Melangkah di jalan trotoar yang diteduhi oleh rimbun pepohonan, Corin menghela napas. Kepalanya menunduk, memperhatikan sepatuh hitam yang menginjak ubin batu yang tersusun rapi. Selangkah demi selangkah, setiap hentakan kaki yang mencumbu lantai terdengar begitu ringan hingga tidak memiliki suara.
Pulang sendirian ... rasanya tidak menyenangkan. Sungguh, Corin ingin sekali bersuara. Mengajak satu atau dua teman yang searah rumahnya, untuk pulang bersama. Sangat sederhana, tetapi ... terlalu sulit untuk dilakukan.
Setiap kali ia membuka mulut untuk mengatakan, rasa malu akan mencengkram, membuatnya kembali dilanda ketakutan untuk ditolak. Kerongkongannya terasa tercekik, jantungnya berdebar begitu kuat. Gugup sekali ... hingga ia lebih cenderung mundur dan berkata 'tidak apa' atau 'tidak jadi' dengan nada lemah.
Pengecut!
Gadis Yudhistira kembali merutuki dirinya. Hanya untuk berbicara ... ia sungguh tidak mampu. Sungguh, kesal sekali hingga membuat dadanya sesak. Kenapa memulai pertemanan terasa sangat sulit?! Bahkan ketika akhirnya duduk di bangku kelas 2 SMA, Corin yakin tidak semua teman sekelas tahu namanya!
Sungguh, apakah ia selamanya akan seperti ini? Tidak memiliki teman dan menatap iri semua orang yang bisa tertawa dan berbicara dengan bebas? Astaga ... hal-hal yang berhubungan dengan bersosialisasi jelas bukan bidangnya. Namun semakin memikirkan, Corin semakin merasa dirinya sangat ... sangat pengecut, sangat lemah, sangat ... tidak berguna.
"Aku ... benar-benar ... payah?" Corin bergumam. Murung memikirkan nasip tragisnya di usia muda. 2 tahun duduk di bangku SMA, ia tidak akan memiliki satu orang pun teman?
"Siapa bilang?"
Deg.
Corin membeku. Jantungnya terasa mencelos. Refleks, ia mengangkat wajah, menoleh ke kanan dan kiri dengan panik. Oh, sungguh, ia mendengar suara seseorang! Tetapi siapa yang berbicara? Corin gelisah. Ia mendengar suara anak kecil, sangat jelas hingga terdengar seperti berbicara tepat di kupingnya. Namun, tidak ada siapapun di sini, jadi siapa yang berbicara?
Corin merinding.
Cepat-cepat melangkah meninggalkan daerah sepi, gadis SMA itu tidak henti mengusap-usap lengannya sendiri. Tepat ketika ia berjalan ke belokan, bukan anak kecil, tetapi teman sekelasnya lah yang sepasang iris hitam itu temukan.
Gadis remaja yang berjalan di trotar itu berada di seberang jalan dengannya. Sosok itu berjalan kaki, terlihat indah diantara rimbun pepohonan yang meneduhinya dari cahaya matahari. Dengan wajah blesteran dan rambut cokelat bergelombang melewati bahu, sosok cantik itu seolah tengah berjalan di atas catwalk dan bukan di atas ubin batu yang kasar.
Masih mengenakan seragam putih abu-abu, Caroline Weish, atau biasa dipanggil Lin, terlihat begitu mempesona.
Namun, yang membuat Corin tidak berhenti menatap bukanlah karena tanpa sengaja ia bertemu dengan teman sekelas yang populer itu, melainkan karena sosok kecil yang selangkah demi selangkah, mengikuti sang remaja.
Kucing hitam berekor panjang seolah terlatih dengan baik. Mengikuti Caroline dengan keempat kakinya yang panjang dan anggun. Melangkah dengan pasti seraya meliuk-liukkan ekornya di udara. Kucing hitam itu sangat indah, bulunya berkilau bak permadani mahal. Mengangkat wajah kecilnya dan menatap lurus ke depan tanpa sedikitpun menoleh ke sekeliling. Sangat angkuh, selayaknya seorang bangsawan tinggi yang berjalan ke tempat rakyat jelatah. Begitu angkuh dan sombong.
Meski bulu kucing itu tidak panjang dan lebih seperti kucing kampung, cara berjalan kucing hitam ini benar-benar ... hebat. Corin yakin kucing ini tidak mengeong meminta makanan kan? Mengikuti teman sekelasnya dengan patuh seperti itu, jelas bukan karena Caroline membawa makanan kucing di tangannya kan? Mau tidak mau Corin curiga bahwa kucing milik teman sekelasnya ini sering mengikuti kontes kucing.
Bagaimana tidak? Cara berjalan kucing hitam itu terlalu anggun!
Tap.
Deg.
Jantung Corin melompat. Mendadak Caroline menghentikan langkah, menoleh dan tepat menatap ke arahnya.
Corin merinding. Ia refleks memalingkan wajah.
A-astaga! Astaga! Astaga!
Panik bukan main, remaja itu menundukkan kepala dan mengambil langkah seribu. Oh, sungguh, kenapa mendadak Lin menatapnya?! Tidak tahukah ia bahwa tindakannya membuat Corin terasa terkena serangan jantung?! Bagaimana bila ia mati mendadak karena kaget?!
Namun yang lebih penting ...
KENAPA AKU MELARIKAN DIRI?!
Corin benar-benar bingung. Ia refleks kabur, tetapi tidak tahu salah apa. Sungguh, tidak ada kejahatan hanya karena menatap terlalu lama, bukan? Lagipula yang ditatap adalah kucing! Kucing hitam milik Caroline dan bukan Carolinenya!
"Awas!"
"Ah!"
Corin refleks memekik. Tasnya ditarik dari belakang, membuat sang remaja menghentikan langkah dan nyaris kehilangan keseimbangan. Namun beruntung, sosok di belakangnya menahan, membuat sang remaja tidak jadi terjungkal.
"Kak, ada pohon di depanmu, kamu gak liat?" Nada jenaka terdengar. Corin tidak memperhatikan atau bahkan mendengarkan. Remaja itu mematung di tempat, menatap ngeri pohon yang ada tepat di depannya. Jantungnya melompat-lompat, seolah akan keluar dari rongganya.
Beberapa cm lagi ... Beberapa cm lagi ... Oh, sungguh, bila ia benar-benar menabrak pohon, bukankah itu sangat memalukan?!
Mengambil langkah mundur, remaja SMA itu menjauh dari pohon besar yang menjadi salah satu penghijauan kota. Jantungnya masih tidak tenang, pikirannya terasa berantakan. Bila bukan karena ada seseorang yang menahan tepat waktu, Corin yakin jidatnya akan berciuman dengan pohon. Sungguh sangat tidak etis ketika benjolan di jidat akan menjadi bukti nyata ciuman mesra bersama pohon.
"Kakak gak apa?"
Corin berkedip dan refleks menoleh ke belakangnya. Sosok bocah lelaki berambut cokelat pendek terlihat. Tingginya sedikit lebih pendek dari Corin. Dengan wajah yang masih kekanakan dan helai rambut agak ikal, mata besar itu berkedip polos.
Sangat cantik.
Hal pertama yang dipikirkan Corin adalah, anak lelaki ini cantik sekali, mirip seperti anak perempuan. Namun dalam setengah detik, gelitik liar mendadak meraba. Sukses membuat wajah yang memucat, berubah menjadi semerah lampion.
Corin gemetar. Rasa malu membuatnya benar-benar ingin menangis. Terlebih, melihat senyuman geli di wajah cantik itu ...
Ia benar-benar ditertawakan?!
Malu bukan main, remaja SMA memalingkan wajah.
"Aduh!"
"Eh?!" Corin kaget bukan main. Bocah cantik itu langsung bergerak mundur, menutup wajah dengan kedua tangan karena rasa sakit dari cambukan rambut Corin.
"Ma-maaf! Maaf!" Corin benar-benar panik, ia berbalik dan melangkah mendekat, ingin menyentuh tetapi juga tidak berani. Bocah lelaki itu membungkuk, mengaduh dan meringis perihal matanya yang terkena kibasan rambut. Beberapa kutukan keluar, sukese menghancurkan citra malaikat kecilnya.
"Sialan, Kak! Itu rambut atau ijuk?! Sakit bego! Aduh, aduh, ini kalo aku buta gimana?! Mau tanggung jawab?! Situ mau ngeganti mataku?!"
Mendengarnya, membuat wajah Corin memucat.
Apakah bocah ini akan buta karena rambutnya?!
Tubuh anak SMA itu gemetar. Takut bukan main melanda. Mendadak, ia merasa akan ditangkap polisi karena melakukan kejahatan.
Ditangkap polisi ...
Oh, bagaimana bila ia benar-benar akan ditangkap polisi?!
Panik bukan main, remaja SMA refleks menolek ke kanan dan ke kiri. Beruntung, tidak ada siapapun. Tidak ada saksi mata. Jadi, bermodalkan tekat, Corin berbalik dan mengambil langkah seribu.
Selamatkan nyawa! Selamatkan masa depan! Corin tidak mau mendadak masa depannya terancam suram karena dipanggil ke kantor polisi! Beruntung, seragamnya putih abu-abu, selayaknya seragam yang dikenakan oleh sekolah-sekolah negeri pada umumnya!
Lalu ... lalu ...
Bocah itu belum sempat melihat wajahnya kan? Belum sempat melihat namanya di bordir seragam kan?
Corin gemetar.
Semoga tidak ... semoga saja tidak sempat melihat ...
"KUCINGNYA!"
Deg!
Jantung sang remaja mencelos. Teriakan itu kembali terdengar, diiringi dengan suara klakson yang memekakan telinga. Namun kali ini, peringatan bukan untuk Corin, tetapi untuk sosok lain yang berada tepat di tengah jalan.
Corin tidak bisa mencerna dengan jelas. Semua hal terjadi dengan lamban, tetapi juga sangat cepat. Otaknya bahkan belum sempat berpikir ketika tiba-tiba, tubuhnya bergerak dengan sendirinya, seperti sebuah mekanisme yang telah diatur.
Sepasang mata kelabu yang polos mengunci keberadaannya. Seekor anak kucing hitam berada di atas aspal. Duduk manis dengan kepala yang sedikit dimiringkan. Bulu hitamnya terlihat lembut, membuatnya terlihat seperti bola bulu gemuk yang lucu dan menggemaskan. Namun teriakan dan suara klakson yang memekakan telinga tidak sesuai dengan keberadaan yang begitu polos itu.
Corin berlari ke tengah jalan, meraih sosok kecil, rapuh dan lembut ke dalam dekapannya. Lalu, seolah semua telah diprediksi, teriakan dan suara klakson semakin besar dan memekakan telinga hanya membuat Corin memikirkan satu hal.
Ia akan mati.
"Phoenix!"
Lalu di detik berikutnya, semua pengelihatannya berubah menjadi putih.
"Kau lihat apa yang dilakukannya!?" Suara seorang remaja laki-laki terdengar. Nadanya tinggi dan ... sepertinya agak familier. Corin yakin pernah mendengarnya, terutama nada mengutuk itu. Ia yakin pernah mendengarnya di suatu tempat. "Hentikan! Apa yang mau kau lakukan dengan Nona!?" Kali ini suara anak kecil yang melengking. Entah anak perempuan atau laki-laki, Corin tidak bisa membedakan. "Cukup Edle, jangan membuat kepalaku pusing," kali ini, Corin mengenali suara siapa ini. Caroline, teman sekelasnya. "Sebaiknya, kita tunggu Corin bangun dan ... selesaikan semuanya. Lagi pula, yang terpenting mereka tidak akan mengetahuinya." "Benar apa yang dik
Perlu beberapa waktu untuk membuat Corin Yudhistira lebih tenang. Setidaknya, remaja yang mengenakan seragam SMA itu tidak akan mendadak berteriak dan histeris kembali. Yah ... dengan catatan, gadis kecil dan pria tampan tidak di dalam jarak yang terlalu dekat dengannya. Setidaknya, dari percakapan, Corin tahu bahwa Caroline Weish dan adiknya, Edle Weish masih ... 'manusia'.Corin benar-benar hampir mati. Ya, itu yang ia tahu dengan pasti. Setidaknya, remaja ini ingat bahwa ia refleks ingin melindungi seekor anak kucing. Berlagak sok pahlawan dengan berlari memeluk seekor kucing liar yang hampir dilindas truck.Lalu, disaat itulah keajaiban terjadi.Ia tidak mati menjadi daging cincang karena lindasan truk, tidak juga menjadi arwah penasaran karena konon membawa kuc
Semburan warna jingga menyebar, menutupi kecerahan biru begitu saja. Warna yang seterang nyala api justru begitu teduh saat awan selembut kapas turut tersapu dengan warna yang senada. Selangkah demi selangkah, sosok remaja yang mengenakan seragam SMA berjalan di trotoar yang ramai. Beberapa anak berlarian, saling mengejar dan tertawa. Sesekali, suara motor yang melewati terdengar, melintasi jalan tanah yang belum diaspal sama sekali. Jalan yang tidak terlalu lebar, memiliki perkebunan di sisi kiri dan perumahan di sisi kanan. Pepohonan rimbun menutupi senja yang menjangkau hari, memberikan aroma sejuk yang membuat nuansa nostalgia. Saat akhirnya kaki sang remaja berhenti di sebuah pagar besi setinggi 1 meter yang tertutup, kepala yang sejak tadi menunduk kini terangkat. Rumah satu lantai yang memiliki halaman luas itu terlihat sejuk. Hamparan rumput terlihat mengelilingi rumah sederhana. Ada sebuah pohon Nangka di sisi kiri, dengan beberapa tanaman lain yang
Kembali ke beberapa jam yang lalu ... 3 Penyihir dan 2 Kucing berwujud manusia berkumpul. Di sebuah kamar mewah, mengelilingi sebuah kasur berukuran King Size di mana seorang Penyihir berseragam SMA menjadi pusatnya. Sosok yang masih duduk di atas kasur itu dengan bodoh menatap teman sekelas yang memiliki kepribadian berbeda. Caroline Weish tidak terlihat seperti remaja ababil lainnya. Ia tenang, berpikiran jernih dan terlihat terlalu dewasa untuk ukuran anak seumurannya. Hal ini membuat Corin merasa lebih nyaman untuk berbicara dan berinteraksi dengan teman sekelasnya yang penyabar. "Bila aku memang seorang penyihir, sihir apa yang bisa aku keluarkan sekarang?" Lin menceritakan hal-hal ajiab perihal Penyihir. Tentu saja, Corin tidak akan mungkin berpikir ia akan langsung bisa melakukan hal-hal luar biasa. Namun setidaknya, apa yang biasa dilakukan Penyihir ... sesuatu yang sederhana dan kecil, seharusnya juga bisa ia lakukan, bukan? "Kau belu
"Aku akan melindungi Nona!" gadis kecil dengan sepasang iris kelabu mendadak berteriak, melotot galak ke arah Edle. Suaranya yang melengking jelas memecahkan keheningan ruangan itu. "Aku tidak akan membiarkan satupun Penyihir menyakiti Nona!"Edle terkekeh mendengarnya. Ia tidak henti bereksting menjadi sosok Antagonis. "Oh, benar. Kau akan melindungi Nonamu sampai kapan? Bahkan tanpa adanya Penyihir, Nonamu—“"Edle," Carolin mengkerutkan alis, memanggil nama adiknya dengan penuh peringatan. "Cukup.""Kenapa?" bocah itu menatap kesal kakaknya. "Kau tidak mau menjelaskannya? Bukankah lebih baik dia tahu bahayanya? Setidaknya—“"Apa lagi yang belum aku tahu?" Corin menyela. Tertawa miris saat mendengar apa yang bocah lelaki itu katakan. Nyawanya terancam. Banyak Penyihir akan ... mengincarny
Sosok itu gelisah. Berbaring di kasur singel, remaja yang mengenakan piyama, tidak henti mengubah posisi terus menerus. Memeluk guling, lalu berbalik dan melepaskannya dengan kesal. Terlentang, merasa tidak nyaman, kembali mengubah posisi menjadi meringkuk ke sebelah kiri. Beberapa menit kemudian, remaja berhelai panjang itu akan kembali mengubah posisi meringkuk ke sebelah kanan. Tidak ada rasa kantuk. Hanya ada debaran yang terus meningkat tidak senada dengan detak jam yang bergerak dengan konstan. Desiran yang membuat perut tidak nyaman terus merayap, kian membuat tidak nyaman. Hanya ada keheningan di tengah malam yang kian larut. Seluruh anggota keluarga di rumah bata itu seharusnya telah terlelap ke alam mimpi. Namun sayangnya, Corin Yudhistira tidak mengantuk sama sekali. Corin menyesal. Sejujurnya, ia benar-benar menyesal kenapa begitu penurut dan pengecut. Ini masalah nyawa, bukan sesuatu yang bisa dipermainkan. Namun pada kenyataanny
Berganti dari satu posisi menjadi posisi lain. Remaja yang mengenakan piama benar-benar tidak bisa diam di kasurnya. Ia terus bergerak dengan gelisah. Tidak merasa kantuk sama sekali saat malam telah larut. Ada kekesalan yang bergelayut di dada. Mencengkeram hingga membuat Corin ingin mengamuk. Terutama saat mengingat perlakuan seenaknya Caroline kepadanya. Seenaknya memutuskan, seenaknya merahasiakan sesuatu. Sungguh, bukankah ini hidupnya?! Remaja ini ingin marah, mengamuk. Namun ia hanya bisa menelan kekesalannya bulat-bulat. Rasanya sangat tidak menyenangkan ... sungguh, rasanya sangat tidak nyaman hingga ia merasa ingin kembali menangis. Mau bagaimana lagi? Ia hanya bisa bergantung dengan gadis Weish. Ia tidak bisa berbuat apa pun ... ia hanya pengecut. Bahkan untuk protes dan sedikit menyuarakan ketidak setujuan, Corin membutuhkan kepercayaan diri ekstra, keberanian yang ekstra. Tahu pasti bahwa matanya tidak mau terpejam, Corin tanpa ragu bangkit berdi
Rimbunnya pepohonan memenuhi mata, warna gelap yang kentara meneduhi semua hal yang berada di bawahnya. Cahaya bulan yang lebih bersinar seolah memanjang, menembus dedaunan tebal guna menerangi gulita yang tercipta. Corin Yudhistira seharusnya tidak memiliki penglihatan sebaik ini, tetapi dengan anehnya ia bisa melihat suasana yang tercipta dari malam yang hanya mengandalkan penerangan bulan. "Hutan?" tanpa sadar remaja itu membeo, tercenga dengan apa yang ada di sekitarnya. "Ya," Phoenix mengangguk, sukses mengalihkan perhatian remaja yang masih tercenga. Corin berkedip, sulung Yudhistira menoleh menatap sekelilingnya dan mendapati bahwa ... ada sebuah kereta kuda beberapa meter dari tempat mereka berdiri. Kereta itu terlihat megah dan tua, tanpa kuda yang seharusnya menjadi hewan penariknya. Warna gelap pada kereta bersamaan dengan derit ketika Joshua membantu Lin untuk menaiki kereta tertutup itu sekali lagi membuat remaja berkuncir satu menelan li
Sebuah meja kayu panjang yang dikelilingi oleh banyak kursi tersedia di tengah-tengah ruangan besar. Lampu gantung kristal dimatikan, hanya menyediakan penerangan dari jendela prancis yang terbuka lebar. Suasana pagi yang langsung menghadap ke arah taman penuh bunga membuat Ruang Makan terasa sangat artistik dan indah.Saat Corin akhirnya turun dari kamar tamu dan memasuki Ruang Makan, gambar indah dari ruangan yang seharusnya menjadi pencuci mata, tidak terlihat seperti itu sama sekali. Mungkin karena tidak ada yang memulai makan atau mungkin karena orang-orang yang duduk di kursi memiliki ekspresi yang begitu suram, Corin benar-benar merasa salah memasuki ruangan.Sungguh, ini bukan ruang rapat kan?Makanan hangat telah tersedia di atas meja, tetapi karena menjadi yang terakhir, kedatangan remaja itu mengundang ba
Hembusan lembut udara terasa membelai kulit. Namun cahaya yang hangat menerpa, menyentuh dan membuat Corin tidak bisa begitu saja menutup mata–bagaimana pun, kesadarannya telah kembali. Perlahan, kelopak mata itu bergerak sebelum akhirnya membuka. Silau. Alis Corin terpaut. Matanya terasa tersengat. Berkedip beberapa kali, akhirnya ia bisa menyesuaikan diri. Namun, saat Corin menyadari dimana dirinya berdiri, ekspresi wajah remaja yang semula linglung, berubah menjadi tercenga. Sepasang kelerengnya membola sempurna, menatap tidak percaya apa yang tercemin di matanya. Sebuah padang rumput yang hijau membentang. Ia berdiri di bawah bukit, tepat bermandikan cahaya matahari yang hangat. Hembusan angin menerpa tubuh, menerbangkan dedaunan yang dengan mudah berguguran di tanah. Menyipitkan mata, sebuah pohon besar berd
Suhu udara mendadak berubah rendah. Kabut tipis menyelimuti semua orang. Seolah merasakan de javu, Caroline dan Joshua sama-sama memandang tidak percaya ke arah Corin semula berjongkok dan melindungi dirinya bersama Piby.Suara yang mengalun di antara kabut terdengar dengan jelas. Suara yang familier, tetapi entah bagaimana begitu asing. Nadanya sangat tenang, seolah tidak peduli dengan ancaman nyawa yang berada di sekitarnya.Kabut dingin hanya bertahan selama beberapa detik, lalu menghilang dan memperlihatkan sosok remaja yang menggendong seorang gadis kecil. Wajah pucat itu tanpa ekspresi tetapi sepasang iris menatap sekitarnya dengan pandangan jijik yang terlalu kentara.Berbeda dengan melawan para Penyihir, kali ini, arwah asing yang kembali menguasai tubuh Corin memasang ekspresi jijik. Terlihat sangat tidak berminat untuk melawan Manusia Serigala.“Kaing!"Dengkingan Manusia Serigala terdengar—sukses membuat semua orang tersentak
Manusia Serigala merupakan nama sebuah penyakit. Penyakit sihir yang disebabkan oleh kutukan. Konon, semuanya berasal saat zaman peperangan. Saat itu, seorang Penyihir membuat sihir terbaru, bermaksud membuat eksperimen manusia kuat yang mampu dikendalikan dan mengalahkan banyak musuh. Memiliki fisik yang kuat, kelincahan, juga tahan dengan serangan Sihir.Namun siapa sangka bahwa eksperimen ini akan gagal, menciptakan makhluk yang bukan manusia atau hewan. Hanya Monster yang haus darah, agresif, tidak mampu untuk dikendalikan. Perpaduan dari Manusia dan juga gen Serigala.Sayangnya, peperangan menghalalkan segala cara untuk menang. Manusia serigala dibebaskan untuk menyerang musuh. Sungguh, tidak ada yang menyangka bahwa orang-orang yang selamat dari serangan Manusia Serigala ... akan tertular. Mereka yang digigit, akan berubah menjadi Monster. Rasionalitas mereka menghilang, hanya digantikan insting selayaknya hewan dan agresifitas yang tidak mampu dikendalikan siapa
Pertanyaan tidak berhenti sampai di situ saja. Mereka dibebaskan untuk bertanya apa pun dan Kucing Hitam Perempuan bisa memilih untuk menjawabnya. Selain Corin, semua orang mencoba mengorek informasi apa pun dari mulut remaja berpakaian Maid.“Berapa umurmu?”“Umur yang mana?” Miaw balas bertanya. “Umur saya yang sekarang atau kah umur sesudah kontrak?”Edita yang melontarkan pertanyaan, mendadak diberikan umpan balik pertanyaan. Namun remaja itu tanpa ragu membalas. “Keduanya.”Miaw tersenyum lembut. Kegelapan malam dengan cahaya redup dari bola api yang melayang-layang diudara membuat wajah cantiknya terlihat menyeramkan. “Umur Kucing Saya adalah 1 tahun sementara Umur setelah mengikat kontrak adalah 3 bulan.”Hening.Mendadak, tidak ada lagi yang melontarkan pertanyaan.Corin yang dirundung perasaan bersalah, bahkan menyadari suasana yang mendadak terasa berbeda. kepala hi
Malam kembali menyapa. Tidak seperti malam sebelumnya yang penuh dengan gemerlap bintang, kali ini langit ditutupi oleh awan. Namun tidak peduli seberapa indah malam sebelumnya atau seberapa suram kali ini, perjalanan yang dilakukan di malam hari merupakan perjalanan yang mencekam.Beberapa bola api melayang-layang mengikuti pergerakan empat ekor kuda yang berlari cepat. Cahaya yang justru cenderung redup, tidak bisa benar-benar memberikan penerangan malam. Namun karena cahaya redup inilah mereka sedikit lebih aman. Bagaimana pun, cahaya di tengah kegelapan merupakan hal yang mencolok dan cenderung mengundang bahaya.Merasakan sakit pinggang, punggung dan bahunya, Corin benar-benar bisa merasa bersyukur akan kenikmatan duduk manis di dalam kereta. Oh, sungguh, ia tidak menyangka akan semenderita ini menunggangi kuda!Hanya ada empat kuda yang tersedia untuk mereka tunggangi. Joshua tentu saja bersama Caroline, Roni dan Eka juga harus bersama. Kedua pasangan ini
Cring ... cring ...Suara bel yang jernih dan merdu terdengar. Halus di antara keheningan yang tercipta. Semua pasang mata memandang sosok remaja yang mengenakan pakaian Maid, membungkuk ke arah seorang batita kecil dengan sepasang mata hijau yang seolah siap untuk menangis ...Remaja itu sangat cantik. Dengan helai hitam panjang yang diurai, rambut ikalnya mencapai pinggang. Kulitnya seputih pualam, sangat kontras dengan warna helai rambut yang gelap. Ditambah sepasang iris hijau keemasan yang indah ...Kucing.Satu kata muncul di kepala Corin saat memandang remaja itu. Dalam sekali pandang, entah bagaimana ia menebak identitas remaja ini. Oh, bukan hanya Corin. Bahkan semua orang yang melihatnya, entah bagaimana mengetahui identitas Remaja yang mendadak muncul di udara kosong.
Ketika pertanyaan Bungsu Weish terlontar memecahkan keheningan, Corin dapat merasakan jantungnya mencelos. Pertanyaan itu menohoknya. Bagaimanapun, ia adalah penyebab kedua anak kecil datang dan mengikuti mereka.Menatap wajah serius tetapi galak remaja yang sedikit lebih pendek, Corin menelan liur paksa. Jantungnya berdebar-debar tidak tenang. Panik sekali, membuatnya tanpa sadar menatap sekitar—mencoba mencari pertolongan. Bagaimana pun, harus ada yang menjelaskan. Namun sulung Yudhistira bukan orang yang tepat untuk buka suara.Lin menghela napas. Remaja itu tidak terpengaruh dengan tatapan mengintimidasi adiknya sendiri.“Kami menemukannya,” Lin menjawab jujur. “Di tengah hutan ... bila bukan karena mereka, Snow dan Rin akan mati.”“Mati?” Roni kali ini buka suara. Kat
Chapter 39: Pergi (I)Perjanjian Pedang Suci adalah sebuah perjanjian antara Penyihir dengan budaknya. Perjanjian yang terikat antara kedua jiwa, perjanjian yang memaksa untuk salah satu pihak untuk tunduk dan taat dengan pihak lainnya.Saat benar-benar mengetahui bahwa satu-satunya cara terbaik sekarang bukanlah memiliki cincin sihir tetapi melakukan Perjanjian Pedang Suci ... Corin sungguh tidak tahu harus mengatakan apa. Semua hal terasa sia-sia. Pada akhirnya, ia tetap akan didorong dan dipaksa untuk melakukan hal-hal yang tidak ingin dilakukannya kembali.“2 hari ... kita hanya punya waktu 2 hari .... ,” Corin bergumam kosong. Menatap meja makan begitu saja. Ia ... sungguh, tidak bisa memikirkan apapun kembali. Semuanya terasa tidak nyata. Terlebih eksekusi mati yang akan jatuh ke atas kepalanya.“Mereka pasti berbohong,” Edle mendengus. “Tujuan mereka adalah Kucing milik Kak Corin. Mereka tidak bi