Semburan warna jingga menyebar, menutupi kecerahan biru begitu saja. Warna yang seterang nyala api justru begitu teduh saat awan selembut kapas turut tersapu dengan warna yang senada.
Selangkah demi selangkah, sosok remaja yang mengenakan seragam SMA berjalan di trotoar yang ramai. Beberapa anak berlarian, saling mengejar dan tertawa. Sesekali, suara motor yang melewati terdengar, melintasi jalan tanah yang belum diaspal sama sekali. Jalan yang tidak terlalu lebar, memiliki perkebunan di sisi kiri dan perumahan di sisi kanan.
Pepohonan rimbun menutupi senja yang menjangkau hari, memberikan aroma sejuk yang membuat nuansa nostalgia. Saat akhirnya kaki sang remaja berhenti di sebuah pagar besi setinggi 1 meter yang tertutup, kepala yang sejak tadi menunduk kini terangkat.
Rumah satu lantai yang memiliki halaman luas itu terlihat sejuk. Hamparan rumput terlihat mengelilingi rumah sederhana. Ada sebuah pohon Nangka di sisi kiri, dengan beberapa tanaman lain yang turut tumbuh. Semuanya terawat dan tersusun dengan baik, mengikuti hobi salah satu pemilik rumah yang suka berkebun.
Tidak ada sentuhan kaya atau bahkan luar biasa pada rumah tua berdinding bata ini. Semuanya terlihat sederhana, tidak kaya atau miskin. Sama seperti rumah-rumah di sekitarnya. Namun entah bagaimana, ada perasaan rindu yang tak tertahankan menghantam. Kesejukan yang aneh memeluk, meninggalkan rasa aman yang dinanti.
Mungkin ... inilah pengertian dari sebuah 'rumah'.
Corin menarik napas dalam, lalu menghembuskannya secara perlahan. Sungguh ... bukankah pagi ini, ia keluar dari rumah dengan lesu? Menganggap pergi ke sekolah seperti sebuah beban. Ia harus ke sekolah, menuntut ilmu dan menganggap pekerjaan itu sangat melelahkan. Berpikir untuk kembali ke rumah begitu bel pulang berbunyi dan akan mengurung diri di dalam kamar, membaca berbagai macam novel online dan menghabiskan waktunya sama seperti biasa.
Saat sebelah tangan pucat terulur untuk membuka pintu pagar, Remaja itu membeku. Jemari putihnya berkeringat dan gemetar, terasa begitu berat untuk mendekati bangunan yang ia sebut ... rumah.
Rasa takut mendadak kembali menghantamnya.
Perasaan ini terasa mencekik tenggorokan, membuatnya sulit untuk bernapas. Tanpa sadar, kedua tangan jatuh kembali ke sisi tubuh. Entah bagaimana ... dengan semua hal yang mendadak begitu saja menimpa, Corin merasa hari ini berjalan dengan sangat lambat ...
Menatap warna jingga langit, sore yang teduh terlihat sama seperti biasa. Dipenuhi dengan canda tawa anak-anak desa yang berkeliaran, saling membuat janji untuk bermain kembali esok hari. Suara motor dan mobil sesekali terdengar di belakangnya, melaju dengan perlahan melewati tanah merah berbatu. Hirup pikuk orang dewasa dan ibu-ibu bergosip turut terdengar. Saling membicarakan para tetangga dan anak orang lain yang begitu mencolok dan menarik untuk dibahas.
Biasanya, Corin tidak pernah menyukai ini. Ia tidak suka berada di luar rumah ketika sore hari. Ibu-ibu tetangga begitu usil, kerap menyapa dan menanyakan hal yang membuatnya merasa sakit hati. Atau anak-anak tetangga yang cerewet dan nakal. Corin tidak menyukainya. Tidak pernah sedikit pun menyukainya. Itu sebabnya, ia lebih suka mengurung diri di rumah ketimbang keluar. Terlalu malas untuk berinteraksi dengan mereka yang begitu menyebalkan.
Namun ...
Baru kali ini, Corin benar-benar merasakannya.
Mereka berisik, sangat berisik. Namun mereka hidup, bergerak, berinteraksi, dapat berbicara apa pun yang mereka inginkan begitu saja. Tanpa mereka, Ibunya mungkin akan merasa kesepian di rumah. Tanpa mereka juga ... adiknya tidak mungkin bermain di luar dengan begitu bahagia.
"Kakak mau masuk atau gak sih?!"
Suara cempreng sukses membuat Corin berjenggit. Ia refleks menoleh, menatap bocah lelaki 10 tahun yang berdiri tepat di belakangnya. Sebelah tangan bocah itu memegang bola kaki. Dengan kulit cokelat dan rambut pendek dipotong cepak, ekspresi bocah kurus itu terlihat kesal.
Alvin?
Corin ingin memanggil nama adiknya, tetapi begitu melihat penampilan si hitam yang penuh lumpur dan debu, Corin refleks menyingkir, menjaga jagak seolah takut bocah Sekolah Dasar itu akan mengotori seragamnya.
"Jangan deket-deket!"
Alvin melotot. "Apaan sih! Berani kotor tuh baik, tahu gak!"
"Jangan seenaknya ambil iklan orang lain," Corin berujar jutek. Membuka pintu pagar dan melenggang masuk. "Jangan masuk lewat depan!" peringatnya, memerintah bocah itu untuk masuk melalui pintu belakang.
"Gak, tadi Al udah cuci kaki duluan sebelum pulang," Alvin menolak. Dengan arogan menunjukkan salah satu kakinya yang masih basah dan sudah dicuci bersih tanpa lumpur. "Lihat? Bersih kan?"
Sulung Yudhistira menatap adiknya dengan jijik. "Pakek air apa? Comberan?"
"Gak lah!" Alvin melotot galak. "Dah ah, gatel ni!" ujarnya tidak sabar, lalu berlari masuk ke dalam rumah tanpa mempedulikan kakaknya kembali. Corin cemberut, mengekori adiknya dengan langkah lamban dan ikut masuk ke dalam rumah. Pintu kayu itu tidak terkunci sama sekali, membuat sepasang saudara langsung menemui ruang tamu dan ruang makan yang dijadikan satu.
Alvin lebih dulu masuk, melihat pisang goreng di atas meja. Tanpa ragu mencuri satu pisang dan berlari menuju dapur sebelum kakaknya berteriak. Namun, tidak mendapatkan teriakan kakaknya, sosok wanita di dapur sudah melotot menatap putra bungsunya.
"Al! Cuci tangan dulu!"
"Al laper Ma!" bocah SD itu melahap besar pisang goreng, lalu berseru kesakitan.
Wanita itu tertawa. "Tuh kan! Gak nurut apa kata Mama sih!"
Alvin meringis. Sibuk membuka mulut lebar-lebar dan mencari udara saat pisang goreng yang panas terasa membakar lidah. Namun bocah itu dengan keras kepala menolak untuk membuang makanan yang sudah masuk ke dalam mulut. Tetap mempertahankan pisang yang panas untuk mendingin dengan sendirinya di dalam mulut yang terbuka lebar.
"Taro di piring kecil dulu," Mama mengkulum senyuman, menyerahkan piring kecil dan dengan patuh, si bungsu menaruh pisang goreng yang telah digigitnya. "Mandi dulu, baru makan!"
"Nanti pisangnya dihabisin Kakak!"
Mendengarnya, membuat Mama yang di dapur refleks menoleh ke arah pintu. Dapur dan ruang tengah terpisah oleh dinding. Hal ini membuat sang wanita tidak menyadari keberadaan anak sulungnya. "Rin udah pulang?"
"Udah Ma!" mendengar namanya dipanggil, Corin refleks berteriak. Ia, yang sejak tadi berdiri mematung, langsung menggelengkan kepala. Berbalik dan buru-buru masuk ke dalam kamar.
Tepat ketika pintu tertutup dan terkunci, seluruh tubuh remaja itu langsung terasa lemas.
Menjatuhkan tas di atas lantai, sosok remaja itu berjalan perlahan menuju kasur. Selangkah demi selangka, entah bagaimana terasa berat. Terseret-seret seolah kasur merupakan tempat tujuannya yang begitu putus asa.
Bruk!
Corin membiarkan gravitasi menariknya. Membuat tubuh remaja itu jatuh di atas kasur yang empuk.
Menarik napas panjang, Corin menoleh ke sisi kiri, menatap kosong ke arah meja belajar yang rapi. Terdapat berderet komik dan novel di sana, tersusun dan terjaga dengan baik. Mengingat ia lebih suka membuka cerita ketimbang membuka buku pelajaran, beberapa kamus dan buku pelajaran terlihat berdebu di sisi yang lain.
Mengatup rapatkan bibirnya, Corin kembali merasakan gelisah yang terus menggerogoti dada. Ia takut. Sangat. Namun ia tidak bisa melakukan apapun. Semua sudah terjadi, ia tidak mungkin mundur. Perasaan putus asa ini entah bagaimana membuatnya merasa ... tercekik.
Tok. Tok. Tok.
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Corin. Remaja itu melirik ke arah pintu, lalu dengan malas bangkit dan mengubah posisi berbaring menjadi duduk di atas kasur.
"Ya?"
"Rin tumben pulang telat, dari mana aja, Nak?" Suara lembut seorang wanita terdengar di luar pintu. Corin merasa bersalah begitu mendengar pertanyaan Mamanya. Tanpa sadar, remaja ini ingin mengelak. Sangat tidak nyaman dengan pertanyaan sederhana itu. Oh, untunglah ia mengunci pintu. Setidaknya, wanita itu tidak akan melihat ekspresi putri sulungnya.
"Tadi ada kerja kelompok Ma, jadi Rin pegi ke rumah kawan dulu," kepala remaja itu menunduk. Menatap kakinya yang dengan gelisah bergerak-gerak di permukaan lantai yang dingin. "Rin lupa nelfon Mama."
"Ooh ... ," wanita dibalik pintu bergumam. "Lain kali kasih tahu Mama ya, untung aja kamu pulang bareng adekmu. Kalau gak, tadi Mama mau nelfon Papa tuk nanya kamu dimana."
"Rumah kawan Rin deket sekolah kok Ma."
Jeda beberapa detik. Mendadak, tidak ada sahutan kembali dari balik pintu. Corin menghela napas lega. Namun, baru saja ia ingin kembali berbaring, suara wanita di balik pintu kembali terdengar.
"Rin, kamu gak bisa buka pintu untuk Mama?"
Corin panik. Jantungnya mencelos. Ia refleks melompat dari kasur dan buru-buru melepaskan seragam dan mengganti pakaiannya dengan piyama.
"Corin lagi ganti baju Ma," suara remaja itu agak gemetar. Karena terlalu panik dan terburu-buru, remaja itu tidak sempat menyisir rambutnya. Hanya dengan kasar melepaskan kuncir dan menyisir jari helai rambutnya yang panjang.
Ceklek.
Pintu terbuka, menampakkan seorang wanita cantik yang mengenakan daster orange-hitam. Sosok itu lebih pendek, tetapi dengan wajah yang begitu terawat dan terlihat awet muda. Rambut wanita itu dipotong pendek, menyuarakan pemikiran sang pemilik yang jelas lebih menyukai hal-hal sederhana dan praktis.
"Kamu gak mandi dulu?" alis wanita itu terpaut, jelas heran kenapa anak gadisnya berganti baju dulu. Hari sudah sore, bukankah lebih praktis langsung ke kamar mandi untuk mandi?
"Kan ada Al," sang remaja mengelak. Tanpa ragu melangkah ke luar dari kamar dan mengambil pisang goreng yang menganggur di atas meja. "Pisang gorengnya enak," tanpa ragu, si sulung memuji setelah satu gigitan.
"Ya kan?" Mama menyeringai bangga. "Tadi ko Aceng dateng, bawa pisang. Pisang-pisangnya dah mateng. Ini masih ada segepok lagi di dapur."
Tetangga mereka memiliki kebun pisang di halaman belakang rumahnya. Sesekali, sosok tua yang begitu bersemangat itu memang kerap membagikan hasil panennya. Terutama untuk Alvin yang suka pergi ke halaman ko Aceng yang luas sebagai penolong dadakan bila lelaki tua itu ingin menyingkirkan beberapa hama di kebunnya.
"Hm ... pantesan enak," menghidupkan TV, Corin mencoba bertingkah seperti biasa. Di layar datar, sebuah berita sore ditampilkan. Mama sesekali mengajak putrinya berbicara, tetapi anak sulungnya jelas terlihat terlalu fokus. Tidak mendengarkan dan dengan serius menatap ke layar.
Hal ini mau tidak mau membuat wanita itu menghela napas. Ikut menonton berita sambil ngemil pisang goreng yang manis dan kriuk yang berada di atas meja. Keduanya tidak ada yang berbicara, hanya suara TV yang menjadi pemecah suasana di ruangan besar itu.
Namun pikiran Corin sudah melayang. Jantungnya berdebar dengan menyakitkan. Sesekali ia melirik wanita cantik di sebelahnya, perasaan rindu dan ingin memeluk wanita itu untuk berkeluh kesah membuatnya merasa sangat sesak. Namun tidak mungkin. Corin tidak bisa melakukannya. Ia tidak mau Mamanya khawatir.
"KAN!!! PISANG GORENGNYA HABIS!"
Teriakan membahana sukses membuat Corin berjengit. Remaja itu menoleh, menatap ke arah dapur dan menemukan bocah hitam yang hanya mengenakan handuk. Tubuhnya basah kuyup, menatap nyalang ke arahnya.
"AL GAK DISISAIN PISANG GORENGNYA!"
Corin, yang semula menahan sakit, tidak bisa menahan tawa melihat ekspresi ingin menangis tetapi tetap memasang wajah galak adiknya. Sosok kecil itu berlari marah. Buru-buru meraih piring dan menyelamatkan pisang terakhir di atas meja. Ia melotot, menuduh Mama dan juga Kakaknya karena tidak berniat menyisakan pisang goreng untuknya.
Mama tertawa, dengan lembut membujuk sosok kecil itu. Namun si bungsu jelas tidak berkompromi. Menganggap Mamanya berkhianat karena menghabisi pisang goreng. Akhirnya, Mama kembali ke dapur untuk menggoreng pisang, sementara si bungsu, dengan wajah penuh kemenangan, mendengus ke arah Kakaknya, lalu berlari menuju kamar untuk mengenakan baju.
Melihat Ibunya yang berjalan ke dapur dan adiknya yang masuk ke kamar, entah bagaimana Corin kembali merasa ... sedih.
Oh, tanpa ia sadari, hari-harinya tidak semembosankan itu, bukan? Ia juga memiliki warna ... warnanya sendiri. Tidak sekaku itu. Tidak semonoton itu. Namun ... kenapa ia baru menyadarinya sekarang?
Tersenyum miris, dapat ia rasakan matanya terasa panas. Panik, Corin langsung masuk ke dalam kamar. Mengunci pintu sebelum Mama atau adiknya sadar bahwa ia ... kembali menangis.
Dibalik lapisan kayu yang tertutup rapat, remaja yang mengenakan piyama duduk berjongkok, memeluk kedua lutut, membenamkan wajah yang telah memerah. Bahu mungilnya gemetar, mencoba meredam suara isak tangis yang kian lama, kian menyedihkan.
Mulai sekarang semua berubah.
Semua hal tidak akan sama kembali.
Corin merinding memikirkannya. Rasa takut akan perubahan kembali mencengkram. Membuatnya sulit bernapas. Saat dengan percaya diri ia mengatakan menerima semuanya dengan berlapang dada ...
Ia berbohong.
Tidak mungkin Corin bisa menerimanya. Tidak mungkin ia bisa memikulnya begitu saja. Ia hanya anak SMA biasa. Anak pendiam yang suram, seorang remaja yang memiliki keberanian kecil. Bagaimana mungkin ia yang seperti ini tidak merasa ... takut.
Oh, sungguh, tidak bisakah ia ... menarik kata-katanya kembali?
Kembali ke beberapa jam yang lalu ... 3 Penyihir dan 2 Kucing berwujud manusia berkumpul. Di sebuah kamar mewah, mengelilingi sebuah kasur berukuran King Size di mana seorang Penyihir berseragam SMA menjadi pusatnya. Sosok yang masih duduk di atas kasur itu dengan bodoh menatap teman sekelas yang memiliki kepribadian berbeda. Caroline Weish tidak terlihat seperti remaja ababil lainnya. Ia tenang, berpikiran jernih dan terlihat terlalu dewasa untuk ukuran anak seumurannya. Hal ini membuat Corin merasa lebih nyaman untuk berbicara dan berinteraksi dengan teman sekelasnya yang penyabar. "Bila aku memang seorang penyihir, sihir apa yang bisa aku keluarkan sekarang?" Lin menceritakan hal-hal ajiab perihal Penyihir. Tentu saja, Corin tidak akan mungkin berpikir ia akan langsung bisa melakukan hal-hal luar biasa. Namun setidaknya, apa yang biasa dilakukan Penyihir ... sesuatu yang sederhana dan kecil, seharusnya juga bisa ia lakukan, bukan? "Kau belu
"Aku akan melindungi Nona!" gadis kecil dengan sepasang iris kelabu mendadak berteriak, melotot galak ke arah Edle. Suaranya yang melengking jelas memecahkan keheningan ruangan itu. "Aku tidak akan membiarkan satupun Penyihir menyakiti Nona!"Edle terkekeh mendengarnya. Ia tidak henti bereksting menjadi sosok Antagonis. "Oh, benar. Kau akan melindungi Nonamu sampai kapan? Bahkan tanpa adanya Penyihir, Nonamu—“"Edle," Carolin mengkerutkan alis, memanggil nama adiknya dengan penuh peringatan. "Cukup.""Kenapa?" bocah itu menatap kesal kakaknya. "Kau tidak mau menjelaskannya? Bukankah lebih baik dia tahu bahayanya? Setidaknya—“"Apa lagi yang belum aku tahu?" Corin menyela. Tertawa miris saat mendengar apa yang bocah lelaki itu katakan. Nyawanya terancam. Banyak Penyihir akan ... mengincarny
Sosok itu gelisah. Berbaring di kasur singel, remaja yang mengenakan piyama, tidak henti mengubah posisi terus menerus. Memeluk guling, lalu berbalik dan melepaskannya dengan kesal. Terlentang, merasa tidak nyaman, kembali mengubah posisi menjadi meringkuk ke sebelah kiri. Beberapa menit kemudian, remaja berhelai panjang itu akan kembali mengubah posisi meringkuk ke sebelah kanan. Tidak ada rasa kantuk. Hanya ada debaran yang terus meningkat tidak senada dengan detak jam yang bergerak dengan konstan. Desiran yang membuat perut tidak nyaman terus merayap, kian membuat tidak nyaman. Hanya ada keheningan di tengah malam yang kian larut. Seluruh anggota keluarga di rumah bata itu seharusnya telah terlelap ke alam mimpi. Namun sayangnya, Corin Yudhistira tidak mengantuk sama sekali. Corin menyesal. Sejujurnya, ia benar-benar menyesal kenapa begitu penurut dan pengecut. Ini masalah nyawa, bukan sesuatu yang bisa dipermainkan. Namun pada kenyataanny
Berganti dari satu posisi menjadi posisi lain. Remaja yang mengenakan piama benar-benar tidak bisa diam di kasurnya. Ia terus bergerak dengan gelisah. Tidak merasa kantuk sama sekali saat malam telah larut. Ada kekesalan yang bergelayut di dada. Mencengkeram hingga membuat Corin ingin mengamuk. Terutama saat mengingat perlakuan seenaknya Caroline kepadanya. Seenaknya memutuskan, seenaknya merahasiakan sesuatu. Sungguh, bukankah ini hidupnya?! Remaja ini ingin marah, mengamuk. Namun ia hanya bisa menelan kekesalannya bulat-bulat. Rasanya sangat tidak menyenangkan ... sungguh, rasanya sangat tidak nyaman hingga ia merasa ingin kembali menangis. Mau bagaimana lagi? Ia hanya bisa bergantung dengan gadis Weish. Ia tidak bisa berbuat apa pun ... ia hanya pengecut. Bahkan untuk protes dan sedikit menyuarakan ketidak setujuan, Corin membutuhkan kepercayaan diri ekstra, keberanian yang ekstra. Tahu pasti bahwa matanya tidak mau terpejam, Corin tanpa ragu bangkit berdi
Rimbunnya pepohonan memenuhi mata, warna gelap yang kentara meneduhi semua hal yang berada di bawahnya. Cahaya bulan yang lebih bersinar seolah memanjang, menembus dedaunan tebal guna menerangi gulita yang tercipta. Corin Yudhistira seharusnya tidak memiliki penglihatan sebaik ini, tetapi dengan anehnya ia bisa melihat suasana yang tercipta dari malam yang hanya mengandalkan penerangan bulan. "Hutan?" tanpa sadar remaja itu membeo, tercenga dengan apa yang ada di sekitarnya. "Ya," Phoenix mengangguk, sukses mengalihkan perhatian remaja yang masih tercenga. Corin berkedip, sulung Yudhistira menoleh menatap sekelilingnya dan mendapati bahwa ... ada sebuah kereta kuda beberapa meter dari tempat mereka berdiri. Kereta itu terlihat megah dan tua, tanpa kuda yang seharusnya menjadi hewan penariknya. Warna gelap pada kereta bersamaan dengan derit ketika Joshua membantu Lin untuk menaiki kereta tertutup itu sekali lagi membuat remaja berkuncir satu menelan li
"Penyihir memiliki 3 tipe kemampuan, masing-masing adalah Element, Makhluk hidup dan Ramalan. Tipe kekuatan yang paling umum adalah Element, Makhluk Hidup cenderung jarang dan tipe Ramalan adalah yang paling langka." Pria dengan helai gelap dan sepasang iris biru itu menjelaskan dengan sabar. Nadanya lambat, tidak terburu-buru dan cukup menyenangkan untuk didengar. Bahkan dengan wajah tampan yang dibingkai rambut hitam ditata klimis, Corin secara bertahap mulai merasakan pengikisan dirinya untuk menolak mengetahui perihal Sihir dan hal-hal ajaib lainnya. "Tipe Element terdiri dari 4 unsur yang bisa digabungkan dan saling berkait, yaitu Api, Air, Tanah dan Udara. Sementara untuk Tipe Makhluk, ada 2 Unsur yang bisa dikuasai, yaitu Hewan dan Tumbuhan. Namun untuk Ramalan ... ." Jeda beberapa detik, pria tampan itu menghela napas. "Saya sendiri kurang mengetahuinya. Karena tipe ini sangat langka, sekali mereka ditemukan, biasanya akan diisolasi dan menjadi Penyih
Corin Yudhistira akui bahwa dirinya terlalu suka membaca komik dan Novel. Meski kebanyakan adalah genre Fantasi, tetapi selalu ada bumbu Romance yang membuat malting. Namun mendengar langsung apa yang Pheonix katakan dan melihat betapa Joshua sangat memperhatikan Caroline ... Tebakannya benar, mereka memang pasangan dalam artian Romantis. Namun, Corin tidak pernah menyangka bahwa hubungan mereka ternyata ... jauh lebih serius ketimbang pacaran. "Partner Sihir memiliki arti yang sangat dalam. Ini bukan hanya partner dalam artian Romantisme, keberadaan sepasang Penyihir sangat penting karena kecocokan sihir mereka juga menyangkut kemampuan Sihir mereka." Tersenyum, Phoenix kembali menatap sepasang penyihir yang terlelap. "Kemampuan Sihir adalah hal yang sangat berharga ... karena tidak peduli di mana pun itu, bahkan di lingkungan yang terlihat aman dan damai sekalipun ... kekuatan akan selalu menjadi simbol kepercayaan diri dan harga diri setiap orang."
Suara dengungan lebah terdengar, sukses menarik kesadaran yang semula terlelap. Namun, secara bertahap, dengung lebih berubah menjadi beberapa obrolan yang dilakukan secara acak, juga diiringi dengan beberapa suara lain yang cukup berisik dan mengganggu. Corin mengerutkan alis. Berisik sekali ... oh, sungguh, apakah sudah terlalu siang sehingga Alvin membesarkan volume suara TV?! Kesal karena tidurnya terganggu, tangan panjang itu meraba-raba, mencoba mencari bantal untuk menutup kuping. Namun jemarinya justru dengan mudah menyentuh dinding yang dingin. Hal ini sukses membuat tubuh mengantuk refleks ingin berbalik— "Ah!" Rasa kantuk Corin hilang seketika saat tubuhnya nyaris terjatuh. Gravitasi mencoba menariknya, tetapi tubuh bergerak lebih dulu. Dengan jantung yang melompat, remaja itu langsung membalik tubuhnya dan menempel pada dinding. Namun hal itu tidak menghentikan jantungnya yang berdebar tidak tenang saat merasakan perasaan hampir terjatuh yang nyat
Sebuah meja kayu panjang yang dikelilingi oleh banyak kursi tersedia di tengah-tengah ruangan besar. Lampu gantung kristal dimatikan, hanya menyediakan penerangan dari jendela prancis yang terbuka lebar. Suasana pagi yang langsung menghadap ke arah taman penuh bunga membuat Ruang Makan terasa sangat artistik dan indah.Saat Corin akhirnya turun dari kamar tamu dan memasuki Ruang Makan, gambar indah dari ruangan yang seharusnya menjadi pencuci mata, tidak terlihat seperti itu sama sekali. Mungkin karena tidak ada yang memulai makan atau mungkin karena orang-orang yang duduk di kursi memiliki ekspresi yang begitu suram, Corin benar-benar merasa salah memasuki ruangan.Sungguh, ini bukan ruang rapat kan?Makanan hangat telah tersedia di atas meja, tetapi karena menjadi yang terakhir, kedatangan remaja itu mengundang ba
Hembusan lembut udara terasa membelai kulit. Namun cahaya yang hangat menerpa, menyentuh dan membuat Corin tidak bisa begitu saja menutup mata–bagaimana pun, kesadarannya telah kembali. Perlahan, kelopak mata itu bergerak sebelum akhirnya membuka. Silau. Alis Corin terpaut. Matanya terasa tersengat. Berkedip beberapa kali, akhirnya ia bisa menyesuaikan diri. Namun, saat Corin menyadari dimana dirinya berdiri, ekspresi wajah remaja yang semula linglung, berubah menjadi tercenga. Sepasang kelerengnya membola sempurna, menatap tidak percaya apa yang tercemin di matanya. Sebuah padang rumput yang hijau membentang. Ia berdiri di bawah bukit, tepat bermandikan cahaya matahari yang hangat. Hembusan angin menerpa tubuh, menerbangkan dedaunan yang dengan mudah berguguran di tanah. Menyipitkan mata, sebuah pohon besar berd
Suhu udara mendadak berubah rendah. Kabut tipis menyelimuti semua orang. Seolah merasakan de javu, Caroline dan Joshua sama-sama memandang tidak percaya ke arah Corin semula berjongkok dan melindungi dirinya bersama Piby.Suara yang mengalun di antara kabut terdengar dengan jelas. Suara yang familier, tetapi entah bagaimana begitu asing. Nadanya sangat tenang, seolah tidak peduli dengan ancaman nyawa yang berada di sekitarnya.Kabut dingin hanya bertahan selama beberapa detik, lalu menghilang dan memperlihatkan sosok remaja yang menggendong seorang gadis kecil. Wajah pucat itu tanpa ekspresi tetapi sepasang iris menatap sekitarnya dengan pandangan jijik yang terlalu kentara.Berbeda dengan melawan para Penyihir, kali ini, arwah asing yang kembali menguasai tubuh Corin memasang ekspresi jijik. Terlihat sangat tidak berminat untuk melawan Manusia Serigala.“Kaing!"Dengkingan Manusia Serigala terdengar—sukses membuat semua orang tersentak
Manusia Serigala merupakan nama sebuah penyakit. Penyakit sihir yang disebabkan oleh kutukan. Konon, semuanya berasal saat zaman peperangan. Saat itu, seorang Penyihir membuat sihir terbaru, bermaksud membuat eksperimen manusia kuat yang mampu dikendalikan dan mengalahkan banyak musuh. Memiliki fisik yang kuat, kelincahan, juga tahan dengan serangan Sihir.Namun siapa sangka bahwa eksperimen ini akan gagal, menciptakan makhluk yang bukan manusia atau hewan. Hanya Monster yang haus darah, agresif, tidak mampu untuk dikendalikan. Perpaduan dari Manusia dan juga gen Serigala.Sayangnya, peperangan menghalalkan segala cara untuk menang. Manusia serigala dibebaskan untuk menyerang musuh. Sungguh, tidak ada yang menyangka bahwa orang-orang yang selamat dari serangan Manusia Serigala ... akan tertular. Mereka yang digigit, akan berubah menjadi Monster. Rasionalitas mereka menghilang, hanya digantikan insting selayaknya hewan dan agresifitas yang tidak mampu dikendalikan siapa
Pertanyaan tidak berhenti sampai di situ saja. Mereka dibebaskan untuk bertanya apa pun dan Kucing Hitam Perempuan bisa memilih untuk menjawabnya. Selain Corin, semua orang mencoba mengorek informasi apa pun dari mulut remaja berpakaian Maid.“Berapa umurmu?”“Umur yang mana?” Miaw balas bertanya. “Umur saya yang sekarang atau kah umur sesudah kontrak?”Edita yang melontarkan pertanyaan, mendadak diberikan umpan balik pertanyaan. Namun remaja itu tanpa ragu membalas. “Keduanya.”Miaw tersenyum lembut. Kegelapan malam dengan cahaya redup dari bola api yang melayang-layang diudara membuat wajah cantiknya terlihat menyeramkan. “Umur Kucing Saya adalah 1 tahun sementara Umur setelah mengikat kontrak adalah 3 bulan.”Hening.Mendadak, tidak ada lagi yang melontarkan pertanyaan.Corin yang dirundung perasaan bersalah, bahkan menyadari suasana yang mendadak terasa berbeda. kepala hi
Malam kembali menyapa. Tidak seperti malam sebelumnya yang penuh dengan gemerlap bintang, kali ini langit ditutupi oleh awan. Namun tidak peduli seberapa indah malam sebelumnya atau seberapa suram kali ini, perjalanan yang dilakukan di malam hari merupakan perjalanan yang mencekam.Beberapa bola api melayang-layang mengikuti pergerakan empat ekor kuda yang berlari cepat. Cahaya yang justru cenderung redup, tidak bisa benar-benar memberikan penerangan malam. Namun karena cahaya redup inilah mereka sedikit lebih aman. Bagaimana pun, cahaya di tengah kegelapan merupakan hal yang mencolok dan cenderung mengundang bahaya.Merasakan sakit pinggang, punggung dan bahunya, Corin benar-benar bisa merasa bersyukur akan kenikmatan duduk manis di dalam kereta. Oh, sungguh, ia tidak menyangka akan semenderita ini menunggangi kuda!Hanya ada empat kuda yang tersedia untuk mereka tunggangi. Joshua tentu saja bersama Caroline, Roni dan Eka juga harus bersama. Kedua pasangan ini
Cring ... cring ...Suara bel yang jernih dan merdu terdengar. Halus di antara keheningan yang tercipta. Semua pasang mata memandang sosok remaja yang mengenakan pakaian Maid, membungkuk ke arah seorang batita kecil dengan sepasang mata hijau yang seolah siap untuk menangis ...Remaja itu sangat cantik. Dengan helai hitam panjang yang diurai, rambut ikalnya mencapai pinggang. Kulitnya seputih pualam, sangat kontras dengan warna helai rambut yang gelap. Ditambah sepasang iris hijau keemasan yang indah ...Kucing.Satu kata muncul di kepala Corin saat memandang remaja itu. Dalam sekali pandang, entah bagaimana ia menebak identitas remaja ini. Oh, bukan hanya Corin. Bahkan semua orang yang melihatnya, entah bagaimana mengetahui identitas Remaja yang mendadak muncul di udara kosong.
Ketika pertanyaan Bungsu Weish terlontar memecahkan keheningan, Corin dapat merasakan jantungnya mencelos. Pertanyaan itu menohoknya. Bagaimanapun, ia adalah penyebab kedua anak kecil datang dan mengikuti mereka.Menatap wajah serius tetapi galak remaja yang sedikit lebih pendek, Corin menelan liur paksa. Jantungnya berdebar-debar tidak tenang. Panik sekali, membuatnya tanpa sadar menatap sekitar—mencoba mencari pertolongan. Bagaimana pun, harus ada yang menjelaskan. Namun sulung Yudhistira bukan orang yang tepat untuk buka suara.Lin menghela napas. Remaja itu tidak terpengaruh dengan tatapan mengintimidasi adiknya sendiri.“Kami menemukannya,” Lin menjawab jujur. “Di tengah hutan ... bila bukan karena mereka, Snow dan Rin akan mati.”“Mati?” Roni kali ini buka suara. Kat
Chapter 39: Pergi (I)Perjanjian Pedang Suci adalah sebuah perjanjian antara Penyihir dengan budaknya. Perjanjian yang terikat antara kedua jiwa, perjanjian yang memaksa untuk salah satu pihak untuk tunduk dan taat dengan pihak lainnya.Saat benar-benar mengetahui bahwa satu-satunya cara terbaik sekarang bukanlah memiliki cincin sihir tetapi melakukan Perjanjian Pedang Suci ... Corin sungguh tidak tahu harus mengatakan apa. Semua hal terasa sia-sia. Pada akhirnya, ia tetap akan didorong dan dipaksa untuk melakukan hal-hal yang tidak ingin dilakukannya kembali.“2 hari ... kita hanya punya waktu 2 hari .... ,” Corin bergumam kosong. Menatap meja makan begitu saja. Ia ... sungguh, tidak bisa memikirkan apapun kembali. Semuanya terasa tidak nyata. Terlebih eksekusi mati yang akan jatuh ke atas kepalanya.“Mereka pasti berbohong,” Edle mendengus. “Tujuan mereka adalah Kucing milik Kak Corin. Mereka tidak bi