Home / Romansa / Pernikahan Gila / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of Pernikahan Gila : Chapter 11 - Chapter 20

59 Chapters

Sebelas

Fajar mendorong bahu Raya menjauh, apa yang terjadi barusan sangat disesalinya. Mata bulat gadis itu terlihat sendu dan kecewa. Rambut basah yang berantakan milik Raya menutup sebelah matanya."Jangan menggodaku! aku ini adalah laki-laki, " ketus Fajar, mata itu kembali menatap Raya dingin seperti semula.Ucapan itu membuat Raya tersinggung dan terhina, apakah dia yang menggoda laki-laki itu? dia hanya menengadahkan wajah dan Fajar yang lebih dulu memulainya.Raya mengumpulkan rambutnya, menyampirkan di sisi kanan bahu, air mata bercampur dengan hujan menetes di pipinya. Sungguh ... sangat menyedihkan rasanya saat tertolak. Jika waktu bisa diputar, dia juga tak ingin itu terjadi."Aku akan mengantarmu kembali ke rumahmu, aku tak bisa terus-terusan menjagamu," ucap Fajar datar.Raya diam mengatupkan bibirnya, matanya lebih memilih melihat air banjir yang menggenang di bawah sana dibanding melihat wajah Fajar."Aku tidak mau," jawabnya.
Read more

Dua Belas

Hujan semakin lebat dan yang membuat sungai semakin meluap dan membawa batu- batu besar yang menghantam apa saja yang menghalanginya. Bunyi petir melengkapi suasana pagi yang mencekam.Fajar memejamkan matanya lelah. Membenamkan kepalanya di sisi bahu Raya. Tubuh sedingin mayat itu mulai berangsur hangat setelah proses perpindahan suhu yang dilakukan Fajar.Tak sedikitpun Fajar membiarkan fikirannya berbelok terhadap kesempurnaan ragawi yang indah milik Raya. Dia takkan mengambil kesempatan apa pun dalam hal ini. Dia memang murni menolong, tak ada yang akan membantah kecantikan wanita itu. Termasuk dirinya. Tapi dia adalah laki-laki terhormat yang takkan melakukan sentuhan berlebihan terhadap wanita yang bukan benar-benar istrinya.Fajar merasa matanya memberat, tubuh lelah itu butuh ustirahat setelah berjuang mempertahankan lebih dari satu nyawa yang ada saat ini. Fajar memasrahkan dirinya, tertidur pulas sambil mengungkung Raya.Tanpa sepengetahuan Faja
Read more

Tiga Belas

Di sini mereka sekarang, di sebuah tenda pengungsian bersama para korban lainnya. Tenda dibangun cukup banyak, berdiri disebuah bukit yang memiliki dataran cukup luas dan aman dari kemungkinanan banjir susulan.Dari tadi Fajar asik bercerita dengan warga lainnya, meninggalkan Raya yang lebih memilih bergelung dengan selimut di dalam tenda. Dia merasa tidak enak badan, berjam-jam diguyur hujan dan terserang hyportermia membuat tubuhnya belum pulih.Fajar begitu antusias dengan beberapa orang laki-laki dewasa di sekelilingnya. Entah berapa lama, Raya tidak begitu peduli. Mata Raya terbuka saat indra penciumannya menangkap aroma sedap yang membuat perutnya berontak minta diisi. Fajar, masuk ke dalam tenda membawa mangkok yang berisi mie instan yang masih mengepulkan asap.Dia menyodorkan mie itu kepada Raya, kemudian asik dengan mangkoknya sendiri."Kau asik sekali dengan obrolanmu," tegur Raya, setelah berhasil di evakuasi tadi, belum sepatah k
Read more

Empat Belas

Pagi menjelang siang, siang menuju sore dan sore merangkak malam. Malam ini tidak turun hujan lebat, namun, gerimis cukup membuat semua pengungsi lebih memilih masuk selimut di dalam tenda. Di tenda Fajar sendiri, dihuni oleh beberapa orang. Sekitar dua kepala keluarga. Ibu-ibu yang tidak tau siapa namanya, asik mengayunkan bayinya yang rewel. Sementara dua anaknya yang lain sudah tertidur lelap. Satu lagi ibu muda yang sedang hamil tua yang masih bercengkrama dengan suaminya. Memakai bahasa daerah yang tidak dimengerti oleh Raya.Raya berada agak jauh dari dua wanita yang asik dengan anggota keluarga masing-masing. Pada hari ini, para pengungsi mendapatkan baju bekas dan selimut. Raya mendapatkan dua baju bekas, kedua duanya daster batik tak berlengan sepanjang lutut.Raya sudah berusaha memejamkan matanya. Namun, tangis bayi itu sangat berisik dan membuatnya tidak bisa tidur. Raya menjadi cemas, apakah memiliki anak begitu merepotkan, dia tidak punya pen
Read more

Lima Belas

Raya memandang nanar punggung Fajar yang begitu betah membelakanginya. Ada rasa nyeri di dadanya saat laki-laki itu tak sedikit pun memberinya ruang untuk mendekatinya. Raya tidak bisa menampik lagi, hatinya tanpa sadar sudah tertawan dengan pria dingin itu. Entah sejak kapan, yang pasti ada letupan kecil di dadanya setiap mereka bertemu pandang.Raya duduk beringsut mendekati Fajar. Menyandarkan kepalanya kebahu pria itu. Gerimis tengah malam yang menyapu atap tenda menjadi irama tersendiri bagi hatinya yang sendu.Raya yakin, Fajar belum tidur. Namun laki-laki itu lebih memilih diam dari pada berbicara dengan Raya. Dia begitu tak terjamah, terlalu sulit untuk ditaklukkan.Raya berdehem membersihkan sumbatan di kerongkongannya. Mencoba meresapi kedekatan ini tanpa ada penolakan dari Fajar. Dengan penuh tekad Raya menelusupkan tangannya melingkar ke perut laki-laki itu. Aroma pinus menguar begitu kuat, membuat jantungnya semakin meletup kuat."Ini tidak b
Read more

Enam Belas

Fajar menata nafasnya, jalur pertama sudah dilewatinya, namun dia tidak menemukan Raya. Akhirnya Fajar mendaki kembali menuju jalur kedua, krasak krusuknya menganggu salah seorang laki-laki yang tengah menghangatkan tubuh di api unggun. Laki-laki berusia pertengahan tiga puluh itu mendekati Fajar."Ada apa, Dik?""Istri saya kabur, bang. Jalan yang ini sudah saya telusuri, tapi saya belum menemukannya," seru Fajar panik."Tunggu di sini! Saya akan kerahkan orang untuk membantu," kata laki -laki itu. Dia mematikan api rokoknya dan membuang ketanah, memanggil beberapa laki-laki dewasa lainnya yang sedang main kartu di dalam tenda.Tidak menunggu lama, beberapa laki -laki dewasa lainnya datang dengan lampu senter. Berembuk sebentar lalu Mereka langsung bergerak ke jalan yang belum ditempuh Fajar.Fajar cukup senang dengan pertolongan itu. Jika bergerak bersama, maka menemukan Raya akan semakin mudah. Dia pun tak perlu kawatir akan tersesat.Jal
Read more

Tujuh Belas

Raya membuka matanya perlahan, memandang langit-langit tenda yang berwarna biru tua. Dia mencerna semua yang terjadi padanya. Seharusnya dia sudah mati, tapi kenapa dia malah bisa berada di bawah selimut yang hangat dengan keadaan baik-baik saja.Dia menoleh saat Fajar tidur di sebelahnya. Fajar melipat tangan di atas dada tanpa memakai selimut. Wajahnya terlihat lelah, Raya belum menemukan jawaban apa pun dengan kondisinya sekarang ini.Tiba-tiba rasa sakit seperti melilit mendera perut bagian bawahnya, disertai dengan keluarnya cairan hangat yang dia sendiri tidak tau itu apa.Raya bangkit, mengintip sedikit di bawah selimut. Dia datang bulan, bukan, darah datang bulan tidak sebanyak ini, dan rasanya pun tidak sesakit ini. Semakin Raya bergerak semakin banyak darah itu keluar.Raya mengguncang bahu Fajar. Membuat laki-laki itu membuka mata. Cahaya matahari mulai masuk mengintip ke celah tenda."Kau sudah sadar?" Suara Fajar serak, dia bangkit men
Read more

Delapan Belas

Dua orang itu, saling membelakangi dalam diam. Raya sibuk dengan pikirannya, Fajar pun sibuk dengan dirinya. Hujan terdengar berisik saat berjatuhan di atas tenda. Pada sore tadi, air sungai sempat naik lagi menyapu jalan besar, walaupun ketinggiannya tidak setinggi yang kemaren.Raya mengeratkan selimut pada tubuhnya. Keadaannya mulai membaik, darah yang keluar sudah tidak sebanyak hari pertama. Tampaknya, obat yang diberikan dokter bekerja dengan maksimal. Ketika Fajar bertanya apakah dia merasa kehilangan? Tentu saja tidak, dari awal dia tidak menginginkan bayi itu, yang prosesnya membuat dia hancur dalam waktu semalam. Katakanlah dia kejam, namun itulah kenyataanya, mungkin...dengan gugurnya bayi itu, semua masalah akhirnya selesai.Raya membalikkan badannya menghadap bidang bahu yang lebar milik Fajar. Beberapa hari bersama pria itu, membuatnya mulai ketergantungan. Tidak dapat dipungkiri lagi, dia menyukai Fajar. Tapi perasaanya akan berakhir sia sia
Read more

Sembilan Belas

Menghitung menit, menit-menit yang menyakitkan. Fajar betah dengan diamnya dan Raya betah dengan pikirannya yang berkelana kesana kemari. Dua orang itu saling merenung dengan apa yang akan terjadi beberapa menit lagi. Bus para relawan sudah bersiap-siap, terdengat bunyi mesin mobil.yang sudah dinyalakan, menunggu para penumpang membereskan barang milik mereka.Raya hari ini sudah jauh lebih baik. Tidak tidur semalam suntuk memikirkan perpisahan mereka. Namun semua yang dikatakan Fajar benar, mereka harus kembali kepada keadaan seharusnya. Jika saja Fajar memiliki rasa yang sama dengannya, tentu semua berjalan sesuai keinginan hatinya, tapi laki-laki itu berulangkali menegaskan bahwa mereka tidak mungkin untuk bersama.Raya mendekati Fajar yang menatap datar dua bus yang terparkir di lapangan bukit. Matanya dingin, pikirannya tidak terbaca. Raya duduk berdekatan dengan laki laki itu, sehingga bahu mereka bersenggolan."Terimakasih atas semua yang kau
Read more

Dua Puluh

Raya menundukkan wajahnya. Meremas jari-jarinya pelan. Mata tua itu menatapnya tajam. Di sekelilingnya pengawal siap sedia menjaganya.Iya, memutuskan untuk kabur lalu kembali ke kota, tapi dia malah tertangkap. Hanya hitungan menit, pengawal ayahnya berhasil menyeretnya pulang. Fajar benar, dia takkan berdaya hidup sendiri. Buktinya, sekarang saja dia sudah terkurung kembali di rumah itu.Mahendra mengetatkan rahangnya. Kemudian mulai bersuara."Mana suamimu?""Kami sudah berpisah, janin itu sudah tidak ada lagi," jawab Raya datar. Sejenak tampak raut kaget di wajah tua itu, kemudian dia berhasil mengubah ekspresinya menjadi datar kembali."Baguslah." Mahendra menghisap kembali cerutunya. Lalu melanjutkan. " Berhentilah bermain-main, Raya! Kau sudah cukup umur untuk memimpin perusahaan, tak ada gunanya kau melarikan diri dari rumah," kata laki -laki itu pelan."Aku ingin menjadi orang biasa, ayah. Terkurung di sini membuatku menderita," suara Raya mulai meninggi."Dunia luar tidak b
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status