Tak!
Araya menyimpan pulpen yang sedari tadi ia gunakan untuk mencoret-coret kertas putih di atas meja. Pikirannya kembali berlari pada sore tadi. Mengingat seorang laki-laki dengan kemeja hitam di pinggir jalan itu. Bagaikan kaset rusak yang berputar berulang-ulang di dalam kepalanya. Ada rasa resah, gelisah, tetapi senang berpadu menjadi satu.
Entah perasaan apa ini? Namun, Araya dibuat kehabisan kata karena nya. Araya sampai tidak tahu, apa yang harus ia lakukan? Kosa kata yang sudah ia kumpulkan untuk berbentuk kalimat tentang rasa di sebuah buku diary, seolah hilang begitu saja. Jika dipikir lagi, Apakah perasaan ini salah? Salah karena terlalu membiarkannya hingga melebar begitu saja.
"Astaghfirullahal adzim." Untuk kesekian kalinya Araya beristighfar. Araya memang belum begitu paham tentang agama, tetapi ia juga tahu bagaimana caranya menenangkan hati yang gelisah. Karena Bunda selalu mengatakan kepadanya bahwa, beristighfar dan mengingat Allah adalah cara terampuh untuk menenangkan hati.
Menghela napas, Araya lantas berdiri. Perempuan itu melangkah menuju kamar Adnan di sebelah kamarnya. Lantunan ayat suci al-Quran terdengar di dalam sana. Adnan sedang mengaji, apakah ia menganggu jika datang tiba-tiba?
Araya menggeleng, Adnan tidak seperti itu. Kakaknya itu sangat baik meskipun terkadang suka menyebalkan. Kemudian Araya kembali ke kamar, mengambil kerudung instan di dalam lemari lalu memakainya. Lalu menuju kamar Adnan dan mengetuk pintu.
Tidak lama, pintu terbuka. Menampilkan sosok Adnan dengan tatapan teduh. Kakaknya itu memang memiliki wajah yang sangat rupawan, hidung mancung, bertubuh tinggi, kulitnya putih. Ah, pokoknya setahu Araya, Adnan merupakan salah satu santri yang begitu dikagumi oleh kaum hawa di pesantren. Selain karena memiliki wajah yang tampan serta merupakan cucu dari Kyai besar di sana. Suara Adnan juga sangat merdu saat melantunkan ayat-ayat suci al-Quran.
"Kenapa, Dek?" tanya Adnan memerhatikan adiknya yang sedari tadi diam.
"Boleh masuk?" Araya balik bertanya. Perasaan Adnan tenang seketika, rupanya Araya sudah tidak lagi menyimpan marah kesumat padanya. Akhirnya Adnan mengangguk membiarkan adiknya masuk lalu duduk di pinggir kasur besar miliknya.
Dilepasnya peci yang dipakai dan menyimpannya di atas meja dekat al-Quran, kemudian duduk di sebelah sang adik kesayangan.
Sebelum memulai pembicaraan Araya menyapu pandang sudut kamar Adnan. Jika dikenang lagi, dulu Araya sering tidur dengan Adnan saat ia masih kecil sebelum Adnan belajar di pesantren. Adnan itu seperti sosok ayah baginya. Sangat penyayang dan begitu peduli padanya. Walaupun sangat bawel dan posesif, bahkan sering sekali membuatnya kesal. Namun tak bisa dipungkiri, Araya tetap menyayanginya. Karena bagi Araya, bentuk kasih sayang Adnan itu unik.
"Udah gak marah, Dek? Udah baik-baik aja hatinya? Gak dendam kesumat 'kan jadinya?" tanya Adnan menoleh, menampilkan gigi putihnya saat ia sedikit bercanda.
Araya menggeleng. "Nggak ah, marah-marah mulu capek. Lelah tahu, Bang." Araya menaiki kasur, kemudian duduk menyila di sana. Lalu Adnan melakukan hal yang sama. Kedua kakak beradik itu saling berhadapan.
"Bang, cerita bentar boleh, ya?" tanya Araya.
Meskipun hubungan keduanya tampak renggang akhir-akhir ini. Namun Adnan tahu, hanya ia yang selalu menjadi tempat curahan adiknya itu. Dulu, setiap kali Adnan pulang dari pesantren untuk berlibur sebentar. Pasti Araya selalu menyambutnya pulang dengan wajah bahagia. Dan bukan oleh-oleh yang Araya tanyakan. Melainkan permintaan sederhana yang selalu Adnan dapatkan. Bang, dengerin ceritaku, yuk!
"Boleh, dong, cerita apa lagi yang mau Abang dengar dari kamu? Selain teman-teman menyebalkan kamu di sekolah atau tentang Bu Roida?"
Senyum adiknya mengembang, kedua matanya seketika berbinar. "Eh, tapi, sekarang kita temenan dulu yuk, Bang?"
Kening Adnan berkerut mendengar ucapan Araya. "Maksudnya?"
"Mm, iya jadi sekarang status kita bukan kakak adik dulu. Aku temennya Abang, Abang temannya aku. Mau, ya?" pinta Araya, berharap Adnan bersedia tanpa bertanya.
Adnan tampak menimbang permintaan Araya. Walau sebenarnya Adnan kurang begitu paham apa maksud dari adiknya itu. Namun sudahlah, Adnan ikut saja permintaan Araya. Lantas ia pun mengangguk mantap. "Silakan!"
Araya bersorak, lalu merentangkan tangan, beranjak hendak memeluk Adnan. Namun sebelum itu terjadi Adnan lebih dulu menahan kedua tangannya.
"Kenapa?" tanya Araya heran.
"Mau ngapain?" Adnan balik bertanya.
"Meluk Abang, lah."
Adnan menggeleng. "Gak boleh! Kita 'kan statusnya sekarang temenan. Kalo temenan berarti bukan muhrim. Jadi gak ada adegan peluk-pelukan!"
Hati Araya tercubit ditolak seperti itu. Ish! Kakaknya ini selalu saja, menyenangkan dan menyebalkan di waktu bersamaan.
"Abang!" Araya merengek, "Aku malu ditolak! Lagian 'kan tetep saudara kandung, jangan pake drama, deh." Araya merajuk cemberut.
Adnan tergelak. "Iya, iya, ya ampun marahnya, kayak baru kemalingan." Lagi, Adnan menggoda adiknya.
"Bang, jatuh cinta itu rasanya gimana, sih?" tanya Araya memulai pembicaraan. Gadis itu lantas menunduk. Membuat pergerakan Adnan terhenti seketika.
Kini Adnan mengerti, kenapa Araya meminta hubungan keduanya sebentar menjadi teman. Karena Araya hanya ingin didengarkan bukan dipertanyakan.
Adnan tersenyum, sejenak ia mengingat seseorang. "Jatuh cinta, ya." Adnan menarik napas sebentar, kemudian melanjutkan, "Pertama, yang harus kamu tahu bahwa, cinta itu datangnya dari Allah. Cinta yang sebenarnya juga merupakan sebuah ujian, apakah dengan hadirnya cinta itu akan semakin mendekatkan kita kepada Allah. Atau justru cinta itu akan membuat kita berkubang dalam kemaksiatan. Tergantung dari bagaimana kita memperlakukan cinta itu sendiri."
"Begitu, ya." Araya bergumam, ternyata cinta bukanlah perihal rasa yang biasa tanpa aturan, yang sering ia dengar dari beberapa temannya ketika menikmati makan siang di kantin. Namun ternyata, cinta juga berperan besar dalam aturan agama. Tentang bagaimana cara mempelajari cinta dengan benar pun ada.
"Lalu jatuh cinta itu rasanya gimana? Araya gak paham," tanyanya lagi. Kali ini ia menatap Adnan. "Takut aja, kalau Raya suka sama seseorang tapi Raya sendiri nggak tahu gimana rasanya."
Entah kenapa, ada perasaan tidak rela saat adiknya membicarakan perihal cinta. Karena Adnan sadar, Adik kesayangannya ini tidak akan selamanya ia genggam, ia lindungi penuh ketulusan layaknya seorang ayah dan kakak untuknya. Karena suatu hari, Araya akan pergi bersama seseorang yang menjadi pelengkap hidupnya. Yaitu lelaki pilihan Araya, yang akan menggantikan kehadirannya.
Adnan menyuguhkan senyum, kemudian mengusap kepala adiknya. "Cinta itu rumit, Ya. Gak bisa ketebak rasanya seperti apa. Pokoknya ya, seneng aja." Bagaimana bisa Adnan menjawab, ia saja masih mempertanyakan tentang perasaannya untuk sosok perempuan yang berada di Tasikmalaya sana. Yang sudah beberapa kali datang mengisi pikirannya akhir-akhir ini. Astaghfirullah ... Adnan merasa sudah kelewat batas. Ini dosa!
Araya mengangguk-angguk, benar juga. Rumit rasanya, tidak bisa diucapkan dengan kata-kata. Namun yang pasti Araya tahu, bahwa ketika cinta itu ada, maka ia akan senang saat melihatnya. Seperti ketika Araya bertemu dengan sosok laki-laki yang sama di antara orang-orang yang menghakimi, justru laki-laki itu menolongnya tanpa pamrih. Dan di antara kendaraan yang berlalu-lalang, Araya tahu ia bahagia saat melihat laki-laki itu berada di seberang jalan.
"Oke, oke, terus gimana caranya, supaya ketika cinta itu hadir, kita gak sampai menjadikannya alasan berdosa?" tanya Araya lagi. Cinta adalah anugerah dari Allah. Maka itu artinya, cinta tidak boleh ternoda oleh setitik dosa.
Adnan tampak berpikir sejenak. "Ada satu cara sebenarnya. Yang tentu saja cara itu di ridai oleh Allah. Obat cinta namanya," jawab Adnan yang seperti pakar cinta jadinya.
"Apa itu?"
"Mencintai seseorang hanya karena Allah, sehingga cinta itu terikat dalam pernikahan untuk mengikuti sunnah Rasulullah serta menyempurnakan keimanan."
"Wow, pernikahan?" Araya membeo. Pernikahan masih, lah, jauh dalam list rencana perjalanan hidupnya ke depan. Karena tentu saja, Araya masih perlu banyak belajar lagi. Menuntut ilmu sebanyak-banyaknya untuk bekal di masa depan.
"Mm, sebentar! Oke tentang pernikahan lanjut nanti, deh, Araya masih mau belajar," katanya.
Adnan memegang kedua bahu Araya. "Pinter, tapi tetap mempersiapkan diri dari sekarang untuk pernikahan juga penting. Salah satunya adalah, pemahaman tentang islam yang harus kamu pelajari lebih dalam. Jadi belajar di pesantren adalah tempat paling tepat untuk memperdalam ilmu agama."
Araya berdecak pelan, tidak pernah mengira pembicaraan ini akan berakhir pada pembahasan tentang pesantren. Walau sebenarnya yang dikatakan Adnan ada benarnya. Namun, yang menjadi permasalahannya adalah, Araya belum siap mengikuti aturan ketat di pesantren.
"Lalu, kalau cinta itu benar-benar ada. Apa yang harus kita lakuin? Diam? Atau mengungkapkan?" Araya kembali bertanya untuk mengalihkan pembicaraan seputar pesantren.
Adnan beralih menggenggam tangan Araya. "Sebagai seorang perempuan yang sedang merasakan jatuh cinta. Ada dua pilihan bagaimana menyikapi perasaan itu. Pertama, apakah ingin seperti Bunda Khadijah yang berani mengungkapkan perasaannya kepada Nabi Muhammad SAW, atau seperti Fatimah Az-Zahra RA, yang menyimpan cintanya diam-diam untuk Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Jadi, di antara cara menyikapi cinta dari kedua wanita mulia itu, cara mana yang akan kamu ambil?"
Araya berpikir sejenak, sampai akhirnya ia pun menjawab, "Bunda Siti Khadijah."
To be continued....
Araya berjalanan menelusuri koridor sekolah. Sesekali tersenyum saat ada yang menyapa. UN sudah selesai dan alhamdulillah Araya menyelesaikannya dengan baik. Jika saja Adnan tidak memaksanya untuk terus belajar mungkin Araya akan kelimpungan sendiri saat menjawab soal ujian.Kakaknya itu memang yang terbaik, tidak pernah menyerah meskipun Araya sering kali protes tetapi Adnan tetap sabar."Lo bakal kangen sekolah gak, Ya?" tanya Fahri saat ia sudah berjalan bersejajar dengan Araya. Beberapa detik kemudian, Araya berjalan mundur. Membiarkan Fahri memimpin jalan."Gak, gue justru bakal kangennya sama lo."Tanpa Araya tahu, senyuman terbit dari bibir Fahri. Jawaban dari Araya tentu saja membuat Fahri senang. Meskipun mungkin, gadis di belakangnya itu sama sekali tidak menyadarinya."Lo baik-baik ya, di pesantren nanti. Pokoknya lo gak boleh bandel, harus nurut sama aturan. Inget, harus tetep
"Ada dua pilihan bagaimana menyikapi perasaan itu. Pertama, apakah ingin seperti Bunda Siti Khadijah yang berani mengungkapkan perasaannya kepada Nabi Muhammad SAW, atau seperti Sayyidatina Fatimah Az-Zahra RA, yang menyimpan cintanya diam-diam untuk Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Jadi, di antara cara menyikapi cinta dari kedua wanita mulia itu, cara mana yang akan kamu ambil?"Araya berpikir sejenak, sampai akhirnya ia pun menjawab, "Bunda Siti Khadijah."Tertampar sudah Araya dengan ucapannya sendiri. Malu sekali saat ia tidak bisa membuktikannya dengan tindakan nyata. Berbicara itu memang mudah, tetapi melakukannya adalah pekerjaan yang paling sulit.Sungguh malu saat kejadian tadi membuat Araya pada akhirnya memilih untuk berlari. Meninggalkan toko pernak-pernik begitu saja, sehingga pin yang ingin ia beli untuk sang bunda pun tidak jadi.Lagi pula, memangnya siapa orang yang men
"Araya pakai gamis ini, ya?" pinta Bunda saat baru saja memasuki kamar Araya. Kemudian melihat putrinya yang sedang bercermin."Raya gak bisa, Bunda. Ribet, Raya juga udah rapi ini." Araya memutar tubuhnya, terlihat cantik dengan mengenakan tunik serta celana jeans. Tidak lupa, kerudung instan berwarna soft cream."Nggak, Raya, kamu harus pakai gamis ini. Ke pesantren masa pakai celana? Mulai dari sekarang kamu harus terbiasa pakai gamis seperti ini setiap hari. Wajib!" Bunda berusaha membujuk.Kedua bahu Araya spontan merosot. Lantas bergelayut manja di tangan sang Bunda. "Bunda, gak suka. Ribet, Raya gak mau!" Dengan wajah memelas Araya memohon. Berharap andai Bundanya mau memaklumi dan membolehkan Araya untuk tidak memakai gamis sementara waktu.Bunda tersenyum, ia melepas tangannya dari pelukan Araya. Kemudian memegang kedua sisi wajah putrinya. "Putri Bunda ini sudah besar, sudah seh
Bandara memang tempat paling megah. Seberapa banyak pun orang yang datang tempat ini tidak akan pernah sesak. Namun, tidak termasuk dengan hati, saat harus berbesar ikhlas melepaskan seseorang yang disayang. Atau ada pula tempat ini menjadi awal pertemuan baru yang sebelumnya pernah dipisahkan. Lalu kembali dipertemukan setelah sekian lama menghilang. Araya masih setia mendampingi Adnan di sebelahnya, bahkan tanpa sungkan Adnan menggandeng tangan gadis itu di antara sebagian orang yang berpikir kalau mereka adalah sepasang suami istri. "Abang, kok ada yang lirik-lirik kita, sih, Bang? Ada yang aneh, ya, sama Raya?" tanya Araya, ketika ia baru sadar ada yang curi-curi pandang. Adnan menunduk melihat Araya, sedangkan Adiknya mendengak melihat sang abang, perbedaan yang dominan ketika Adnan ternyata memiliki perawaka
Masih di tempat megah bernama bandara itu, keduanya kembali saling memandang. Si gadis tampak gugup, sementara si lelaki begitu tenang. "Adnan nggak ninggalin, dia cuma pergi sebentar." Nathan menyahut santai, membuat gadis di depannya tampak malu juga lucu. "Ada yang mau kamu bilang sama saya, nggak?" Nathan melangkah maju, mengikis jarak di antara mereka. Sementara Araya meneguk ludah, jantungnya pun sudah bertalu-talu. Tidak pernah mengira akan bertemu dengan lelaki ini lagi. Bahkan kedua jemari tangannya sudah saling memilin, dilihat se-intens itu membuat napas Araya tercekat. Sehingga refleks dalam satu kali hentakan ia melangkah mundur. "Saya, saya belum ada uang buat ganti uangnya Kakak," jawab gadis itu pelan, terdengar sangat polos.
8 Tahun kemudian ....Tasikmalaya _______ Embun bermunculan di antara rerumputan karena pagi sudah menjelang. Kicauan burung juga terdengar bersamaan dengan gemerisik daun yang tertiup angin pagi. Memberikan sensasi dingin untuk para pegiat pencari ilmu yang berjajar rapi berjalan di koridor pesantren menuju madrasah. Kota Tasikmalaya dikenal merupakan sebagai pusat keagamaan terbesar di Jawa Barat, karena memiliki lebih dari delapan ratus pesantren di penjuru wilayah Kabupaten Tasikmalaya. Sehingga banyak sekali diminati oleh masyatakat luas untuk belajar agama di kota tersebut. Begitupun dengan salah satu pondok pesantren yang berada disalah satu desa yang cukup jauh dari kota kabupaten. Pondok Pesantren Al-Huseniyyah, tertulis di sebuah gapura besar yang menjadi gerban
Tringg!! Tring !! Alarm berbunyi nyaring saat jarum pendeknya sudah menunjukkan pukul 03.00. Membangunkan perempuan muslimah berusia dua puluh tiga tahun itu, agar segera melaksanakan salat tahajjud di sepertiga malam. Tangannya segera menyingkap selimut kemudian turun dari tempat tidur, bergegas masuk ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Setelahnya, ia memakai mukena dan melaksanakan salat dengan khusyuk. Selesai melaksanakan salat, perempuan itu menengadahkan tangan dan berdoa memohon ampunan kepada Yang Maha Pengampun. Tidak lama kemudian, ia mengambil Al-Qur'an di atas meja. Lalu melantunkan surah Al-Waqiah dengan syahdu. Membaca Al-Quran selepas salat wajib maupun sunnah memang merupakan kebiasaannya. Bahkan ia memiliki cita-cita andai suatu hari ia mampu menghafalkan tiga puluh juz Al-Quran. Karena sebagai seorang anak yang belum
"Masyaaallah, baru pulang ke Indonesia antum langsung ingin melamar seorang gadis?" Pria yang sudah berusia setengah abad itu mengangkat kedua alis, tersenyum semringah mendengar keputusan dari niat baik salah satu muridnya.Yang ditanya mengangguk sambil menahan senyum. Perasaan malu turut hadir meski usianya sudah hampir menginjak kepala tiga. Lagi pula, perihal cinta yang terbuka untuk diceritakan, memang tidak mudah disembunyikan ketika pembicaraan itu membuat hatinya senang. "Betul Kyai, insyaallah perihal pernikahan itu sendiri, saya sudah mempersiapkannya dengan matang. Selain apa-apa saja tujuan saya menikah, tugas saya sebagai seorang suami nantinya, saya juga ingin membenahi hati saya yang mungkin sudah seringkali membuat Allah cemburu, karena kadang-kadang hati saya condong dalam memikirkan gadis tersebut.""Jadi, antum sudah mengenalnya?""Nggeh, Yai, beberapa tahun sebelumnya kami bertemu. Dia juga mengenal sa
"Mama ragu," ujar seorang wanita paruh baya seraya membenarkan kerah baju pengantin putranya."Ragu kenapa?" tanya putranya tersebut dengan raut bingung."Gimana perasaan kamu setelah kembali dati Yogya. Kamu pernah kepikiran gak sih gimana perasaan wanita itu sekarang?" Alih-alih menjawab, ibunya malah kembali bertanya.Mengerti yang dimaksud sosok cinta pertamanya ini. Raut bahagia di wajah Fahri redup seketika. Sudut matanya yang melengkung karena tersenyum telah turun. Ia lepas tangan sang mama di kerah baju pengantinnya. "Fahri udah dikasih kesempatan lebih baik sejauh ini, Ma. Fahri tahu salah karena udah bersikap gak bijak. Tapi apa harus membahasnya sekarang?" Fahri menggeleng, ia melangkah mundur menatap mamanya kecewa."Tapi dia korban, Fahri. Korban dari orang yang gak bertanggung jawab! Gimana perasaan dia waktu kamu batalin pernikahan gitu aja. Terus sekarang ada kabar kamu
"Nggak ada kata terima kasih dalam persahabatan, kan? Jangan gitu, aku yang seharusnya berterima kasih," ujar Fahri tersenyun. Sangat jelas wajah tampannya dipenuhi kebahagiaan. Karena bagaimana tidak? Perempuan yang dulu seringkali berjalan di belakang ketika bersamanya, sebentar lagi akan menjadi teman sejati yang berjalan sejajar dengannya."Kenapa?" Sebenarnya Araya masih agak canggung. Menjadi calon istri untuk sahabat sendiri, tentu tidak pernah disangka sebelumnya."Karena mau memberiku kesempatan." Fahri menyimpan kitab yang sedari tadi ia pelajari ke atas meja. "Aku janji, akan selalu menjaga dan bahagiain kamu, Ra," lanjutnya dengan mata teduh.Hati Araya mencelos, ada perasaan dari dasar yang belum rela untuk ia lepaskan. Berusaha melupakan sesuatu yang sesungguhnya sudah melekat di hati, tentu adalah hal paling sulit.Jika saja Araya tergugu oleh nafsu dan ego, mungkin
"Kayaknya lamunan kamu lebih penting ya dari pada ketemu sama aku?" ujar seseorang di depan pintu membuat Nathan menoleh cepat padanya.Lelaki yang memakai kaus polos berwarna hijau tua itu lantas berdiri. Menyimpan tasbih berwana kemerahan di atas meja."Ada apa ke sini?" Nathan memutar tubuh sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku training yang dipakai.Wanita berbulu mata lentik itu tersenyum manis lalu masuk ke kamarnya. Spontan saja membuat Nathan terkejut."Keluar, kamu gak boleh masuk!" katanya tiba-tiba, menghentikan langkah wanita berkaki jenjang itu."Emang kamu mau ngapain aku, sih?" Ia memilih tidak menghiraukan, kakinya kembali melangkah seraya mematut dirinya di cermin.Bahkan parfum mahal yang ia pakai menyeruak memasuki indra penciuman Nathan. Pria itu memalingkan wajah, ketidaksukaannya begitu jelas, terlihat dari garis wajahnya mengeras. Nathan ti
"Ini, asrama santri putra." Adnan mematri langkahnya di sepanjang koridor asrama putra. Memandu seseorang untuk melihat-lihat setiap fasilitas pesantren.Asrama tersebut memang sudah berdiri cukup lama, tepat saat pertama pesantren didirikan. Maka dari itu, warna catnya yang berwarna putih tulang itu sudah kusam. Bahkan, beberapa ada yang sudah terkelupas. di pinggir atap pun sudah timbul lumut berderet panjang warna hijau, tetapi kebersihan masih tetap terjaga. Para santri selalu bersenang hati dalam bekerja sama untuk mengurus kebersihan asrama mereka.Apalagi pepohonan mangga ikut meneduhkan halaman. Sehingga udara terasa segar."Bakal betah ana kalau tinggal di sini," ujar seseorang sembari memindai pandangannya ke sekitar. Sedang kedua tangannya tenggelam dalam saku celana chinos yang dipakai."Kapan pun antum mau, antum bisa tinggal di sini. Anggap aja rumah sendiri, toh, bantuan keluarga antum menga
"Udah dong, jangan liat Fahri kayak gitu. Bukannya nyambut dengan baik kedatangan sahabat kamu, kamu malah marah-marah," ujar Bunda, tidak habis pikir melihat kelakuan putrinya. Sesekali mendelik pada Fahri meskipun lelaki itu tersenyum pada Araya.Bukan tanpa alasan Araya bersikap seperti itu. Araya kesal karena Fahri datang tanpa memberinya kabar. Sedangkan kabar terakhir yang ia tahu tentang Fahri adalah tiga tahun lalu. Menyebalkan, Araya kesal. Ia sempat berpikir bahwa Fahri sudah melupakannya. Maka dari itu, saat Fahri datang ketika ia sedang belajar memanah. Yang Araya lakukan justru pergi begitu saja."Nggak apa-apa kok, Tante. Araya emang gitu kalau marah. Fahri ngerti." Fahri menyaut diiringi senyuman kecil. Namun sorot tatapannya penuh arti."Memang benar ya, kayaknya benar deh, kamu jodoh yang tepat buat Araya. Karena cuma kamu yang bisa ngertiin dia, kadang Tante kewalahan sama sikap Araya." Bunda menyen
"Jadi apa? Coba Abang dengerin alasan kamu. Siapa tahu Abang bisa bantu."Senyum tipis terukir di bibir Araya sebelum perempuan itu menoleh menatap Adnan. "Mau temenan?"Tersenyum kecil, Adnan menggeser tubuh memberi jarak, supaya tidak terlalu dekat dengan adiknya tersebut.Membuat kening Araya berkerut. "Kok menjauh?""'Kan, temenan, berarti bukan muhrim kalau deket-deket," katanya diiringi tawa kecil.Spontan Araya menyenggol lengan Adnan. "Ish, Abang apa-apaan, deh, candanya nggak lucu." Satu kakinya ia hentakan lalu meraih pergelangan kekar Adnan. Menyenderkan kepalanya di bahu sang kakak seraya memejamkan mata.Tidak ada yang bersuara, sebab tertutup oleh sejuknya embusan angin menerpa permukaan kulit. Nyaman, mereka merindukan saat-saat seperti ini."Apa yang Abang rasain waktu pertama kali ketemu sama Teh Fara?" tanya Araya memulai pembicaraan.
Tilawah menggema melalui speaker masjid. Seusai melaksanakan salat subuh, memang selalu dijadwalkan supaya para santri mengisi waktu tersebut dengan membaca al-Quran sembari menunggu ustaz datang untuk mengisi kajian.Araya bergegas keluar dari masjid, menyambut matahari yang mulai naik. Waktu baru saja menunjukkan pukul delapan pagi. Selepas mengikuti kajian tadi, Araya memilih untuk duduk sebentar di masjid bersama Ashila dan Fara juga beberapa ustazah lainnya. Sekedar berdiskusi perihal kegiatan yang akan diadakan untuk kelulusan para santri nanti.Jantung Araya berdegup kencang saat kakinya sudah berdiri di depan rumah Kyai Hasan. Sebuah mobil Mobilio putih terparkir tepat di depan rumah. Setahu Araya, hari ini akan ada yang datang untuk melamarnya. Katanya, sih, putra dari salah satu pendonatur besar kepada pesantren Al-Huseniyyah. Sekaligus, merupakan cucu dari salah satu sahabat Kyai Hasan."Masih mau ditol
"Masyaaallah, baru pulang ke Indonesia antum langsung ingin melamar seorang gadis?" Pria yang sudah berusia setengah abad itu mengangkat kedua alis, tersenyum semringah mendengar keputusan dari niat baik salah satu muridnya.Yang ditanya mengangguk sambil menahan senyum. Perasaan malu turut hadir meski usianya sudah hampir menginjak kepala tiga. Lagi pula, perihal cinta yang terbuka untuk diceritakan, memang tidak mudah disembunyikan ketika pembicaraan itu membuat hatinya senang. "Betul Kyai, insyaallah perihal pernikahan itu sendiri, saya sudah mempersiapkannya dengan matang. Selain apa-apa saja tujuan saya menikah, tugas saya sebagai seorang suami nantinya, saya juga ingin membenahi hati saya yang mungkin sudah seringkali membuat Allah cemburu, karena kadang-kadang hati saya condong dalam memikirkan gadis tersebut.""Jadi, antum sudah mengenalnya?""Nggeh, Yai, beberapa tahun sebelumnya kami bertemu. Dia juga mengenal sa
Tringg!! Tring !! Alarm berbunyi nyaring saat jarum pendeknya sudah menunjukkan pukul 03.00. Membangunkan perempuan muslimah berusia dua puluh tiga tahun itu, agar segera melaksanakan salat tahajjud di sepertiga malam. Tangannya segera menyingkap selimut kemudian turun dari tempat tidur, bergegas masuk ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Setelahnya, ia memakai mukena dan melaksanakan salat dengan khusyuk. Selesai melaksanakan salat, perempuan itu menengadahkan tangan dan berdoa memohon ampunan kepada Yang Maha Pengampun. Tidak lama kemudian, ia mengambil Al-Qur'an di atas meja. Lalu melantunkan surah Al-Waqiah dengan syahdu. Membaca Al-Quran selepas salat wajib maupun sunnah memang merupakan kebiasaannya. Bahkan ia memiliki cita-cita andai suatu hari ia mampu menghafalkan tiga puluh juz Al-Quran. Karena sebagai seorang anak yang belum