Semua Bab ANILA - Kutukan Angin: Bab 31 - Bab 40

72 Bab

-`, Misi Pertama || 31࿐

Matahari telah terbit. Ia mulai menerangi seluruh Alam buku. Anila dan Aldrich sudah bangun jauh dari pada itu. Mereka telah dibangunkan Ratu angin, memulai misi pertama untuk menyembuhkan kutukan Anila. Sebelum itu terjadi, selamanya ia akan terjebak di Alam buku itu. "Jadi, sekarang apa yang harus kami lakukan, Ratu?" tanya Anila, memberanikan diri. Mereka diperintah ikut sarapan pagi. Itu pun sebab Dewi angin yang meminta, ia meminta Aldrich untuk bergabung, dan masih sama, Aldrich akan menolak jika tanpa Anila. "Kalian harus pergi ke suatu tempat, yang mana kalian akan menemukan penawar, atau mungkin hanya petunjuk," jawab Ratu Angin. "Di mana?" sergah Aldrich ikut bicara. "Page Phineas." "Apa itu pag-e phi-neas?" Aldrich mengerutkan keningnya, bingung. "Makanlah, akan aku jelaskan." Mereka segera menghabiskan makanan di hadapan mereka. "Dengarkan baik-baik, atau mungkin kalian tidak akan baik. Page
Baca selengkapnya

-`, Makhluk Asap; Lazy || 32࿐

Layangan itu kembali terbang ke angkasa, setelah merendah; mendaratkan Aldrich dan Anila. Mereka meloncat dari udara, turun pada suatu tempat yang sangat gersang.  Tidak ada tumbuhan di sana. Sepertinya benar, mereka telah mendarat pada pulau pertama. "Kita di mana, Na?" tanya Aldrich. "Kok kamu panggil aku Na, sih?"  "Eh, maaf, aku lebih suka panggil kamu dengan nama itu, ngingetin aku sama kakakmu juga." "Al…" "Sudahlah, Na, sekarang kita di mana?" "Pulau pertama," jawab Anila. "Disini panas sekali." Aldrich mengedarkan pandangannya, matanya hanya menangkap bentangan tanah yang retak sebab terlalu panas. "Kita ke arah barat, ikuti aku," ajak Anila. Anila berjalan memimpin, Aldrich membuntut. "Disini seperti tidak pernah turun hujan, ya, Na?" "Aku juga tidak tahu, pulau macam apa ini, tanah yang kita injak saja teksturnya seperti kertas yang dijemur setelah basah." Mere
Baca selengkapnya

-`, Danau Pertama || 33࿐

Anila tiba-tiba menggenggam tangan Aldrich, tak berselang dari kedipan matanya, mereka telah sampai di atas buku itu. "Aagh-hh." Aldrich menatap Anila bingung, benar mereka telah sampai di atas buku raksasa itu, seperti yang mereka harapkan. "Na, kamu gak papa, kamu kenapa? kepalamu sakit?" Wajah aldrich seketika berubah kebingungan, melihat Anila yang memegangi kepalanya. Tubuhnya semakin terkulai melemah. Aldrich harus melakukan sesuatu. Dia tidak mungkin diam saja melihat Anila yang energi tubuhnya seperti terkuras habis. Aldrich menyeringai, berusaha mencari apa saja yang dapat membantu, ia meletakkan tubuh Anila pada tanah. "Air! ya, Air! Anila pasti membutuhkan Air!" ucap Aldrich melihat pembatas buku itu yang aslinya mengalir seperti air atau bahkan, itu memanglah air. Aldrich mencuci tangannya, meraup sedapatnya. Sebelumnya ia meminum untuk dirinya sendiri, sebanyak yang diperlukan, kemudian meraup lagi, membawa
Baca selengkapnya

-`, Seekor Kucing|| 35࿐

* * 彡* * Angin berembus sejuk, menjatuhkan dedaunan.Menerpa beberapa kali ke muka Anila dan Aldrich yang sedang lelap dalam tidurnya. Sehelai daun mendarat pada wajah Anila.Ia membuka matanya perlahan, sebuah cahaya lembut menerpa wajahnya, memberikan rangsangan pada otaknya untuk bangun. Sekarang pandangannya utuh, ia terduduk di atas tumpukkan dedaunan, di bawah pepohonan. Matanya terus mengamati setiap lokasi yang ada di sekitarnya. Semuanya berwarna kuning. Anila tidak tahu dimana ia berada, tetapi yang jelas baginya adalah.... ini pertama kalinya ia melihat musim gugur. Ya, semua itu benar-benar musim gugur. "Benar kata orang-orang, musim ini sangatlah menawan," batin Anila. "Tetapi... mengapa lokasi pandanganku  terbatas?" Ia masih terduduk dibawah rindangnya pohon yang daunnya berjatuhan, pohon itu rantingnya memutar seakan membentuk sebuah gapura yang tiada habis. Seperti di balik setelah pohon itu tidak ad
Baca selengkapnya

-`, Ini Untuk Pertama Kalinya || 36࿐

Mereka terus melangkah. Berselang beberapa detik dari tempat itu.   Guk! Guk!   Miaw...   Guk! Guk!   Langkah Anila ikut terhenti, melihat Aldrich menghentikan langkahnya.   "Ada apa?" tanyanya.   Aldrich diam saja, ia sibuk mengamati kucingnya yang terus memberontak ke belakang.   Mereka menoleh bersamaan. Semuanya ternganga. Di belakang mereka terdapat seekor anjing besar yang terus melolong. Parahnya lagi suaranya itu terus disambut oleh kucing yang dibawa Aldrich.   Meski tidak sebesar raksasa, atau harimau, anjing itu tetap saja tampak sangat beringas, ia semacam anjing liar yang berhari-hari tidak diberi makan, atau mungkin, seperti anjing peliharaan yang majikannya di ganggu.   "Sudah aku bilang! Kucing itu pasti hanya akan membawa masalah bagi kita! Lebih baik, kau biarkan saja dia
Baca selengkapnya

-`, Petunjuk dari Lencana || 37࿐

Setelah beberapa saat matahari turun takhta. Aldrich menatap Anila yang bersender pada pohon. Ia berkali-kali bergulat seperti melawan dingin angin yang berembus dari pergunungan di hadapan mereka. Aldrich melepas pakaian lapis pertamannya, dan ia mengenakannya kepada Anila. Ia pikir, mungkin itu akan lebih mengurangi kerasnya kerja sistem pemanasan yang terbentuk dari tubuhnya. Aldrich mengangkat tangannya setelah memastikan jaket itu terpasang dengan baik. Saat matanya menurun, ia terpaku akan sesuatu pada sakunya. Aldrich bergeming sejenak, lantas mengambilnya perlahan, takut membangunkan tidur Anila. "Lencana ini.... Eum .... milik siapa, ya?" Aldrich membolak-balik sebuah benda berwarna emas di tangannya itu.  Sebuah tulisan latin terpampang pada bagian depannya,  "Prince Mereya? Siapa?" gumam Aldrich lirih. Selesai lidahnya kembali ditekuk mengucapkan nama itu. Dari balik gunung itu, seakan sangat dekat, sebuah rembulan
Baca selengkapnya

-`, Rembulan Itu... || 38࿐

"Tidak ada pilihan lagi, kita harus kesana!" Aldrich kembali menyakukan lencana yang berbentuk persegi panjang dengan ujung segitiga itu. Matanya penuh tekad untuk membawa Anila kesana bagaimanapun caranya. Ia menjembarakan tangannya pada tubuh Anila yang terkulai. Aldrich berusaha mengangkatnya. Ia harus dapat pergi kesana. Ia tidak mau usaha perjalanannya sejauh ini harus berakhir sia-sia. "Agh!" Aldrich membenarkan posisi tubuh Anila, yang melengkung di atas lengannya. "Ini tampak sulit, tapi aku harus melakukannya," ucapnya mulai melangkahkan kaki.  Belum beberapa langkah ia menapak, sepertinya ia harus lebih berusaha menahan ketirnya lidah yang menopang berat. Sekarang, ia harus sampai di balik gunung itu dalam posisi ini. Aldrich harus melakukannya.Aldrich mengumpulkan tekat dan memfokuskan titik niatnya. "Rasa sakit hanya terasa apabila kita rasakan. jika kita tidak memiliki saraf fokus untuk merakan sak
Baca selengkapnya

-`, Pengorbanan || 39࿐

"Hah?" Aldrich melongo sedemikian rupa. Batinnya memekik, "Bagaimana mu-ngki-n?" ucapnya gugup. YA! Aldrich telah menyaksikan sendiri dengan matanya, rembulan berwarna kuning keunguan tadi. Rembulan yang menggantung pada langit, rembulan yang menjadi penyebab pingsannya Anila. Bagaimana mungkin sekarang....Sekarang.... rembulan itu mengumpulkan semuanya cahaya, menjadi selarik cahaya kasar berwarna keemasan, yang bahkan jika Aldrich menatapnya terlalu detail, matanya dapat buta akan cahaya itu. Cahaya dari rembulan itu semakin merendah dan menangkap jasad Anila tepat dalam penglihatan mata Aldrich. Ia diturunkan dari bawah gunung itu perlahan. Aldrich segera menyusul, melupakan sakit dan lukanya, tergopoh-gopoh berlari menuruni jalanan gunung yang jelas tanpa ia berlari saja sudah teramat cepat ia melangkah. Beberapa kali tubuhnya akan menabrak bongkahan batu, sebab tergesa mengikuti cahaya itu membawa tubuh Anila. Ia meloncat cepat la
Baca selengkapnya

-`, B A D A I || 40࿐

"Hei! Sembarangan saja kamu ya!"   Anila berlari pada hamparan rumput itu. Aldrich telah merasa tubuhnya kembali pulih, mengejar Anila. Yang dikerjar malah tertawa cekikikan.   Pagi telah tiba, matahari semakin naik beberapa kaki.   Aldrich dan Anila memutuskan untuk menatap langit beberapa saat, tertidur diatas rerumputan itu. Mereka hanya ingin merasakan bagaimana angin damai menerpa dengan musiknya, dan rumput akan menari karenanya.   "Hahaha... Haha ... Kamu ini lucu sekali ya, Al." Anila mengawali pembicaraan. Matanya masih lurus menatap ke langit.   "Hahaha ... Andai saja kehidupan seperti ini, setiap waktu tidak perlu menunggu," gumamnya.   "Hah? Kau mengatakan sesuatu?"   "Eumh... Tidak... Aku hanya bilang, aku lapar, haha."   "Aku pun. Gampang lapar sekali aku sekarang, jika terlalu banyak menggunakan
Baca selengkapnya

-`, Bertahan || 41࿐

"Gawat, Na, petir! Bagaimana sekarang? Kita tidak dapat keluar juga dari tempat ini, tidak ada jalan!–"   "Diamlah dulu! Akan aku pikirkan sesuatu." Anila bergeming sesaat. Sedang Aldrich sudah sangat khawatir akan hadirnya awan hitam itu yang berjalan semakin mendekat.   "Kita berteduh sementara di bawah pohon itu!" seru Anila, menunjuk sebuah pohon oak di seberang mereka.   "Tapi, Na?" Belum Aldrich sempat menolaknya, Anila telah menyambar tangan Aldrich dan membawanya berlari kebut mendekati pohon itu.   Berselang dengan hantaman petir yang menyambar lokasi mereka tadi berdiri.   Baju mereka belum apa-apa sudah kuyup, sebab lebatnya air yang jatuh bersama dengan angin.   "Aku hanya takut Na, dalam fisika... ya meski aku tidak suka pelajaran itu, di sana pernah dijelaskan bahwa ketika badai jangan berteduh dibawah pohon, itu juga termasuk berbahaya,
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234568
DMCA.com Protection Status