Home / Fantasi / Kucing Hitam Sang Penyihir / Chapter 1 - Chapter 10

All Chapters of Kucing Hitam Sang Penyihir: Chapter 1 - Chapter 10

37 Chapters

Prolog

Hanya satu kata yang bisa menggambarkan tentang diriku. Membosankan. Oh, sungguh, siapa yang mau tahu kisah hidupku yang sama sekali tak berwarna, penuh dengan gambar hitam-putih seperti TV zaman dulu? Aku hanya seorang gadis SMA biasa, tidak memiliki teman dan cenderung terlalu pendiam. Tidak ada yang berniat terlalu lama bersamaku, setidaknya, mengajakku mengobrol hanya untuk sekedar berbasa-basi. Ah ... jangan berharap mereka melakukannya. Kenapa? Yah ... jelas. Karena aku membosankan. Mungkin, karena itulah aku juga menganggap hidupku turut membosankan. Suram, kosong, tidak menarik. Namun
Read more

1. Aku (I)

Canda tawa terdengar, memenuhi ruangan yang bising dan ramai. Para remaja yang mengenakan seragam putih abu-abu saling bersorak. Tertawa dan mengobrol kala bel berbunyi dan guru keluar dari dalam ruang kelas, menyudahi pembelajaran hari ini.Membereskan buku-buku yang berada di atas meja. Sepasang kelereng gelap melirik ke bagian depan kelas, di mana beberapa gadis berkumpul dan sibuk mengobrol. Empat gadis remaja yang semuanya mengenakan seragam putih abu-abu terlihat cantik, mengobrol bersama dan saling mengomentari. Di antara para Siswi, keempatnya merupakan sosok yang paling menarik. Baik dari segi fisik, maupun otak.Caroline, Novi, Sarah dan Putri adalah keempat remaja yang paling populer di kelas XI-A. Bukan hanya pintar, tetapi juga cantik dan menjadi favorite para guru. Kesampingkan perihal orang tua mereka yang kaya, bermodalkan wajah dan otak encer, keempat remaja itu benar-benar bisa dikatakan sempurna.Oh, benar-benar sempurna ... seperti keluar dar
Read more

2. Aku (II)

Melangkah di jalan trotoar yang diteduhi oleh rimbun pepohonan, Corin menghela napas. Kepalanya menunduk, memperhatikan sepatuh hitam yang menginjak ubin batu yang tersusun rapi. Selangkah demi selangkah, setiap hentakan kaki yang mencumbu lantai terdengar begitu ringan hingga tidak memiliki suara. Pulang sendirian ... rasanya tidak menyenangkan. Sungguh, Corin ingin sekali bersuara. Mengajak satu atau dua teman yang searah rumahnya, untuk pulang bersama. Sangat sederhana, tetapi ... terlalu sulit untuk dilakukan. Setiap kali ia membuka mulut untuk mengatakan, rasa malu akan mencengkram, membuatnya kembali dilanda ketakutan untuk ditolak. Kerongkongannya terasa tercekik, jantungnya berdebar begitu kuat. Gugup sekali ... hingga ia lebih cenderung mundur dan berkata 'tidak apa' atau 'tidak jadi' dengan nada lemah. Pengecut! Gadis Yudhistira kembali merutuki dirinya. Hanya untuk berbicara ... ia sungguh tidak mampu. Sungguh, kesal sekali hingga
Read more

3. Aku (III)

"Kau lihat apa yang dilakukannya!?" Suara seorang remaja laki-laki terdengar. Nadanya tinggi dan ... sepertinya agak familier. Corin yakin pernah mendengarnya, terutama nada mengutuk itu. Ia yakin pernah mendengarnya di suatu tempat. "Hentikan! Apa yang mau kau lakukan dengan Nona!?" Kali ini suara anak kecil yang melengking. Entah anak perempuan atau laki-laki, Corin tidak bisa membedakan. "Cukup Edle, jangan membuat kepalaku pusing," kali ini, Corin mengenali suara siapa ini. Caroline, teman sekelasnya. "Sebaiknya, kita tunggu Corin bangun dan ... selesaikan semuanya. Lagi pula, yang terpenting mereka tidak akan mengetahuinya." "Benar apa yang dik
Read more

4. Aku (IV)

Perlu beberapa waktu untuk membuat Corin Yudhistira lebih tenang. Setidaknya, remaja yang mengenakan seragam SMA itu tidak akan mendadak berteriak dan histeris kembali. Yah ... dengan catatan, gadis kecil dan pria tampan tidak di dalam jarak yang terlalu dekat dengannya. Setidaknya, dari percakapan, Corin tahu bahwa Caroline Weish dan adiknya, Edle Weish masih ... 'manusia'.Corin benar-benar hampir mati. Ya, itu yang ia tahu dengan pasti. Setidaknya, remaja ini ingat bahwa ia refleks ingin melindungi seekor anak kucing. Berlagak sok pahlawan dengan berlari memeluk seekor kucing liar yang hampir dilindas truck.Lalu, disaat itulah keajaiban terjadi.Ia tidak mati menjadi daging cincang karena lindasan truk, tidak juga menjadi arwah penasaran karena konon membawa kuc
Read more

5. Rencana (I)

Semburan warna jingga menyebar, menutupi kecerahan biru begitu saja. Warna yang seterang nyala api justru begitu teduh saat awan selembut kapas turut tersapu dengan warna yang senada. Selangkah demi selangkah, sosok remaja yang mengenakan seragam SMA berjalan di trotoar yang ramai. Beberapa anak berlarian, saling mengejar dan tertawa. Sesekali, suara motor yang melewati terdengar, melintasi jalan tanah yang belum diaspal sama sekali. Jalan yang tidak terlalu lebar, memiliki perkebunan di sisi kiri dan perumahan di sisi kanan. Pepohonan rimbun menutupi senja yang menjangkau hari, memberikan aroma sejuk yang membuat nuansa nostalgia. Saat akhirnya kaki sang remaja berhenti di sebuah pagar besi setinggi 1 meter yang tertutup, kepala yang sejak tadi menunduk kini terangkat. Rumah satu lantai yang memiliki halaman luas itu terlihat sejuk. Hamparan rumput terlihat mengelilingi rumah sederhana. Ada sebuah pohon Nangka di sisi kiri, dengan beberapa tanaman lain yang
Read more

6. Rencana (II)

Kembali ke beberapa jam yang lalu ... 3 Penyihir dan 2 Kucing berwujud manusia berkumpul. Di sebuah kamar mewah, mengelilingi sebuah kasur berukuran King Size di mana seorang Penyihir berseragam SMA menjadi pusatnya. Sosok yang masih duduk di atas kasur itu dengan bodoh menatap teman sekelas yang memiliki kepribadian berbeda. Caroline Weish tidak terlihat seperti remaja ababil lainnya. Ia tenang, berpikiran jernih dan terlihat terlalu dewasa untuk ukuran anak seumurannya. Hal ini membuat Corin merasa lebih nyaman untuk berbicara dan berinteraksi dengan teman sekelasnya yang penyabar. "Bila aku memang seorang penyihir, sihir apa yang bisa aku keluarkan sekarang?" Lin menceritakan hal-hal ajiab perihal Penyihir. Tentu saja, Corin tidak akan mungkin berpikir ia akan langsung bisa melakukan hal-hal luar biasa. Namun setidaknya, apa yang biasa dilakukan Penyihir ... sesuatu yang sederhana dan kecil, seharusnya juga bisa ia lakukan, bukan? "Kau belu
Read more

7. Rencana (III)

"Aku akan melindungi Nona!" gadis kecil dengan sepasang iris kelabu mendadak berteriak, melotot galak ke arah Edle. Suaranya yang melengking jelas memecahkan keheningan ruangan itu. "Aku tidak akan membiarkan satupun Penyihir menyakiti Nona!"Edle terkekeh mendengarnya. Ia tidak henti bereksting menjadi sosok Antagonis. "Oh, benar. Kau akan melindungi Nonamu sampai kapan? Bahkan tanpa adanya Penyihir, Nonamu—“"Edle," Carolin mengkerutkan alis, memanggil nama adiknya dengan penuh peringatan. "Cukup.""Kenapa?" bocah itu menatap kesal kakaknya. "Kau tidak mau menjelaskannya? Bukankah lebih baik dia tahu bahayanya? Setidaknya—“"Apa lagi yang belum aku tahu?" Corin menyela. Tertawa miris saat mendengar apa yang bocah lelaki itu katakan. Nyawanya terancam. Banyak Penyihir akan ... mengincarny
Read more

8. Malam (I)

Sosok itu gelisah. Berbaring di kasur singel, remaja yang mengenakan piyama, tidak henti mengubah posisi terus menerus. Memeluk guling, lalu berbalik dan melepaskannya dengan kesal. Terlentang, merasa tidak nyaman, kembali mengubah posisi menjadi meringkuk ke sebelah kiri. Beberapa menit kemudian, remaja berhelai panjang itu akan kembali mengubah posisi meringkuk ke sebelah kanan. Tidak ada rasa kantuk. Hanya ada debaran yang terus meningkat tidak senada dengan detak jam yang bergerak dengan konstan. Desiran yang membuat perut tidak nyaman terus merayap, kian membuat tidak nyaman. Hanya ada keheningan di tengah malam yang kian larut. Seluruh anggota keluarga di rumah bata itu seharusnya telah terlelap ke alam mimpi. Namun sayangnya, Corin Yudhistira tidak mengantuk sama sekali. Corin menyesal. Sejujurnya, ia benar-benar menyesal kenapa begitu penurut dan pengecut. Ini masalah nyawa, bukan sesuatu yang bisa dipermainkan. Namun pada kenyataanny
Read more

9. Malam (II)

Berganti dari satu posisi menjadi posisi lain. Remaja yang mengenakan piama benar-benar tidak bisa diam di kasurnya. Ia terus bergerak dengan gelisah. Tidak merasa kantuk sama sekali saat malam telah larut. Ada kekesalan yang bergelayut di dada. Mencengkeram hingga membuat Corin ingin mengamuk. Terutama saat mengingat perlakuan seenaknya Caroline kepadanya. Seenaknya memutuskan, seenaknya merahasiakan sesuatu. Sungguh, bukankah ini hidupnya?! Remaja ini ingin marah, mengamuk. Namun ia hanya bisa menelan kekesalannya bulat-bulat. Rasanya sangat tidak menyenangkan ... sungguh, rasanya sangat tidak nyaman hingga ia merasa ingin kembali menangis. Mau bagaimana lagi? Ia hanya bisa bergantung dengan gadis Weish. Ia tidak bisa berbuat apa pun ... ia hanya pengecut. Bahkan untuk protes dan sedikit menyuarakan ketidak setujuan, Corin membutuhkan kepercayaan diri ekstra, keberanian yang ekstra. Tahu pasti bahwa matanya tidak mau terpejam, Corin tanpa ragu bangkit berdi
Read more
PREV
1234
DMCA.com Protection Status