Beranda / Romansa / Jodoh Yang Dinanti / 7. Kepergian Fahri

Share

7. Kepergian Fahri

Penulis: AnniF_
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Ada dua pilihan bagaimana menyikapi perasaan itu. Pertama, apakah ingin seperti Bunda Siti Khadijah yang berani mengungkapkan perasaannya kepada Nabi Muhammad SAW, atau seperti Sayyidatina Fatimah Az-Zahra RA, yang menyimpan cintanya diam-diam untuk Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Jadi, di antara cara menyikapi cinta dari kedua wanita mulia itu, cara mana yang akan kamu ambil?"

Araya berpikir sejenak, sampai akhirnya ia pun menjawab, "Bunda Siti Khadijah."

Tertampar sudah Araya dengan ucapannya sendiri. Malu sekali saat ia tidak bisa membuktikannya dengan tindakan nyata. Berbicara itu memang mudah, tetapi melakukannya adalah pekerjaan yang paling sulit.

Sungguh malu saat kejadian tadi membuat Araya pada akhirnya memilih untuk berlari. Meninggalkan toko pernak-pernik begitu saja, sehingga pin yang ingin ia beli untuk sang bunda pun tidak jadi. 

Lagi pula, memangnya siapa orang yang mengerjainya tadi? Apa tujuannya melakukan hal itu? Sumpah, Araya kesal sekali dibuatnya. Kalau sampai bertemu lagi, Araya berjanji akan langsung memukulnya sampai babak belur.

"Berhenti, Pak!" Araya berteriak sambil berlari untuk menghentikan angkot yang sedang melaju.

Buru-buru Araya masuk, sedang jantungnya terus bertalu-talu. Napasnya bahkan sampai ngos-ngosan. Beberapa penumpang yang ada di angkot meliriknya diam-diam. Seperti berpikir, ini orang kenapa, dah, kayak lagi dikejar setan.

***

"Assalamualaikum, Tante." Saat membuka pintu rumah, yang pertama kali Bunda lihat adalah Fahri. Sahabat putrinya itu sudah rapi dengan penampilannya.

"Waalaikusalam, ada apa, Fahri, kamu mau ke mana?" tanya Bunda, sambil membuka pintu lebar-lebar. Apalagi saat Bunda juga melihat sebuah mobil SUV putih di depan rumah Fahri, beberapa koper turut dimasukkan ke dalam bagasi mobil itu.

"Ini Bunda, Fahri mau ke Jogja."

"Kok mendadak banget?" Bunda dan Fahri berjalan memasuki rumah.

"Iya, Nenek tiba-tiba sakit keras di sana. Jadi Mama sama Fahri hari ini harus langsung berangkat."

"Terus acara perpisahan nanti di sekolah gimana?"

Fahri tersenyum. Langkah cowok itu tiba-tiba saja terhenti. "Mungkin Fahri nggak ikut, Tante, sekarang aja Fahri mau pamitan sama Araya. Arayanya ada, 'kan, Tante?"

"Araya belum pulang, Ri, Bunda pikir dia pulangnya bareng kamu. Adnan juga nggak sempet jemput karena lagi siapin barang-barang buat berangkat besok ke Tasik."

Fahri mengangguk saja. Sudah tidak aneh jika setiap pulang sekolah Araya memang suka kelayapan meskipun sendirian. Gadis itu memang berbeda.

"Loh, Fahri, kamu mau ke mana? Udah rapi aja?" Adnan yang baru saja selesai dengan pekerjaannya menghampiri. Pemuda kaos putih polo itu masih memegang kain lap di tangannya.

"Fahri mau ke Jogja, Nan, ngedadak banget." Bunda menyahut.

"Kenapa, Ri, kok tiba-tiba?" tanya Adnan dengan kening berkerut.

"Nenek di Jogja sakit, Bang, jadi kita sekarang mau langsung ke sana, lihat kondisi Nenek," jawab Fahri. "Tapi ini juga nunggu Araya dulu, kok, mau pamitan sama Raya."

"Oh yaudah kalau gitu duduk dulu, udah gak aneh dia pasti kelayapan dulu." Adnan mempersilakan Fahri duduk di sofa. Lantas kedua pemuda berbeda usia itu duduk saling berhadapan.

"Sebentar, ya, Fahri, Bunda siapin dulu minum buat kamu."

"Iya, Bunda, terima kasih."

***

"Assalamualaikum, Bunda, Araya pulang," teriak Araya saat baru saja sampai gerbang rumah. Gadis dengan seragam putih-abu serta kerudung instan putih itu menghentikan langkahnya saat melihat mamanya Fahri sedang berusaha memasukkan koper ke dalam bagasi SUV putih.

Araya sontak menghampirinya. "Sini Tante biar Araya bantu." Gadis itu lantas membantu mengangkat koper dan memasukkannya ke dalam bagasi. "Fahri ke mana memangnya, Tan, kok nggak bantuin Tante, sih?" Araya berkacak pingggang, lalu satu tangannya membantu menutup pintu bagasi.

Fina—mamanya Fahri—wanita itu tersenyum. "Fahri lagi di rumah kamu, kayaknya nungguin kamu, deh, makanya belum keluar-keluar dari tadi."

"Oh, memangnya ada apa Tante, Tante juga mau ke mana ini?" Araya memindai mamanya Fahri dari atas kepala sampai ujung kaki, baru sadar bahwa wanita di hadapannya ini  sudah rapi dan cantik. Juga koper yang dimasukkan tadi, untuk apa, ya?

"Coba kamu temuin dulu Fahri, deh, biar kamu segera tahu," ujar Tante Fina, wanita itu kemudian pamit kembali memasuki rumah.

Setelah membalas Tante Fina dengan sebuah anggukan, Araya berjalan mundur kemudian berbalik dan berlari memasuki rumahnya.

"Fahri!" teriaknya saat baru saja sampai.

"Waalaikumsalam, dateng-dateng kok langsung teriak-teriak, kamu mah gimana, sih?" protes Bunda dengan kelakuan Araya. Wanita itu langsung menghampirinya di depan pintu.

"Fahri mana?" Namun, Araya tidak merespons sang bunda.

"Itu, lagi ngobrol sama Abang kamu."

Lalu dengan langkah seribu Araya menghampiri Fahri. "Lo mau kemana, Ri?" tanyanya menginterupsi kegiatan obrolan ringan di antara Fahri dan juga Adnan. Bahkan netra coklat Araya pun tidak luput memerhatikan Fahri dari ujung kepala sampai kaki. Dan entah kenapa hal itu membuat pikiran Araya resah.

"Araya, baru balik?" Fahri kemudian berdiri.

"Gue tanya lo mau ke mana?" tanya Araya galak, wajahnya pun sudah tidak bersahabat.

"Tenang, dong, Ya, nggak usah galak-galak," kekeh Fahri seraya mengangkat kedua tangan di depan dada. Araya itu memang susah sekali bersikap lembut padanya. Untung saja Fahri adalah cowok paling sabar menghadapi Araya.

"Gimana nggak galak, lo sama Tante Fina aneh. Kenapa kalian pada rapi gitu?" Araya terdiam sejenak, gadis itu meneguk ludah pahit saat menyadari sesuatu. "Mau pergi?" tanyanya kemudian.

Dan tentu saja pertanyaan itu mendapat anggukan dari Fahri. "Iya. Hari ini. Nanek gue di Jogja lagi sakit keras, dan om gue di sana lagi sibuk banget ngurus perusahaan. Jadi gue sama Mama, mutusin buat—" Fahri menggantungkan perkataannya, tiba-tiba saja dadanya terasa sesak. "Buat tinggal di sana."

Satu kali Araya berjalan mundur, perkataan itu entah kenapa membuat rongga dadanya menipis. Bahunya turut merosot, ada sesuatu yang gadis itu tidak suka dalam hidup. Iya, ini, sebuah perpisahan. "Tapi kenapa mendadak banget?" Suara Araya mulai parau. "Dan kenapa tadi di sekolah lo nggak kasih tahu gue?" tanyanya menuntut.

"Sorry, Ya, gue nggak berani, gue takut lo—"

"Nggak berani?" Lagi, Araya berjalan mundur saat Fahri melangkah mendekatinya. Ia menggeleng tidak habis pikir. "Kalau dengan kasih tahu gue sebelumnya lebih buat lo takut gue sedih daripada kasih tahu gue mendadak kayak gini. itu artinya lo nggak pernah kenal gue!" Araya mulai berbicara dengan nada tinggi. Jujur saja hatinya sakit sekali karena diberitahu dengan tiba-tiba seperti ini.

"Bukan, gitu, ya," lirih Fahri, matanya sudah memanas. Ia tidak menyangka bahwa respons Araya akan se-marah ini. Sungguh, membuat Fahri takut andai hubungan mereka berakhir tidak baik di detik-detik ia akan pergi. Bukankah nanti kehidupannya di Yogyakarta sudah tentu tidak akan tenang andai hubungannya dengan Araya seperti itu?

"Terus apa?" tanya Araya lagi. "Ri, acara  perpisahan di sekolah aja belum, kenapa lo pergi sekarang?" Air bening yang sedari tadi Araya tahan akhirnya terjatuh. Rasanya berat sekali ditinggalkan oleh Fahri. Walau pun ia juga akan pergi, tapi setidaknya Fahri membiarkan Araya yang lebih dulu pergi daripada dirinya. Biarkan Araya tidak merasa sakit karena ini. Sebab ditinggal jauh oleh sahabat sendiri, ternyata belum apa-apa sudah membuat Araya merasa kehilangan.

"Apa alasan gue buat ikut perpisahan, Ya? Kalau lo sendiri aja gak ada di perpisahan itu!" Fahri sedikit meninggikan suaranya. Sedang Bunda dan Adnan hanya bisa memerhatikan dalam diam. Menyaksikan sedikit konflik dari dua sejoli yang bersahabat dan sebentar lagi akan berpisah itu. Tidak mau melerai, karena ini permasalahan mereka. Toh, mereka sudah sama-sama dewasa.

"Fahri!" tekan Araya menanggil namanya, netra gadis itu sudah memerah, bahkan tanpa sadar kedua tangannya terkepal di sisi tubuh.

"Lo juga mau pergi, Ya. Terus apa alasan gue untuk terus tinggal di sini. Lo boleh pergi tapi kenapa gue nggak?!"

Araya tersentak, untuk pertama kalinya Araya melihat Fahri bersikap seperti ini padanya. Wajah cowok itu tampak putus asa, bahkan matanya menyorot kecewa, tidak urung juga urat-urat di lehernya terlihat. "Kalau lo berharap gue nggak pergi sekarang biar lo nggak merasa sakit. Maka itu nggak adil, Ya."

"Sumpah, gue udah cukup sama sikap lo yang nggak pernah peka!" lanjutnya kemudian.

"Yaudah!" Araya kembali melangkah mundur. Menatap nanar si lawan bicara. Ada rasa tidak menyangka bahwa Fahri akan mengatakan hal itu padanya. Apakah di mata Fahri selama ini Araya memang selalu menyakitinya?

"Pergi aja kalau gitu!" Seiring perkataan itu selesai, Araya memutar tubuhnya ke belakang lalu berlari memasuki kamar.

Begitu pun dengan Fahri, cowok itu bahkan tidak sempat berbicara lagi dengan Adnan serta Bunda kecuali kepergian yang dia lakukan. Marah, Fahri juga bisa barada dalam posisi ini. Ketika dirinya ingin dimengerti, tetapi Araya justru menyalahkannya. Dengan langkah tergesa juga kedua tangan yang mengepal, Fahri berjalan ke halaman rumahnya untuk memasuki mobil.

"Fahri!"

Namun, sebelum Fahri memasuki mobil, panggilan Araya lebih dulu menginterupsi. Cowok itu lantas kembali menutup pintu.

Dari ujung pintu rumah sederhana yang bertingkat dua itu Araya berlari menghampiri. Bersama tetesan air matanya memeluk Fahri, erat sekali. Lalu Fahri membalas pelukan itu. Sebuah pelukan terakhir untuk Araya yang Fahri sayang.

Adnan yang melihat sontak menyusul hendak memisahkan mereka, tetapi tangan Bunda lebih dulu menahannya. Wanita itu menggeleng seakan berkata, Nggak apa-apa, sekali ini saja.

"Maafin, gue, Ri. Maaf."

To be continued ....

Bab terkait

  • Jodoh Yang Dinanti   8. Rumah Yang Ditinggal

    "Araya pakai gamis ini, ya?" pinta Bunda saat baru saja memasuki kamar Araya. Kemudian melihat putrinya yang sedang bercermin."Raya gak bisa, Bunda. Ribet, Raya juga udah rapi ini." Araya memutar tubuhnya, terlihat cantik dengan mengenakan tunik serta celana jeans. Tidak lupa, kerudung instan berwarna soft cream."Nggak, Raya, kamu harus pakai gamis ini. Ke pesantren masa pakai celana? Mulai dari sekarang kamu harus terbiasa pakai gamis seperti ini setiap hari. Wajib!" Bunda berusaha membujuk.Kedua bahu Araya spontan merosot. Lantas bergelayut manja di tangan sang Bunda. "Bunda, gak suka. Ribet, Raya gak mau!" Dengan wajah memelas Araya memohon. Berharap andai Bundanya mau memaklumi dan membolehkan Araya untuk tidak memakai gamis sementara waktu.Bunda tersenyum, ia melepas tangannya dari pelukan Araya. Kemudian memegang kedua sisi wajah putrinya. "Putri Bunda ini sudah besar, sudah seh

  • Jodoh Yang Dinanti   9. Bertemu Kembali

    Bandara memang tempat paling megah. Seberapa banyak pun orang yang datang tempat ini tidak akan pernah sesak. Namun, tidak termasuk dengan hati, saat harus berbesar ikhlas melepaskan seseorang yang disayang. Atau ada pula tempat ini menjadi awal pertemuan baru yang sebelumnya pernah dipisahkan. Lalu kembali dipertemukan setelah sekian lama menghilang. Araya masih setia mendampingi Adnan di sebelahnya, bahkan tanpa sungkan Adnan menggandeng tangan gadis itu di antara sebagian orang yang berpikir kalau mereka adalah sepasang suami istri. "Abang, kok ada yang lirik-lirik kita, sih, Bang? Ada yang aneh, ya, sama Raya?" tanya Araya, ketika ia baru sadar ada yang curi-curi pandang. Adnan menunduk melihat Araya, sedangkan Adiknya mendengak melihat sang abang, perbedaan yang dominan ketika Adnan ternyata memiliki perawaka

  • Jodoh Yang Dinanti   10. Janji Untuk Nanti

    Masih di tempat megah bernama bandara itu, keduanya kembali saling memandang. Si gadis tampak gugup, sementara si lelaki begitu tenang. "Adnan nggak ninggalin, dia cuma pergi sebentar." Nathan menyahut santai, membuat gadis di depannya tampak malu juga lucu. "Ada yang mau kamu bilang sama saya, nggak?" Nathan melangkah maju, mengikis jarak di antara mereka. Sementara Araya meneguk ludah, jantungnya pun sudah bertalu-talu. Tidak pernah mengira akan bertemu dengan lelaki ini lagi. Bahkan kedua jemari tangannya sudah saling memilin, dilihat se-intens itu membuat napas Araya tercekat. Sehingga refleks dalam satu kali hentakan ia melangkah mundur. "Saya, saya belum ada uang buat ganti uangnya Kakak," jawab gadis itu pelan, terdengar sangat polos.

  • Jodoh Yang Dinanti   11. Pesantren Al-Huseniyyah

    8 Tahun kemudian ....Tasikmalaya _______ Embun bermunculan di antara rerumputan karena pagi sudah menjelang. Kicauan burung juga terdengar bersamaan dengan gemerisik daun yang tertiup angin pagi. Memberikan sensasi dingin untuk para pegiat pencari ilmu yang berjajar rapi berjalan di koridor pesantren menuju madrasah. Kota Tasikmalaya dikenal merupakan sebagai pusat keagamaan terbesar di Jawa Barat, karena memiliki lebih dari delapan ratus pesantren di penjuru wilayah Kabupaten Tasikmalaya. Sehingga banyak sekali diminati oleh masyatakat luas untuk belajar agama di kota tersebut. Begitupun dengan salah satu pondok pesantren yang berada disalah satu desa yang cukup jauh dari kota kabupaten. Pondok Pesantren Al-Huseniyyah, tertulis di sebuah gapura besar yang menjadi gerban

  • Jodoh Yang Dinanti   12. Diujung Menanti

    Tringg!! Tring !! Alarm berbunyi nyaring saat jarum pendeknya sudah menunjukkan pukul 03.00. Membangunkan perempuan muslimah berusia dua puluh tiga tahun itu, agar segera melaksanakan salat tahajjud di sepertiga malam. Tangannya segera menyingkap selimut kemudian turun dari tempat tidur, bergegas masuk ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Setelahnya, ia memakai mukena dan melaksanakan salat dengan khusyuk. Selesai melaksanakan salat, perempuan itu menengadahkan tangan dan berdoa memohon ampunan kepada Yang Maha Pengampun. Tidak lama kemudian, ia mengambil Al-Qur'an di atas meja. Lalu melantunkan surah Al-Waqiah dengan syahdu. Membaca Al-Quran selepas salat wajib maupun sunnah memang merupakan kebiasaannya. Bahkan ia memiliki cita-cita andai suatu hari ia mampu menghafalkan tiga puluh juz Al-Quran. Karena sebagai seorang anak yang belum

  • Jodoh Yang Dinanti   13. Niat Baik

    "Masyaaallah, baru pulang ke Indonesia antum langsung ingin melamar seorang gadis?" Pria yang sudah berusia setengah abad itu mengangkat kedua alis, tersenyum semringah mendengar keputusan dari niat baik salah satu muridnya.Yang ditanya mengangguk sambil menahan senyum. Perasaan malu turut hadir meski usianya sudah hampir menginjak kepala tiga. Lagi pula, perihal cinta yang terbuka untuk diceritakan, memang tidak mudah disembunyikan ketika pembicaraan itu membuat hatinya senang. "Betul Kyai, insyaallah perihal pernikahan itu sendiri, saya sudah mempersiapkannya dengan matang. Selain apa-apa saja tujuan saya menikah, tugas saya sebagai seorang suami nantinya, saya juga ingin membenahi hati saya yang mungkin sudah seringkali membuat Allah cemburu, karena kadang-kadang hati saya condong dalam memikirkan gadis tersebut.""Jadi, antum sudah mengenalnya?""Nggeh, Yai, beberapa tahun sebelumnya kami bertemu. Dia juga mengenal sa

  • Jodoh Yang Dinanti   14. Perihal Lamaran

    Tilawah menggema melalui speaker masjid. Seusai melaksanakan salat subuh, memang selalu dijadwalkan supaya para santri mengisi waktu tersebut dengan membaca al-Quran sembari menunggu ustaz datang untuk mengisi kajian.Araya bergegas keluar dari masjid, menyambut matahari yang mulai naik. Waktu baru saja menunjukkan pukul delapan pagi. Selepas mengikuti kajian tadi, Araya memilih untuk duduk sebentar di masjid bersama Ashila dan Fara juga beberapa ustazah lainnya. Sekedar berdiskusi perihal kegiatan yang akan diadakan untuk kelulusan para santri nanti.Jantung Araya berdegup kencang saat kakinya sudah berdiri di depan rumah Kyai Hasan. Sebuah mobil Mobilio putih terparkir tepat di depan rumah. Setahu Araya, hari ini akan ada yang datang untuk melamarnya. Katanya, sih, putra dari salah satu pendonatur besar kepada pesantren Al-Huseniyyah. Sekaligus, merupakan cucu dari salah satu sahabat Kyai Hasan."Masih mau ditol

  • Jodoh Yang Dinanti   15. Alasan

    "Jadi apa? Coba Abang dengerin alasan kamu. Siapa tahu Abang bisa bantu."Senyum tipis terukir di bibir Araya sebelum perempuan itu menoleh menatap Adnan. "Mau temenan?"Tersenyum kecil, Adnan menggeser tubuh memberi jarak, supaya tidak terlalu dekat dengan adiknya tersebut.Membuat kening Araya berkerut. "Kok menjauh?""'Kan, temenan, berarti bukan muhrim kalau deket-deket," katanya diiringi tawa kecil.Spontan Araya menyenggol lengan Adnan. "Ish, Abang apa-apaan, deh, candanya nggak lucu." Satu kakinya ia hentakan lalu meraih pergelangan kekar Adnan. Menyenderkan kepalanya di bahu sang kakak seraya memejamkan mata.Tidak ada yang bersuara, sebab tertutup oleh sejuknya embusan angin menerpa permukaan kulit. Nyaman, mereka merindukan saat-saat seperti ini."Apa yang Abang rasain waktu pertama kali ketemu sama Teh Fara?" tanya Araya memulai pembicaraan.

Bab terbaru

  • Jodoh Yang Dinanti   20. Ridha Seorang Ibu

    "Mama ragu," ujar seorang wanita paruh baya seraya membenarkan kerah baju pengantin putranya."Ragu kenapa?" tanya putranya tersebut dengan raut bingung."Gimana perasaan kamu setelah kembali dati Yogya. Kamu pernah kepikiran gak sih gimana perasaan wanita itu sekarang?" Alih-alih menjawab, ibunya malah kembali bertanya.Mengerti yang dimaksud sosok cinta pertamanya ini. Raut bahagia di wajah Fahri redup seketika. Sudut matanya yang melengkung karena tersenyum telah turun. Ia lepas tangan sang mama di kerah baju pengantinnya. "Fahri udah dikasih kesempatan lebih baik sejauh ini, Ma. Fahri tahu salah karena udah bersikap gak bijak. Tapi apa harus membahasnya sekarang?" Fahri menggeleng, ia melangkah mundur menatap mamanya kecewa."Tapi dia korban, Fahri. Korban dari orang yang gak bertanggung jawab! Gimana perasaan dia waktu kamu batalin pernikahan gitu aja. Terus sekarang ada kabar kamu

  • Jodoh Yang Dinanti   19. Cinta dalam Pernikahan

    "Nggak ada kata terima kasih dalam persahabatan, kan? Jangan gitu, aku yang seharusnya berterima kasih," ujar Fahri tersenyun. Sangat jelas wajah tampannya dipenuhi kebahagiaan. Karena bagaimana tidak? Perempuan yang dulu seringkali berjalan di belakang ketika bersamanya, sebentar lagi akan menjadi teman sejati yang berjalan sejajar dengannya."Kenapa?" Sebenarnya Araya masih agak canggung. Menjadi calon istri untuk sahabat sendiri, tentu tidak pernah disangka sebelumnya."Karena mau memberiku kesempatan." Fahri menyimpan kitab yang sedari tadi ia pelajari ke atas meja. "Aku janji, akan selalu menjaga dan bahagiain kamu, Ra," lanjutnya dengan mata teduh.Hati Araya mencelos, ada perasaan dari dasar yang belum rela untuk ia lepaskan. Berusaha melupakan sesuatu yang sesungguhnya sudah melekat di hati, tentu adalah hal paling sulit.Jika saja Araya tergugu oleh nafsu dan ego, mungkin

  • Jodoh Yang Dinanti   18. Pilihan

    "Kayaknya lamunan kamu lebih penting ya dari pada ketemu sama aku?" ujar seseorang di depan pintu membuat Nathan menoleh cepat padanya.Lelaki yang memakai kaus polos berwarna hijau tua itu lantas berdiri. Menyimpan tasbih berwana kemerahan di atas meja."Ada apa ke sini?" Nathan memutar tubuh sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku training yang dipakai.Wanita berbulu mata lentik itu tersenyum manis lalu masuk ke kamarnya. Spontan saja membuat Nathan terkejut."Keluar, kamu gak boleh masuk!" katanya tiba-tiba, menghentikan langkah wanita berkaki jenjang itu."Emang kamu mau ngapain aku, sih?" Ia memilih tidak menghiraukan, kakinya kembali melangkah seraya mematut dirinya di cermin.Bahkan parfum mahal yang ia pakai menyeruak memasuki indra penciuman Nathan. Pria itu memalingkan wajah, ketidaksukaannya begitu jelas, terlihat dari garis wajahnya mengeras. Nathan ti

  • Jodoh Yang Dinanti   17. Jawaban Penantian

    "Ini, asrama santri putra." Adnan mematri langkahnya di sepanjang koridor asrama putra. Memandu seseorang untuk melihat-lihat setiap fasilitas pesantren.Asrama tersebut memang sudah berdiri cukup lama, tepat saat pertama pesantren didirikan. Maka dari itu, warna catnya yang berwarna putih tulang itu sudah kusam. Bahkan, beberapa ada yang sudah terkelupas. di pinggir atap pun sudah timbul lumut berderet panjang warna hijau, tetapi kebersihan masih tetap terjaga. Para santri selalu bersenang hati dalam bekerja sama untuk mengurus kebersihan asrama mereka.Apalagi pepohonan mangga ikut meneduhkan halaman. Sehingga udara terasa segar."Bakal betah ana kalau tinggal di sini," ujar seseorang sembari memindai pandangannya ke sekitar. Sedang kedua tangannya tenggelam dalam saku celana chinos yang dipakai."Kapan pun antum mau, antum bisa tinggal di sini. Anggap aja rumah sendiri, toh, bantuan keluarga antum menga

  • Jodoh Yang Dinanti   16. Kedatangan Fahri

    "Udah dong, jangan liat Fahri kayak gitu. Bukannya nyambut dengan baik kedatangan sahabat kamu, kamu malah marah-marah," ujar Bunda, tidak habis pikir melihat kelakuan putrinya. Sesekali mendelik pada Fahri meskipun lelaki itu tersenyum pada Araya.Bukan tanpa alasan Araya bersikap seperti itu. Araya kesal karena Fahri datang tanpa memberinya kabar. Sedangkan kabar terakhir yang ia tahu tentang Fahri adalah tiga tahun lalu. Menyebalkan, Araya kesal. Ia sempat berpikir bahwa Fahri sudah melupakannya. Maka dari itu, saat Fahri datang ketika ia sedang belajar memanah. Yang Araya lakukan justru pergi begitu saja."Nggak apa-apa kok, Tante. Araya emang gitu kalau marah. Fahri ngerti." Fahri menyaut diiringi senyuman kecil. Namun sorot tatapannya penuh arti."Memang benar ya, kayaknya benar deh, kamu jodoh yang tepat buat Araya. Karena cuma kamu yang bisa ngertiin dia, kadang Tante kewalahan sama sikap Araya." Bunda menyen

  • Jodoh Yang Dinanti   15. Alasan

    "Jadi apa? Coba Abang dengerin alasan kamu. Siapa tahu Abang bisa bantu."Senyum tipis terukir di bibir Araya sebelum perempuan itu menoleh menatap Adnan. "Mau temenan?"Tersenyum kecil, Adnan menggeser tubuh memberi jarak, supaya tidak terlalu dekat dengan adiknya tersebut.Membuat kening Araya berkerut. "Kok menjauh?""'Kan, temenan, berarti bukan muhrim kalau deket-deket," katanya diiringi tawa kecil.Spontan Araya menyenggol lengan Adnan. "Ish, Abang apa-apaan, deh, candanya nggak lucu." Satu kakinya ia hentakan lalu meraih pergelangan kekar Adnan. Menyenderkan kepalanya di bahu sang kakak seraya memejamkan mata.Tidak ada yang bersuara, sebab tertutup oleh sejuknya embusan angin menerpa permukaan kulit. Nyaman, mereka merindukan saat-saat seperti ini."Apa yang Abang rasain waktu pertama kali ketemu sama Teh Fara?" tanya Araya memulai pembicaraan.

  • Jodoh Yang Dinanti   14. Perihal Lamaran

    Tilawah menggema melalui speaker masjid. Seusai melaksanakan salat subuh, memang selalu dijadwalkan supaya para santri mengisi waktu tersebut dengan membaca al-Quran sembari menunggu ustaz datang untuk mengisi kajian.Araya bergegas keluar dari masjid, menyambut matahari yang mulai naik. Waktu baru saja menunjukkan pukul delapan pagi. Selepas mengikuti kajian tadi, Araya memilih untuk duduk sebentar di masjid bersama Ashila dan Fara juga beberapa ustazah lainnya. Sekedar berdiskusi perihal kegiatan yang akan diadakan untuk kelulusan para santri nanti.Jantung Araya berdegup kencang saat kakinya sudah berdiri di depan rumah Kyai Hasan. Sebuah mobil Mobilio putih terparkir tepat di depan rumah. Setahu Araya, hari ini akan ada yang datang untuk melamarnya. Katanya, sih, putra dari salah satu pendonatur besar kepada pesantren Al-Huseniyyah. Sekaligus, merupakan cucu dari salah satu sahabat Kyai Hasan."Masih mau ditol

  • Jodoh Yang Dinanti   13. Niat Baik

    "Masyaaallah, baru pulang ke Indonesia antum langsung ingin melamar seorang gadis?" Pria yang sudah berusia setengah abad itu mengangkat kedua alis, tersenyum semringah mendengar keputusan dari niat baik salah satu muridnya.Yang ditanya mengangguk sambil menahan senyum. Perasaan malu turut hadir meski usianya sudah hampir menginjak kepala tiga. Lagi pula, perihal cinta yang terbuka untuk diceritakan, memang tidak mudah disembunyikan ketika pembicaraan itu membuat hatinya senang. "Betul Kyai, insyaallah perihal pernikahan itu sendiri, saya sudah mempersiapkannya dengan matang. Selain apa-apa saja tujuan saya menikah, tugas saya sebagai seorang suami nantinya, saya juga ingin membenahi hati saya yang mungkin sudah seringkali membuat Allah cemburu, karena kadang-kadang hati saya condong dalam memikirkan gadis tersebut.""Jadi, antum sudah mengenalnya?""Nggeh, Yai, beberapa tahun sebelumnya kami bertemu. Dia juga mengenal sa

  • Jodoh Yang Dinanti   12. Diujung Menanti

    Tringg!! Tring !! Alarm berbunyi nyaring saat jarum pendeknya sudah menunjukkan pukul 03.00. Membangunkan perempuan muslimah berusia dua puluh tiga tahun itu, agar segera melaksanakan salat tahajjud di sepertiga malam. Tangannya segera menyingkap selimut kemudian turun dari tempat tidur, bergegas masuk ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Setelahnya, ia memakai mukena dan melaksanakan salat dengan khusyuk. Selesai melaksanakan salat, perempuan itu menengadahkan tangan dan berdoa memohon ampunan kepada Yang Maha Pengampun. Tidak lama kemudian, ia mengambil Al-Qur'an di atas meja. Lalu melantunkan surah Al-Waqiah dengan syahdu. Membaca Al-Quran selepas salat wajib maupun sunnah memang merupakan kebiasaannya. Bahkan ia memiliki cita-cita andai suatu hari ia mampu menghafalkan tiga puluh juz Al-Quran. Karena sebagai seorang anak yang belum

DMCA.com Protection Status