Home / Romansa / Jodoh Yang Dinanti / Chapter 1 - Chapter 10

All Chapters of Jodoh Yang Dinanti: Chapter 1 - Chapter 10

20 Chapters

1. Pulangnya Bang Adnan

17 TahunJakarta—————"Perhiasan dunia adalah perempuan salihah. Maka kamu harus menjaga diri kamu, Ya. Jangan mengumbar aurat dengan memperlihatkan rambut kamu yang seharusnya kamu tutupi. Abang sayang Raya, maka dari itu Araya mau, ya? Pakai jilbab dan memakai pakaian yang tertutup mulai hari ini. Karena Abang, Ayah dan Bunda bisa masuk surga karena kamu. Namun, karena kamu juga, kami bisa ditarik ke neraka. Paham, 'kan, maksudnya apa?" Adnan mengusap kepala Araya kemudian pergi meninggalkannya.Petuah panjang dari Adnan masih terngiang ditelinganya. Semenjak Adnan—kakak kandung Araya—pulang dari pesantren yang berada di kota Tasikmalaya. Adnan selalu saja memberikan nasihat perihal menutup aurat padanya. Perkataan yang selalu baik dan tidak menyakiti hati, siapapun pasti akan mau menuruti. Termasuk Araya, meskip
Read more

2. Kebaikan Tanpa Pamrih

Entah sudah bermimpi apa Araya semalam, sampai-sampai ia sudah mengalami hal-hal tidak mengenakan sepanjang pagi ini.  Pertama karena ceramah Adnan serta peringatannya yang terus terngiang di telinga. Lalu sekarang? Araya harus terus menunduk sedari tadi sambil mendengarkan cercaan demi cercaan seorang wanita paruh baya yang sepertinya memang sedang tidak mau berbaik hati. Wanita itu hanya mengenakan kaos pendek serta celana pendek selutut, bahkan rambutnya pun turut acak-acakan.Tidak perlu disanggah, bahwa sudah jelas wanita itu juga bersalah karena menghentikan mobilnya tiba-tiba di tengah jalan. Siapa yang tidak akan kaget coba, tetapi sekarang kesannya seperti Araya yang paling salah di sini. Padahal Araya juga mendapatkan luka-luka di kaki serta pergelangan tangannya. Sehingga kejadian ini pun tentu saja menjadi perhatian para pengguna jalan. Mengelilingi Araya serta wanita tadi, dan beberapa kali pula Araya mendapat tegur
Read more

3. Peringatan Untuk Fahri

"Asalamualaikum, selamat pagi ...." Waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Maka dari itu, Bu Roida selaku guru pelajaran matematika sudah memasuki kelas XII Ipa 1. Seluruh murid di kelas tersebut seketika duduk di bangku masing-masing. Setelah sebelumnya sibuk dengan kegiatan bermain truth or dare, atau pun bergosip mengobrol banyak hal sambil duduk melingkar di salah satu meja.Sementara itu, seorang murid laki-laki salah satu dari mereka sedang berada dalam ambang kegelisahan. Kedua kakinya tidak bisa diam sehingga menimbulkan suara yang cukup berisik dan membuat teman sebangkunya geram."Fahri? Kaki lo bisa diem gak, sih?" tanya Andra seraya mengambil buku di dalam tas, kemudian memfokuskan pandangannya ke arah papan tulis.Beberapa kali Fahri melirik bangku di sebelahnya. Meja di barisan ke tiga itu masih kosong sebab si empunya belum datang. Entah kenapa tetapi, sungguh Fahri sangat khawatir karenanya. Pandangann
Read more

4. Pesantren?

Seperti yang sudah diberitahu sebelumnya, bahwa Bu Roida adalah guru paling mengutamakan kedisiplinan di sekolah, sehingga tidak ada yang boleh melanggar aturannya saat jam pelajaran beliau sedang berlangsung. Dan saat ia memerintah maka perintah itu harus segera dilaksanakan.Seperti perintah Bu Roida kepada Fahri hari kemarin. Meminta Fahri untuk memberitahu Araya supaya datang ke ruang guru. Namun, saat hari itu tiba, pada akhirnya bukan hanya Araya yang melaksanakan perintah itu, melainkan Fahri juga turut melakukannya. Dikarenakan Fahri bolos disaat jam pelajaran beliau demi menjemput Araya.Dan di sini lah mereka sekarang, duduk di meja paling depan di ruangan para guru. Dengan dua lembar kertas serta beberapa soal yang harus mereka kerjakan dalam waktu satu jam. Bu Roida ikut menyaksikan bahkan beberapa guru yang lain ikut mengawasi. Membuat Araya sedikit gugup berbeda dengan Fahri, cowok itu tampak begitu tenang.
Read more

5. Menyikapi Jatuh Cinta

Tak!Araya menyimpan pulpen yang sedari tadi ia gunakan untuk mencoret-coret kertas putih di atas meja. Pikirannya kembali berlari pada sore tadi. Mengingat seorang laki-laki dengan kemeja hitam di pinggir jalan itu. Bagaikan kaset rusak yang berputar berulang-ulang di dalam kepalanya. Ada rasa resah, gelisah, tetapi senang berpadu menjadi satu.Entah perasaan apa ini? Namun, Araya dibuat kehabisan kata karena nya. Araya sampai tidak tahu, apa yang harus ia lakukan? Kosa kata yang sudah ia kumpulkan untuk berbentuk kalimat tentang rasa di sebuah buku diary, seolah hilang begitu saja. Jika dipikir lagi, Apakah perasaan ini salah? Salah karena terlalu membiarkannya hingga melebar begitu saja."Astaghfirullahal adzim." Untuk kesekian kalinya Araya beristighfar. Araya memang belum begitu paham tentang agama, tetapi ia juga tahu bagaimana caranya menenangkan hati yang gelisa
Read more

6. Si Pembeli Bunga Lily

Araya berjalanan menelusuri koridor sekolah. Sesekali tersenyum saat ada yang menyapa. UN sudah selesai dan alhamdulillah Araya menyelesaikannya dengan baik. Jika saja Adnan tidak memaksanya untuk terus belajar mungkin Araya akan kelimpungan sendiri saat menjawab soal ujian.Kakaknya itu memang yang terbaik, tidak pernah menyerah meskipun Araya sering kali protes tetapi Adnan tetap sabar."Lo bakal kangen sekolah gak, Ya?" tanya Fahri saat ia sudah berjalan bersejajar dengan Araya. Beberapa detik kemudian, Araya berjalan mundur. Membiarkan Fahri memimpin jalan."Gak, gue justru bakal kangennya sama lo."Tanpa Araya tahu, senyuman terbit dari bibir Fahri. Jawaban dari Araya tentu saja membuat Fahri senang. Meskipun mungkin, gadis di belakangnya itu sama sekali tidak menyadarinya."Lo baik-baik ya, di pesantren nanti. Pokoknya lo gak boleh bandel, harus nurut sama aturan. Inget, harus tetep
Read more

7. Kepergian Fahri

"Ada dua pilihan bagaimana menyikapi perasaan itu. Pertama, apakah ingin seperti Bunda Siti Khadijah yang berani mengungkapkan perasaannya kepada Nabi Muhammad SAW, atau seperti Sayyidatina Fatimah Az-Zahra RA, yang menyimpan cintanya diam-diam untuk Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Jadi, di antara cara menyikapi cinta dari kedua wanita mulia itu, cara mana yang akan kamu ambil?"Araya berpikir sejenak, sampai akhirnya ia pun menjawab, "Bunda Siti Khadijah."Tertampar sudah Araya dengan ucapannya sendiri. Malu sekali saat ia tidak bisa membuktikannya dengan tindakan nyata. Berbicara itu memang mudah, tetapi melakukannya adalah pekerjaan yang paling sulit.Sungguh malu saat kejadian tadi membuat Araya pada akhirnya memilih untuk berlari. Meninggalkan toko pernak-pernik begitu saja, sehingga pin yang ingin ia beli untuk sang bunda pun tidak jadi. Lagi pula, memangnya siapa orang yang men
Read more

8. Rumah Yang Ditinggal

"Araya pakai gamis ini, ya?" pinta Bunda saat baru saja memasuki kamar Araya. Kemudian melihat putrinya yang sedang bercermin."Raya gak bisa, Bunda. Ribet, Raya juga udah rapi ini." Araya memutar tubuhnya, terlihat cantik dengan mengenakan tunik serta celana jeans. Tidak lupa, kerudung instan berwarna soft cream."Nggak, Raya, kamu harus pakai gamis ini. Ke pesantren masa pakai celana? Mulai dari sekarang kamu harus terbiasa pakai gamis seperti ini setiap hari. Wajib!" Bunda berusaha membujuk.Kedua bahu Araya spontan merosot. Lantas bergelayut manja di tangan sang Bunda. "Bunda, gak suka. Ribet, Raya gak mau!" Dengan wajah memelas Araya memohon. Berharap andai Bundanya mau memaklumi dan membolehkan Araya untuk tidak memakai gamis sementara waktu.Bunda tersenyum, ia melepas tangannya dari pelukan Araya. Kemudian memegang kedua sisi wajah putrinya. "Putri Bunda ini sudah besar, sudah seh
Read more

9. Bertemu Kembali

Bandara memang tempat paling megah. Seberapa banyak pun orang yang datang tempat ini tidak akan pernah sesak. Namun, tidak termasuk dengan hati, saat harus berbesar ikhlas melepaskan seseorang yang disayang. Atau ada pula tempat ini menjadi awal pertemuan baru yang sebelumnya pernah dipisahkan. Lalu kembali dipertemukan setelah sekian lama menghilang. Araya masih setia mendampingi Adnan di sebelahnya, bahkan tanpa sungkan Adnan menggandeng tangan gadis itu di antara sebagian orang yang berpikir kalau mereka adalah sepasang suami istri. "Abang, kok ada yang lirik-lirik kita, sih, Bang? Ada yang aneh, ya, sama Raya?" tanya Araya, ketika ia baru sadar ada yang curi-curi pandang. Adnan menunduk melihat Araya, sedangkan Adiknya mendengak melihat sang abang, perbedaan yang dominan ketika Adnan ternyata memiliki perawaka
Read more

10. Janji Untuk Nanti

Masih di tempat megah bernama bandara itu, keduanya kembali saling memandang. Si gadis tampak gugup, sementara si lelaki begitu tenang. "Adnan nggak ninggalin, dia cuma pergi sebentar." Nathan menyahut santai, membuat gadis di depannya tampak malu juga lucu. "Ada yang mau kamu bilang sama saya, nggak?" Nathan melangkah maju, mengikis jarak di antara mereka. Sementara Araya meneguk ludah, jantungnya pun sudah bertalu-talu. Tidak pernah mengira akan bertemu dengan lelaki ini lagi. Bahkan kedua jemari tangannya sudah saling memilin, dilihat se-intens itu membuat napas Araya tercekat. Sehingga refleks dalam satu kali hentakan ia melangkah mundur. "Saya, saya belum ada uang buat ganti uangnya Kakak," jawab gadis itu pelan, terdengar sangat polos.
Read more
PREV
12
DMCA.com Protection Status