Matahari telah terbit. Ia mulai menerangi seluruh Alam buku.
Anila dan Aldrich sudah bangun jauh dari pada itu. Mereka telah dibangunkan Ratu angin, memulai misi pertama untuk menyembuhkan kutukan Anila. Sebelum itu terjadi, selamanya ia akan terjebak di Alam buku itu.
"Jadi, sekarang apa yang harus kami lakukan, Ratu?" tanya Anila, memberanikan diri.
Mereka diperintah ikut sarapan pagi. Itu pun sebab Dewi angin yang meminta, ia meminta Aldrich untuk bergabung, dan masih sama, Aldrich akan menolak jika tanpa Anila.
"Kalian harus pergi ke suatu tempat, yang mana kalian akan menemukan penawar, atau mungkin hanya petunjuk," jawab Ratu Angin.
"Di mana?" sergah Aldrich ikut bicara.
"Page Phineas."
"Apa itu pag-e phi-neas?" Aldrich mengerutkan keningnya, bingung.
"Makanlah, akan aku jelaskan."
Mereka segera menghabiskan makanan di hadapan mereka.
"Dengarkan baik-baik, atau mungkin kalian tidak akan baik. Page
1,9K thanks :)
Layangan itu kembali terbang ke angkasa, setelah merendah; mendaratkan Aldrich dan Anila. Mereka meloncat dari udara, turun pada suatu tempat yang sangat gersang. Tidak ada tumbuhan di sana. Sepertinya benar, mereka telah mendarat pada pulau pertama. "Kita di mana, Na?" tanya Aldrich. "Kok kamu panggil aku Na, sih?" "Eh, maaf, aku lebih suka panggil kamu dengan nama itu, ngingetin aku sama kakakmu juga." "Al…" "Sudahlah, Na, sekarang kita di mana?" "Pulau pertama," jawab Anila. "Disini panas sekali." Aldrich mengedarkan pandangannya, matanya hanya menangkap bentangan tanah yang retak sebab terlalu panas. "Kita ke arah barat, ikuti aku," ajak Anila. Anila berjalan memimpin, Aldrich membuntut. "Disini seperti tidak pernah turun hujan, ya, Na?" "Aku juga tidak tahu, pulau macam apa ini, tanah yang kita injak saja teksturnya seperti kertas yang dijemur setelah basah." Mere
Anila tiba-tiba menggenggam tangan Aldrich, tak berselang dari kedipan matanya, mereka telah sampai di atas buku itu. "Aagh-hh." Aldrich menatap Anila bingung, benar mereka telah sampai di atas buku raksasa itu, seperti yang mereka harapkan. "Na, kamu gak papa, kamu kenapa? kepalamu sakit?" Wajah aldrich seketika berubah kebingungan, melihat Anila yang memegangi kepalanya. Tubuhnya semakin terkulai melemah. Aldrich harus melakukan sesuatu. Dia tidak mungkin diam saja melihat Anila yang energi tubuhnya seperti terkuras habis. Aldrich menyeringai, berusaha mencari apa saja yang dapat membantu, ia meletakkan tubuh Anila pada tanah. "Air! ya, Air! Anila pasti membutuhkan Air!" ucap Aldrich melihat pembatas buku itu yang aslinya mengalir seperti air atau bahkan, itu memanglah air. Aldrich mencuci tangannya, meraup sedapatnya. Sebelumnya ia meminum untuk dirinya sendiri, sebanyak yang diperlukan, kemudian meraup lagi, membawa
* * 彡* * Angin berembus sejuk, menjatuhkan dedaunan.Menerpa beberapa kali ke muka Anila dan Aldrich yang sedang lelap dalam tidurnya. Sehelai daun mendarat pada wajah Anila.Ia membuka matanya perlahan, sebuah cahaya lembut menerpa wajahnya, memberikan rangsangan pada otaknya untuk bangun. Sekarang pandangannya utuh, ia terduduk di atas tumpukkan dedaunan, di bawah pepohonan. Matanya terus mengamati setiap lokasi yang ada di sekitarnya. Semuanya berwarna kuning. Anila tidak tahu dimana ia berada, tetapi yang jelas baginya adalah.... ini pertama kalinya ia melihat musim gugur. Ya, semua itu benar-benar musim gugur. "Benar kata orang-orang, musim ini sangatlah menawan," batin Anila. "Tetapi... mengapa lokasi pandanganku terbatas?" Ia masih terduduk dibawah rindangnya pohon yang daunnya berjatuhan, pohon itu rantingnya memutar seakan membentuk sebuah gapura yang tiada habis. Seperti di balik setelah pohon itu tidak ad
Mereka terus melangkah. Berselang beberapa detik dari tempat itu. Guk! Guk! Miaw... Guk! Guk! Langkah Anila ikut terhenti, melihat Aldrich menghentikan langkahnya. "Ada apa?" tanyanya. Aldrich diam saja, ia sibuk mengamati kucingnya yang terus memberontak ke belakang. Mereka menoleh bersamaan. Semuanya ternganga. Di belakang mereka terdapat seekor anjing besar yang terus melolong. Parahnya lagi suaranya itu terus disambut oleh kucing yang dibawa Aldrich. Meski tidak sebesar raksasa, atau harimau, anjing itu tetap saja tampak sangat beringas, ia semacam anjing liar yang berhari-hari tidak diberi makan, atau mungkin, seperti anjing peliharaan yang majikannya di ganggu. "Sudah aku bilang! Kucing itu pasti hanya akan membawa masalah bagi kita! Lebih baik, kau biarkan saja dia
Setelah beberapa saat matahari turun takhta. Aldrich menatap Anila yang bersender pada pohon. Ia berkali-kali bergulat seperti melawan dingin angin yang berembus dari pergunungan di hadapan mereka. Aldrich melepas pakaian lapis pertamannya, dan ia mengenakannya kepada Anila. Ia pikir, mungkin itu akan lebih mengurangi kerasnya kerja sistem pemanasan yang terbentuk dari tubuhnya. Aldrich mengangkat tangannya setelah memastikan jaket itu terpasang dengan baik. Saat matanya menurun, ia terpaku akan sesuatu pada sakunya. Aldrich bergeming sejenak, lantas mengambilnya perlahan, takut membangunkan tidur Anila. "Lencana ini.... Eum .... milik siapa, ya?" Aldrich membolak-balik sebuah benda berwarna emas di tangannya itu. Sebuah tulisan latin terpampang pada bagian depannya, "Prince Mereya? Siapa?" gumam Aldrich lirih. Selesai lidahnya kembali ditekuk mengucapkan nama itu. Dari balik gunung itu, seakan sangat dekat, sebuah rembulan
"Tidak ada pilihan lagi, kita harus kesana!" Aldrich kembali menyakukan lencana yang berbentuk persegi panjang dengan ujung segitiga itu. Matanya penuh tekad untuk membawa Anila kesana bagaimanapun caranya. Ia menjembarakan tangannya pada tubuh Anila yang terkulai. Aldrich berusaha mengangkatnya. Ia harus dapat pergi kesana. Ia tidak mau usaha perjalanannya sejauh ini harus berakhir sia-sia. "Agh!" Aldrich membenarkan posisi tubuh Anila, yang melengkung di atas lengannya. "Ini tampak sulit, tapi aku harus melakukannya," ucapnya mulai melangkahkan kaki. Belum beberapa langkah ia menapak, sepertinya ia harus lebih berusaha menahan ketirnya lidah yang menopang berat. Sekarang, ia harus sampai di balik gunung itu dalam posisi ini. Aldrich harus melakukannya.Aldrich mengumpulkan tekat dan memfokuskan titik niatnya. "Rasa sakit hanya terasa apabila kita rasakan. jika kita tidak memiliki saraf fokus untuk merakan sak
"Hah?" Aldrich melongo sedemikian rupa. Batinnya memekik, "Bagaimana mu-ngki-n?" ucapnya gugup. YA! Aldrich telah menyaksikan sendiri dengan matanya, rembulan berwarna kuning keunguan tadi. Rembulan yang menggantung pada langit, rembulan yang menjadi penyebab pingsannya Anila. Bagaimana mungkin sekarang....Sekarang.... rembulan itu mengumpulkan semuanya cahaya, menjadi selarik cahaya kasar berwarna keemasan, yang bahkan jika Aldrich menatapnya terlalu detail, matanya dapat buta akan cahaya itu. Cahaya dari rembulan itu semakin merendah dan menangkap jasad Anila tepat dalam penglihatan mata Aldrich. Ia diturunkan dari bawah gunung itu perlahan. Aldrich segera menyusul, melupakan sakit dan lukanya, tergopoh-gopoh berlari menuruni jalanan gunung yang jelas tanpa ia berlari saja sudah teramat cepat ia melangkah. Beberapa kali tubuhnya akan menabrak bongkahan batu, sebab tergesa mengikuti cahaya itu membawa tubuh Anila. Ia meloncat cepat la
"Hei! Sembarangan saja kamu ya!" Anila berlari pada hamparan rumput itu. Aldrich telah merasa tubuhnya kembali pulih, mengejar Anila. Yang dikerjar malah tertawa cekikikan. Pagi telah tiba, matahari semakin naik beberapa kaki. Aldrich dan Anila memutuskan untuk menatap langit beberapa saat, tertidur diatas rerumputan itu. Mereka hanya ingin merasakan bagaimana angin damai menerpa dengan musiknya, dan rumput akan menari karenanya. "Hahaha... Haha ... Kamu ini lucu sekali ya, Al." Anila mengawali pembicaraan. Matanya masih lurus menatap ke langit. "Hahaha ... Andai saja kehidupan seperti ini, setiap waktu tidak perlu menunggu," gumamnya. "Hah? Kau mengatakan sesuatu?" "Eumh... Tidak... Aku hanya bilang, aku lapar, haha." "Aku pun. Gampang lapar sekali aku sekarang, jika terlalu banyak menggunakan
Aurora tidak pernah main-main dengan apa yang ia hendak lakukan. Malam itu juga, setelah kepergian Ratu Neoma dia langsung terbang menuju kota buku. Tempat di mana kerajaan Ratu Angin berada.Dahulu dia pernah dibesarkan di kota itu. Rumah-rumah buku, tanaman penghasil pengetahuan dan sungai aliran yang melukis keindahan alam penuh kecerdasan itu. Aurora jelas menyukai tinggal di sana penuh ramai, daripada Istana megahnya yang tetap membuatnya kesepian.“Guk! Guk!”Seekor anjing yang berjalan bersama Aurora menggonggong.“Diamlah, Ed. Ini tengah malam. Jangan membangunkan mereka. Kita akan mengunjungi keluargamu.” Aurora berjongkok, mengelus kepala Anjing bernama Ed. Anjing itu seakan mengerti dan bergonggong kecil. Kemudian kembali berjalan mengikuti tali pada leher yang ditariknya.Aurora dan anjingnya berhenti pada sebuah lubang besar. Seperti sebuah kanal, namun di dalamnya tidak terdapat air. Itu adalah tempat kematian terburuk di alam buku.“Kau berasal dari sana. Aku menghidupk
“Ini milikku?”“Buku itulah yang membuat kami yakin Anila adalah seseorang yang tepat untuk memimpin alam buku. Mungkin dari buku itu juga kita bisa mencari jalan keluar untuk membebaskan Anila.”“Dari mana kalian mendapatkannya?”“Aku menemukannya di dekat tubuh manusia egois itu saat terluka.”Mereya dengan perlahan dan teramat hati-hati mencoba menyentuhnya. Begitu jemari indah itu bersentuhan. Seketika saja ribuan saraf ingatan lampau milik mereya kembali hidup. Cepat sekali seperti gulungan kaset yan tersusun rapi. Mereya melihat jelas gambaran seorang pria dan wanita mengenakan seragam sekolah, mengambilkan bola. Gambaran seorang gadis tersenyum kepadanya. Gambaran pria dan wanita itu, duduk bercerita, pulang bersama. Semuanya melintas cepat."Hah!” Mata Mereya membelalak.“Apakah laki-laki itu aku?” gumamnya, meyakinkan jika seseorang yang dilihatnya tadi benar-benar dirinya sendiri.“Ada apa pangeran apakah ada cara menyelamatkannya?”“Siapa gadis itu sebenarnya? Jika dia manu
“TIDAK!!!”Halw memekik. Tangannya terulur, namun dia tidak bisa kembali keluar dari tabir itu dan membuat segala rencana juga pengorbanan sia-sia.Suara lencana jatuh menggelinding di lantai, menyadarkannya bahwa dia harus bergerak cepat sebelum ratu datang.Dengan napas tersengal, Halw mendekati Pangeran mereya yang terbaring. Memasangkan Lencana itu pada dada Pangeran.“Sadarlah Pangeran, Sadarlah!! Aku mohon cepat sadarlah sahabatku! Cepat!”buru Halw tidak sabar. Keringat dingin membasahi wajah dan rambut panjangnya yang diikat rapi dalam wujud manusia biasa.Ribuan cahaya berburu menuju ke saraf otak pangeran.Tabir gaib telah dihancurkan. Ratu mendarat di balkon penuh amarah.“Kau terlambat!”“Halw telah menghianati kerajaan. Meski pakaiannya biasa, dia telah menipu ratu di kawasan istana.”“Arrghh! Hentikan!!” Jutaan sel-sel yang membentuk manusia milik halw berkelit pada tubuhnya, seakan menyayat-nyayat organ dalam miliknya. Sangat sakit.Gadis malang itu terus mengerang kesaki
Halw menoleh pada Aldrich, indranya langsung aktif menyimak.“Ya, aku tidak berbohong. Kita masih punya harapan. Tania sempat menguping pembicaraan saat keluar mengantarakan makanan, dia mendengar bahwa pangeran akan kembali sadar jika lencana itu dikembalikan.”Layaknya lentera yang baru saja diisi minyak, mata halw kembali penuh akan harapan.“Apa selanjutnya?”“Tania akan membantu kita. Bangunlah Makhlor! Ada tugas penting untukmu! Kita harus bersiap untuk hari esok!”Aldrich berdiri, menampar tubuh makhlor tanpa dosa. Senyumnya tidak berhenti merekah.“Kerja bagus, Al.” Halw langsung menghambur memeluk tubuh Aldrich erat, “Aku tahu sejak awal. Kau bukan sekadar manusia. Di mataku kau selalu luar biasa,” puji Halw dengan amat bahagia.Aldrich canggung sendiri. Ingin membalas pelukan itu atau tidak sama-sama takut disalahartikan.“Ayo, Makhlor. Aku akan siapkan makanan untuk kalian.”Halw beranjak lebih dulu meninggalkan laboratorium.“Sejak kapan kucing bisa memasak?”“Miawww!!”Aldr
Setelah usai mempersiapkan penyamarannya, Alrich kembali menuju istana, dengan idenya yang banyak, juga pengalamannya selama ini. Tidak sulit baginya mengelabui keluarga kerajaan juga para prajurit. Ia berhasil lolos beberapa tes keabsahan, sempat khawatir di beberapa tes, namun dia sudah belajar banyak kemampuan dari Halw, yang latihannya tidak jauh berbeda dari latihan para prajurit asli karena Halw memang panglimanya.Dengan seragam lengkap dan penutup kepala khusus; lambang kerajaan lunar. Aldrich mengikuti deretan prajurit yang mendapatkan tugas mengamankan sidang.“Apakah wanita itu sungguh akan disidang hari ini? Dari bukti yang sudah aku bantu kumpulkan, seharusnya, pelaku mendapatkan hukuman keji atas perbuatannya,” batin Aldrich sambil terus berarakan, berbaris mengitari area persidangan.Pada jalan utama, Al meninjau sekilas, cermat, wanita yang ditolongnya kemarin.Suara wasit sidang terdengar nyaring membuka acara, semua orang yang bersangkutan juga bukti yang diperlukan
Arak-arakkan prajurit mulai menghambur ke seluruh Kerajaan Lunar. Buku-buku informasi, juga koran-koran kabar menginformasikan tentang gagalnya pertunangan pangeran pun pencarian seorang pencuri lencana, terserta foto Aldrich pada beritanya. “Siapa pun yang bertemu dengan pencuri lencana itu, kemudian menangkap dan menyerahkannya pada kerajaan Lunar. Maka mereka akan diberikan imbalan yang besar!” “Ayo! Ayo!” Gemuruh bisik-bisik riuh terdengar ketika pengumuman dan penggeledahan Aldrich terus berlanjut. Dua orang pemuda menghadang gerombolan prajurit. “Jangan menghalangi jalan kami! Pergi dari sana! Katakan apa keperluan kalian!” teriak ketua prajurit pencarian. “Kami tahu di mana manusia itu.” Prajurit lain menyambangi ketua, membisikkan beberapa kata, kemudian kembali pada tempatnya. “Kami tidak mempercayai kalian. Kalian adalah mantan prajurit penjaga malam kerajaan bukan, kalian berdua dikeluarkan atas tuduhan pelecehan seksual. Jangan harap kalian bisa merayu kami dengan info
Halw kemudian kembali mengubah wujudnya sebagai seorang gadis. Aldrich terkejut, namun hati dan wajahnya sedang tidak memiliki sisi lain. Hanya wujud datar itu yang ia tampilkan. Sebuah senyuman setidaknya dia berhasil mengalihkan perhatian Aldrich dari melukai dirinya sendiri. “Halw? ... Manis?” “Benar. Kemarikan tanganmu.” Halw menarik lengan baju Al, melakukan hal sama. “Aku tahu ini sakit sekali,” sambung Halw yang terus bermonolog tanpa jawaban dari Aldrich. “Tidak seberapa,” jawab Aldrich singkat. Dengan lihai tangan lentik itu merawat luka, cekatan tanpa takut. “Aw!” “Duh, sakit?” Aldrich menatap Halw sejenak. Laki-laki itu menggeleng. “Boleh aku meminta sesuatu?” Dahi Halw berkerut, menandakan jika ia ingin mengetahuinya meski tanpa menjawab. “Apa kau bisa mengobati luka dalamku juga? Itu terasa lebih menyakitkan daripada yang coba kau obati,” ungkap Aldich. Halw seketika terdiam, melihat sejenak Anila yang tertawa bersama Pangeran Mereya. Betapa beruntungnya menjad
Aurora masih berusaha menyadarkan dirinya dan meyakinkan bahwa yang dilihatnya itu benar-benar terjadi. Pangeran Mereya menghentikan tindakan Aldrich dengan menyambar tangan Anila. Saat kedua kulit itu bersentuhan, sebuah cahaya timbul dan bunga-bunga sakura hitam jatuh berguguran di sekitar. Tak berselang lama dari sentuh sejenak itu, akhirnya Anila dapat membuka mata dengan sempurna. Gadis itu terkejut. Berusaha sesegera mungkin memahami situasi. Tubuhnya terasa memilih dengan cepat. Sentuhan singkat tadi meningkatkan kekuatan keduanya. Anila melepas genggaman Aldrich. Matanya berkaca-kaca dan berlari memeluk Pangeran dengan erat. “Gata, selama ini aku mencarimu ....” Gadis itu mendadak menangis. “Kau kemana saja, Gata? Apakah kamu tidak tahu betapa kesepiannya aku tanpa dirimu? Betapa hampanya segala kehidupanku, sekolahku dan aku tidak peduli, tidak membutuhkan semua itu jika tanpa dirimu. Kemana saja kamu selama ini, hah? Kemana saja, Gata? Jawab aku. Huft, huft!” Air mat
"Bagus, Sayangku! Berikan!” Tangan Aurora terulur memberikan guci transparan itu pada sang ratu. “Lepaskan dia Aurora!” Ini pertama kalinya markhlor berseru sekencang itu. Seluruh yang hadir pada ruang pertemuan menutup telinga, bangunan megah itu bergetar. Putri pemilik kekuatan salju itu menoleh. Matanya dengan pahit menatap Markhlor penuh ambisi. “Kenapa?” “Sekali lagi ... anggap ini permintaan, jangan berikan guci itu pada Ratu.” Markhlor merendahkan suaranya. "Jadi kau peduli pada guci ini? Atau sesuatu yang berada di dalamnya?” “Aurora, tolong ....” “Kenapa aku harus menolongmu, bahkan jika itu untuk permintaan terakhir, aku bahkan tidak peduli. Bukankah demikian yang kau lakukan kepadaku empat belas tahun yang lalu?” “Situasinya berbeda Aurora, kamu harus memahami hal itu.” “Apa? Paham? Kenapa aku harus selalu memahami semua orang, sedang tidak ada yang mau berusaha memahamiku?” “Kau tidak bisa menikah dengannya Aurora, untuk apa kau mencoba menyakiti nyawa yang tida