Home / Fantasi / FIORE / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of FIORE: Chapter 11 - Chapter 20

55 Chapters

11

Aiden menatap meja kerja di hadapannya dengan perasaan campur aduk. Beberapa menit yang lalu, ia baru saja membayangkan raut wajah Pangeran Adrian yang kesal ketika melihatnya masuk. Namun kenyataannya adalah kursi yang seharusnya diduduki oleh Pangeran, kosong. Aiden masuk ke ruang kerja yang sama sekali tidak ada orang. Aiden menghela nafas frustasi, “Kemana Adrian?” gumamnya. Di saat yang sama, pintu di belakangnya terbuka. Aiden berbalik dan melihat Cleon— pengawal yang ia perintahkan untuk mengawasi Adrian. Cleon belum sempat mengatakan apapun, Aiden sudah membuka mulutnya terlebih dahulu. “Mana Pangeran?” “Beliau masih di kamarnya dan ia bilang kalau kondisinya sedang tidak baik.” kata Cleon. “Hah?” Aiden tidak dapat langsung percaya dengan pernyataan tersebut. Cleon menganggukkan kepalanya dengan satu gerakan tegas&mdas
Read more

12

Setelah beberapa saat, akhirnya tiba dan mereka berdiri di depan teras toko. “Jadi, ini tempatnya?” Iris bertanya, dahinya mengkerut, menatap bangunan di depannya.   “Menurut kertas ini, ya.” Aria melihat selembar kertas di tangannya lalu mendekati pintu masuk.    “Ingatkan aku, darimana kau mendapatkan itu?” tanya Iris.   “Beberapa hari yang lalu, ada yang menempel ini di pohon,” jawab Aria dengan santai.   “Dan kau mengambilnya...?” tanya Iris lagi. Aria hanya menyeringai ke arahnya. “Tanpa memikirkan kemungkinan terburuknya?!” Aria mengangguk sekali lagi.   Bangunan di hadapannya adalah bangunan yang terlihat sangat tua dan berada di gang sempit. Bangunan dengan empat lantai, masing-masing lantai terdapat dua jendela. Dua jendela etalase di paling bawah dan enam jendela biasa di lantai dua hingga empat. Jendela etalase pada sisi kiri dan kanan, menghimpit sebuah pintu kac
Read more

13

Aria menoleh ke arah pintu dan melihat Iris masuk dengan rait wajah yang berbeda dari sebelumnya. “Kau kenapa?” tanyanya.   Iris menghampiri Aria dan langsung duduk di kursi dan menelungkupkan kepalanya di atas meja. Ia pun mulai menceritakan apa yang ia bicarakan dengan Max.   “Hmm, memang tidak biasanya...” Aria bergumam.   “Memangnya sebelum ini selalu Max?” Tiba-tiba Iris bertanya— terdorong oleh rasa penasarannya.   “Sepertinya iya...” kata Aria. Ia terdengar tidak yakin.   “Sepertinya?” Iris mengulang apa yang ia dengar.   Aria mencoba menggali ingatannya, mencoba mengumpulkan apa saja yang ia ingat tentang Max. “Ia bahkan sudah disini di hari pertama aku memulai karir,” katanya. “Bahkan aku pernah mendengar kalau Max adalah salah satu teman dekat Pangeran sejak kecil.”   Iris menaikkan alisnya. Itu merupakan suatu info yang baru un
Read more

14

Iris meletakan semuanya yang ia butuhkan di atas meja yang telah di kosongkan dan di bersihkan. Beberapa bunga herbal yang memang telah dikeringkan sebelumnya juga diambil olehnya dari lemari, beberapa wadah kaca kosong serta beberapa liter air di dalam sebuah botol berukuran besar.   “Sebentar... ” Iris menoleh, memperhatikan sekelilingnya mencari sesuatu. Iris membuka setiap laci dan lemari yang ia lihat, memeriksanya satu per satu.   “Sudah paham?” Max sedang memberikan berbagai instruksi kepada orang baru, melihat Iris yang sedang sibuk bolak balik. Dengan rasa penasarannya, pemuda tersebut menghampirinya setelah menyuruh orang baru itu pergi. “Iris?” panggilnya. “Apa yang kau cari?”   Iris menoleh ke arah Max yang berdiri di belakangnya. “Kain,” jawabnya, menepuk nepuk seragamnya yang berdebu. “Aku membutuhkan itu,”   “Kain? Kain katun? ” tanya Max sambil berjalan menuju mejanya dan mengeluarkan
Read more

15

“Berapa lama kau akan menyalakan lilin itu?” Adrian sudah berada di tempat tidurnya, mencari posisi nyaman.     “Lima belas menit,” Iris menjawab sambil menyalakan lilin yang ia letakan pada nakas tepat di sebelah tempat tidur. “Silakan mencoba untuk beristirahat, Yang Mulia.” Iris berjalan menuju jendela dan mulai menutupnya dengan rapat.     “Apa kau akan segera pergi?” Adrian bertanya. Kedua matanya telah di pejamkan dan telinganya menjadi lebih sensitif ketika menangkap suara-suara yang bermunculan di sekitarnya.     “Saya akan tetap disini untuk mematikan lilin tersebut ketika sudah lima belas menit,” jawab Iris. Ia berdiri tidak jauh dari tempat tidur, namun ia juga tidak ingin terlalu dekat.     “Apa tidak bisa lebih lama?” Adrian bertanya. Ia tidak ingin Iris segera pergi dari ruangannya. Namun ia juga tidak memiliki alasan lain untuk membua
Read more

16

Seorang pelayan wanita masuk sambil membawa nampan berisi secangkir minuman panas dan meletakkannya di atas meja. “Silakan, Tuan.” katanya. Nicholas duduk dibalik meja yang penuh dengan tumpukan kertas dokumen. “Terima kasih,” kata Nicholas. “Kau bisa membawa pergi piringnya.” lanjutnya, menunjuk ke piring makanan di dekatnya. Suara ketukan pada jendela di belakang membuatnya menoleh. Nicholas melihat seekor burung hantu berwarna coklat dengan sepucuk surat pada paruhnya. Surat tersebut membuat burung hantu itu terlihat lebih kecil. Nicholas berdecak pelan. “Seharusnya kau mengirimkan surat kepada Raja terlebih dahulu,” katanya seolah ia tahu siapa pengirim surat tersebut. “Bukan aku,” Nicholas mengambil sepucuk suratnya.tangan satunya yang bebas mengambil seekor tikus putih kecil yang berada di dalam sebuah kandang besi kecil di dekat jende
Read more

17

Ratu Luna meliriknya, menyeringai kepadanya sebelum berubah menjadi senyum. “Kau juga datang untuk melihat kepulanganku?” tanyanya. Rambut hitam Ratu berkilau di bawah cahaya matahari, dan wajahnya yang bersih dan segar bersinar ketika ia tersenyum dengan manis.     Adrian tidak ingin membalas perkataannya walaupun sebenarnya ia mau. Ia mengingat apa yang Aiden katakan kepadanya tentang menjaga caranya berbicara, terutama kepada Luna— Sang ratu. Perkenalan pertama mereka adalah ketika Adrian masih berusia tujuh tahun dan hari itu juga tidak begitu mengesankan bagi Adrian, sehingga ia hampir melupakan seperti apa penampilan mereka setelah beberapa hari tidak bertemu. Tapi ia harus mengatakan sesuatu, jika ia tidak ingin ibu tirinya merasa diabaikan.     Adrian berdeham, “Ini adalah kejutan,” katanya.     “Selamat siang, Yang mulia.” sapa Aiden. Ia membungkukkan punggungnya, memberi h
Read more

18

Ketika Adrian tiba di ruang makan, ia melihat ayahnya sedang duduk di kursinya dengan kepala menopang pada tangan dan kedua mata terpejam. “Selamat siang, ayah.” Adrian menyapa ayahnya yang dibalas dengan sebuah lambaian tangan. Adrian sudah terbiasa dengan hal itu sehingga ia langsung mengambil tempat duduknya. Seperti biasa, Aiden selalu berada di dekatnya. Selalu terlihat tenang dalam situasi apapun. Aiden melirik ke arah Adrian dan ia dapat melihat kekhawatiran yang terlihat jelas di wajahnya. Berbagai hal terus menerus berputar di pikirannya, Adrian mengerjapkan matanya beberapa kali dan melirik dari bahunya untuk mencari keberadaan Aiden, menunggu jawaban atas apa pun yang akan dikatakannya. Adrian meringis minta maaf.  Aiden tidak mengatakan apapun, hanya menatap Pangeran muda tersebut yang masih terus menerus sibuk dengan pikirannya sendiri.  
Read more

19

Cahaya matahari pada hari yang cerah, yang masuk menembus kaca membuat Iris memicingkan kedua matanya untuk melihat ke depan. Di teras ada tanaman yang tumbuh melilit tiang besi dan terlihat mengarah pada sinar matahari, seolah setiap tanaman tersebut juga menikmati hangatnya cahaya matahari. Iris sedang memanen beberapa macam bunga herbal pada area depan rumah kaca dan ia dapat mendengar suara gaduh tidak jauh dari posisinya. Ia menoleh ke arah suara tersebut. Dari kejauhan ia dapat melihat sekumpulan orang yang terlihat kecil, sedang berlatih di tengah hari yang panas.   “Mereka terlihat bersemangat, bukan?” kata Max berjalan mendekat dengan membawa satu kotak kayu berisi tunas tanaman baru, arah matanya juga melihat ke arah yang sama dengan Iris.   Iris mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya. “Ya, tidak biasanya.” katanya.   Max tertawa. “Ada saatnya dimana mereka berlatih, saling melawan kawan mereka satu sama lai
Read more

20

Semua orang sudah kembali setelah matahari terbenam. Iris yang biasanya bertahan hingga larut pun sudah kembali terlebih dahulu, meninggalkan Max sendirian di farmasi. Suasana malam sangat hening hingga suara jangkrik dari taman serta air mancur yang mengalir pun terdengar jelas.   Max dapat mendengar suara langkah kaki yang mendekat dari koridor. Ia melihat ke arah jam dan waktu menunjukkan saat itu sudah tengah malam. Indra penciumannya yang lebih tajam dari orang biasa membuatnya menyadari siapa yang datang Saat suara tersebut berhenti, seseorang menjulurkan kepalanya masuk ke dalam farmasi dan Max mengenali seseorang dengan rambut perak yang terlihat sangat mencolok dimanapun ia berada. Pangeran Adrian.   “Apa yang kau mau, Max?” itulah kalimat pertama yang Adrian katakan ketika ia datang ke farmasi pada tengah malam. Seluruh ruangan farmasi bercahaya remang-remang, hanya terdapat cahaya redup dari lampu meja. Ia melihat Max sedang duduk
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status