Semua orang sudah kembali setelah matahari terbenam. Iris yang biasanya bertahan hingga larut pun sudah kembali terlebih dahulu, meninggalkan Max sendirian di farmasi. Suasana malam sangat hening hingga suara jangkrik dari taman serta air mancur yang mengalir pun terdengar jelas.
Max dapat mendengar suara langkah kaki yang mendekat dari koridor. Ia melihat ke arah jam dan waktu menunjukkan saat itu sudah tengah malam. Indra penciumannya yang lebih tajam dari orang biasa membuatnya menyadari siapa yang datang Saat suara tersebut berhenti, seseorang menjulurkan kepalanya masuk ke dalam farmasi dan Max mengenali seseorang dengan rambut perak yang terlihat sangat mencolok dimanapun ia berada. Pangeran Adrian.
“Apa yang kau mau, Max?” itulah kalimat pertama yang Adrian katakan ketika ia datang ke farmasi pada tengah malam. Seluruh ruangan farmasi bercahaya remang-remang, hanya terdapat cahaya redup dari lampu meja. Ia melihat Max sedang duduk
Pada malam itu, bulan purnama muncul dengan posisi tertingginya. Iris pergi ke rumah kaca sendirian dan membawa beberapa toples kaca yang telah berisi air hujan. Iris mencari satu spot yang terkena sinar bulan dan mulai meletakan setiap toples kaca tersebut beserta beberapa batu kristal yang selalu ia bawa. Tujuannya adalah untuk memurnikan air tersebut untuk menahan sihirnya agar tidak mudah untuk terlihat. Iris selalu menggunakan air tersebut untuk di usapkan pergelangan tangan, leher, dan belakang telinga— seperti sedang memakai parfum, namun satu perbedaannya adalah air tersebut tidak mengeluarkan aroma apapun. Sebenarnya, Iris tidak perlu melakukan hal tersebut. Namun, ia tidak ingin mendapatkan perhatian berlebihan hanya karena ia adalah seorang penyihir. Hal lainnya adalah karena ia menyadari keberadaan vampire di istana tersebut. Penyihir dan vampire bukanlah dua ras yang akan saling bersahabat satu sama lainnya. Beberapa kali Iris membaca buku sejarah
Iris berjalan menuju di pintu gerbang istana, merapatkan jubah panjangnya. “Kalau saja aku tidak lupa untuk membawa jubahku sendiri…” Iris menggerutu, memperhatikan jubah yang sedang ia kenakan. Sama seperti seragamnya, jubahnya juga terasa sangat berbeda di bawah sentuhan kulitnya. Jubah yang ia kenakan berwarna hitam dengan emblem kerajaan terbordir dengan benang perak dengan sangat detail pada bagian kiri. Iris menerima jubah tersebut dari Aria karena Aria mengatakan padanya bahwa ia sendiri meminta seragam tersebut untuk dibuatkan dengan alasan bahwa pekerjaan mereka memungkinkan untuk keluar istana dan menggunakan jubah resmi akan sangat membantu dengan identitas. Iris berpikir dengan keras. “Apa lebih baik aku pura-pura sakit saja? Atau meminum ramuan yang bisa membuatku langsung pingsan?” ia bergumam dengan sangat pelan. “
Iris tidak dapat menghilangkan rasa penasarannya. Sebab ketika mereka sedang berjalan untuk kembali ke istana, ia melewati satu taman yang entah kenapa lebih ramai dari biasanya. Di sana mereka menemukan anak-anak menarik-narik lengan baju ibu mereka dan menuntut jawaban, wajah mereka terlihat seperti mengharapkan sesuatu, sementara anak-anak yang lebih tua melompat dengan riang gembira. Para orang dewasa berkumpul dalam kelompok, setelah meninggalkan posisi yang biasanya mereka tempati, dan ada cukup banyak isyarat, gelengan kepala atas ketidakpercayaan dan tangan yang saling mengatup. “Apa yang terjadi?” Tanya Adrian.“Apa yang membuat mereka semua terlihat gembira dan terkagum-kagum seperti ini?” “...Saya tidak tahu,” salah satu pengawal menjawab. Ia juga melihat sekelilingnya dengan heran.
Adrian berdiri di tengah koridor sendirian, menoleh dengan pelan ke jendela dan menatap lurus ke arah pantulan dirinya sendiri pada kaca jendela dengan tatapan datar. Ia sendiri dapat melihat wajahnya sangat pucat. Ia mengambil nafas perlahan dan memejamkan kedua matanya, meletakan satu tangannya di dada kiri— merasakan detakan jantungnya sendiri. Seakan-akan jantungnya tiba-tiba berhenti berdetak. Adrian masih sadar ketika ia merasa tubuhnya bergoyang sebelum terjatuh ke lantai marmer. Iris yang saat itu sedang kebetulan berada di lokasi yang tidak jauh, mendengar suara yang cukup keras. Tanpa membuang waktu, Iris langsung berbalik dan mencari asal suara tersebut. Iris sangat terkejut ketika ia melihat Pangeran tersebut sudah tergeletak di lantai. “Yang Mulia!” Iris langsung berlari ke arahnya, tanpa mempedulikan buku
Setelah menunggu selama beberapa saat diluar kamar, Iris melihat keluar jendela. Warna jingga pada langit membentang jauh dan luar, pertanda malam akan segera tiba dan waktunya dunia beristirahat sekali lagi. Perputaran waktu yang tidak ada hentinya setiap hari. Iris pun memutuskan untuk kembali ke farmasi. Ia memutar tubuhnya dengan tiba-tiba, menabrak pelayan yang sedang berada di belakangnya. Iris langsung bergumam permintaan maaf.Ia baru mengambil beberapa langkah, ia melihat Aiden muncul dari balik dinding. “Oh? Iris?” Aiden berseru, ia bersama dengan pengawal yang biasanya selalu mengikuti Pangeran Adrian. Iris mengenali wajah mereka. Aiden mulai berjalan sedikit lebih cepat untuk mendekati Iris. Saat itu, Iris menyadari raut kebingungan tercetak pada wajahnya. “Kenapa kau diluar? Aku kira kau akan bersama dengan Max sekarang,” tanyanya.Iris menoleh ke arah pintu kamar Pangeran dari
Seperti biasanya, lapangan area berlatih selalu ramai dengan belasan orang yang berlatih senjata, entah itu pedang atau panah. Area tersebut hanya akan sepi saat hujan atau ketika musim dingin tiba. “Itu adalah akhir dari sesi latihan hari ini. Pastikan untuk berlatih secara berkala.” Iris langsung menoleh ketika ia mendengar suara tersebut. Suara dari orang-orang disana pun mengikuti dengan nada keras dan lantang. “Terima kasih untuk hari ini, Yang Mulia!” Suara tersebut membuat langkah kakinya terhenti. “Suara siapa itu…?” Iris bergumam pada dirinya sendiri, berusaha mengingat siapa pemilik suara tersebut namun ia tidak dapat mengingatnya. “Apa Pangeran Adrian sudah mulai kembali melatih?” Iris berpikir dan juga mengingat kalau Max sudah mengatakan bahwa Pangeran sudah kembali melakukan kegiatannya seperti biasa. “Aku tahu vampire memiliki kemampuan menyembuhkan diri mereka dengan cepat, tapi apa secepat itu?” Iris berjalan mendekati area berlat
Ada jarak sekitar tiga meter yang memisahkan Iris dengan Pangeran Caswell. Berbeda dengan Caswell yang berdiri dengan tegak dan menyeringai ke arahnya. Iris berhasil mengatakan sesuatu setelah ia terdiam selama beberapa saat-- memikirkan berbagai hal di dalam kepalanya. Iris tertawa pelan dengan tawa yang terpaksa. “Apa yang anda—” “Kau tidak membantah ataupun mengiyakan,” kata Caswell. Seringaian masih tercetak dengan jelas pada wajahnya, menunjukkan deretan giginya yang putih. Menunggu apa yang hendak Pangeran Caswell katakan membuat jantung Iris berdetak dengan sangat cepat dan wanita muda tersebut juga dapat merasakan keringat dingin mulai mengucur. Caswell tersenyum puas ketika ia melihat reaksi tersebut dari Iris— menurutnya itu seperti sedang menyaksikan lawannya yang terpojok— sedang bertaruh hidup atau mati. “Apa kau penasaran bagaimana aku bisa tahu? Jawabannya adalah Insting.” Caswell menjawabnya tanpa ragu.
Bahkan di bawah selimut tipis, Adrian dapat merasakan panas tubuhnya semakin tinggi dan cuaca panas pada minggu itu juga hanya memperburuknya. Badannya terasa pegal, ia bahkan dapat merasakan panas ketika menyentuh wajahnya sendiri. Adrian bahkan tidak memiliki tenaga untuk bangkit dari tidurnya ataupun mengomel. Nafasnya pendek, terengah-engah setiap kali ia menghirup udara, paru-parunya tidak punya pilihan selain menghirup udara di sekitarnya. Adrian tidak makan apa-apa selain sup yang paling encer dan terasa hambar, jadi nafsu makannya berkurang. Aiden bisa mendengar ia terbatuk bahkan dari luar pintu. “Aku rasa aku perlu meminta Max datang kesini rutin untuk memantaumu,” Aiden masuk ke kamarnya dengan seorang pelayan wanita mengikutinya dari belakang, membawa sebuah nampan. Aiden memberi instruksi kepada pelayan tersebut untuk meletakkan nampannya di atas meja yang berada di ujung kamar. Adrian masih tiduran di
Waktu sudah melewati pukul dua belas malam dan Iris melihat ke arah panci yang saat itu sedang merebus pasta. Bagaimana ia bisa melewati jam makan malam? Iris bertanya-tanya kepada dirinya sendiri. Ia memeriksa rebusan pastanya untuk mengecek apakah sudah siap untuk diolah kembali dengan saus tomat yang memang sudah tersedia di dapur. Dengan banyaknya orang yang butuh makan di seluruh istana tersebut, para pekerja di dapur selalu mempersiapkan berbagai bahan siap masak dalam jumlah banyak, bahkan lebih dari cukup apabila ada orang-orang lain seperti Iris yang membutuhkan makan di luar jam makan.Iris tersenyum puas ketika melihat hasil masakannya sendiri. Ia memang bukan orang yang pintar dalam urusan memasak, namun tidak terlalu buruk juga hingga membuat berbagai kekacauan di dapur. “Terima kasih, ibu karena selalu memaksaku untuk membantu di dapur,” gumamnya, tertawa pelan. “Ternyata karena itu, aku masih dapat memasak untuk diriku di saat seperti ini,” matanya melih
Kisah-kisah bertema romansa sudah sangat dikenal luas, tentang mencintai dan kehilangan, tentang kerinduan dan kelupaan, umum di masa sekarang seperti tahun-tahun yang lalu, tentang mencintai seseorang begitu dalam, tanpa keinginan tetapi bukan tanpa hasrat, tentang raja dan pejuang, tentang kekasih dan saudara.Tentu saja banyak cerita, sama tragisnya, tentang bagaimana seorang pria yang membunuh kekasihnya karena membuatnya merasakan apa yang dianggap tidak perlu, kekasihnya yang menawarinya sedikit anyelir putih, berlumuran darah, tetapi ia mengangkat tangannya. pedang dan memotong daging, hanya untuk mengikuti beberapa hari kemudian dalam kesedihannya.Adrian duduk di salah satu meja di perpustakaan, satu sikunya bertumpu di atas meja sambil menopang berat kepalanya saat ia duduk dengan malas, sementara tangan lainnya membolak-balik lembaran halaman dari buku fiksi yang ia temukan pada salah satu rak. “Aku tidak paham kenapa ada orang yang menyukai cerita seper
Max mengerutkan keningnya. “Jadi? Kau akan menolaknya?” tanyanya, kedua tangannya sibuk membereskan apapun yang terlihat berantakan di atas meja. Merapikan tumpukan buku, kertas dan mengembalikan pena ke tempatnya semula. Arah matanya bergantian menatap Iris dan memperhatikan apa yang sedang ia rapikan.“Aku tidak tahu,” jawab Iris. Di saat yang sama, Iris menyadari penampilan Max. ada lingkaran hitam dibawah matanya, samar tapi tetap dapat dilihat. “Max? Kau belum tidur?” tanyanya.“Ya dan kelopak mataku terasa sangat berat sekarang,” Max menjawab, memijat pangkal hidungnya perlahan. “Aku akan beristirahat sekarang, kecuali kalau ada hal lain yang ingin kau katakan?” lanjutnya.Iris dengan cepat menggoyangkan kedua telapak tangannya. “Tidak, tidak ada lagi,” jawabnya dengan cepat.Max dengan cepat berdiri, sambil bertanya lagi. “Apa kau menjadi bimbang?” Ia mengambil jaketnya yang tergantung di balik pintu dan alih-alih memaka
“Yang Mulia…?” Iris membeku ketika ia melihat Adrian mulai memuntahkan kelopak bunga lagi, napasnya terengah-engah sementara tangannya memegang tenggorokannya, seperti ia akan mencekik lehernya sendiri. Tubuh Iris seolah bergerak sendiri, dan ia mendapati dirinya berada di samping sang pangeran panik sambil menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut. Kulit pucat Adrian terlihat sangat kontras dengan warna merah saat darah berceceran di karpet bercampur dengan kelopak bunga berwarna putih yang telah bercampur dengan warna merah.Di saat yang sama, kedua orang tersebut memikirkan hal yang sama— berharap kalau semua itu hanya mimpi.Iris meringis dan menatap Pangeran di hadapannya dengan rasa cemas. “Apakah…selalu seburuk ini? Setiap saat?” tanyanya dengan pelan dan hati-hati. Ia perlu tahu apakah selama ini yang ia lihat hanya sebagian kecil dari apa yang menimpanya.“...Tidak,” Adrian terbatuk lagi, namun kali ini Iris menyadari sepertinya ia b
“Bisa saja,” Iris menjawab tanpa ragu. “Tapi aku harus kembali ke kamarku dan mengambil beberapa barang dari farmasi terlebih dahulu.”Adrian mengedipkan kedua matanya berkali-kali. Ia benar-benar tidak menyangka bahwa Iris akan menyetujuinya begitu saja. “Aku tidak tahu wanita ini terlalu tulus atau memang terlalu polos…” pikirnya.“Aku akan segera ke ruanganmu setelah aku menyiapkan yang diperlukan,” kata Iris, memberikan salam sebelum ia bergegas pergi. Adrian yang masih menatap punggung Iris yang semakin menjauh darinya, hanya menggelengkan kepalanya, tidak percaya apa yang baru saja terjadi. Ia tidak menyangka Iris akan langsung mengiyakan perkataannya soal memeriksa dirinya di ruangannya— yang sebenarnya, Adrian mengatakan hal tersebut dengan spontan tanpa memikirkannya sama sekali.“...Terkadang aku tidak paham apa yang ada di dalam pikirannya,” Adrian bergumam pelan, mengusap tengkuknya perlahan sambil berbalik arah un
Iris mempertanyakan kepada dirinya sendiri— ‘Apa yang sebenarnya Pangeran Caswell dapatkan hanya dengan mencari tahu apa yang dapat ia lakukan, apa yang seorang penyihir dapat lakukan?’ Ada kemungkinan yang sangat kecill bagi dirinya untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan tersebut, jadi ia hanya menggelengkan kepalanya, mengabaikan hal tersebut.Caswell menatap keluar dengan tatapan datar. Iris mengikuti arah pandangnya dan melihat kumpulan pengawal yang sedang berlatih. Saat itu tengah hari dan matahari yang terik menerpa punggung siapapun yang berada di luar sana. Suara pedang latihan yang terbuat dari kayu mengayun kesana kesini, menahan pukulan demi pukulan, masing-masing jatuh lebih cepat dari yang terakhir. Di saat itu, Iris baru menyadari betapa dekat posisinya dengan area berlatih karena ia dapat mendengar suara dari pedang kayu yang saling beradu tersebut.“Sepertinya aku sudah cukup mengikutimu siang ini,” Caswell berkata tiba-tiba, kedua ka
Iris memicingkan kedua matanya. Ia tidak berhenti menarik nafas dan menghembuskan perlahan selama beberapa menit. Ia juga sesekali melirik ke belakangnya, berharap kalau orang yang sedang mengikutinya hanyalah sebuah imajinasinya saja— berharap orang di belakangnya akan menghilang setelah beberapa menit atau setelah beberapa kali Iris memejamkan mata dan menarik nafasnya.“Kenapa kau terus-menerus bernapas seperti itu?” Caswell bertanya. Namun, nyatanya realita tidak sesuai dengan harapan. Mereka sedang berjalan berdua di koridor. Iris mencoba berjalan dengan cepat, namun hal tersebut tidak menghasilkan apapun karena Caswell yang memiliki kaki jenjang dan tentu saja tinggi tubuhnya yang melebihi Iris tidak akan memiliki masalah untuk mensejajarkan langkah mereka.Langkah kaki Iris menjadi lebih pelan, seperti ia ragu untuk berhenti atau berjalan seperti biasa. Ia melirik ke arah Pangeran tersebut. “...Maaf, Yang Mulia…” katanya dengan pelan. “Apa…Apa anda
“Aku tidak percaya kalau aku akan mendengar berbagai desas desus sepagi ini,” Aiden memejamkan kedua matanya, satu tangannya menyisir rambutnya, menyingkirkan helaian rambut yang selalu menutup dahinya.Iris hanya tertawa pelan. “Tapi apakah yang mereka katakan benar?” tanyanya.“Sebagian benar, namun Adrian sendiri sangat menolak ajuan ayahnya,” kata Aiden. “Ia tidak berhenti mengoceh semenjak pertunangannya yang tidak diinginkan menjadi topik pembicaraan pelayan—” ia berhenti sejenak, seperti sedang berpikir sebelum kembali melanjutkan perkataannya. “...Sekarang aku tahu kenapa Adrian selalu berusaha kabur dariku,”“Kenapa?” tanya Iris dengan pelan, ia tersenyum samar.“Sama seperti Adrian yang tidak berhenti mengomel, aku juga sering melakukan itu padanya,” Aiden berkata dengan sedikit canggung, mengusap tengkuknya perlahan. Melihat itu, Iris hanya tertawa. Ada sedikit rasa kasihan kepada Aiden, namun di sisi lain, Iris juga
Dengan udara segar yang mendinginkan pipinya, Iris bersenandung pelan saat ia berjalan ke dapur dari kamarnya. Ini sudah menjadi kebiasaannya setiap pagi, tapi hari ini ia lebih menikmati jalan-jalan. Pagi ini, sudah ada beberapa pelayan wanita bersama dengan pelayan pria sedang membicarakan berbagai desas desus sebelum memulai kegiatan mereka di ujung dapur.Iris mengatupkan bibir saat menuangkan jus jeruk segar ke dalam gelas kaca. Bau bumbu dan telur orak-arik menguar dari kompor yang berada tepat di belakangnya, sisa kulit jeruk yang masih belum dibuang berserakan di atas papan kayu di konter di depannya. Iris mengambil tempat favoritnya, meja yang menghadap ke halaman rumput yang selalu dipangkas rutin.“Iris…” Iris baru saja duduk sebelum ia mendengar suara Aria yang memanggilnya.