Home / Fantasi / FIORE / Chapter 41 - Chapter 50

All Chapters of FIORE: Chapter 41 - Chapter 50

55 Chapters

41

Langit cerah dan awan dengan cahaya merah yang dipantulkan beserta deburan gelombang ombak yang bersuara dalam ritme yang stabil, angin sepoi-sepoi seharusnya membawa ketenangan bagi Iris. Semua saat burung melengkung di atas, bermain-main saat berputar ke atas. Namun, semua itu tidak lagi ia rasakan ketika ia menoleh dan melihat seseorang dengan wajah yang sama sekali tidak asing baginya, namun cara berpakaiannya yang berbeda dari biasanya.“Pangeran Caswell…” katanya dengan suara pelan, nyaris berbisik. Caswell berdiri di belakangnya, kedua lengannya terlipat di dada, pandangannya fokus kepada Iris dengan seringaian tercetak pada wajahnya. Caswell menyingkirkan helaian rambut yang sedikit menutupi pandangannya dengan menyisir rambut pirangnya menggunakan jari tangannya dari depan ke belakang. Rambutnya dari akar ke ujung terlihat keemasan di bawah langit merah.Iris menggenggam telapak tangannya sendiri— merasakan tangannya menjadi lebih dingin. Matahar
Read more

42

Iris menyadari bahwa pintu rumahnya masih terkunci dan semua lampu tidak ada yang menyala. “... Apa mereka menginap malam ini?” gumamnya dengan pelan, memiringkan kepalanya. Ia langsung bergegas ke kamar mandi untuk segera membersihkan dirinya sebelum larut malam.    Air yang mengalir dari pipa bak mandi terasa sangat dingin, Iris hanya bisa menghela nafasnya. “Kalau sekarang sudah dingin seperti ini, sepertinya di musim dingin akan lebih buruk.” gumamnya. Ia mengisi baskom dengan air panas yang sudah ia masak sebelumnya. Lantai kamar mandi membuat kakinya dingin, bahkan sedingin es. Ia menambahkan air panas ke dalam bak mandi hingga mencapai suhu air yang tepat sehingga dapat terasa hangat dan nyaman, kemudian melepas pakaiannya, menariknya ke atas hingga membuat rambutnya berantakan.    Ia menatap pakaian kotornya dan men
Read more

43

Myra tiba-tiba muncul dari belakang, meletakan kedua tangannya di bahu Iris. “Kapan kau akan berangkat?” tanyanya.   Iris melirik dari balik bahunya, menatap wajah ibunya. “Sebentar lagi,” jawabnya.   “Sayang sekali liburanmu telah selesai— tapi kau jangan sampai terlambat,” Ibunya berseru, melepaskan kedua tangannya dan menarik kursi di hadapan Iris untuk duduk disana. Bukan rahasia lagi bagi keluarga mereka kalau ibunya diam-diam mengidam-idamkan untuk dapat masuk ke farmasi istana. Bahkan Iris pernah menemukan beberapa potongan artikel dari koran yang sudah lama membahas tentang itu.   Ketika Iris bertanya mengapa menyimpannya secara rahasia, ibunya hanya menjawab kalau ia tidak ingin kakek menemukannya tanpa membakar setiap artikel tersebut. Iris tidak paham kenapa kakek
Read more

44

Namun, di sinilah Iris— berdiri di luar farmasi setelah makan malam, dekat taman karena ia sedang menginginkan suasana tenang. Ia tidak ingin langsung masuk ke dalam farmasi.   Bekerja di farmasi, secara fisik melelahkan, karena kesehariannya Iris harus berurusan dengan banyak orang dan terlalu sering berdiri hingga kakinya sakit. Meskipun jam kerja dan bayaran sangat bagus, manfaatnya luar biasa, dan Iris juga merasa beruntung karena setiap orang di farmasi tersebut diperlakukan dengan baik dibandingkan dengan apa yang Iris bayangkan sebelumnya. Iris juga telah dipromosikan menjadi supervisor setelah insiden Pangeran. Jadi, ia memiliki sedikit lebih banyak otoritas dan sedikit kewajiban untuk bersikap menyenangkan.   Ada sedikit embusan udara saat Iris menghembuskan nafasnya malam itu, memeluk diri sendiri agar tetap hangat. Suhu te
Read more

45

Ketika mereka saling berpisah, Iris hanya diam menatap kepergian Adrian bersama dengan pelayan tersebut. “Apa ia sudah membaik?” pikirnya. Namun, Iris tidak tahu bahwa apa yang ia pikirkan cukup salah. Sebuah pintu menjulang tinggi di hadapan Adrian. Ia hanya menatapnya tanpa memiliki keinginan untuk masuk, namun ia harus karena ia tidak memiliki pilihan lain. “Kau sudah boleh pergi.” ia berseru kepada pelayan wanita yang masih berdiri di sebelahnya setelah mengantarkannya. Pelayan tersebut menunduk, memberikan salam sebelum berbalik dan meninggalkan Pangeran tersebut sendirian. Adrian mengetuk pintu beberapa kali sebelum masuk ke dalamnya. Ia melihat ayahnya sedang duduk di balik meja kerjanya dikelilingi oleh beberapa orang kepercayaannya dan Nichol
Read more

46

Adrian hanya mengedikkan bahunya. “Aku tidak sengaja menyenggolnya,” katanya dengan santai. Ia melambaikan satu tangannya yang masih terluka. “Aku mencoba untuk membersihkannya, namun terlepas dari genggamanku.”Pelayan pria yang sedang menyibukkan dirinya dengan membereskan kaca tersebut langsung menoleh ke arahnya. “Eh?” serunya. “Yang Mulia tidak perlu membersihkannya sendiri. Anda bisa memanggil saya atau pelayan lainnya.”Adrian menoleh ke arahnya. “Aku pikir tidak ingin merepotkan karena sudah malam.” katanya.“Ini adalah pekerjaan untuk kami.” pelayan tersebut menjelaskan. “Tentu saja kami tidak akan masalah walaupun Anda memanggil kami waktu subuh.” Adrian tidak mengatakan apapun, ia hanya menganggukkan kepalanya.Adrian dan Iris duduk bersebelahan di sofa. Pangeran tersebut duduk bersandar dengan santai dengan satu lengannya
Read more

47

Dengan udara segar yang mendinginkan pipinya, Iris bersenandung pelan saat ia berjalan ke dapur dari kamarnya. Ini sudah menjadi kebiasaannya setiap pagi, tapi hari ini ia lebih menikmati jalan-jalan. Pagi ini, sudah ada beberapa pelayan wanita bersama dengan pelayan pria sedang membicarakan berbagai desas desus sebelum memulai kegiatan mereka di ujung dapur. Iris mengatupkan bibir saat menuangkan jus jeruk segar ke dalam gelas kaca. Bau bumbu dan telur orak-arik menguar dari kompor yang berada tepat di belakangnya, sisa kulit jeruk yang masih belum dibuang berserakan di atas papan kayu di konter di depannya. Iris mengambil tempat favoritnya, meja yang menghadap ke halaman rumput yang selalu dipangkas rutin. “Iris…” Iris baru saja duduk sebelum ia mendengar suara Aria yang memanggilnya. 
Read more

48

“Aku tidak percaya kalau aku akan mendengar berbagai desas desus sepagi ini,” Aiden memejamkan kedua matanya, satu tangannya menyisir rambutnya, menyingkirkan helaian rambut yang selalu menutup dahinya.Iris hanya tertawa pelan. “Tapi apakah yang mereka katakan benar?” tanyanya.“Sebagian benar, namun Adrian sendiri sangat menolak ajuan ayahnya,” kata Aiden. “Ia tidak berhenti mengoceh semenjak pertunangannya yang tidak diinginkan menjadi topik pembicaraan pelayan—” ia berhenti sejenak, seperti sedang berpikir sebelum kembali melanjutkan perkataannya. “...Sekarang aku tahu kenapa Adrian selalu berusaha kabur dariku,”“Kenapa?” tanya Iris dengan pelan, ia tersenyum samar.“Sama seperti Adrian yang tidak berhenti mengomel, aku juga sering melakukan itu padanya,” Aiden berkata dengan sedikit canggung, mengusap tengkuknya perlahan. Melihat itu, Iris hanya tertawa. Ada sedikit rasa kasihan kepada Aiden, namun di sisi lain, Iris juga
Read more

49

Iris memicingkan kedua matanya. Ia tidak berhenti menarik nafas dan menghembuskan perlahan selama beberapa menit. Ia juga sesekali melirik ke belakangnya, berharap kalau orang yang sedang mengikutinya hanyalah sebuah imajinasinya saja— berharap orang di belakangnya akan menghilang setelah beberapa menit atau setelah beberapa kali Iris memejamkan mata dan menarik nafasnya.“Kenapa kau terus-menerus bernapas seperti itu?” Caswell bertanya. Namun, nyatanya realita tidak sesuai dengan harapan. Mereka sedang berjalan berdua di koridor. Iris mencoba berjalan dengan cepat, namun hal tersebut tidak menghasilkan apapun karena Caswell yang memiliki kaki jenjang dan tentu saja tinggi tubuhnya yang melebihi Iris tidak akan memiliki masalah untuk mensejajarkan langkah mereka.Langkah kaki Iris menjadi lebih pelan, seperti ia ragu untuk berhenti atau berjalan seperti biasa. Ia melirik ke arah Pangeran tersebut. “...Maaf, Yang Mulia…” katanya dengan pelan. “Apa…Apa anda
Read more

50

Iris mempertanyakan kepada dirinya sendiri— ‘Apa yang sebenarnya  Pangeran Caswell dapatkan hanya dengan mencari tahu apa yang dapat ia lakukan, apa yang seorang penyihir dapat lakukan?’ Ada kemungkinan yang sangat kecill bagi dirinya untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan tersebut, jadi ia hanya menggelengkan kepalanya, mengabaikan hal tersebut.Caswell menatap keluar dengan tatapan datar. Iris mengikuti arah pandangnya dan melihat kumpulan pengawal yang sedang berlatih. Saat itu tengah hari dan matahari yang terik menerpa punggung siapapun yang berada di luar sana. Suara pedang latihan yang terbuat dari kayu mengayun kesana kesini, menahan pukulan demi pukulan, masing-masing jatuh lebih cepat dari yang terakhir. Di saat itu, Iris baru menyadari betapa dekat posisinya dengan area berlatih karena ia dapat mendengar suara dari pedang kayu yang saling beradu tersebut.“Sepertinya aku sudah cukup mengikutimu siang ini,” Caswell berkata tiba-tiba, kedua ka
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status