Jim membuka matanya, memandang sayu wajah Luna yang memerah."Aku tidak sedang bermain-main, Jim!""Kau pikir aku bermain-main mengurungmu di sini?" Jim meneliti urat nadi Luna yang berkedut di sepanjang lehernya. "Jim!" Luna mendorong tapi sedikitpun Jim tak bergeser. Tanpa Luna Duga, sebuah sentuhan lembut dan basah mendarat di lehernya. Kedua tangannya dicekal dan tak bisa bergerak.Luna ingin menolak, ingin menyumpahi pria itu, ingin men
Read more

Dua Puluh Lima

Luna melirik jam dindingnya, sudah jam 10 malam, belum ada tanda-tanda kepulangan Jim. Seharusnya dia tak perlu segelisah ini, kerena Jim sudah memberitahu bahwa hari ini dia ke rumah sakit melakukan pemeriksaan. Tapi ada yang janggal bagi Luna, dia terbiasa memberikan ocehan setiap malam pada laki-laki itu dan tak pernah dibantah oleh Jim. Rasanya ada yang kurang jika rutinitas itu tak terlaksana malam ini.Menelpon Jim? Rasanya itu terlalu berlebihan, Luna cukup mengunci pintu dan merebahkan dirinya dengan aman di atas ranjang, kalau pun Jim pulang, dia bisa bangun untuk membuka pintu, lagi pula dia bukan tipe wanita yang tidurnya sangat lelap. Suara berisik sedikit saja akan membuat dia terjaga.Satu jam Luna menunggu, setelah jam sebelas lebih, dia memutuskan untuk mengunci pintu dan masuk ke dalam kamar.*****Luna membuka pintu masuk apartemen, matanya langsung berserobok dengan Jim. Laki-laki itu tengah memakai jaket kulit warna coklat dan topi untuk menutupi kepalanya yang mul
Read more

Dua Puluh Enam

Luna belum juga beranjak dari meja makan bahkan setelah jam dinding menunjukkan pukul delapan pagi. Dia tak lagi mempedulikan akan terlambat ke kantor, hatinya resah tak tentu arah setelah mendengar berita yang disampaikan Jim.Luna mengaku kalah, ketidak munculan Jim diambang pintu kamar membuatnya sedikit penasaran.Luna berjalan menuju kamar Jim, mendorong pintu itu perlahan, lalu Luna mengedarkan pandangannya menyapu seisi ruangan. Koper sudah tergeletak di atas lantai kamar dan siap untuk dibawa. Ranjang pun sangat rapi seperti akan ditinggalkan untuk waktu yang lama. Buktinya, selimut yang biasa digunakan Jim sudah terlipat di lemari dengan pintu lemari yang belum sempat ditutup.Luna tergagap, saat pintu berderit, Jim memandangnya penuh tanya. Kapan laki-laki itu keluar dari kamar, perasaan Luna tak melihatnya kemana-mana."Hai...!" Jim tersenyum canggung. Menyembunyikan kantong plastik yang digenggamannya."Aku tak melihatmu ke luar.""Hmm, saat aku ke luar kau sedang asik den
Read more

Dua Puluh Tujuh

Luna memutuskan untuk mengunjungi rumah maminya. Wanita paruh baya itu tampak bahagia menyambutnya. Bahkan mami Luna langsung memakai apronnya dan berkutat di dapur.Setelah makan siang, mami Luna membawa sebuah makanan kesukaan anaknya itu."Makanlah! Mami membuatnya tadi pagi, mami yakin kau sudah lama tak memakannya." Mami Luna tersenyum, memandang anaknya yang menampakkan wajah menerawang. Tidak biasanya Luna datang ke rumahnya. Datangnya Luna merupakan sebuah kejutan bagi mami Luna.Luna menyendokkan puding jagung kesukaannya dulu ke mulutnya, rasanya sama, masih seenak dulu. Baru dia menyadari, dia terlalu asik dengan dirinya sendiri sampai lupa kapan terakhir kali dia mencicipi puding jagung buatan maminya."Bagaimana kabar Jim?"Luna meletakkan sendoknya. Kemudian menghela nafas."Jim pergi ke Singapura untuk berobat kembali." Luna menjawab singkat. Wajah maminya terlihat heran."Dia baik-baik saja kan?""Ada pendarahan di kepalanya, ibu Jim membawa ke Singapura untuk diobati
Read more

Dua Puluh Delapan

Luna mandang hamparan laut luas yang menakjubkan, pemandangan surga dunia yang menjadi impian liburan bagi sebagian besar penduduk dunia. Iya, dia sekarang sedang barada di Bali, ini adalah hari ke dua dia menikmati liburan yang seharusnya berkesan tapi terasa biasa saja baginya. Sudah lama Luna menginginkan liburan seperti ini, menenangkan diri sejenak sambil menikmati waktu untuk bersantai. Dia adalah penggila kerja dan bahkan menghabiskan hari Minggu dengan sketsa gaun penganten di kertas yang berhasil di coretnya. Pintu kamar hotel terbuka, menampakkan wajah Lia yang sudah terlihat kesal sejak tadi malam. Semalam Luna lebih memilih menghabiskan waktu dengan bermenung ditengah meriahnya acara ulang tahun Lia. Bahkan dia menolak saat tamu lain mengajaknya bermain game bersama sama."Apakah liburan itu menghabiskan waktu di dalam kamar tanpa merasakan bagaimana panasnya teriknya matahari dan kasarnya pasir pantai? Ayolah! Bahkan kita akan kembali ke Jakarta besok pagi. Tapi kau tak
Read more

Dua Puluh Sembilan

Luna merasa lututnya lemas, kabar itu sudah didengarnya setengah jam yang lalu. Papinya berkata, bahwa tak ada satu pasien pun di seluruh rumah sakit di Singapura atas nama Jim. Artinya, laki-laki itu tak pernah ke sana. Lalu Jim kemana? Bahkan orang terdekat yang diyakini sebagai orang yang paling tau keberadaan Jim saat ini, yaitu Marta tak mengetahui apa pun. Luna mulai cemas, dia sangat tau, kondisi Jim cukup buruk saat terakhir mereka bertemu, masih terbayang Dimata Luna, bibir pucat yang dipaksakan tersenyum, Serta mata kosong yang mengandung keputusasaan.Luna menyesalinya dirinya, seharusnya dia tak melepaskan suaminya begitu saja saat itu, seharusnya dia memastikan bahwa Jim benar-benar pergi berobat, seharusnya pagi itu mereka tak memulai pembicaraan dengan bertengkar, dan seharusnya dia memberi kesempatan ada dirinya untuk belajar menerima dan mencintai Jim yang cukup berjuang sendiri selama ini atas perasaannya.Bagaimana jika sesuatu terjadi pada laki-laki itu. Jim bahkan
Read more

Tiga Puluh

"Buka matamu, Lun! Kau harus melihatku saat ini." Suara Jim mengalun merdu menggelitik jiwa Luna dan membuat tubuhnya bergetar, tapi mata berbulu lentik itu masih enggan untuk terbuka. Dia lebih memilih merapatkan kelopak matanya dan memutup mulutnya sendiri."Tidak! Aku malu." Luna menggeleng, suaranya masih beradu dengan nafas tersengal, dia menutup wajahnya dengan ke dua tangannya, pipi merona itu sangat menggoda dan menggemaskan. Jim tersenyum, menyingkirkan sebelah tangan Luna dan menyelam ke mata berkabut milik istrinya."Kau berkeringat, sangat banyak, Lun. Rambutmu basah." Jim mengusap rambut panjang milik Luna, sebagian dari helaian itu menempel di jemarinya, Jim tak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk menghirup aroma wangi yang menguat dari rambut panjang dan lebat milik wanita itu. Luna mengerjap, dia memandang Jim dengan tatapan memuja. Tangannya terangkat menyentuh lengan Jim dan membuat laki-laki itu menahan nafasnya sendiri."Kau lebih berkeringat dariku." Mata Luna m
Read more
PREV
1234
DMCA.com Protection Status