Semua Bab ANILA - Kutukan Angin: Bab 51 - Bab 60

72 Bab

-`, Misi Esok Hari || 52࿐

Aldrich kembali cukup larut. Ia tidak menyangka akan lupa waktu berada di luar. Tapi tidak apa, itu sudah sangat malam. Pastilah Anila sudah tertidur, pikir Aldrich. Aldrich membuka pintu. "Eh, kamu masih terjaga, Na?" Aldrich mematung, matanya menangkap Anila duduk terdiam. Melamun. "Na... kau tidak papa?" Aldrich duduk di sampng Anila, menekan bahunya lembut. "Eh, tidak-tidak." Anila menggeleng, "aku baik-baik saja." Senyumnya tampak dipaksakan. "Kau sudah makan?" Aldrich beranjak, mencari sesuatu yang tadi didapatnya. Masih utuh. "Kau tidak makan?" Anila kembali terdiam. "Na. Aku tidak tahu mengapa. Tapi sifatmu mendadak aneh, setelah kita memutuskan untuk tinggal di sini tadi. Apa kau tidak suka tempat ini? Jika iya, kita dapat berpindah dan mencari tempat yang lebih layak untukmu. Apa mungkin–" Anila menole
Baca selengkapnya

-`, Penyamaran || 53࿐

Anila tersenyum, begitu juga Aldrich. Ia bangkit dari ranjang—mempersilahkan Anila untuk tidur, berjalan ke blok lain rumah.    Anila hendak merebahkan tubuhnya, tetapi ia teringat sesuatu. Apakah tadi ia tidak terlalu berlebihan menyikapi masalah yang ada? Mungkin saja tadi karena pikirannya ruwet, sekarang sudah lebih baik. Namun, mau bagaimanapun yang tadi ia lakukan jelas tetap salah.   Anila berseru, menghentikan langkah Aldrich.   "Iya, Na? Ada lagi?" tanya Aldrich. Hati pria itu benar-benar hanya terisi kesabaran. Apa yang telah Anila pikirkan.   "Boleh kau kemari?" Anila ragu-ragu mengatakannya. Aldrich kembali membalik badannya, mendekat.   Anila berdiri, mereka saling berhadapan. "Terima kasih."    Aldrich mendengus, "Ah, kau ini ku kira ada apa." Ia kembali tersenyum.   Hati Anila berdesir. Ia terharu pada apa yang di
Baca selengkapnya

-`, ⊹ Jiwa yang Terhubung┆54 ࿐

Gadis yang dipanggil memberikan nampannya kepada Pemimpin Pelayan, lantas meminta Anila yang melakukannya—mengirim nampan-nampan itu ke ruangan utama. Anila menggangguk, segera mengikuti pelayan lain menuju ruangan utama.   "Aku tidak dapat terus di sini, aku harus segera bertemu dengan Prince Mereya itu." batin Anila, menaruh makanan itu pada meja sajian utama, yang megah nan memanjang.   Hampir 30 menit waktunya berlalu hanya untuk berbolak-balik mengantarkan makanan. Anila lelah.    "AYO Cepat! Terus antarkan semua makanan yang telah siap ke ruang utama." Pemimpin Pelayan kembali berteriak; memerintahkan.   Saat Anila kembali untuk lima belas kalinya, atau lebih. Anila melihat Pemimpin Pelayan menghentikan seseorang. Melalui indra perasa-nya. Anila dapat mendengarkan pembicaraan itu lebih jelas.   "Apa? Pangeran tidak mau ikut makan bersama di ruangan utama? Tabib meminta
Baca selengkapnya

-`, ⊹ Jiwa yang Terhubung┆55 ࿐

Mata Anila semakin berkilauan ketika sebuah air menetes dari sana.    ia bergeming tidak bersuara. Pangeran pun tidak mengerti apa yang telah terjadi beberapa menit terakhir.   "Jawab aku. Siapa engkau? Mengapa engkau malah menangis?"   Anila tersadar. Ia tidak dapat mengendalikan dirinya. Pangeran mendekat. Anila segera menghilang dari sana.   "Kemana dia? HEY! SIAPA ENGKAU!" sang Pangeran memutarkan tubuhnya, menatap seluruh ruangan.   "MENGAPA ENGKAU MENGHILANG! KATAKAN! SIAPA ENGKAU!" Pangeran kembali berteriak. Ia berjalan geram kesana kemari, tidak menemukan apapun. Ia tidak dapat melihat, bahwa Anila masih berada di sana, menangis tersedu-sedu.   Pangeran pun menangis. "Aku mohon. Jangan lakukan itu padaku. Katakan siapa engkau!" pekik Pangeran tidak putus asa. Ia sangat berharap dapat melihatnya sekali lagi.   Anila memunculk
Baca selengkapnya

-`, Putri Musim Seberang || 56࿐

Anila terbang tanpa tujuan. Ia menghancurkan apa pun yang dihadapannya. Tidak peduli pepohonan atau kawanan burung. "Ini tidak mungkin! Pasti aku salah lihat, kan?" "AAaaaa!!" Anila berubah menjadi angin kencang dari udara, beberapa pohon tumbang. "Aku yakin itu tidak mungkin dia. Tapi bagaimana mungkin?" Ia terus bersungut-sungut tidak dapat mengendalikan dirinya sendiri. Aldrich pulang ke rumah sore itu. Siang kala ia pulang, Anila juga tidak ada. Aldrich pikir, Anila mungkin sedang melaksanakan misinya, atau terjebak dalam situasi yang belum memungkinkan dirinya untuk kembali ke rumah.Tetapi, hari sebentar lagi gelap, sedang Anila belum pulang juga. Aldrich mondar mandir di halaman gubuk. "Aku yakin dia dapat pulang jika dia mau. Kemana Anila, ya? Atau dia dalam bahaya?" Aldrich berpikir ulang, "Ah, sepertinya tidak mungkin. Kendatipun dia dalam bahaya. Aku juga yakin
Baca selengkapnya

-`, Dia adalah Gata || 57࿐

"Na, kau tidak papa?" Aldrich segera berdiri begitu melihat Anila tersadar. "Sekarang jam berapa? Apakah aku sudah harus kembali ke istana sekarang?" "Na, Na. Tenanglah dulu, Na. Kau pingsan hampir semalaman. Misi itu, kita tunda dulu. Kau istirahat saja." Aldrich yang duduk di samping Anila, masih tidak berpindah. Tidak tertidur, semalaman ia benar-benar mengkhawatirkan Anila. Bingung, akan apa yang terjadi padanya sore itu. Wajah cantik Anila tiba-tiba tampak muram. Semangatnya pudar, ia tertunduk lesu. "Kau kenapa, Na? Apa kau lapar? Kau mau makan apa?" Aldrich tersenyum lembut. Sesungguhnya ia bukan ingin menanyakan hal itu. Ia ingin bertanya banyak hal. Tetapi, Aldrich rasa, ini bukan saatnya. Setelah kepulangan Anila dari Kerajaan Lunar yang tidak semestinya. Itu sudah sangat Aldrich mengerti, sesuatu telah terjadi. Anila masih hening. Diam. Menunduknya semakin dalam, bibir
Baca selengkapnya

-`, Kisah Hilangnya Lencana || 58࿐

Bangunan ukiran batu itu tampak kusam, dengan pasak-pasaknya berwarna putih rusak, menjulang. Tumbuhan merambat, dedaunan kering memenuhi lantai. Pada pintu masuk, pohon buah-buahan merunduk. Sebab, buahnya yang sangat subur, menyambut seorang wanita cantik, surainya yang berwarna keunguan, diikat, menyatu hingga ke bagian belakang tubuhnya, terbuka, tidak dapat ikut tertutup sehelai kain, pada baju yang hanya berporos melilit di leher.   "Lihatlah, siapa yang telah datang, ke istana musim semi." Suara hentakan terdengar, para tumbuhan melakukan tugasnya. Berkeliat, bermacam tangan, menyiapkan makanan, membereskan tempat dan menyambut anggun.   Gadis itu tersenyum. Ia menundukkan tubuhnya sejenak. Seekor kambing berjalan mendekat.   "Hai, sahabatku. Engkau tidak pernah tua. Aku menyesal. Seandainya saja kita tidak bertemu dalam keadaan seperti ini," ujar sang Kambing yang tanduknya berkelit indah itu. &nb
Baca selengkapnya

-`, Rencana Selanjutnya || 58࿐

Makhor menyimak cerita Halw dengan saksama. Bagaimanapun, kehadiran lencana itu sangat berpengaruh terhadap berlangsungnya rencana. "Sekarang apa yang harus kita lakukan?" Markhor kembali bertanya. Situasi terburuk akan segera tercipta jika mereka tidak memiliki rencana cadangan. "Aku berpikir untuk mendekatkan Anila dengan Pangeran Mereya, bagaimana menurutmu?" Markhor hening, ikut berpikir sejenak. "Aku tahu, itu tidak memberikan banyak perubahan dalam waktu singkat. Terlebih, mengingat bulan sabit akan datang besok malam." "Tidak!" tolak Marklor. "Kita tidak akan membawa gadis itu kemana-mana. Justru, kdia harus dikurung agar tidak kembali pergi ke istana," lanjutnya. "Itu lebih bodoh! Kita tidak dapat menunda lagi, waktu kita terbatas untuk rencana jangka panjang," Halw juga menolak, dahinya bekerut, berpikir lebih keras. "Nah, itulah sebabnya. Kita harus jauhkan pangeran Mereya dengan Anila dalam waktu beberapa hari ini. Sampai hari acara pertunangan itu. Dengan begitu,
Baca selengkapnya

-`, Ramuan Ungu || 59࿐

"Manis!" Anila berseru. Aldrich menatap kucing itu dengan tatapan penuh selidik. Kucing kecil yang mengeong ke Aldrich itu berjalan mundur, suaranya merendah. Anila bergegas menggendongnya, menjauhkan kucing itu dari tatapan jahat Aldrich. "Kau kenapa, Al? Dia ketakutan," tegur Anila, membela. "Tidak apa-apa." Aldrich menekuk mukanya. Ia tampak berpikir keras tentang sesuatu. "Biarkan dia tidur di luar," imbuhnya, menyarankan. Kucing kecil itu meringkuk manja dalam gendongan Anila. "Kenapa? Biasanya kau paling antusias jika ada kucing. Saat kejadian di padang musim gugur itu pun, engkau rela bertaruh nyawa. Sekarang kenapa? Jika kamu tidak mau tidur dengannya, biarkan dia tidur bersamaku.""Ayo, Nis, kita tinggalkan pria pemarah itu." Anila menggendong manis untuk tidur di samping ranjangnya. Aldrich juga belum paham. PIkirannya menolak kehadiran kucing itu di gubuk mereka. Apakah kejadian tadi pagi itu hanya khayalannya? 'Tidak mungkin juga, kan, perdana menteri kerajaan Lunar
Baca selengkapnya

-`, Berlatih || 60࿐

Beberapa saat kemudian sudah tidak terdengar suara. Aldrich mendesah, “Semoga saja. Panglima Halw juga bukan termasuk orang-orang yang menginginkanmu, Na. Aku percaya padanya,” ujar Aldrich sembari mengelus kepala Anila yang sudah jatuh terlelap. “Ayo kita pergi, saatnya kau berlatih!” Aldrich terperanjat, tentu saja ia terkejut, tiba-tiba ada yang menyentuh pundaknya dari belakang. “Siap Panglima.” “Segera bersiap. Aku tunggu kau di lokasi latihan.” Untuk kesekian kalinya Aldrich mengangguk, sejenak kembali menatap Anila yang terbaring tidak berdaya. Entah mengapa untuk malam ini ia ragu sekali meninggalkan gadis itu. Padahal, Aldrich sendiri tahu, Anila bukan manusia biasa yang mudah terkalahkan. Ruangan padang rumput terasa lengang. Temaram rembulan yang siap menjadi penerangan. Suara pedang terhunus hampir saja menebas kepalanya jika Aldrich tidak menghindar tepat waktu. Matanya langsung awas, berbalik badan mencari sumber serangan. Aldrich dengan pakaian seorang prajuri
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
345678
DMCA.com Protection Status