Home / Romansa / Xiaoyi Xiaoyan / Chapter 1 - Chapter 10

All Chapters of Xiaoyi Xiaoyan: Chapter 1 - Chapter 10

16 Chapters

Part 1

Semburat cahaya menerangi indera. Rona kegelapan tersingkir segera. Menapaki jalan kasar guna membangkitkan keberanian yang besar.Cantik, pintar, memiliki kemampuan bela diri yang mumpuni. Calon penerus Grup Annhua, perusahaan terbesar di Negara C. Itulah aku, Liu Fannyi.Tidak ada pria yang tidak tergila-gila dan tidak kagum padaku. Hampir semua pria menyukaiku, tapi tidak ada satupun dari mereka yang berani mendekat.Status keluarga membuat mereka enggan untuk bersahabat. Meski terpikat dengan pesonaku, semuanya mundur sebelum mencoba."Xiaoyi." Laki-laki gagah, berbadan kekar nan rupawan itu menghampiriku di taman belakang rumah.Aku selalu menikmati indahnya senja di tempat itu, setiap sore meluangkan waktu meski hanya sesaat. Menghirup harum bunga yang selalu menunjukkan eksotismenya. Harum, indah berwarna-warni."Hm," jawabku singkat.Sore ini aku berbaring di sebuah kursi ayunan, hal yang selalu kulakukan sejak kecil bersama a
Read more

Part 2

"Xiaoyi, kamu harus menikah dengan salah satu laki-laki dari kandidat yang nenek pilih," ucapnya.Deg.Jantung seakan berhenti berdetak, napas terasa tertahan, hati terasa sakit. Bagaimana bisa nenek menyuruhku menikahi seorang pria yang tidak aku kenal sama sekali?Beliau datang tiba-tiba hanya untuk menyuruhku menikah?"Aku tidak mau," jawabku, langsung menolak.Nenek sudah pasti marah mendengar penolakanku. Aku tidak peduli. Kebahagiaan dan masa depan, hanya kita yang bisa menentukan."Xiaoyi," geram nenek seakan ingin menelanku hidup-hidup."Kamu adalah penerus Grup Annhua. Setelah usiamu mencapai 23 tahun, semua tanggung jawab Annhua akan diserahkan ke tanganmu." Ternyata, demi harta warisan ayah, nenek sampai memaksaku menikah.Beberapa bulan ini, nenek memang selalu mengenalkan beberapa pria kepadaku. Semua langsung kutolak, tanpa melihat dan memperhatikan siapa orangnya.Liu Fannyi tidak suka dipaksa. Selalu bert
Read more

Part 3

"Sudahlah, aku batalkan saja acara pernikahan kita," ucap Kak Zao, berlalu meninggalkan kamarku."Pernikahan kita? Maksudnya?" tanyaku sedikit bingung.Kak Zao tak mengindahkan panggilanku, dia terus berjalan menuruni anak tangga hingga sampai di depan kamarnya."Mungkin akan lebih baik kalau kamu menikahi laki-laki yang dipilih oleh Nyonya Chen," serunya sebelum memasuki kamar.Apa maksud ucapannya? Nenek memintaku untuk menikahi laki-laki dari Negara X atau Kak Zao? Mengapa pula Kak Zao bersedia menerima permintaan nenek, benarkah dia sedang menyelamatkanku?Beruntung sekali yang menjadi keturunan seorang cenayang, dia bisa menuruni bakat untuk mengetahui isi hati dan pikiran seseorang. Tidak perlu menerka-menerka, tidak perlu membayangkan, semua akan terlihat hanya dengan kemampuan dan bakat.Kembali kubaringkan tubuh di ranjang empuk yang menjadi alas tidurku setiap malam. Pikiranku terus melanglangbuana entah ke mana. Apa tujuan nenek s
Read more

Part 4

Pagi itu, Kak Zao membawaku ke sebuah restoran. Dia duduk cukup jauh dari tempatku berada, posisinya sangat pas untuk mengawasi gerak-gerikku.Kak Zao memintaku untuk menghampiri seorang pria di meja nomor 13, ternyata sebelumnya mereka telah janjian lebih dulu.Wajah memang tampan, karir juga mapan, hanya satu yang kurang dari pria di hadapanku ini, dia bukanlah pria idaman.Terlalu banyak bicara, senyumnya terlihat sekali dibuat-buat. Aku tidak menyukai pria yang seperti itu. Salah satu kreteria pria idamanku itu harus cuek dan dingin, tapi adakalanya bersikap romantis dan perhatian.Tidak harus setiap hari, yang pasti pria itu bisa menempatkan suasana romance di situasi yang tepat."Hhh, sudah berapa jam sih ini? Mau sampai kapan dengerin ceramah?" keluhku dalam hati.Kulirik Kak Zao yang terus mengawasi di belakang pria membosankan ini, tidak ada reaksi. Ingin sekali kuakhiri acara yang tidak jelas, tapi apa daya, Kak Zao pasti melapor p
Read more

Part 5

Kami berdua kembali ke rumah setelah mengunjungi makam ayah. Ada perasaan lega setelahnya."Bagaimana? Sudah lebih baik?" tanya Kak Zao, menghampiriku.Kubaringkan diriku di sofa ruang tengah, tidak ada perasaan tak nyaman atau malu saat Kak Zao melihat tingkahku. Cuek saja, tidak perlu menganggapnya benar-benar ada, karena dia sendiri juga begitu."Baik apanya? Aku masih kesal, kenapa Kak Zao bilang kalau pria itu adalah pria yang baik?" protesku, tidak setuju dengan kesimpulan yang diambil Kak Zao saat di rumah nenek tadi.Kak Zao langsung membawaku ke rumah nenek setelah menemui pria di restoran itu. Karena nenek sudah meminta Kak Zao untuk memberikan pendapatnya, sudah pasti langsung dilaporkan segera."Kenapa?" tanyanya."Kenapa Kak Zao bilang? Harusnya jawab saja dia bukan pria yang baik," kataku, merubah posisi menjadi duduk dan menyilangkan tangan di depan dada."Aku selalu berkata jujur. Lagipula, pria itu adalah cucu dari sa
Read more

Part 6

Meninggalkan ruangan Wakil Direktur dengan perasaan tak menentu. Beberapa orang masih berada di lobi, karena di sanalah mereka bekerja.Masih tersenyum dan menunduk hormat padaku, tak berniat mengindahkannya. Aku terus berjalan tanpa mempedulikan mereka, ataupun anggapan mereka nantinya.Melewati pintu utama, supir telah menyambutku di sana. Memberiku hak istimewa dengan membukakan pintu.Tidak tau mengapa ada perasaan kecewa dan sedih yang kurasakan. Aku memang menyukainya, tapi tidak tau akan seperti ini jika mendengar penolakan seperti itu dari Kak Zao.Sepanjang perjalanan, aku mencoba meyakinkan diri, tidak akan bergantung lagi pada Kak Zao mulai hari ini.Saat itu, netra menangkap sosok pria yang kukenal. Dia tengah berdiri di toko bunga. Pikiranku melayang, untuk siapa bunga itu?Kembali teringat ucapan Kak Zao akan adanya seseorang yang datang mengunjungiku malam ini. Mungkinkah dia orangnya? Astaga, bertemu pria itu lagi.Kul
Read more

Part 7

Langkah pun berhenti saat namaku dipanggil seorang pria. Tidak asing memang, karena baru beberapa jam aku mendengar suara itu. "Xiaoyi," panggilnya lagi, karena melihatku yang masih berdiam diri di tempat, tanpa menoleh ataupun melanjutkan langkah. "Silahkan duduk, akan kuambilkan minum dulu." Suara Kak Zao terdengar di tengah kebisuan. Saat Kak Zao pergi ke dapur, aku berjalan mengendap mulai menaiki anak tangga. Baru saja dua langkah, suara pria itu kembali memanggil namaku. "Duduk di sini, temani aku," pintanya. "Direktur Yi, maaf. Saya harus bersiap dulu," balasku bernada sopan. "Tidak perlu bersiap, aku harus terbiasa melihatmu dalam keadaan seperti ini," ucapnya, sukses membuatku bertanya dalam hati. Aku tak menggubris permintaannya tadi, segera melanjutkan langkah melewati semua anak tangga yang masih tersisa banyak. Namun, panggilan Kak Zao terpaksa membuatku duduk di samping pria itu beberapa menit kemudian. Wa
Read more

Part 8

Ekspresi bingung tergambar di wajah Yi Feilan. Dia tidak mengerti akan ucapanku tadi."Jadi, maksudnya? Kamu suka atau ... ""Suka," jawabku langsung dan singkat."Aku ... "Suara Kak Zao menghentikan percakapan kami. Entah apa yang tadi ingin Yi Feilan katakan. Dia langsung diam setelah Kak Zao berada di sana."Kak Zao," sapaku."Kak Zaoyan," ucap Yi Feilan, juga menyapa Kak Zao."Bagaimana? Apa yang kalian bicarakan?" tanya Kak Zao, duduk di sebelah Yi Feilan."Tidak ada, hanya bicara hal biasa," jawab Yi Feilan. Kulihat wajahnya memerah saat menjawab pertanyaan Kak Zao. Apa yang dia pikirkan saat mengatakan hal itu?"Baiklah. Aku sudah menelfon Nyonya Chen, dia minta agar pernikahan kalian dipercepat," terang Kak Zao."Dipercepat? Maksudnya?" tanyaku. Tidak percaya nenek melakukan hal tersebut. Mengambil keputusan untuk mempercepat pernikahan cucunya sendiri.Oke, orang bilang rasa suka dan sayang itu bi
Read more

Part 9. Kepergian Xiaolan

Hari pernikahan tinggal beberapa jam lagi. Pengambilan cincin nikah, mencoba gaun pengantin juga foto pre-wedding sudah selesai dilakukan.Feilan mengantarku pulang ke rumah seperti biasa. Tidak ada yang terjadi, aku pun tidak merasa ada yang salah.Malam itu Feilan pulang setelah meminum teh di rumah. Pukul 8 malam tepatnya. Hari masih belum terlalu malam untuknya main sebentar. Namun, kami sudah lelah seharian kesana-kemari dengan berbagai acara.Dengan terpaksa, aku pun memintanya untuk pulang agar bisa beristirahat lebih awal."Aku pulang dulu ya," pamit Feilan."Iya, hati-hati di jalan. Telfon aku kalau sudah sampai rumah," balasku, mengulum senyum."Jangan tidur terlalu malam. Kalau ke taman belakang, jangan tiduran di kursi ayunan ya. Aku pulang, nanti kutelfon," ucap Feilan."Iya, iya. Dah," balasku, melambaikan tangan pada laki-laki yang esok hari akan resmi menjadi suamiku.Aku masih tidak menyangka, perjodohan yang a
Read more

Part 10. Bisikan kejam

Di hadapanku berbaring Feilan yang dimasukkan ke dalam peti. Hari ini seharusnya menjadi hari bahagia kami. Siang ini adalah hari pernikahanku dengan Feilan. Laki-laki yang dijodohkan, tanpa terasa menjadi pelabuhan.Feilan sangat tampan. Dia memakai setelan jas putih, yang seharusnya digunakan saat pengucapan janji pernikahan.Wajahnya tersenyum, sama seperti terakhir kali kami bertemu. Aku masih mengingatnya dengan jelas, saat dia berbalik menatapku, memberikan senyum khasnya lalu memelukku. Pelukan terakhir yang kurasakan dari kehangatan tubuhnya."Feilan," ucapku. Masih tidak rela meninggalkannya sendiri di dalam sana.Seharusnya tadi malam kuizinkan saja dia menginap di rumah. Dengan begitu, kecelakaan ini tidak akan pernah terjadi."Kasihan ya, seharusnya hari ini mereka menikah""Iya, tapi tau tidak? Katanya kalau wanita ditinggal pergi sebelum hari pernikahan, wanita itu akan membawa kesialan untuk keluarganya""Yang benar?"
Read more
PREV
12
DMCA.com Protection Status