Share

1. Aku (I)

last update Last Updated: 2021-10-15 09:30:46

Canda tawa terdengar, memenuhi ruangan yang bising dan ramai. Para remaja yang mengenakan seragam putih abu-abu saling bersorak. Tertawa dan mengobrol kala bel berbunyi dan guru keluar dari dalam ruang kelas, menyudahi pembelajaran hari ini.

Membereskan buku-buku yang berada di atas meja. Sepasang kelereng gelap melirik ke bagian depan kelas, di mana beberapa gadis berkumpul dan sibuk mengobrol. Empat gadis remaja yang semuanya mengenakan seragam putih abu-abu terlihat cantik, mengobrol bersama dan saling mengomentari. Di antara para Siswi, keempatnya merupakan sosok yang paling menarik. Baik dari segi fisik, maupun otak.

Caroline, Novi, Sarah dan Putri adalah keempat remaja yang paling populer di kelas XI-A. Bukan hanya pintar, tetapi juga cantik dan menjadi favorite para guru. Kesampingkan perihal orang tua mereka yang kaya, bermodalkan wajah dan otak encer, keempat remaja itu benar-benar bisa dikatakan sempurna.

Oh, benar-benar sempurna ... seperti keluar dari komik-komik cantik. Bila inspirasi sebuah buku adalah kisah nyata, sekarang juga, Corin Yudhistira mempercayainya. Mengenal keempat geng yang sudah bersatu dari kelas X ini, sebagai penggemar komik dan Novel, Corin 100% percaya.

Sayang, kehidupannya sendiri tidak seindah dan sesempurna novel dan komik yang dibaca.

Sepasang iris menyendu, menatap lesu buku tulis yang terbuka dan menampakkan sederet tulisan cakar ayam. Masih bisa dibaca, tetapi bisa membuat mata sakit dan kepala pusing ketika dilihat.

Oh, sungguh ... tidak ada satuhal pun yang bagus dari dirinya.

"Rin."

Remaja itu tersentak. Mendadak, ada yang memanggil. Ia refleks menoleh dan menatap teman sebangku yang berdiri di samping meja. Remaja yang mengenakan seragam putih dan rok abu-abu selutut tersenyum lebar "Gue duluan ya?"

Remaja berkuncir satu tidak terlalu menanggapi salam sopan teman sebangkunya. Terlihat agak linglung. Hal ini sudah biasa. Bila bukan karena pengaturan guru, Corin Yudhistira pasti tidak memiliki teman sebangku. Beruntung, semester ini ia memiliki teman sebangku yang cukup ramah dan mau sesekali mengajak mengobrol.

Mau gak, kita pulang bareng?

Corin gugup. Mendadak jantungnya berdebar keras sekali hingga membuat tangannya berkeringat dingin. Ia ingin mengatakan, tetapi entah bagaimana, lidahnya terasa kelu, kerongkongannya tercekat.

Ayo katakan Corin! Ayo katakan! Kamu mau punya kawan kan?!

Corin mencoba menyemangati dirinya sendiri. Ia menelan liur paksa, menatap Uci yang masih berdiri dengan senyuman manis yang mengembang. Gadis itu benar-benar ramah. Ia tidak terlihat marah sama sekali dengan teman sebangku yang jelas terlihat sangat sulit untuk buka suara.

Menyadari hal ini membuat Corin merasa sangat malu. Rasanya ... agak sulit. Uci jelas cukup peka untuk menyadari bahwa teman sebangkunya ingin mengatakan sesuatu.

"Itu ..."

"Hm?"

"Ci! Gue nebeng dong!" suara gadis lain menimpali. Langsung merangkul Uci yang siap untuk pulang ke rumah. "Papa gak bisa jemput, gue pulang bareng lo ya? Kita kan searah."

AAAAAA! AKU MAU NGOMONG DULUAN!

Corin menjerit di dalam hati, irisnya membola sempurna saat melihat sosok lain justru mengambil start lebih dulu. Sungguh ... sungguh ... apakah ia tidak memiliki kesempatan?! Tidak bisakah ia menyelesaikan ucapannya lebih dulu?!

"Alesan lo! Bilang aja mau sekalian mampir ke Toko Es Krim lagi kan?"

"Ehehehe ... tahu aja lo," sosok itu nyengir kuda, tidak sadar diri telah memotong semua perjuangan batin yang telah Corin bangun.

"Ya tahu lah!" dengus Uci. Lalu mendadak, gadis itu menoleh, menatap teman sebangku yang sepertinya ingin mengatakan sesuatu. "Oh ya, kenapa Rin? Tadi lo mo ngomong apa?"

Kamu udah buat janji sama yang lain ...

Corin menelan kekecewaannya.

"Gak, gak jadi," Corin menggelengkan kepala. Semangat juangnya telah kempes. Apa yang ingin terucap, tertelan begitu saja. Rasa takut ditolak membuat hatinya kembali dilanda gelisah. Uci mau pergi bersama orang ini, tentu saja ia pasti akan ditolak.

Uci tidak terlalu ambil pusing. Senyuman semakin mengembang dari gadis tomboy itu. "Oke, kalau gitu, gue duluan ya Rin."

"He, eh, kita duluan ya Rin!"

Remaja berkuncir satu mengangguk seraya tersenyum kecil, ia turut melambai, mencoba ikut bersenang-senang saat bel pulang sudah berbunyi dan mengundang seluruh siswa untuk meninggalkan sekolah. Namun tepat ketika kedua gadis remaja itu pergi dan menghilang dibalik pintu ... perasaan kosong itu kembali menghantam.

Senyuman menghilang. Corin menurunkan tangannya yang melambai dan bibirnya yang tersenyum konyol. Rasanya ... agak tidak nyaman. Rasa sepi yang menyakitkan ketika semua orang dapat bersosialisasi dengan mudah, sementara ia harus mengumpulkan begitu banyak keberanian hanya untuk bisa menyapa itu ... sangat tidak nyaman.

Corin mengkatup rapatkan bibir, meraih tas yang berada di kursi dan memangkunya seraya mulai memasukkan buku dan kotak pensil. Suara obrolan masih terdengar. Kanan dan kiri. Depan dan belakang. Semua orang sangat hidup, tetapi semakin membuat perasaannya kosong dan tidak nyaman ketika hanya ia sendiri yang ... tidak mengobrol dengan orang lain.

"Curang! Gimana bisa Lin yang gak pernah belajar bisa dapet nilai yang paling gede!"

Pekikan kesal itu membahana dari keempat remaja yang berkumpul di depan kelas. Corin refleks mengangkat wajah, menatap Novi yang baru saja mengeluh kepada teman satu grupnya.

Caroline menyeringai. Gadis cantik itu mengangkat alis dan dagunya dengan angkuh. "Namanya juga anak pinter."

Satu kalimat, tetapi sukses membuat Novie gatal. Tanpa ragu, tangan nakal bergerak. Menjitak kepala gadis sombong itu begitu saja. Caroline tercenga, sebelum akhirnya wajah sang remaja berubah menjadi Nenek Lampir.

"NOVIIEEE!"

"Ampun! Ampun!" Novie tahu ia salah. Tanpa ragu tertawa dan melarikan diri keluar dari kelas. Caroline tidak mengampuni. Bangkit berdiri dan mengejar teman kurang ajar yang seenaknya main KDRT. Seiring dengan kepergian keduanya, jeritan merana yang terdengar sukses membuat semua orang tertawa.

Oh, sungguh begitu hidup. Begitu menyenangkan ...

Corin tersenyum suram. Hatinya terasa diremas. Semua orang dapat saling berinteraksi, tertawa bersama, mengobrolkan hal-hal tidak penting secara berlebihan, bergosip, bertengkar, membuat kegaduhan ...

Namun untuk dirinya yang suram ini ...

Sungguh, sulit sekali untuk mengajak seseorang untuk mengobrol ...

Mengatup rapatkan bibirnya, remaja berkuncir satu meraih tas dan mengenakannya di punggung. Bangkit berdiri dan melangkah keluar dari dalam kelas. Pada saat sampai di lorong panjang yang menjadi penghubung antara kelas yang satu dengan kelas lainnya, remaja itu kembali melihat banyak kehidupan saling menyapa.

Seumuran, pakaian seragam yang sama, berada di lingkungan yang sama. Cahaya matahari keemasan terlihat memanjang, menyinari wajah-wajah muda penuh fitalitas. Mereka terlihat berwarna, menampilkan berbagai macam ekspresi dan emosi dari hal-hal yang diobrolkan. Salah satu remaja laki-laki membawa gitar, memainkannya dengan gaya seorang pujangga, dikelilingi oleh tawa dan seruan teman-temannya.

Begitu hidup, begitu ... indah.

Langkah kaki Corin tertahan. Bibirnya tanpa sadar melengkung. Namun beberapa detik kemudian, perasaan sesak kembali menyapa. Membuat senyuman yang terbentuk, jatuh menjadi sebuah garus lurus.

Sungguh ... kenapa terasa begitu berbeda?

Mereka semua hidup, penuh warna, tertawa dan bercanda. Namun ia hanya berdiri diam. Sendirian. Suram. Seolah tidak berwarna ... hanya hitam dan putih, selayaknya sebuah tv jadul yang telah ketinggalan zaman. Membosankan, tidak menarik. Sama seperti rok abu-abu yang kerap dikeluhkan tidak modis dan tidak menyenangkan untuk dikenakan.

Corin menghela napas.

Sampai kapan ... ia terus seperti ini?

Related chapters

  • Kucing Hitam Sang Penyihir   2. Aku (II)

    Melangkah di jalan trotoar yang diteduhi oleh rimbun pepohonan, Corin menghela napas. Kepalanya menunduk, memperhatikan sepatuh hitam yang menginjak ubin batu yang tersusun rapi. Selangkah demi selangkah, setiap hentakan kaki yang mencumbu lantai terdengar begitu ringan hingga tidak memiliki suara. Pulang sendirian ... rasanya tidak menyenangkan. Sungguh, Corin ingin sekali bersuara. Mengajak satu atau dua teman yang searah rumahnya, untuk pulang bersama. Sangat sederhana, tetapi ... terlalu sulit untuk dilakukan. Setiap kali ia membuka mulut untuk mengatakan, rasa malu akan mencengkram, membuatnya kembali dilanda ketakutan untuk ditolak. Kerongkongannya terasa tercekik, jantungnya berdebar begitu kuat. Gugup sekali ... hingga ia lebih cenderung mundur dan berkata 'tidak apa' atau 'tidak jadi' dengan nada lemah. Pengecut! Gadis Yudhistira kembali merutuki dirinya. Hanya untuk berbicara ... ia sungguh tidak mampu. Sungguh, kesal sekali hingga

    Last Updated : 2021-10-15
  • Kucing Hitam Sang Penyihir   3. Aku (III)

    "Kau lihat apa yang dilakukannya!?" Suara seorang remaja laki-laki terdengar. Nadanya tinggi dan ... sepertinya agak familier. Corin yakin pernah mendengarnya, terutama nada mengutuk itu. Ia yakin pernah mendengarnya di suatu tempat. "Hentikan! Apa yang mau kau lakukan dengan Nona!?" Kali ini suara anak kecil yang melengking. Entah anak perempuan atau laki-laki, Corin tidak bisa membedakan. "Cukup Edle, jangan membuat kepalaku pusing," kali ini, Corin mengenali suara siapa ini. Caroline, teman sekelasnya. "Sebaiknya, kita tunggu Corin bangun dan ... selesaikan semuanya. Lagi pula, yang terpenting mereka tidak akan mengetahuinya." "Benar apa yang dik

    Last Updated : 2021-10-15
  • Kucing Hitam Sang Penyihir   4. Aku (IV)

    Perlu beberapa waktu untuk membuat Corin Yudhistira lebih tenang. Setidaknya, remaja yang mengenakan seragam SMA itu tidak akan mendadak berteriak dan histeris kembali. Yah ... dengan catatan, gadis kecil dan pria tampan tidak di dalam jarak yang terlalu dekat dengannya. Setidaknya, dari percakapan, Corin tahu bahwa Caroline Weish dan adiknya, Edle Weish masih ... 'manusia'.Corin benar-benar hampir mati. Ya, itu yang ia tahu dengan pasti. Setidaknya, remaja ini ingat bahwa ia refleks ingin melindungi seekor anak kucing. Berlagak sok pahlawan dengan berlari memeluk seekor kucing liar yang hampir dilindas truck.Lalu, disaat itulah keajaiban terjadi.Ia tidak mati menjadi daging cincang karena lindasan truk, tidak juga menjadi arwah penasaran karena konon membawa kuc

    Last Updated : 2021-10-15
  • Kucing Hitam Sang Penyihir   5. Rencana (I)

    Semburan warna jingga menyebar, menutupi kecerahan biru begitu saja. Warna yang seterang nyala api justru begitu teduh saat awan selembut kapas turut tersapu dengan warna yang senada. Selangkah demi selangkah, sosok remaja yang mengenakan seragam SMA berjalan di trotoar yang ramai. Beberapa anak berlarian, saling mengejar dan tertawa. Sesekali, suara motor yang melewati terdengar, melintasi jalan tanah yang belum diaspal sama sekali. Jalan yang tidak terlalu lebar, memiliki perkebunan di sisi kiri dan perumahan di sisi kanan. Pepohonan rimbun menutupi senja yang menjangkau hari, memberikan aroma sejuk yang membuat nuansa nostalgia. Saat akhirnya kaki sang remaja berhenti di sebuah pagar besi setinggi 1 meter yang tertutup, kepala yang sejak tadi menunduk kini terangkat. Rumah satu lantai yang memiliki halaman luas itu terlihat sejuk. Hamparan rumput terlihat mengelilingi rumah sederhana. Ada sebuah pohon Nangka di sisi kiri, dengan beberapa tanaman lain yang

    Last Updated : 2021-10-18
  • Kucing Hitam Sang Penyihir   6. Rencana (II)

    Kembali ke beberapa jam yang lalu ... 3 Penyihir dan 2 Kucing berwujud manusia berkumpul. Di sebuah kamar mewah, mengelilingi sebuah kasur berukuran King Size di mana seorang Penyihir berseragam SMA menjadi pusatnya. Sosok yang masih duduk di atas kasur itu dengan bodoh menatap teman sekelas yang memiliki kepribadian berbeda. Caroline Weish tidak terlihat seperti remaja ababil lainnya. Ia tenang, berpikiran jernih dan terlihat terlalu dewasa untuk ukuran anak seumurannya. Hal ini membuat Corin merasa lebih nyaman untuk berbicara dan berinteraksi dengan teman sekelasnya yang penyabar. "Bila aku memang seorang penyihir, sihir apa yang bisa aku keluarkan sekarang?" Lin menceritakan hal-hal ajiab perihal Penyihir. Tentu saja, Corin tidak akan mungkin berpikir ia akan langsung bisa melakukan hal-hal luar biasa. Namun setidaknya, apa yang biasa dilakukan Penyihir ... sesuatu yang sederhana dan kecil, seharusnya juga bisa ia lakukan, bukan? "Kau belu

    Last Updated : 2021-10-25
  • Kucing Hitam Sang Penyihir   7. Rencana (III)

    "Aku akan melindungi Nona!" gadis kecil dengan sepasang iris kelabu mendadak berteriak, melotot galak ke arah Edle. Suaranya yang melengking jelas memecahkan keheningan ruangan itu. "Aku tidak akan membiarkan satupun Penyihir menyakiti Nona!"Edle terkekeh mendengarnya. Ia tidak henti bereksting menjadi sosok Antagonis. "Oh, benar. Kau akan melindungi Nonamu sampai kapan? Bahkan tanpa adanya Penyihir, Nonamu—“"Edle," Carolin mengkerutkan alis, memanggil nama adiknya dengan penuh peringatan. "Cukup.""Kenapa?" bocah itu menatap kesal kakaknya. "Kau tidak mau menjelaskannya? Bukankah lebih baik dia tahu bahayanya? Setidaknya—“"Apa lagi yang belum aku tahu?" Corin menyela. Tertawa miris saat mendengar apa yang bocah lelaki itu katakan. Nyawanya terancam. Banyak Penyihir akan ... mengincarny

    Last Updated : 2021-11-01
  • Kucing Hitam Sang Penyihir   8. Malam (I)

    Sosok itu gelisah. Berbaring di kasur singel, remaja yang mengenakan piyama, tidak henti mengubah posisi terus menerus. Memeluk guling, lalu berbalik dan melepaskannya dengan kesal. Terlentang, merasa tidak nyaman, kembali mengubah posisi menjadi meringkuk ke sebelah kiri. Beberapa menit kemudian, remaja berhelai panjang itu akan kembali mengubah posisi meringkuk ke sebelah kanan. Tidak ada rasa kantuk. Hanya ada debaran yang terus meningkat tidak senada dengan detak jam yang bergerak dengan konstan. Desiran yang membuat perut tidak nyaman terus merayap, kian membuat tidak nyaman. Hanya ada keheningan di tengah malam yang kian larut. Seluruh anggota keluarga di rumah bata itu seharusnya telah terlelap ke alam mimpi. Namun sayangnya, Corin Yudhistira tidak mengantuk sama sekali. Corin menyesal. Sejujurnya, ia benar-benar menyesal kenapa begitu penurut dan pengecut. Ini masalah nyawa, bukan sesuatu yang bisa dipermainkan. Namun pada kenyataanny

    Last Updated : 2021-11-08
  • Kucing Hitam Sang Penyihir   9. Malam (II)

    Berganti dari satu posisi menjadi posisi lain. Remaja yang mengenakan piama benar-benar tidak bisa diam di kasurnya. Ia terus bergerak dengan gelisah. Tidak merasa kantuk sama sekali saat malam telah larut. Ada kekesalan yang bergelayut di dada. Mencengkeram hingga membuat Corin ingin mengamuk. Terutama saat mengingat perlakuan seenaknya Caroline kepadanya. Seenaknya memutuskan, seenaknya merahasiakan sesuatu. Sungguh, bukankah ini hidupnya?! Remaja ini ingin marah, mengamuk. Namun ia hanya bisa menelan kekesalannya bulat-bulat. Rasanya sangat tidak menyenangkan ... sungguh, rasanya sangat tidak nyaman hingga ia merasa ingin kembali menangis. Mau bagaimana lagi? Ia hanya bisa bergantung dengan gadis Weish. Ia tidak bisa berbuat apa pun ... ia hanya pengecut. Bahkan untuk protes dan sedikit menyuarakan ketidak setujuan, Corin membutuhkan kepercayaan diri ekstra, keberanian yang ekstra. Tahu pasti bahwa matanya tidak mau terpejam, Corin tanpa ragu bangkit berdi

    Last Updated : 2022-01-05

Latest chapter

  • Kucing Hitam Sang Penyihir   Chapter 36: Keluarga Alix (III)

    Sebuah meja kayu panjang yang dikelilingi oleh banyak kursi tersedia di tengah-tengah ruangan besar. Lampu gantung kristal dimatikan, hanya menyediakan penerangan dari jendela prancis yang terbuka lebar. Suasana pagi yang langsung menghadap ke arah taman penuh bunga membuat Ruang Makan terasa sangat artistik dan indah.Saat Corin akhirnya turun dari kamar tamu dan memasuki Ruang Makan, gambar indah dari ruangan yang seharusnya menjadi pencuci mata, tidak terlihat seperti itu sama sekali. Mungkin karena tidak ada yang memulai makan atau mungkin karena orang-orang yang duduk di kursi memiliki ekspresi yang begitu suram, Corin benar-benar merasa salah memasuki ruangan.Sungguh, ini bukan ruang rapat kan?Makanan hangat telah tersedia di atas meja, tetapi karena menjadi yang terakhir, kedatangan remaja itu mengundang ba

  • Kucing Hitam Sang Penyihir   Chpter 35: Keluarga Alix (II)

    Hembusan lembut udara terasa membelai kulit. Namun cahaya yang hangat menerpa, menyentuh dan membuat Corin tidak bisa begitu saja menutup mata–bagaimana pun, kesadarannya telah kembali. Perlahan, kelopak mata itu bergerak sebelum akhirnya membuka. Silau. Alis Corin terpaut. Matanya terasa tersengat. Berkedip beberapa kali, akhirnya ia bisa menyesuaikan diri. Namun, saat Corin menyadari dimana dirinya berdiri, ekspresi wajah remaja yang semula linglung, berubah menjadi tercenga. Sepasang kelerengnya membola sempurna, menatap tidak percaya apa yang tercemin di matanya. Sebuah padang rumput yang hijau membentang. Ia berdiri di bawah bukit, tepat bermandikan cahaya matahari yang hangat. Hembusan angin menerpa tubuh, menerbangkan dedaunan yang dengan mudah berguguran di tanah. Menyipitkan mata, sebuah pohon besar berd

  • Kucing Hitam Sang Penyihir   Chapter 34: Keluarga Alix (I)

    Suhu udara mendadak berubah rendah. Kabut tipis menyelimuti semua orang. Seolah merasakan de javu, Caroline dan Joshua sama-sama memandang tidak percaya ke arah Corin semula berjongkok dan melindungi dirinya bersama Piby.Suara yang mengalun di antara kabut terdengar dengan jelas. Suara yang familier, tetapi entah bagaimana begitu asing. Nadanya sangat tenang, seolah tidak peduli dengan ancaman nyawa yang berada di sekitarnya.Kabut dingin hanya bertahan selama beberapa detik, lalu menghilang dan memperlihatkan sosok remaja yang menggendong seorang gadis kecil. Wajah pucat itu tanpa ekspresi tetapi sepasang iris menatap sekitarnya dengan pandangan jijik yang terlalu kentara.Berbeda dengan melawan para Penyihir, kali ini, arwah asing yang kembali menguasai tubuh Corin memasang ekspresi jijik. Terlihat sangat tidak berminat untuk melawan Manusia Serigala.“Kaing!"Dengkingan Manusia Serigala terdengar—sukses membuat semua orang tersentak

  • Kucing Hitam Sang Penyihir   Chapter 33: Perjalanan (IV)

    Manusia Serigala merupakan nama sebuah penyakit. Penyakit sihir yang disebabkan oleh kutukan. Konon, semuanya berasal saat zaman peperangan. Saat itu, seorang Penyihir membuat sihir terbaru, bermaksud membuat eksperimen manusia kuat yang mampu dikendalikan dan mengalahkan banyak musuh. Memiliki fisik yang kuat, kelincahan, juga tahan dengan serangan Sihir.Namun siapa sangka bahwa eksperimen ini akan gagal, menciptakan makhluk yang bukan manusia atau hewan. Hanya Monster yang haus darah, agresif, tidak mampu untuk dikendalikan. Perpaduan dari Manusia dan juga gen Serigala.Sayangnya, peperangan menghalalkan segala cara untuk menang. Manusia serigala dibebaskan untuk menyerang musuh. Sungguh, tidak ada yang menyangka bahwa orang-orang yang selamat dari serangan Manusia Serigala ... akan tertular. Mereka yang digigit, akan berubah menjadi Monster. Rasionalitas mereka menghilang, hanya digantikan insting selayaknya hewan dan agresifitas yang tidak mampu dikendalikan siapa

  • Kucing Hitam Sang Penyihir   Chapter 32: Perjalanan (III)

    Pertanyaan tidak berhenti sampai di situ saja. Mereka dibebaskan untuk bertanya apa pun dan Kucing Hitam Perempuan bisa memilih untuk menjawabnya. Selain Corin, semua orang mencoba mengorek informasi apa pun dari mulut remaja berpakaian Maid.“Berapa umurmu?”“Umur yang mana?” Miaw balas bertanya. “Umur saya yang sekarang atau kah umur sesudah kontrak?”Edita yang melontarkan pertanyaan, mendadak diberikan umpan balik pertanyaan. Namun remaja itu tanpa ragu membalas. “Keduanya.”Miaw tersenyum lembut. Kegelapan malam dengan cahaya redup dari bola api yang melayang-layang diudara membuat wajah cantiknya terlihat menyeramkan. “Umur Kucing Saya adalah 1 tahun sementara Umur setelah mengikat kontrak adalah 3 bulan.”Hening.Mendadak, tidak ada lagi yang melontarkan pertanyaan.Corin yang dirundung perasaan bersalah, bahkan menyadari suasana yang mendadak terasa berbeda. kepala hi

  • Kucing Hitam Sang Penyihir   Chapter 31: Perjalanan (II)

    Malam kembali menyapa. Tidak seperti malam sebelumnya yang penuh dengan gemerlap bintang, kali ini langit ditutupi oleh awan. Namun tidak peduli seberapa indah malam sebelumnya atau seberapa suram kali ini, perjalanan yang dilakukan di malam hari merupakan perjalanan yang mencekam.Beberapa bola api melayang-layang mengikuti pergerakan empat ekor kuda yang berlari cepat. Cahaya yang justru cenderung redup, tidak bisa benar-benar memberikan penerangan malam. Namun karena cahaya redup inilah mereka sedikit lebih aman. Bagaimana pun, cahaya di tengah kegelapan merupakan hal yang mencolok dan cenderung mengundang bahaya.Merasakan sakit pinggang, punggung dan bahunya, Corin benar-benar bisa merasa bersyukur akan kenikmatan duduk manis di dalam kereta. Oh, sungguh, ia tidak menyangka akan semenderita ini menunggangi kuda!Hanya ada empat kuda yang tersedia untuk mereka tunggangi. Joshua tentu saja bersama Caroline, Roni dan Eka juga harus bersama. Kedua pasangan ini

  • Kucing Hitam Sang Penyihir   Chapter 30: Perjalanan (I)

    Cring ... cring ...Suara bel yang jernih dan merdu terdengar. Halus di antara keheningan yang tercipta. Semua pasang mata memandang sosok remaja yang mengenakan pakaian Maid, membungkuk ke arah seorang batita kecil dengan sepasang mata hijau yang seolah siap untuk menangis ...Remaja itu sangat cantik. Dengan helai hitam panjang yang diurai, rambut ikalnya mencapai pinggang. Kulitnya seputih pualam, sangat kontras dengan warna helai rambut yang gelap. Ditambah sepasang iris hijau keemasan yang indah ...Kucing.Satu kata muncul di kepala Corin saat memandang remaja itu. Dalam sekali pandang, entah bagaimana ia menebak identitas remaja ini. Oh, bukan hanya Corin. Bahkan semua orang yang melihatnya, entah bagaimana mengetahui identitas Remaja yang mendadak muncul di udara kosong.

  • Kucing Hitam Sang Penyihir   Chapter 29: Kabar Burung (IV)

    Ketika pertanyaan Bungsu Weish terlontar memecahkan keheningan, Corin dapat merasakan jantungnya mencelos. Pertanyaan itu menohoknya. Bagaimanapun, ia adalah penyebab kedua anak kecil datang dan mengikuti mereka.Menatap wajah serius tetapi galak remaja yang sedikit lebih pendek, Corin menelan liur paksa. Jantungnya berdebar-debar tidak tenang. Panik sekali, membuatnya tanpa sadar menatap sekitar—mencoba mencari pertolongan. Bagaimana pun, harus ada yang menjelaskan. Namun sulung Yudhistira bukan orang yang tepat untuk buka suara.Lin menghela napas. Remaja itu tidak terpengaruh dengan tatapan mengintimidasi adiknya sendiri.“Kami menemukannya,” Lin menjawab jujur. “Di tengah hutan ... bila bukan karena mereka, Snow dan Rin akan mati.”“Mati?” Roni kali ini buka suara. Kat

  • Kucing Hitam Sang Penyihir   Chapter 28: Kabar Burung (III)

    Chapter 39: Pergi (I)Perjanjian Pedang Suci adalah sebuah perjanjian antara Penyihir dengan budaknya. Perjanjian yang terikat antara kedua jiwa, perjanjian yang memaksa untuk salah satu pihak untuk tunduk dan taat dengan pihak lainnya.Saat benar-benar mengetahui bahwa satu-satunya cara terbaik sekarang bukanlah memiliki cincin sihir tetapi melakukan Perjanjian Pedang Suci ... Corin sungguh tidak tahu harus mengatakan apa. Semua hal terasa sia-sia. Pada akhirnya, ia tetap akan didorong dan dipaksa untuk melakukan hal-hal yang tidak ingin dilakukannya kembali.“2 hari ... kita hanya punya waktu 2 hari .... ,” Corin bergumam kosong. Menatap meja makan begitu saja. Ia ... sungguh, tidak bisa memikirkan apapun kembali. Semuanya terasa tidak nyata. Terlebih eksekusi mati yang akan jatuh ke atas kepalanya.“Mereka pasti berbohong,” Edle mendengus. “Tujuan mereka adalah Kucing milik Kak Corin. Mereka tidak bi

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status