"Sudahlah, aku batalkan saja acara pernikahan kita," ucap Kak Zao, berlalu meninggalkan kamarku.
"Pernikahan kita? Maksudnya?" tanyaku sedikit bingung.
Kak Zao tak mengindahkan panggilanku, dia terus berjalan menuruni anak tangga hingga sampai di depan kamarnya.
"Mungkin akan lebih baik kalau kamu menikahi laki-laki yang dipilih oleh Nyonya Chen," serunya sebelum memasuki kamar.
Apa maksud ucapannya? Nenek memintaku untuk menikahi laki-laki dari Negara X atau Kak Zao? Mengapa pula Kak Zao bersedia menerima permintaan nenek, benarkah dia sedang menyelamatkanku?
Beruntung sekali yang menjadi keturunan seorang cenayang, dia bisa menuruni bakat untuk mengetahui isi hati dan pikiran seseorang. Tidak perlu menerka-menerka, tidak perlu membayangkan, semua akan terlihat hanya dengan kemampuan dan bakat.
Kembali kubaringkan tubuh di ranjang empuk yang menjadi alas tidurku setiap malam. Pikiranku terus melanglangbuana entah ke mana. Apa tujuan nenek sebenarnya?
"Xiaoyi, Xiaoyi. Sini sama ayah, kita main ke tempat yang indah." Saat itu tawa ayah selalu menemani setiap hariku.
Indahnya masa kecil, selalu ayah berikan yang terbaik untukku. Meski seorang Nona Muda, aku tidak selalu mendapatkan apa yang aku inginkan. Ayah kerap kali memilah apa-apa saja yang menjadi keinginanku. Jika membawa dampak yang baik, beliau pasti menurutinya. Jika tidak, maka dengan susah payah ayah akan membujukku dengan semua alasan aneh buatannya.
"Ayah," teriakku.
Terbangun di tengah malam, memimpikan masa kecil dulu. Namun, berujung tragedi mengerikan yang menimpa ayah.
Keringat mengalir deras dari kening hingga leher. Kuusap pelan, mengingat setiap kejadian sewaktu kecil, jauh sebelum Kak Zao datang ke rumah, kehidupan juga hatiku.
"Ayah. Fannyi kangen, Yah," lirihku saat melihat foto kami berdua. Ayah menggendongku di punggung kekarnya, itu adalah foto yang diambil nenek saat aku berusia 5 tahun.
Gadis mungil dengan rambut kepang, penuh tawa ceria dalam gendongan sang ayah. Bermain di taman bunga dihiasi balon air yang ditiup sang nenek.
Itulah aku, Liu Fannyi. Meski selama 23 tahun hidupku tanpa adanya kasih sayang seorang ibu, tidak kurasakan karena ayah selalu berusaha menjadi sosok kedua orang tua.
Ceklek.
"Xiaoyi, ada apa?" tanya Kak Zao.
Dia menghampiriku di tengah malam, nampak raut cemas terlihat di wajah. Kak Zao duduk di tepi ranjang menghadap ke arahku, mengusap pelan bulir air yang membasahi pipi.
Ternyata Kak Zao sedang berusaha menenangkanku. Ini sudah menjadi tugasnya untuk selalu melindungi dan menjagaku dari bahaya apa pun.
Masih kutatap wajah cemasnya, tak mempedulikan sikap lembutnya tadi. Kini, wajah itu telah berpaling ke arah lain.
"Kamu memimpikan Tuan Liu?" tanyanya, bak cenayang yang menebak mimpiku dengan begitu pas.
"Iya," jawabku singkat. Tidak ada kata yang bisa kuucapkan, aku bingung harus bagaimana menanyakan hal yang dia bahas semalam.
"Sudah berapa kali?" Lanjutnya, terdengar seperti orang yang sedang menginterogasi.
"Baru kali ini. Setelah 2 tahun ayah pergi, sekalipun tidak pernah memimpikannya." Jujurku.
"Tidak apa-apa, tidurlah lagi. Aku akan menjagamu," ucapnya, kemudian duduk di kursi panjang yang berada dekat pintu balkon.
"Sudah? Begitu saja? Kenapa dia tidak menghiburku seperti dalam film? Memeluk dan menenangkanku," batinku, merasa kecewa.
Kembali kubaringkan diri, bersembunyi di balik hangatnya selimut. Sedikit mengintip ke arah pria yang duduk di sana dengan tegap, mengawasiku.
Tidak bisa, ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus bertanya pada nenek. Apa maksud ucapan Kak Zao dan tujuan nenek datang ke rumah.
Kuputar otak, mencari ide, merangkai rencana. Kak Zao tidak akan membiarkanku pergi ke rumah nenek seorang diri. Kalau tidak menyuruh pengawal, pasti dia sendiri yang pergi mengikutiku.
Namun, aku tidak pernah ke rumah utama tempat nenek tinggal. Beliau selalu datang ke rumah tanpa membiarkanku pergi mengunjunginya.
Pernah beberapa kali, ayah membawaku ke rumah utama saat kecil. Anak usia 3 sampai 5 tahun, mana ingat jalan ke sebuah rumah yang jaraknya cukup jauh. Lagipula, saat itu aku selalu tertidur sebelum sampai ke rumah nenek.
Apa yang harus kulakukan? Selain Kak Zao, siapa lagi yang tau jalan ke sana?
"Ya, Ketua Pengurus Rumah, Pak Han pasti tau jalannya. Ayah bilang, Pak Han sudah bekerja di sini jauh sebelum aku lahir. Beliau juga sempat ikut nenek di rumah utama," batinku, menyeringai setelah mendapat ide brilian.
"Cepat tidur, jangan menghayal hal-hal yang tidak jelas." Suara teguran Kak Zao menghilangkan kesenanganku.
"Ish, apaan sih," gumamku, komat-kamit dengan bibir meliuk-liuk.
Mencoba menutup netra, harus terlelap sebelum Kak Zao kembali mengomel. Meski suka, jika terus diomeli kesal juga.
Ulang tahunku yang ke-23 tinggal dua bulan lagi. Itu artinya, aku harus menikah satu bulan sebelum hari itu. Yang benar saja, seorang penerus Grup Annhua menikahi pria yang tidak dicintai.
Saat acara sakral, pasti akan ada banyak media yang meliput. Tidak mungkin menunjukkan muka masam di depan kamera, sedangkan untuk tersenyum aku tidak sudi karena di sampingku berdiri pria asing.
Nenek benar-benar membuatku sakit kepala. Seharusnya bilang dulu satu tahun atau setengah tahun sebelumnya. Dengan waktu setengah tahun, mungkin saja aku sudah mendapatkan calon yang sesuai dengan selera dan hatiku.
Nenek sungguh keterlaluan, kalaupun ingin menjodohkanku seharusnya memberi foto dan informasi mengenai pria itu. Bukannya langsung ketemu tanpa tau menau.
Kembali terlelap, kurasakan seseorang menutupi tubuhku dengan selimut, suara pintu yang terbuka lalu tertutup masih tertangkap indera.
Tok-tok-tok
"Nona Liu," panggil seseorang.
Aku masih mengantuk, biarkan saja dia terus mengetuk pintu dan berbicara tak jelas.
Benar, orang di luar sana masih saja mengetuk pintu dan memanggil namaku. Berani juga seorang pelayan mengganggu tidurku.
"Bagaimana? Dia masih belum bangun?" Suara pria yang kukenal terdengar sedang berbincang dengan pelayan itu.
"Belum, Tuan Zhang," jawab si pelayan.
"Kamu kembali saja, biar dia aku yang urus," balas Kak Zao.
Tok-tok-tok
"Xiaoyi, aku tau kamu sudah bangun. Buka pintu atau langsung didobrak?" tanyanya bernegosiasi.
Kak Zao ini, kenapa aku semakin kesal kepadanya. Sikapnya yang sekarang tidak seperti dulu saat ayah masih ada. Apa mungkin ini sifat aslinya?
Kubuka pintu, tidak ingin pintu itu rusak hanya karena hal sepele.
"Kak Zao sudah rapih? Mau ke mana?" tanyaku.
"Sekarang kamu mandi dan bersiap, kita berangkat setengah jam lagi." Kak Zao mendorongku masuk ke kamar mandi, jam berapa sekarang? Aku harus mandi pagi-pagi begini?
"Segera mandi. Kalau tidak selesai dalam setengah jam, aku akan tetap membawa keluar bagaimanapun penampilanmu," tegasnya.
"Kak Zao sudah diracuni wanita tua itu. Bagaimana bisa dia bersikap seperti itu padaku? Jauh lebih galak dari si wanita tua," batinku merutuki perubahan sikap Kak Zao.
"Cepat mandi, jangan bergumam atau mengomel dalam hati." Kak Zao tau aku sedang membicarakannya, dia itu tangan kanan ayah, suruhan nenek atau cenayang?
bersambung...
Pagi itu, Kak Zao membawaku ke sebuah restoran. Dia duduk cukup jauh dari tempatku berada, posisinya sangat pas untuk mengawasi gerak-gerikku.Kak Zao memintaku untuk menghampiri seorang pria di meja nomor 13, ternyata sebelumnya mereka telah janjian lebih dulu.Wajah memang tampan, karir juga mapan, hanya satu yang kurang dari pria di hadapanku ini, dia bukanlah pria idaman.Terlalu banyak bicara, senyumnya terlihat sekali dibuat-buat. Aku tidak menyukai pria yang seperti itu. Salah satu kreteria pria idamanku itu harus cuek dan dingin, tapi adakalanya bersikap romantis dan perhatian.Tidak harus setiap hari, yang pasti pria itu bisa menempatkan suasana romance di situasi yang tepat."Hhh, sudah berapa jam sih ini? Mau sampai kapan dengerin ceramah?" keluhku dalam hati.Kulirik Kak Zao yang terus mengawasi di belakang pria membosankan ini, tidak ada reaksi. Ingin sekali kuakhiri acara yang tidak jelas, tapi apa daya, Kak Zao pasti melapor p
Kami berdua kembali ke rumah setelah mengunjungi makam ayah. Ada perasaan lega setelahnya."Bagaimana? Sudah lebih baik?" tanya Kak Zao, menghampiriku.Kubaringkan diriku di sofa ruang tengah, tidak ada perasaan tak nyaman atau malu saat Kak Zao melihat tingkahku. Cuek saja, tidak perlu menganggapnya benar-benar ada, karena dia sendiri juga begitu."Baik apanya? Aku masih kesal, kenapa Kak Zao bilang kalau pria itu adalah pria yang baik?" protesku, tidak setuju dengan kesimpulan yang diambil Kak Zao saat di rumah nenek tadi.Kak Zao langsung membawaku ke rumah nenek setelah menemui pria di restoran itu. Karena nenek sudah meminta Kak Zao untuk memberikan pendapatnya, sudah pasti langsung dilaporkan segera."Kenapa?" tanyanya."Kenapa Kak Zao bilang? Harusnya jawab saja dia bukan pria yang baik," kataku, merubah posisi menjadi duduk dan menyilangkan tangan di depan dada."Aku selalu berkata jujur. Lagipula, pria itu adalah cucu dari sa
Meninggalkan ruangan Wakil Direktur dengan perasaan tak menentu. Beberapa orang masih berada di lobi, karena di sanalah mereka bekerja.Masih tersenyum dan menunduk hormat padaku, tak berniat mengindahkannya. Aku terus berjalan tanpa mempedulikan mereka, ataupun anggapan mereka nantinya.Melewati pintu utama, supir telah menyambutku di sana. Memberiku hak istimewa dengan membukakan pintu.Tidak tau mengapa ada perasaan kecewa dan sedih yang kurasakan. Aku memang menyukainya, tapi tidak tau akan seperti ini jika mendengar penolakan seperti itu dari Kak Zao.Sepanjang perjalanan, aku mencoba meyakinkan diri, tidak akan bergantung lagi pada Kak Zao mulai hari ini.Saat itu, netra menangkap sosok pria yang kukenal. Dia tengah berdiri di toko bunga. Pikiranku melayang, untuk siapa bunga itu?Kembali teringat ucapan Kak Zao akan adanya seseorang yang datang mengunjungiku malam ini. Mungkinkah dia orangnya? Astaga, bertemu pria itu lagi.Kul
Langkah pun berhenti saat namaku dipanggil seorang pria. Tidak asing memang, karena baru beberapa jam aku mendengar suara itu. "Xiaoyi," panggilnya lagi, karena melihatku yang masih berdiam diri di tempat, tanpa menoleh ataupun melanjutkan langkah. "Silahkan duduk, akan kuambilkan minum dulu." Suara Kak Zao terdengar di tengah kebisuan. Saat Kak Zao pergi ke dapur, aku berjalan mengendap mulai menaiki anak tangga. Baru saja dua langkah, suara pria itu kembali memanggil namaku. "Duduk di sini, temani aku," pintanya. "Direktur Yi, maaf. Saya harus bersiap dulu," balasku bernada sopan. "Tidak perlu bersiap, aku harus terbiasa melihatmu dalam keadaan seperti ini," ucapnya, sukses membuatku bertanya dalam hati. Aku tak menggubris permintaannya tadi, segera melanjutkan langkah melewati semua anak tangga yang masih tersisa banyak. Namun, panggilan Kak Zao terpaksa membuatku duduk di samping pria itu beberapa menit kemudian. Wa
Ekspresi bingung tergambar di wajah Yi Feilan. Dia tidak mengerti akan ucapanku tadi."Jadi, maksudnya? Kamu suka atau ... ""Suka," jawabku langsung dan singkat."Aku ... "Suara Kak Zao menghentikan percakapan kami. Entah apa yang tadi ingin Yi Feilan katakan. Dia langsung diam setelah Kak Zao berada di sana."Kak Zao," sapaku."Kak Zaoyan," ucap Yi Feilan, juga menyapa Kak Zao."Bagaimana? Apa yang kalian bicarakan?" tanya Kak Zao, duduk di sebelah Yi Feilan."Tidak ada, hanya bicara hal biasa," jawab Yi Feilan. Kulihat wajahnya memerah saat menjawab pertanyaan Kak Zao. Apa yang dia pikirkan saat mengatakan hal itu?"Baiklah. Aku sudah menelfon Nyonya Chen, dia minta agar pernikahan kalian dipercepat," terang Kak Zao."Dipercepat? Maksudnya?" tanyaku. Tidak percaya nenek melakukan hal tersebut. Mengambil keputusan untuk mempercepat pernikahan cucunya sendiri.Oke, orang bilang rasa suka dan sayang itu bi
Hari pernikahan tinggal beberapa jam lagi. Pengambilan cincin nikah, mencoba gaun pengantin juga foto pre-wedding sudah selesai dilakukan.Feilan mengantarku pulang ke rumah seperti biasa. Tidak ada yang terjadi, aku pun tidak merasa ada yang salah.Malam itu Feilan pulang setelah meminum teh di rumah. Pukul 8 malam tepatnya. Hari masih belum terlalu malam untuknya main sebentar. Namun, kami sudah lelah seharian kesana-kemari dengan berbagai acara.Dengan terpaksa, aku pun memintanya untuk pulang agar bisa beristirahat lebih awal."Aku pulang dulu ya," pamit Feilan."Iya, hati-hati di jalan. Telfon aku kalau sudah sampai rumah," balasku, mengulum senyum."Jangan tidur terlalu malam. Kalau ke taman belakang, jangan tiduran di kursi ayunan ya. Aku pulang, nanti kutelfon," ucap Feilan."Iya, iya. Dah," balasku, melambaikan tangan pada laki-laki yang esok hari akan resmi menjadi suamiku.Aku masih tidak menyangka, perjodohan yang a
Di hadapanku berbaring Feilan yang dimasukkan ke dalam peti. Hari ini seharusnya menjadi hari bahagia kami. Siang ini adalah hari pernikahanku dengan Feilan. Laki-laki yang dijodohkan, tanpa terasa menjadi pelabuhan.Feilan sangat tampan. Dia memakai setelan jas putih, yang seharusnya digunakan saat pengucapan janji pernikahan.Wajahnya tersenyum, sama seperti terakhir kali kami bertemu. Aku masih mengingatnya dengan jelas, saat dia berbalik menatapku, memberikan senyum khasnya lalu memelukku. Pelukan terakhir yang kurasakan dari kehangatan tubuhnya."Feilan," ucapku. Masih tidak rela meninggalkannya sendiri di dalam sana.Seharusnya tadi malam kuizinkan saja dia menginap di rumah. Dengan begitu, kecelakaan ini tidak akan pernah terjadi."Kasihan ya, seharusnya hari ini mereka menikah""Iya, tapi tau tidak? Katanya kalau wanita ditinggal pergi sebelum hari pernikahan, wanita itu akan membawa kesialan untuk keluarganya""Yang benar?"
Kesedihan yang belum hilang, kini harus ditimpa lagi. Para dewan bahkan sampai membantah pendapat Kak Zao.Semua karenaku. Jika saja malam itu aku tidak menyuruhnya pulang, pasti tidak akan terjadi kecelakaan. Jika saja Feilan tidak meninggalkanku, nenek dan Kak Zao tidak akan mengalami kesulitan.Semua jelas karenaku.Aku bisa saja menelan mentah-mentah semua berita miring, maupun hinaan orang-orang, tapi tidak dengan nenek dan Kak Zao.Orang-orang tidak boleh kehilangan kepercayaan mereka pada nenek dan Kak Zao, hanya karenaku."Apa yang kalian mau? Apa yang harus saya lakukan agar peraturan perusahaan tidak tersentuh siapa pun?" tanyaku pada anggota dewan."Lepaskan jabatan direktur utama Annhua," jawab salah satu di antara mereka."Tidak. Liu Fannyi adalah kandidat sah atas perusahaan ini," tegas nenek membelaku."Jika anda tetap bersikeras menjadikannya direktur utama Annhua, maka kami mundur dari jabatan dewan," timpal an
Tinggal bersama dalam satu rumah. Bukan sebagai nona besar dan asisten. Melainkan sebagai pasangan suami istri. Bahkan kami akan tinggal dalam satu kamar juga satu tempat tidur."Kalian berdua telah resmi menjadi suami istri. Untuk suami, silahkan mencium istrinya." Pendeta mengatakan hal itu setelah kami memasangkan cincin di jari pasangan.Apa yang harus kulakukan? Aku mencium Kak Zao, tradisi ini memang sangat sulit kulakukan, tapi tetap harus dilakukan. Karena memang seperti itulah tradisi yang sudah turun temurun.Pasangan pengantin yang telah resmi menjadi suami istri, harus melakukan adegan intim dengan penyatuan bibir. Orang dulu bilang, hal tersebut dilakukan sebagai ritual penyempurna prosesi pernikahan.Awal hidup baru. Di mana kedua mempelai akan jauh lebih intim lagi.Aku mempersiapkan diri. Memang sedikit gugup, kupejamkan mata dan bersiap menerima ciuman pertama se
Sepanjang perjalanan tadi Kak Zao terus diam, bahkan setelah sampai di rumah. Entah apa yang sedang dia pikirkan.Aku justru kembali teringat, akan ucapan Kak Zao yang memintaku untuk terus bersamanya sampai hari pernikahan.Apa maksud perkataannya? Ingin sekali kutanyakan, tapi takut Kak Zao marah.Mungkinkah Kak Zao takut, dengan apa yang menimpaku tepat beberapa jam sebelum menikah?Kak Zao takut meninggalkanku, atau aku yang meninggalkannya?"Istirahatlah, jangan mikir yang aneh-aneh. Aku masih ada urusan." Kak Zao langsung beranjak pergi menuju ruang kerja.Hah? Apa ini? Belum juga nanya, sudah disuruh istirahat.Baru saja pukul 9 pagi. Masih ada banyak waktu sebelum istirahat malam.Kulangkahkan kaki menuju taman belakang. Berniat membaca buku novel yang bertema pernikahan di sana.Dengan santai, duduk di kursi ayunan yang selalu kulakukan sejak dulu."Astaga, pemeran utama laki-lakinya dingin banget sih, ke
Yitan sengaja mengajakku jalan-jalan. Katanya, agar aku tidak terlalu stress.Kami pergi shoping, makan, nonton. Semua kulakukan bersama mantan calon adik iparku.Lumayan. Kegiatan hari ini, membuatku jauh lebih tenang dan fress.Terakhir, sebelum kami pulang, Yitan mengajakku untuk memanjakan diri dengan cara mengikuti pijat relaksasi.Nyaman, sangat nyaman. Di mana semua badan terasa pegal, pijat relaksasi membuat badanku terasa lebih ringan, pikiran pun terasa damai."Yitan, terima kasih ya, kamu sudah membuatku segar kembali. Lain kali, kita ke sana lagi," ajakku, ketagihan.Yitan pulang setelah mengantarku pulang. Salah. Seharusnya aku yang mengantarnya pulang, kan? Kenapa jadi kebalik?Yitan mengantarku pulang karena memang kami pergi menggunakan mobilnya."Sama-sama, Kak. Yitan juga seneng bisa buat kakak seneng lagi," ucapnya, senyum manis terkembang dari bibir imutnya."O iya, Yitan juga mau sekalian pamit, Kak.
Sesuai perkataan Kak Zao, aku terpaksa harus pulang sendiri dengan menaiki taksi.Kak Zao dan nenek masih berada di gedung itu. Tidak tau apa yang mereka bahas hingga selama itu. Hingga menyuruhku untuk pulang lebih dulu."Jangan khawatir. Yang terpenting sekarang, Xiaoyan setuju untuk menikah denganmu." Ucapan nenek di acara tadi teringat kembali.Apa harus seperti ini? Beberapa minggu yang lalu, aku dipaksa mengenal seorang pria yang akan dijodohkan denganku dalam waktu singkat.Saat perjalanan pengenalan tersebut, aku mulai menyukai pria itu. Bahkan telah menyiapkan diri untuk menikah.Sehari sebelum pernikahan, aku harus kehilangan calon suami karena sebuah kecelakaan.Baru saja beberapa hari calon suamiku meninggal. Kini, aku kembali dijodohkan dengan seorang pria.Bedanya, pria itu telah lama kukenal. Pria yang menemaniku sejak kecil.Sebenarnya, apa arti hidupku ini? Haruskah mengalami kesedihan karena ditinggal orang te
Sangat berbeda dari biasanya. Kak Zao bersikap romantis padaku. Membukakan pintu, lalu menggandeng tanganku.Benar-benar bukan seperti Kak Zao. Apa dia berubah kepribadian lagi? Kembali pada Kak Zao yang hangat seperti dulu?Entahlah, aku sedang tidak mau banyak berpikir.Kak Zao membawaku masuk ke sebuah restoran mewah. Sepi. Hanya ada kami berdua.Kak Zao tampak memberikan kode. Detik kemudian, seorang pelayan masuk dengan membawa hidangan.Seseorang masuk dengan membawa biola, lalu memainkan musik. Mengherankan memang. Namun, aku merasa risih diperlakukan seperti ini."Kak Zao." Kuberanikan diri untuk bertanya padanya."Ssstt, diam saja. Ikuti apa yang yang kupinta," balas Kak Zao, semakin membuatku bingung.Kulihat Kak Zao tampak serius memotong-motong steik yang ada di hadapannya, lalu memberikan piring tersebut padaku."Hmm?" Aku diam saja, tanpa menerima piring yang dia berikan.Kak Zao membuat kode angguka
Kesedihan yang belum hilang, kini harus ditimpa lagi. Para dewan bahkan sampai membantah pendapat Kak Zao.Semua karenaku. Jika saja malam itu aku tidak menyuruhnya pulang, pasti tidak akan terjadi kecelakaan. Jika saja Feilan tidak meninggalkanku, nenek dan Kak Zao tidak akan mengalami kesulitan.Semua jelas karenaku.Aku bisa saja menelan mentah-mentah semua berita miring, maupun hinaan orang-orang, tapi tidak dengan nenek dan Kak Zao.Orang-orang tidak boleh kehilangan kepercayaan mereka pada nenek dan Kak Zao, hanya karenaku."Apa yang kalian mau? Apa yang harus saya lakukan agar peraturan perusahaan tidak tersentuh siapa pun?" tanyaku pada anggota dewan."Lepaskan jabatan direktur utama Annhua," jawab salah satu di antara mereka."Tidak. Liu Fannyi adalah kandidat sah atas perusahaan ini," tegas nenek membelaku."Jika anda tetap bersikeras menjadikannya direktur utama Annhua, maka kami mundur dari jabatan dewan," timpal an
Di hadapanku berbaring Feilan yang dimasukkan ke dalam peti. Hari ini seharusnya menjadi hari bahagia kami. Siang ini adalah hari pernikahanku dengan Feilan. Laki-laki yang dijodohkan, tanpa terasa menjadi pelabuhan.Feilan sangat tampan. Dia memakai setelan jas putih, yang seharusnya digunakan saat pengucapan janji pernikahan.Wajahnya tersenyum, sama seperti terakhir kali kami bertemu. Aku masih mengingatnya dengan jelas, saat dia berbalik menatapku, memberikan senyum khasnya lalu memelukku. Pelukan terakhir yang kurasakan dari kehangatan tubuhnya."Feilan," ucapku. Masih tidak rela meninggalkannya sendiri di dalam sana.Seharusnya tadi malam kuizinkan saja dia menginap di rumah. Dengan begitu, kecelakaan ini tidak akan pernah terjadi."Kasihan ya, seharusnya hari ini mereka menikah""Iya, tapi tau tidak? Katanya kalau wanita ditinggal pergi sebelum hari pernikahan, wanita itu akan membawa kesialan untuk keluarganya""Yang benar?"
Hari pernikahan tinggal beberapa jam lagi. Pengambilan cincin nikah, mencoba gaun pengantin juga foto pre-wedding sudah selesai dilakukan.Feilan mengantarku pulang ke rumah seperti biasa. Tidak ada yang terjadi, aku pun tidak merasa ada yang salah.Malam itu Feilan pulang setelah meminum teh di rumah. Pukul 8 malam tepatnya. Hari masih belum terlalu malam untuknya main sebentar. Namun, kami sudah lelah seharian kesana-kemari dengan berbagai acara.Dengan terpaksa, aku pun memintanya untuk pulang agar bisa beristirahat lebih awal."Aku pulang dulu ya," pamit Feilan."Iya, hati-hati di jalan. Telfon aku kalau sudah sampai rumah," balasku, mengulum senyum."Jangan tidur terlalu malam. Kalau ke taman belakang, jangan tiduran di kursi ayunan ya. Aku pulang, nanti kutelfon," ucap Feilan."Iya, iya. Dah," balasku, melambaikan tangan pada laki-laki yang esok hari akan resmi menjadi suamiku.Aku masih tidak menyangka, perjodohan yang a
Ekspresi bingung tergambar di wajah Yi Feilan. Dia tidak mengerti akan ucapanku tadi."Jadi, maksudnya? Kamu suka atau ... ""Suka," jawabku langsung dan singkat."Aku ... "Suara Kak Zao menghentikan percakapan kami. Entah apa yang tadi ingin Yi Feilan katakan. Dia langsung diam setelah Kak Zao berada di sana."Kak Zao," sapaku."Kak Zaoyan," ucap Yi Feilan, juga menyapa Kak Zao."Bagaimana? Apa yang kalian bicarakan?" tanya Kak Zao, duduk di sebelah Yi Feilan."Tidak ada, hanya bicara hal biasa," jawab Yi Feilan. Kulihat wajahnya memerah saat menjawab pertanyaan Kak Zao. Apa yang dia pikirkan saat mengatakan hal itu?"Baiklah. Aku sudah menelfon Nyonya Chen, dia minta agar pernikahan kalian dipercepat," terang Kak Zao."Dipercepat? Maksudnya?" tanyaku. Tidak percaya nenek melakukan hal tersebut. Mengambil keputusan untuk mempercepat pernikahan cucunya sendiri.Oke, orang bilang rasa suka dan sayang itu bi