"Asalamualaikum, selamat pagi ...." Waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Maka dari itu, Bu Roida selaku guru pelajaran matematika sudah memasuki kelas XII Ipa 1. Seluruh murid di kelas tersebut seketika duduk di bangku masing-masing. Setelah sebelumnya sibuk dengan kegiatan bermain truth or dare, atau pun bergosip mengobrol banyak hal sambil duduk melingkar di salah satu meja.
Sementara itu, seorang murid laki-laki salah satu dari mereka sedang berada dalam ambang kegelisahan. Kedua kakinya tidak bisa diam sehingga menimbulkan suara yang cukup berisik dan membuat teman sebangkunya geram.
"Fahri? Kaki lo bisa diem gak, sih?" tanya Andra seraya mengambil buku di dalam tas, kemudian memfokuskan pandangannya ke arah papan tulis.
Beberapa kali Fahri melirik bangku di sebelahnya. Meja di barisan ke tiga itu masih kosong sebab si empunya belum datang. Entah kenapa tetapi, sungguh Fahri sangat khawatir karenanya. Pandangannya lantas beralih pada jendela lalu berganti ke arah pintu. Namun yang dicari tetap saja belum memperlihatkan batang hidungnya.
"Araya Maharani?" Bu Roida memulai absensi, sementara pemilik nama yang dipanggil tidak menyahut. Pandangan seluruh murid pun sontak mencari keberadaan Araya. Namun ternyata gadis tersebut tidak ada di dalam kelas.
"Lah iya, kemana si Araya?" tanya Andra menoleh pada Fahri.
Fahri mengedikkan bahu. "Kalau gue tahu bakal gue jawab, Ndra," jawabnya to the point karena itu benar adanya.
"Fahri!"
Fahri mengalihkan atensi saat Bu Roida memanggilnya. "I—iya bu?" Setiap murid yang ditatap Bu Roida selalu merasa gugup. Pasalnya, Bu Roida merupakan guru yang sangat disiplin, galak, dan sekali saja membuat masalah di saat jam pelajaran beliau. Maka mau tidak mau sedikit kulit di bagian tubuh mereka akan dipelintir cantik oleh tangan Bu Roida.
"Besok minta teman kamu datang ke ruangan saya untuk mengerjakan tugas matematika di ruangan guru!"
Glek!
Perintah dari Bu Roida mampu mengeluarkan setetes keringat di pelipis Fahri. Cowok itu lantas mengangguk cepat, sampai akhirnya seluruh murid kembali fokus mendengarkan penjelasan dari Bu Roida. Tidak ada yang mau berkomentar atau sekedar mengeluarkan sedikit suara.
Tiba-tiba Fahri merasakan ponselnya bergetar di dalam saku celana pertanda adanya panggilan. Ia bernapas lega setelah mendapati nama 'Araya' tertera di layar ponselnya. Namun, tidak mungkin Fahri mengangkat panggilan di dalam kelas bukan? Maka dari itu, Fahri mulai berpikir bagaimana caranya ia bisa keluar dari kelas atas izin dari Bu Roida.
Fahri menyikut lengan Andra membuat Andra yang sedang sibuk menulis menoleh padanya. Mengangkat dagu seolah bertanya, ada apa?
Fahri mendekatkan wajahnya ke telinga Andra. "Gimana caranya supaya gue bisa keluar dari kelas tanpa berbohong?" tanyanya berbisik.
Sontak hal itu membuat kening Andra mengernyit. "Emangnya lo mau ngapain?"
Fahri menoleh ke arah Bu Roida terlebih dahulu sebelum ia memperlihatkan ponselnya kepada Andra di bawah meja. Andra yang akhirnya paham, lantas mengangguk.
Kemudian Andra merogoh sesuatu di dalam tas gendongnya, mengeluarkan sebotol bon cabe di sana. Fahri yang melihat sontak melotot padanya.
"Lo mau gue mati?" tanyanya tak habis pikir.
Andra tersenyum miring lalu meraih tangan Fahri dan menyimpan sebotol bon cabe tersebut di atas telapak tangan Fahri. "Satu-satunya cara biar gak ada kebohongan adalah dengan menyakiti diri sendiri. Soal lo mati atau enggak, itu urusan lo," ujar Andra tersenyum menantang.
"Kurang ajar lo! Nih gak usah, mending gue bohong sekalian!"
Andra menahan tawa. "Nah, gitu dong. Kali-kali buat cerita di masa SMA untuk dikenang di hari tua, meski tentang kebohongan sekalipun! Kalo soal baik mulu yang diceritain tar ngebosenin, tahu," katanya pelan sekali diiringi ekspresi menyebalkan.
Fahri merotasikan bola matanya, ia sudah tidak mau lagi menanggapi ucapan Andra. Bisa-bisa ia terbawa bandel oleh temannya itu. Ya, walau sebenarnya apa yang dikatakan Andra ada sedikit benarnya juga.
Dengan keberanian yang sudah ia kumpulkan, Fahri mengangkat satu tangan. "Permisi, Bu."
Bu Roida yang tengah menulis lantas memutar tubuhnya melihat si murid yang memanggil. "Iya, kenapa?"
"Sa-saya izin ke kamar mandi, Bu."
"Lima menit, telat satu detik saja jangan masuk ke kelas lagi!" cetus Bu Roida tanpa berpikir panjang.
Membuat Fahri seketika mengangguk cepat. "Siap, Bu." Kemudian berlalu ke luar dengan napas lega.
***
Sementara itu di tempat lain. Araya uring-uringan sendiri karena Fahri belum juga mengangkat panggilan darinya. Bahkan pesan yang ia kirim pun belum sempat dibaca oleh Fahri. Hari sudah siang, pelajaran di sekolah pasti sudah dimulai. Lagi pula jika dipikir lagi, kenapa Araya harus merepotkan Fahri, sih? Tentu saja Fahri tidak bisa mengangkat telepon darinya, jam pelajaran Bu Roida pasti sedang berlangsung saat ini.
Araya menatap nanar motor kesayangannya. Sudah lecet, dan harus segera diperbaiki. Bahkan motor Mio berwarna putih itu sampai mogok.
"Kenapa sih, harus mogok? Salah gue sama lo apa, Tor?" Araya menendang ban motornya pelan. Lalu mengusap wajahnya kasar.
"Bukan motornya yang salah, lo aja yang ceroboh!" Suara seseorang menerebos gendang telinga mengalihkan atensinya.
Kedua matanya membelalak saat menemukan sosok Fahri berjalan ke arahnya. "Fahri, lo baca pesan gue?" tanyanya tidak percaya. Dikarenakan Fahri tidak mengangkat panggilan darinya maka Araya memutuskan untuk mengirimkan pesan kepada Fahri. Sekedar memberitahu keberadaannya.
"You think?"
Araya bernapas lega, "Syukurlah, tapi gimana lo bisa keluar sekolah? Sekarang 'kan pelajarannya Bu Roida?"
Fahri memilih tidak menjawab, pandangannya memindai ke sekitar. Araya dengan wajahnya yang suram serta motor Araya di bagian depannya rusak. Pantas saja, Araya terlambat datang ke sekolah.
"Kenapa bisa kayak gini?" tanyanya dengan tatapan tak bersahabat.
"Takdir."
"Tapi takdir bisa diubah kalo lu hati-hati, Ya."
"Ya udah iya, gue ceroboh, gue kebut-kebutan. Jadinya kecelakaan!" jawab Araya sedikit ketus.
Tanpa merespons gadis itu Fahri segera mendorong motor Araya. Namun saat Araya hendak membantu, Fahri seketika menepis tangannya. "Gak usah, cukup jalan di belakang gue dan jangan kemana-mana. Gue ngawasin!"
Araya mencibir. "Bawel."
***
"Gue balik dulu ya, Nan. Dah sore nih, capek perasaan, wisuda tadi bikin kepala gue puyeng." Seorang pemuda yang merupakan sahabat lama Adnan keluar dari rumah, setelah mampir ke rumah Adnan untuk melaksanakan salat ashar sebentar.
Kening Adnan berkerut. "Padahal jangan dulu pulang kenapa? Masih siang juga."
Yang ditanya menengadah melihat langit mendung. "Bentar lagi hujan," katanya.
"Gue punya mobil, Nath. Nyantai lo pulang gue anterin."
Namun, laki-laki yang biasa dipanggil Nathan itu menggeleng. "Nggak deh, gak enak lama-lama di sini. Nanti kita ketemu lagi aja di luar, jadi lo jangan dulu balik ke Tasik. Sekalian sebelum gue balik."
"Maksud lo balik?" Adnan menghampiri sahabat karibnya itu, mengalihkan fokusnya kepada Nathan. Kedua pemuda itu saling berhadapan.
"Pulang kampung, mau lanjut kuliah di sana."
"Dan kampung yang lo maksud itu Jerman?"
Nathan mengangguk seraya tertawa kecil. Setelah itu keduanya terlibat percakapan sebentar mengenai kepergian Nathan ke Jerman beberapa minggu lagi. Padahal Adnan baru saja kembali bertemu dengan sahabat lamanya yang pernah ia temui saat Adnan pulang dari pesantren. Dan tidak sengaja bertemu Nathan disebuah halte kala itu. Terjadi percakapan seru sampai akhirnya mereka berteman. Karena Adnan maupun Nathan masih memiliki nomor ponsel masing-masing. Akhirnya Nathan menghubungi Adnan supaya datang ke acara wisudanya.
Setelahnya Nathan pamit undur diri, menyalami tangan Bundanya Adnan sebelum memasuki taksi online yang sudah dipesan.
Seiring kepergian taksi tersebut, deru kendaraan roda dua yang tentu saja sudah sangat Bunda dan Adnan kenal milik siapa, lebih dulu terdengar. Sosok Araya ada di motor tersebut tetapi sebagai penumpang, sementara yang mengemudi adalah sosok sahabat Araya yang sebelumya pernah Araya ceritakan pada Adnan di waktu sarapan tadi.
Tentu saja hal tersebut membuat Adnan menatap keduanya tidak suka.
"Kemana aja baru pulang?" Adnan menatap Araya dingin lalu melempar pandang ke arah sosok laki-laki di atas motor itu.
Sedangkan yang ditatap hanya tersenyum menanggapi, lantas turun dari motor dan berjalan mengikuti Araya dari belakang.
Araya menunduk tetapi hatinya merasa lega. Namun, sungguh, Araya tidak akan pernah menceritakan tragedi tadi pagi pada Adnan maupun sang bunda. Untung saja kerusakan pada motornya tidak terlalu parah, sehingga saat dibawa ke bengkel tadi, motornya tidak sampai harus diperbaiki hingga berhari-hari. Meskipun harus tetap menunggu setelah pulang sekolah.
"Nggak apa-apa tadi ada ker—"
"Motor Araya masuk bengkel, Bang. Jadi diperbaiki dulu di sana. Makanya kita pulang telat." Fahri memotong perkataan Araya, membuat Araya refleks menginjak kakinya sehingga Fahri mengaduh sakit.
"Kok bisa masuk bengkel?" Adnan menatap Araya dan Fahri bergantian menunggu jawaban. Fahri hendak membuka suara lagi tetapi Araya lebih dulu memelototinya.
"Gak apa-apa, Kok. Tadi bannya kempes aja kena paku!" Setelah menjelaskan hal yang sesungguhnya tidak benar, Araya menyalami tangan Adnan dan Bunda kemudian memasuki rumah.
"Araya, tunggu Bunda sebentar," seru Bunda, mengikuti putri bungsunya.
Meninggalkan Fahri serta Adnan yang kini sama-sama terdiam. "Laki-laki sejati tidak akan pernah berbohong. Ayo ceritakan! Saya mau tahu apa yang terjadi," titah Adnan dengan tatapan intimidasi.
Meskipun Fahri sedikit gugup karena ditatap seperti itu sampai meneguk ludah berkali-kali, tetapi Fahri memilih untuk tetap bersikap tenang. Sampai akhirnya Fahri menjelaskan apa yang terjadi dengan Araya tadi pagi.
Berulang kali Adnan mengangguk, meski sesungguhnya di dalam hati ia merasa kesal kepada adiknya itu, tetapi kekesalannya tetap terkalahkan oleh rasa khawatir yang mendalam.
Adnan menepuk pundak Fahri, gestur yang memperlihatkan sarat akan makna. "Ya sudah, terima kasih karena menolong Araya. Tetapi akan jauh lebih baik kalau ... tetap jaga jarak dan jangan terlalu dekat! Karena apa? Kedua insan yang diciptakan dengan takdir tidak memiliki ikatan apa-apa oleh Yang Maha Kuasa, seharusnya tidak duduk berdekatan seperti di atas motor tadi, mengerti?" Meskipun pengucapan Adnan terdengar tenang. Namun, Fahri paham bahwa itu bukan sekedar perkataan biasa tetapi juga sebuah perintah dan mungkin termasuk peringatan.
Fahri menanggapi dengan anggukan kecil, kemudian pamit untuk pulang.
"Serem juga, untung calon kakak ipar."
To be continued ....
Seperti yang sudah diberitahu sebelumnya, bahwa Bu Roida adalah guru paling mengutamakan kedisiplinan di sekolah, sehingga tidak ada yang boleh melanggar aturannya saat jam pelajaran beliau sedang berlangsung. Dan saat ia memerintah maka perintah itu harus segera dilaksanakan.Seperti perintah Bu Roida kepada Fahri hari kemarin. Meminta Fahri untuk memberitahu Araya supaya datang ke ruang guru. Namun, saat hari itu tiba, pada akhirnya bukan hanya Araya yang melaksanakan perintah itu, melainkan Fahri juga turut melakukannya. Dikarenakan Fahri bolos disaat jam pelajaran beliau demi menjemput Araya.Dan di sini lah mereka sekarang, duduk di meja paling depan di ruangan para guru. Dengan dua lembar kertas serta beberapa soal yang harus mereka kerjakan dalam waktu satu jam. Bu Roida ikut menyaksikan bahkan beberapa guru yang lain ikut mengawasi. Membuat Araya sedikit gugup berbeda dengan Fahri, cowok itu tampak begitu tenang.
Tak!Araya menyimpan pulpen yang sedari tadi ia gunakan untuk mencoret-coret kertas putih di atas meja. Pikirannya kembali berlari pada sore tadi. Mengingat seorang laki-laki dengan kemeja hitam di pinggir jalan itu. Bagaikan kaset rusak yang berputar berulang-ulang di dalam kepalanya. Ada rasa resah, gelisah, tetapi senang berpadu menjadi satu.Entah perasaan apa ini? Namun, Araya dibuat kehabisan kata karena nya. Araya sampai tidak tahu, apa yang harus ia lakukan? Kosa kata yang sudah ia kumpulkan untuk berbentuk kalimat tentang rasa di sebuah buku diary, seolah hilang begitu saja. Jika dipikir lagi, Apakah perasaan ini salah? Salah karena terlalu membiarkannya hingga melebar begitu saja."Astaghfirullahal adzim." Untuk kesekian kalinya Araya beristighfar. Araya memang belum begitu paham tentang agama, tetapi ia juga tahu bagaimana caranya menenangkan hati yang gelisa
Araya berjalanan menelusuri koridor sekolah. Sesekali tersenyum saat ada yang menyapa. UN sudah selesai dan alhamdulillah Araya menyelesaikannya dengan baik. Jika saja Adnan tidak memaksanya untuk terus belajar mungkin Araya akan kelimpungan sendiri saat menjawab soal ujian.Kakaknya itu memang yang terbaik, tidak pernah menyerah meskipun Araya sering kali protes tetapi Adnan tetap sabar."Lo bakal kangen sekolah gak, Ya?" tanya Fahri saat ia sudah berjalan bersejajar dengan Araya. Beberapa detik kemudian, Araya berjalan mundur. Membiarkan Fahri memimpin jalan."Gak, gue justru bakal kangennya sama lo."Tanpa Araya tahu, senyuman terbit dari bibir Fahri. Jawaban dari Araya tentu saja membuat Fahri senang. Meskipun mungkin, gadis di belakangnya itu sama sekali tidak menyadarinya."Lo baik-baik ya, di pesantren nanti. Pokoknya lo gak boleh bandel, harus nurut sama aturan. Inget, harus tetep
"Ada dua pilihan bagaimana menyikapi perasaan itu. Pertama, apakah ingin seperti Bunda Siti Khadijah yang berani mengungkapkan perasaannya kepada Nabi Muhammad SAW, atau seperti Sayyidatina Fatimah Az-Zahra RA, yang menyimpan cintanya diam-diam untuk Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Jadi, di antara cara menyikapi cinta dari kedua wanita mulia itu, cara mana yang akan kamu ambil?"Araya berpikir sejenak, sampai akhirnya ia pun menjawab, "Bunda Siti Khadijah."Tertampar sudah Araya dengan ucapannya sendiri. Malu sekali saat ia tidak bisa membuktikannya dengan tindakan nyata. Berbicara itu memang mudah, tetapi melakukannya adalah pekerjaan yang paling sulit.Sungguh malu saat kejadian tadi membuat Araya pada akhirnya memilih untuk berlari. Meninggalkan toko pernak-pernik begitu saja, sehingga pin yang ingin ia beli untuk sang bunda pun tidak jadi.Lagi pula, memangnya siapa orang yang men
"Araya pakai gamis ini, ya?" pinta Bunda saat baru saja memasuki kamar Araya. Kemudian melihat putrinya yang sedang bercermin."Raya gak bisa, Bunda. Ribet, Raya juga udah rapi ini." Araya memutar tubuhnya, terlihat cantik dengan mengenakan tunik serta celana jeans. Tidak lupa, kerudung instan berwarna soft cream."Nggak, Raya, kamu harus pakai gamis ini. Ke pesantren masa pakai celana? Mulai dari sekarang kamu harus terbiasa pakai gamis seperti ini setiap hari. Wajib!" Bunda berusaha membujuk.Kedua bahu Araya spontan merosot. Lantas bergelayut manja di tangan sang Bunda. "Bunda, gak suka. Ribet, Raya gak mau!" Dengan wajah memelas Araya memohon. Berharap andai Bundanya mau memaklumi dan membolehkan Araya untuk tidak memakai gamis sementara waktu.Bunda tersenyum, ia melepas tangannya dari pelukan Araya. Kemudian memegang kedua sisi wajah putrinya. "Putri Bunda ini sudah besar, sudah seh
Bandara memang tempat paling megah. Seberapa banyak pun orang yang datang tempat ini tidak akan pernah sesak. Namun, tidak termasuk dengan hati, saat harus berbesar ikhlas melepaskan seseorang yang disayang. Atau ada pula tempat ini menjadi awal pertemuan baru yang sebelumnya pernah dipisahkan. Lalu kembali dipertemukan setelah sekian lama menghilang. Araya masih setia mendampingi Adnan di sebelahnya, bahkan tanpa sungkan Adnan menggandeng tangan gadis itu di antara sebagian orang yang berpikir kalau mereka adalah sepasang suami istri. "Abang, kok ada yang lirik-lirik kita, sih, Bang? Ada yang aneh, ya, sama Raya?" tanya Araya, ketika ia baru sadar ada yang curi-curi pandang. Adnan menunduk melihat Araya, sedangkan Adiknya mendengak melihat sang abang, perbedaan yang dominan ketika Adnan ternyata memiliki perawaka
Masih di tempat megah bernama bandara itu, keduanya kembali saling memandang. Si gadis tampak gugup, sementara si lelaki begitu tenang. "Adnan nggak ninggalin, dia cuma pergi sebentar." Nathan menyahut santai, membuat gadis di depannya tampak malu juga lucu. "Ada yang mau kamu bilang sama saya, nggak?" Nathan melangkah maju, mengikis jarak di antara mereka. Sementara Araya meneguk ludah, jantungnya pun sudah bertalu-talu. Tidak pernah mengira akan bertemu dengan lelaki ini lagi. Bahkan kedua jemari tangannya sudah saling memilin, dilihat se-intens itu membuat napas Araya tercekat. Sehingga refleks dalam satu kali hentakan ia melangkah mundur. "Saya, saya belum ada uang buat ganti uangnya Kakak," jawab gadis itu pelan, terdengar sangat polos.
8 Tahun kemudian ....Tasikmalaya _______ Embun bermunculan di antara rerumputan karena pagi sudah menjelang. Kicauan burung juga terdengar bersamaan dengan gemerisik daun yang tertiup angin pagi. Memberikan sensasi dingin untuk para pegiat pencari ilmu yang berjajar rapi berjalan di koridor pesantren menuju madrasah. Kota Tasikmalaya dikenal merupakan sebagai pusat keagamaan terbesar di Jawa Barat, karena memiliki lebih dari delapan ratus pesantren di penjuru wilayah Kabupaten Tasikmalaya. Sehingga banyak sekali diminati oleh masyatakat luas untuk belajar agama di kota tersebut. Begitupun dengan salah satu pondok pesantren yang berada disalah satu desa yang cukup jauh dari kota kabupaten. Pondok Pesantren Al-Huseniyyah, tertulis di sebuah gapura besar yang menjadi gerban
"Mama ragu," ujar seorang wanita paruh baya seraya membenarkan kerah baju pengantin putranya."Ragu kenapa?" tanya putranya tersebut dengan raut bingung."Gimana perasaan kamu setelah kembali dati Yogya. Kamu pernah kepikiran gak sih gimana perasaan wanita itu sekarang?" Alih-alih menjawab, ibunya malah kembali bertanya.Mengerti yang dimaksud sosok cinta pertamanya ini. Raut bahagia di wajah Fahri redup seketika. Sudut matanya yang melengkung karena tersenyum telah turun. Ia lepas tangan sang mama di kerah baju pengantinnya. "Fahri udah dikasih kesempatan lebih baik sejauh ini, Ma. Fahri tahu salah karena udah bersikap gak bijak. Tapi apa harus membahasnya sekarang?" Fahri menggeleng, ia melangkah mundur menatap mamanya kecewa."Tapi dia korban, Fahri. Korban dari orang yang gak bertanggung jawab! Gimana perasaan dia waktu kamu batalin pernikahan gitu aja. Terus sekarang ada kabar kamu
"Nggak ada kata terima kasih dalam persahabatan, kan? Jangan gitu, aku yang seharusnya berterima kasih," ujar Fahri tersenyun. Sangat jelas wajah tampannya dipenuhi kebahagiaan. Karena bagaimana tidak? Perempuan yang dulu seringkali berjalan di belakang ketika bersamanya, sebentar lagi akan menjadi teman sejati yang berjalan sejajar dengannya."Kenapa?" Sebenarnya Araya masih agak canggung. Menjadi calon istri untuk sahabat sendiri, tentu tidak pernah disangka sebelumnya."Karena mau memberiku kesempatan." Fahri menyimpan kitab yang sedari tadi ia pelajari ke atas meja. "Aku janji, akan selalu menjaga dan bahagiain kamu, Ra," lanjutnya dengan mata teduh.Hati Araya mencelos, ada perasaan dari dasar yang belum rela untuk ia lepaskan. Berusaha melupakan sesuatu yang sesungguhnya sudah melekat di hati, tentu adalah hal paling sulit.Jika saja Araya tergugu oleh nafsu dan ego, mungkin
"Kayaknya lamunan kamu lebih penting ya dari pada ketemu sama aku?" ujar seseorang di depan pintu membuat Nathan menoleh cepat padanya.Lelaki yang memakai kaus polos berwarna hijau tua itu lantas berdiri. Menyimpan tasbih berwana kemerahan di atas meja."Ada apa ke sini?" Nathan memutar tubuh sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku training yang dipakai.Wanita berbulu mata lentik itu tersenyum manis lalu masuk ke kamarnya. Spontan saja membuat Nathan terkejut."Keluar, kamu gak boleh masuk!" katanya tiba-tiba, menghentikan langkah wanita berkaki jenjang itu."Emang kamu mau ngapain aku, sih?" Ia memilih tidak menghiraukan, kakinya kembali melangkah seraya mematut dirinya di cermin.Bahkan parfum mahal yang ia pakai menyeruak memasuki indra penciuman Nathan. Pria itu memalingkan wajah, ketidaksukaannya begitu jelas, terlihat dari garis wajahnya mengeras. Nathan ti
"Ini, asrama santri putra." Adnan mematri langkahnya di sepanjang koridor asrama putra. Memandu seseorang untuk melihat-lihat setiap fasilitas pesantren.Asrama tersebut memang sudah berdiri cukup lama, tepat saat pertama pesantren didirikan. Maka dari itu, warna catnya yang berwarna putih tulang itu sudah kusam. Bahkan, beberapa ada yang sudah terkelupas. di pinggir atap pun sudah timbul lumut berderet panjang warna hijau, tetapi kebersihan masih tetap terjaga. Para santri selalu bersenang hati dalam bekerja sama untuk mengurus kebersihan asrama mereka.Apalagi pepohonan mangga ikut meneduhkan halaman. Sehingga udara terasa segar."Bakal betah ana kalau tinggal di sini," ujar seseorang sembari memindai pandangannya ke sekitar. Sedang kedua tangannya tenggelam dalam saku celana chinos yang dipakai."Kapan pun antum mau, antum bisa tinggal di sini. Anggap aja rumah sendiri, toh, bantuan keluarga antum menga
"Udah dong, jangan liat Fahri kayak gitu. Bukannya nyambut dengan baik kedatangan sahabat kamu, kamu malah marah-marah," ujar Bunda, tidak habis pikir melihat kelakuan putrinya. Sesekali mendelik pada Fahri meskipun lelaki itu tersenyum pada Araya.Bukan tanpa alasan Araya bersikap seperti itu. Araya kesal karena Fahri datang tanpa memberinya kabar. Sedangkan kabar terakhir yang ia tahu tentang Fahri adalah tiga tahun lalu. Menyebalkan, Araya kesal. Ia sempat berpikir bahwa Fahri sudah melupakannya. Maka dari itu, saat Fahri datang ketika ia sedang belajar memanah. Yang Araya lakukan justru pergi begitu saja."Nggak apa-apa kok, Tante. Araya emang gitu kalau marah. Fahri ngerti." Fahri menyaut diiringi senyuman kecil. Namun sorot tatapannya penuh arti."Memang benar ya, kayaknya benar deh, kamu jodoh yang tepat buat Araya. Karena cuma kamu yang bisa ngertiin dia, kadang Tante kewalahan sama sikap Araya." Bunda menyen
"Jadi apa? Coba Abang dengerin alasan kamu. Siapa tahu Abang bisa bantu."Senyum tipis terukir di bibir Araya sebelum perempuan itu menoleh menatap Adnan. "Mau temenan?"Tersenyum kecil, Adnan menggeser tubuh memberi jarak, supaya tidak terlalu dekat dengan adiknya tersebut.Membuat kening Araya berkerut. "Kok menjauh?""'Kan, temenan, berarti bukan muhrim kalau deket-deket," katanya diiringi tawa kecil.Spontan Araya menyenggol lengan Adnan. "Ish, Abang apa-apaan, deh, candanya nggak lucu." Satu kakinya ia hentakan lalu meraih pergelangan kekar Adnan. Menyenderkan kepalanya di bahu sang kakak seraya memejamkan mata.Tidak ada yang bersuara, sebab tertutup oleh sejuknya embusan angin menerpa permukaan kulit. Nyaman, mereka merindukan saat-saat seperti ini."Apa yang Abang rasain waktu pertama kali ketemu sama Teh Fara?" tanya Araya memulai pembicaraan.
Tilawah menggema melalui speaker masjid. Seusai melaksanakan salat subuh, memang selalu dijadwalkan supaya para santri mengisi waktu tersebut dengan membaca al-Quran sembari menunggu ustaz datang untuk mengisi kajian.Araya bergegas keluar dari masjid, menyambut matahari yang mulai naik. Waktu baru saja menunjukkan pukul delapan pagi. Selepas mengikuti kajian tadi, Araya memilih untuk duduk sebentar di masjid bersama Ashila dan Fara juga beberapa ustazah lainnya. Sekedar berdiskusi perihal kegiatan yang akan diadakan untuk kelulusan para santri nanti.Jantung Araya berdegup kencang saat kakinya sudah berdiri di depan rumah Kyai Hasan. Sebuah mobil Mobilio putih terparkir tepat di depan rumah. Setahu Araya, hari ini akan ada yang datang untuk melamarnya. Katanya, sih, putra dari salah satu pendonatur besar kepada pesantren Al-Huseniyyah. Sekaligus, merupakan cucu dari salah satu sahabat Kyai Hasan."Masih mau ditol
"Masyaaallah, baru pulang ke Indonesia antum langsung ingin melamar seorang gadis?" Pria yang sudah berusia setengah abad itu mengangkat kedua alis, tersenyum semringah mendengar keputusan dari niat baik salah satu muridnya.Yang ditanya mengangguk sambil menahan senyum. Perasaan malu turut hadir meski usianya sudah hampir menginjak kepala tiga. Lagi pula, perihal cinta yang terbuka untuk diceritakan, memang tidak mudah disembunyikan ketika pembicaraan itu membuat hatinya senang. "Betul Kyai, insyaallah perihal pernikahan itu sendiri, saya sudah mempersiapkannya dengan matang. Selain apa-apa saja tujuan saya menikah, tugas saya sebagai seorang suami nantinya, saya juga ingin membenahi hati saya yang mungkin sudah seringkali membuat Allah cemburu, karena kadang-kadang hati saya condong dalam memikirkan gadis tersebut.""Jadi, antum sudah mengenalnya?""Nggeh, Yai, beberapa tahun sebelumnya kami bertemu. Dia juga mengenal sa
Tringg!! Tring !! Alarm berbunyi nyaring saat jarum pendeknya sudah menunjukkan pukul 03.00. Membangunkan perempuan muslimah berusia dua puluh tiga tahun itu, agar segera melaksanakan salat tahajjud di sepertiga malam. Tangannya segera menyingkap selimut kemudian turun dari tempat tidur, bergegas masuk ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Setelahnya, ia memakai mukena dan melaksanakan salat dengan khusyuk. Selesai melaksanakan salat, perempuan itu menengadahkan tangan dan berdoa memohon ampunan kepada Yang Maha Pengampun. Tidak lama kemudian, ia mengambil Al-Qur'an di atas meja. Lalu melantunkan surah Al-Waqiah dengan syahdu. Membaca Al-Quran selepas salat wajib maupun sunnah memang merupakan kebiasaannya. Bahkan ia memiliki cita-cita andai suatu hari ia mampu menghafalkan tiga puluh juz Al-Quran. Karena sebagai seorang anak yang belum