Langkah pun berhenti saat namaku dipanggil seorang pria. Tidak asing memang, karena baru beberapa jam aku mendengar suara itu.
"Xiaoyi," panggilnya lagi, karena melihatku yang masih berdiam diri di tempat, tanpa menoleh ataupun melanjutkan langkah.
"Silahkan duduk, akan kuambilkan minum dulu." Suara Kak Zao terdengar di tengah kebisuan.
Saat Kak Zao pergi ke dapur, aku berjalan mengendap mulai menaiki anak tangga. Baru saja dua langkah, suara pria itu kembali memanggil namaku.
"Duduk di sini, temani aku," pintanya.
"Direktur Yi, maaf. Saya harus bersiap dulu," balasku bernada sopan.
"Tidak perlu bersiap, aku harus terbiasa melihatmu dalam keadaan seperti ini," ucapnya, sukses membuatku bertanya dalam hati.
Aku tak menggubris permintaannya tadi, segera melanjutkan langkah melewati semua anak tangga yang masih tersisa banyak. Namun, panggilan Kak Zao terpaksa membuatku duduk di samping pria itu beberapa menit kemudian.
Wajah khas bangun tidur dan rambut yang acak-acakkan, sukses membuatku merasa tak nyaman. Mungkin jika yang duduk di sana hanya Kak Zao, aku tidak terlalu memikirkannya.
"Xiaoyi, apa yang kamu pikirkan tentang perjodohan kita?" tanya Yi Feilan.
"Tidak ada, karena aku memang tidak berniat untuk menikah saat ini," jawabku, tanpa melihat ke arahnya.
"Jadi, kamu menolak perjodohan ini?" tanya Yi Feilan lagi. Semburat kecewa terlukis di wajahnya saat aku melihat sekilas.
"Siapa bilang aku tidak setuju?" balasku, memprotes kesimpulan yang dia ambil.
"Jadi, kamu setuju menikah denganku?" tanya Yi Feilan. Kali ini semburat kecewa itu telah berganti senyum cerah. Gigi khasnya hampir saja mengintip dari balik bibir tipis. Sedikit lagi bisa membuatku duduk dalam keadaan tak nyaman.
Aku tak menjawab, hanya mengangguk sedikit sebagai jawaban bahwa tebakannya adalah benar.
"Feilan, kita makan malam dulu. Aku sudah menyiapkan beberapa makanan yang kubeli dari restoran terdekat," ajak Kak Zao.
"Xiaoyi, ajak Feilan ke ruang makan," titah Kak Zao.
Feilan? Akrab juga panggilannya. Sepertinya mereka sering berbincang di luar sana tanpa sepengetahuanku.
"Direktur Yi, silahkan. Kak Zao sudah memerintah, maka harus dituruti," ucapku. Berjalan lebih dulu, meninggalkan direktur Yi yang masih saja duduk di ruang tengah.
Greeed.
Kursi yang menjadi incaranku ditarik dari belakang. Belum sempat memundurkannya, ternyata Yi Feilan sudah memepersilahkanku untuk duduk di sana.
"Terima kasih," ucapku, menjawab perlakuannya dengan ungkapan yang semestinya.
Jujur, aku sedikit tersentuh atas perlakuan Yi Feilan terhadapku. Menarik sudut bibir, hampir saja ketahuan olehnya.
"Kalian makan duluan aja, aku harus keluar dulu. Ada pekerjaan yang harus diurus, tidak perlu menungguku," ucap Kak Zao, pamit setelah menyiapkan semua makanan di atas meja makan.
Rupanya Kak Zao sudah merencanakan semua ini. Dia meminta Yi Feilan datang ke rumah lalu membiarkanku sendiri dengannya.
"Kamu cantik kalau senyum," puji Yi Feilan tiba-tiba.
Aku mendongak melihat ke arahnya. Kami duduk berhadapan dan sempat bertemu pandang. Namun, segera kualihkan pandangan ke sembarang tempat.
"Makasih," jawabku.
Kami berdua mulai memakan menu yang Kak Zao siapkan. Tidak ada percakapan lagi. Sunyi. Hanya denting peralatan makan yang saling beradu.
.
"Kalian selalu membeli makanan di luar?" tanya Yi Feilan. Kami berdua sudah selesai dengan acara makan. Duduk berbincang di ruang tengah sambil menonton tv.
Kalau saja Kak Zao tidak menelfon, bilang Yi Feilan tidak boleh pulang sebelum dia kembali ke rumah. Mungkin, aku sudah memintanya untuk pulang lebih awal.
"Iya, aku tidak bisa memasak. Kak Zao juga terlalu sibuk dengan pekerjaannya," jawabku.
"Mungkin kamu tidak akan suka sama istri yang tidak pandai memasak," simpulku kemudian.
"Siapa yang bilang? Buktinya sekarang aku suka." Jawaban yang Yi Feilan lontarkan, membuatku merasakan perasaan aneh lagi.
"Kenapa?" tanyaku bingung. Bukankah semua laki-laki menginginkan istrinya bisa memasak?
"Tidak ada alasan. Yang aku tau, istri adalah pendamping hidup, bukan juru masak yang harus melayani banyak orang," jelasnya.
"Makan?" tanyaku lagi, cukup penasaran dengan jawaban yang akan dia katakan.
"Aku yang membuatnya," jawab Yi Feilan.
"Kamu pintar masak?" tanyaku, tertegun.
"Aku bisa belajar. Apa pun itu, akan kulakukan semua yang terbaik untuk istriku kelak," jelas Yi Feilan. Semakin membuat detak jantungku menjadi tak menentu.
"Kamu terdengar sangat mencintai istri yang belum pasti," ucapku asal.
"Aku memang belum mencintainya, tapi masih dalam tingkat suka menuju sayang." Entah apa yang Yi Feilan katakan, aku sama sekali tidak mengerti ke mana arah bicaranya.
Sekarang kami duduk bersebelahan. Tidak bisa lagi menatap ke arah netranya. Entah bagaimana ekspresi Yi Feilan saat mengatakan hal itu. Yang pasti, saat ini detak jantungku sudah kembali di jalur normal.
"Xiaoyi," ucapnya. Aku sangat terkejut, dia tiba-tiba menghadap ke arahku dan memegang kedua tanganku.
"Mungkin sekarang kamu belum memiliki rasa terhadapku. Perlahan, kamu bisa merasakannya. Aku tidak bisa melakukan hal yang bisa membuatmu jatuh cinta, juga tidak memaksanya," ucap Yi Feilan.
"Kenapa? Kamu memilih pasrah?" tanyaku.
"Bukan, tapi menunggu. Aku memilih menunggu di tempat yang indah, saat kamu benar-benar mengambil jalan yang sesuai dengan hatimu. Akan kupastikan ada di sana dan menyambutmu dengan hangat." Tambah Yi Feilan. Sukses mendebarkan jantungku.
"Kalau begitu, sabar harus menjadi stok cadangan terbanyak yang kamu punya. Karena aku tidak bisa jatuh cinta dengan mudah," jelasku.
"Tidak masalah. Selama itu kamu, aku sanggup menunggu," balas Yi Feilan.
Aku sudah kehabisan akal. Bagaimanapun aku menolak perjodohan ini, membuat Yi Feilan menolak sendiri pada nenek atau orang tuanya. Tetap saja tidak bisa.
Aku mencoba melepaskan genggaman tangan Yi Feilan. Namun, yang terjadi selanjutnya sungguh di luar dugaan. Hangat, nyaman. Itulah gambaran yang pas atas apa yang kuterima saat ini.
Yi Feilan memelukku. Pelukan hangat yang kudapatkan tiba-tiba, berakhir kenyamanan. Ini adalah pelukan pertama yang kuterima dari seorang laki-laki setelah ayah.
Kak Zao? Itu hanya pelukan samping sebagai seorang kakak.
Cukup lama, beberapa menit sebelum akhirnya kulepaskan pelukan itu. Mungkin, Yi Feilan tidak sadar apa yang sudah dia lakukan. Karena setelah itu, dia terus meminta maaf. Merasa bersalah.
"Sudah, jangan terus minta maaf. Toh, sebentar lagi kita juga akan menikah," ucapku.
"Kamu tidak marah?" tanyanya.
"Untuk apa? Seperti yang kamu bilang, bukan? Aku harus terbiasa juga dengan itu," jelasku.
"Terima kasih," ucapnya tersenyum manis. Gigi khasnya tidak lagi mengintip, dia terpampang jelas karena senyum lebar Yi Feilan.
Sepertinya Yi Feilan menyadari bahwa aku merasa tidak nyaman dengan senyumannya. Dia pun segera merubah ekspresi dan tidak lagi menunjukkan gigi khasnya itu.
"Kenapa?" tanyaku.
"Bukankah kamu terganggu dengan senyumanku? Gigi gingsulku pasti membuatmu tidak nyaman," simpulnya.
"Memang, kamu memiliki gigi khas yang membuatmu terlihat sangat manis saat tersenyum. Hal itu tentu saja membuatku tidak nyaman, tapi bukan berarti aku terganggu karena tidak suka. Melainkan takut terjatuh dalam buai senyuman itu," ucapku, jujur.
bersambung...
Ekspresi bingung tergambar di wajah Yi Feilan. Dia tidak mengerti akan ucapanku tadi."Jadi, maksudnya? Kamu suka atau ... ""Suka," jawabku langsung dan singkat."Aku ... "Suara Kak Zao menghentikan percakapan kami. Entah apa yang tadi ingin Yi Feilan katakan. Dia langsung diam setelah Kak Zao berada di sana."Kak Zao," sapaku."Kak Zaoyan," ucap Yi Feilan, juga menyapa Kak Zao."Bagaimana? Apa yang kalian bicarakan?" tanya Kak Zao, duduk di sebelah Yi Feilan."Tidak ada, hanya bicara hal biasa," jawab Yi Feilan. Kulihat wajahnya memerah saat menjawab pertanyaan Kak Zao. Apa yang dia pikirkan saat mengatakan hal itu?"Baiklah. Aku sudah menelfon Nyonya Chen, dia minta agar pernikahan kalian dipercepat," terang Kak Zao."Dipercepat? Maksudnya?" tanyaku. Tidak percaya nenek melakukan hal tersebut. Mengambil keputusan untuk mempercepat pernikahan cucunya sendiri.Oke, orang bilang rasa suka dan sayang itu bi
Hari pernikahan tinggal beberapa jam lagi. Pengambilan cincin nikah, mencoba gaun pengantin juga foto pre-wedding sudah selesai dilakukan.Feilan mengantarku pulang ke rumah seperti biasa. Tidak ada yang terjadi, aku pun tidak merasa ada yang salah.Malam itu Feilan pulang setelah meminum teh di rumah. Pukul 8 malam tepatnya. Hari masih belum terlalu malam untuknya main sebentar. Namun, kami sudah lelah seharian kesana-kemari dengan berbagai acara.Dengan terpaksa, aku pun memintanya untuk pulang agar bisa beristirahat lebih awal."Aku pulang dulu ya," pamit Feilan."Iya, hati-hati di jalan. Telfon aku kalau sudah sampai rumah," balasku, mengulum senyum."Jangan tidur terlalu malam. Kalau ke taman belakang, jangan tiduran di kursi ayunan ya. Aku pulang, nanti kutelfon," ucap Feilan."Iya, iya. Dah," balasku, melambaikan tangan pada laki-laki yang esok hari akan resmi menjadi suamiku.Aku masih tidak menyangka, perjodohan yang a
Di hadapanku berbaring Feilan yang dimasukkan ke dalam peti. Hari ini seharusnya menjadi hari bahagia kami. Siang ini adalah hari pernikahanku dengan Feilan. Laki-laki yang dijodohkan, tanpa terasa menjadi pelabuhan.Feilan sangat tampan. Dia memakai setelan jas putih, yang seharusnya digunakan saat pengucapan janji pernikahan.Wajahnya tersenyum, sama seperti terakhir kali kami bertemu. Aku masih mengingatnya dengan jelas, saat dia berbalik menatapku, memberikan senyum khasnya lalu memelukku. Pelukan terakhir yang kurasakan dari kehangatan tubuhnya."Feilan," ucapku. Masih tidak rela meninggalkannya sendiri di dalam sana.Seharusnya tadi malam kuizinkan saja dia menginap di rumah. Dengan begitu, kecelakaan ini tidak akan pernah terjadi."Kasihan ya, seharusnya hari ini mereka menikah""Iya, tapi tau tidak? Katanya kalau wanita ditinggal pergi sebelum hari pernikahan, wanita itu akan membawa kesialan untuk keluarganya""Yang benar?"
Kesedihan yang belum hilang, kini harus ditimpa lagi. Para dewan bahkan sampai membantah pendapat Kak Zao.Semua karenaku. Jika saja malam itu aku tidak menyuruhnya pulang, pasti tidak akan terjadi kecelakaan. Jika saja Feilan tidak meninggalkanku, nenek dan Kak Zao tidak akan mengalami kesulitan.Semua jelas karenaku.Aku bisa saja menelan mentah-mentah semua berita miring, maupun hinaan orang-orang, tapi tidak dengan nenek dan Kak Zao.Orang-orang tidak boleh kehilangan kepercayaan mereka pada nenek dan Kak Zao, hanya karenaku."Apa yang kalian mau? Apa yang harus saya lakukan agar peraturan perusahaan tidak tersentuh siapa pun?" tanyaku pada anggota dewan."Lepaskan jabatan direktur utama Annhua," jawab salah satu di antara mereka."Tidak. Liu Fannyi adalah kandidat sah atas perusahaan ini," tegas nenek membelaku."Jika anda tetap bersikeras menjadikannya direktur utama Annhua, maka kami mundur dari jabatan dewan," timpal an
Sangat berbeda dari biasanya. Kak Zao bersikap romantis padaku. Membukakan pintu, lalu menggandeng tanganku.Benar-benar bukan seperti Kak Zao. Apa dia berubah kepribadian lagi? Kembali pada Kak Zao yang hangat seperti dulu?Entahlah, aku sedang tidak mau banyak berpikir.Kak Zao membawaku masuk ke sebuah restoran mewah. Sepi. Hanya ada kami berdua.Kak Zao tampak memberikan kode. Detik kemudian, seorang pelayan masuk dengan membawa hidangan.Seseorang masuk dengan membawa biola, lalu memainkan musik. Mengherankan memang. Namun, aku merasa risih diperlakukan seperti ini."Kak Zao." Kuberanikan diri untuk bertanya padanya."Ssstt, diam saja. Ikuti apa yang yang kupinta," balas Kak Zao, semakin membuatku bingung.Kulihat Kak Zao tampak serius memotong-motong steik yang ada di hadapannya, lalu memberikan piring tersebut padaku."Hmm?" Aku diam saja, tanpa menerima piring yang dia berikan.Kak Zao membuat kode angguka
Sesuai perkataan Kak Zao, aku terpaksa harus pulang sendiri dengan menaiki taksi.Kak Zao dan nenek masih berada di gedung itu. Tidak tau apa yang mereka bahas hingga selama itu. Hingga menyuruhku untuk pulang lebih dulu."Jangan khawatir. Yang terpenting sekarang, Xiaoyan setuju untuk menikah denganmu." Ucapan nenek di acara tadi teringat kembali.Apa harus seperti ini? Beberapa minggu yang lalu, aku dipaksa mengenal seorang pria yang akan dijodohkan denganku dalam waktu singkat.Saat perjalanan pengenalan tersebut, aku mulai menyukai pria itu. Bahkan telah menyiapkan diri untuk menikah.Sehari sebelum pernikahan, aku harus kehilangan calon suami karena sebuah kecelakaan.Baru saja beberapa hari calon suamiku meninggal. Kini, aku kembali dijodohkan dengan seorang pria.Bedanya, pria itu telah lama kukenal. Pria yang menemaniku sejak kecil.Sebenarnya, apa arti hidupku ini? Haruskah mengalami kesedihan karena ditinggal orang te
Yitan sengaja mengajakku jalan-jalan. Katanya, agar aku tidak terlalu stress.Kami pergi shoping, makan, nonton. Semua kulakukan bersama mantan calon adik iparku.Lumayan. Kegiatan hari ini, membuatku jauh lebih tenang dan fress.Terakhir, sebelum kami pulang, Yitan mengajakku untuk memanjakan diri dengan cara mengikuti pijat relaksasi.Nyaman, sangat nyaman. Di mana semua badan terasa pegal, pijat relaksasi membuat badanku terasa lebih ringan, pikiran pun terasa damai."Yitan, terima kasih ya, kamu sudah membuatku segar kembali. Lain kali, kita ke sana lagi," ajakku, ketagihan.Yitan pulang setelah mengantarku pulang. Salah. Seharusnya aku yang mengantarnya pulang, kan? Kenapa jadi kebalik?Yitan mengantarku pulang karena memang kami pergi menggunakan mobilnya."Sama-sama, Kak. Yitan juga seneng bisa buat kakak seneng lagi," ucapnya, senyum manis terkembang dari bibir imutnya."O iya, Yitan juga mau sekalian pamit, Kak.
Sepanjang perjalanan tadi Kak Zao terus diam, bahkan setelah sampai di rumah. Entah apa yang sedang dia pikirkan.Aku justru kembali teringat, akan ucapan Kak Zao yang memintaku untuk terus bersamanya sampai hari pernikahan.Apa maksud perkataannya? Ingin sekali kutanyakan, tapi takut Kak Zao marah.Mungkinkah Kak Zao takut, dengan apa yang menimpaku tepat beberapa jam sebelum menikah?Kak Zao takut meninggalkanku, atau aku yang meninggalkannya?"Istirahatlah, jangan mikir yang aneh-aneh. Aku masih ada urusan." Kak Zao langsung beranjak pergi menuju ruang kerja.Hah? Apa ini? Belum juga nanya, sudah disuruh istirahat.Baru saja pukul 9 pagi. Masih ada banyak waktu sebelum istirahat malam.Kulangkahkan kaki menuju taman belakang. Berniat membaca buku novel yang bertema pernikahan di sana.Dengan santai, duduk di kursi ayunan yang selalu kulakukan sejak dulu."Astaga, pemeran utama laki-lakinya dingin banget sih, ke
Tinggal bersama dalam satu rumah. Bukan sebagai nona besar dan asisten. Melainkan sebagai pasangan suami istri. Bahkan kami akan tinggal dalam satu kamar juga satu tempat tidur."Kalian berdua telah resmi menjadi suami istri. Untuk suami, silahkan mencium istrinya." Pendeta mengatakan hal itu setelah kami memasangkan cincin di jari pasangan.Apa yang harus kulakukan? Aku mencium Kak Zao, tradisi ini memang sangat sulit kulakukan, tapi tetap harus dilakukan. Karena memang seperti itulah tradisi yang sudah turun temurun.Pasangan pengantin yang telah resmi menjadi suami istri, harus melakukan adegan intim dengan penyatuan bibir. Orang dulu bilang, hal tersebut dilakukan sebagai ritual penyempurna prosesi pernikahan.Awal hidup baru. Di mana kedua mempelai akan jauh lebih intim lagi.Aku mempersiapkan diri. Memang sedikit gugup, kupejamkan mata dan bersiap menerima ciuman pertama se
Sepanjang perjalanan tadi Kak Zao terus diam, bahkan setelah sampai di rumah. Entah apa yang sedang dia pikirkan.Aku justru kembali teringat, akan ucapan Kak Zao yang memintaku untuk terus bersamanya sampai hari pernikahan.Apa maksud perkataannya? Ingin sekali kutanyakan, tapi takut Kak Zao marah.Mungkinkah Kak Zao takut, dengan apa yang menimpaku tepat beberapa jam sebelum menikah?Kak Zao takut meninggalkanku, atau aku yang meninggalkannya?"Istirahatlah, jangan mikir yang aneh-aneh. Aku masih ada urusan." Kak Zao langsung beranjak pergi menuju ruang kerja.Hah? Apa ini? Belum juga nanya, sudah disuruh istirahat.Baru saja pukul 9 pagi. Masih ada banyak waktu sebelum istirahat malam.Kulangkahkan kaki menuju taman belakang. Berniat membaca buku novel yang bertema pernikahan di sana.Dengan santai, duduk di kursi ayunan yang selalu kulakukan sejak dulu."Astaga, pemeran utama laki-lakinya dingin banget sih, ke
Yitan sengaja mengajakku jalan-jalan. Katanya, agar aku tidak terlalu stress.Kami pergi shoping, makan, nonton. Semua kulakukan bersama mantan calon adik iparku.Lumayan. Kegiatan hari ini, membuatku jauh lebih tenang dan fress.Terakhir, sebelum kami pulang, Yitan mengajakku untuk memanjakan diri dengan cara mengikuti pijat relaksasi.Nyaman, sangat nyaman. Di mana semua badan terasa pegal, pijat relaksasi membuat badanku terasa lebih ringan, pikiran pun terasa damai."Yitan, terima kasih ya, kamu sudah membuatku segar kembali. Lain kali, kita ke sana lagi," ajakku, ketagihan.Yitan pulang setelah mengantarku pulang. Salah. Seharusnya aku yang mengantarnya pulang, kan? Kenapa jadi kebalik?Yitan mengantarku pulang karena memang kami pergi menggunakan mobilnya."Sama-sama, Kak. Yitan juga seneng bisa buat kakak seneng lagi," ucapnya, senyum manis terkembang dari bibir imutnya."O iya, Yitan juga mau sekalian pamit, Kak.
Sesuai perkataan Kak Zao, aku terpaksa harus pulang sendiri dengan menaiki taksi.Kak Zao dan nenek masih berada di gedung itu. Tidak tau apa yang mereka bahas hingga selama itu. Hingga menyuruhku untuk pulang lebih dulu."Jangan khawatir. Yang terpenting sekarang, Xiaoyan setuju untuk menikah denganmu." Ucapan nenek di acara tadi teringat kembali.Apa harus seperti ini? Beberapa minggu yang lalu, aku dipaksa mengenal seorang pria yang akan dijodohkan denganku dalam waktu singkat.Saat perjalanan pengenalan tersebut, aku mulai menyukai pria itu. Bahkan telah menyiapkan diri untuk menikah.Sehari sebelum pernikahan, aku harus kehilangan calon suami karena sebuah kecelakaan.Baru saja beberapa hari calon suamiku meninggal. Kini, aku kembali dijodohkan dengan seorang pria.Bedanya, pria itu telah lama kukenal. Pria yang menemaniku sejak kecil.Sebenarnya, apa arti hidupku ini? Haruskah mengalami kesedihan karena ditinggal orang te
Sangat berbeda dari biasanya. Kak Zao bersikap romantis padaku. Membukakan pintu, lalu menggandeng tanganku.Benar-benar bukan seperti Kak Zao. Apa dia berubah kepribadian lagi? Kembali pada Kak Zao yang hangat seperti dulu?Entahlah, aku sedang tidak mau banyak berpikir.Kak Zao membawaku masuk ke sebuah restoran mewah. Sepi. Hanya ada kami berdua.Kak Zao tampak memberikan kode. Detik kemudian, seorang pelayan masuk dengan membawa hidangan.Seseorang masuk dengan membawa biola, lalu memainkan musik. Mengherankan memang. Namun, aku merasa risih diperlakukan seperti ini."Kak Zao." Kuberanikan diri untuk bertanya padanya."Ssstt, diam saja. Ikuti apa yang yang kupinta," balas Kak Zao, semakin membuatku bingung.Kulihat Kak Zao tampak serius memotong-motong steik yang ada di hadapannya, lalu memberikan piring tersebut padaku."Hmm?" Aku diam saja, tanpa menerima piring yang dia berikan.Kak Zao membuat kode angguka
Kesedihan yang belum hilang, kini harus ditimpa lagi. Para dewan bahkan sampai membantah pendapat Kak Zao.Semua karenaku. Jika saja malam itu aku tidak menyuruhnya pulang, pasti tidak akan terjadi kecelakaan. Jika saja Feilan tidak meninggalkanku, nenek dan Kak Zao tidak akan mengalami kesulitan.Semua jelas karenaku.Aku bisa saja menelan mentah-mentah semua berita miring, maupun hinaan orang-orang, tapi tidak dengan nenek dan Kak Zao.Orang-orang tidak boleh kehilangan kepercayaan mereka pada nenek dan Kak Zao, hanya karenaku."Apa yang kalian mau? Apa yang harus saya lakukan agar peraturan perusahaan tidak tersentuh siapa pun?" tanyaku pada anggota dewan."Lepaskan jabatan direktur utama Annhua," jawab salah satu di antara mereka."Tidak. Liu Fannyi adalah kandidat sah atas perusahaan ini," tegas nenek membelaku."Jika anda tetap bersikeras menjadikannya direktur utama Annhua, maka kami mundur dari jabatan dewan," timpal an
Di hadapanku berbaring Feilan yang dimasukkan ke dalam peti. Hari ini seharusnya menjadi hari bahagia kami. Siang ini adalah hari pernikahanku dengan Feilan. Laki-laki yang dijodohkan, tanpa terasa menjadi pelabuhan.Feilan sangat tampan. Dia memakai setelan jas putih, yang seharusnya digunakan saat pengucapan janji pernikahan.Wajahnya tersenyum, sama seperti terakhir kali kami bertemu. Aku masih mengingatnya dengan jelas, saat dia berbalik menatapku, memberikan senyum khasnya lalu memelukku. Pelukan terakhir yang kurasakan dari kehangatan tubuhnya."Feilan," ucapku. Masih tidak rela meninggalkannya sendiri di dalam sana.Seharusnya tadi malam kuizinkan saja dia menginap di rumah. Dengan begitu, kecelakaan ini tidak akan pernah terjadi."Kasihan ya, seharusnya hari ini mereka menikah""Iya, tapi tau tidak? Katanya kalau wanita ditinggal pergi sebelum hari pernikahan, wanita itu akan membawa kesialan untuk keluarganya""Yang benar?"
Hari pernikahan tinggal beberapa jam lagi. Pengambilan cincin nikah, mencoba gaun pengantin juga foto pre-wedding sudah selesai dilakukan.Feilan mengantarku pulang ke rumah seperti biasa. Tidak ada yang terjadi, aku pun tidak merasa ada yang salah.Malam itu Feilan pulang setelah meminum teh di rumah. Pukul 8 malam tepatnya. Hari masih belum terlalu malam untuknya main sebentar. Namun, kami sudah lelah seharian kesana-kemari dengan berbagai acara.Dengan terpaksa, aku pun memintanya untuk pulang agar bisa beristirahat lebih awal."Aku pulang dulu ya," pamit Feilan."Iya, hati-hati di jalan. Telfon aku kalau sudah sampai rumah," balasku, mengulum senyum."Jangan tidur terlalu malam. Kalau ke taman belakang, jangan tiduran di kursi ayunan ya. Aku pulang, nanti kutelfon," ucap Feilan."Iya, iya. Dah," balasku, melambaikan tangan pada laki-laki yang esok hari akan resmi menjadi suamiku.Aku masih tidak menyangka, perjodohan yang a
Ekspresi bingung tergambar di wajah Yi Feilan. Dia tidak mengerti akan ucapanku tadi."Jadi, maksudnya? Kamu suka atau ... ""Suka," jawabku langsung dan singkat."Aku ... "Suara Kak Zao menghentikan percakapan kami. Entah apa yang tadi ingin Yi Feilan katakan. Dia langsung diam setelah Kak Zao berada di sana."Kak Zao," sapaku."Kak Zaoyan," ucap Yi Feilan, juga menyapa Kak Zao."Bagaimana? Apa yang kalian bicarakan?" tanya Kak Zao, duduk di sebelah Yi Feilan."Tidak ada, hanya bicara hal biasa," jawab Yi Feilan. Kulihat wajahnya memerah saat menjawab pertanyaan Kak Zao. Apa yang dia pikirkan saat mengatakan hal itu?"Baiklah. Aku sudah menelfon Nyonya Chen, dia minta agar pernikahan kalian dipercepat," terang Kak Zao."Dipercepat? Maksudnya?" tanyaku. Tidak percaya nenek melakukan hal tersebut. Mengambil keputusan untuk mempercepat pernikahan cucunya sendiri.Oke, orang bilang rasa suka dan sayang itu bi