Home / Pernikahan / Suami Tak Sempurna / Chapter 21 - Chapter 30

All Chapters of Suami Tak Sempurna: Chapter 21 - Chapter 30

241 Chapters

Episode 21. Marcell Williams

"Ferrari Pininfarina Sergio," gumam seseorang tak dikenal dengan wajah terpelongok ketika menatap sebuah mobil merah tua melaju melewatinya dengan kecepatan tinggi. Harga mobil itu berkisar dua hingga tiga juta dolar! Pengemudinya tak lain adalah Marcell Williams, seorang pemuda tampan berusia 18 tahun. Dia bukanlah anak orang kaya biasa, dia dikenal sebagai cucu satu-satunya pemilik perusahaan besar dan ternama, Williams Global Corporation, Reyhans Williams. Begitu sampai di lokasi balap mobil, sekelompok orang langsung menyambut Marcell dengan penuh semangat.   Balapan mobil adalah salah satu hobi yang paling digemari Marcell. Sayangnya Reyhans dan kedua orang tuanya, Sally dan Albert, tidak menyukai hobinya itu. Alasannya sederhana, karena balap mobil bisa membahayakan nyawa Marcell. Marcell adalah penerus satu-satunya perusahaan Keluarga Williams di masa depan. Jika terjadi sesuatu pada Marcell, apa gunanya kekayaan yang begitu berlimpah ini? Tetapi Marcell
Read more

Episode 22. Lelaki Ideal Hana

Ah, Hana tak berniat menjahili Green, dia cuma ingin iseng saja, ingin kembali melihat wajah malu itu. Saat tangan Green terulur ke ranjang untuk mengambilnya, Hana tiba-tiba langsung memungut pakaian itu. Hana menatap Green yang terkesiap. Tuh kan! Wajah Green semakin memerah, pasti karena ia melihat CD-nya berada di tangannya. Hahahahahha! Hana ingin terbahak-bahak. Baru kali ini dia menghadapi sosok lelaki seperti Green. "Kenapa dia gampang sekali malu?" tanya Hana di dalam hati karena merasa lucu.   "Ini pakaianmu." Hana mendekat dan memberikannya pada Green. Ia berpura-pura tidak tahu atas apa yang membuat Green malu barusan. Green langsung menerima semuanya dan segera hendak masuk kembali ke dalam toilet.   "Green, kenapa ke situ? Ada ruang pakaian, kan." Hana turun dari ranjang dan menghampiri pintu walk in closet. "Ganti pakaian di sini saja." Hana membuka pintu ruang pakaian itu.   "Oh?" Green terkejut. Ia mende
Read more

Episode 23. Genggaman Hangat

"Maafkan aku, Green." Hana memutuskan untuk jujur saja. Berbohong pun pasti Green akan tetap curiga. "Aku cuma ingin menolongmu sampai tuntas. Aku hanya bermaksud menghilangkan secara tuntas keinginanmu untuk bunuh diri."   Green diam menatap Hana yang memasang tampang bersalah. Hana memegang lengan Green dengan kedua tangannya. "Kamu tidak akan berniat untuk bunuh diri lagi, kan, walaupun kenyataannya aku berbohong?"   Green menunduk, dia tersenyum kecut. "Tadinya aku pikir dengan tidak lagi berniat bunuh diri, aku sudah menolong seseorang, ternyata aku cuma ditipu."   Hana semakin merasa bersalah mendengar kalimat itu. Dia kembali menjadi khawatir kalau-kalau Green malah nekat kembali untuk bunuh diri. Apa yang harus dia lakukan?   "Aku sungguh-sungguh minta maaf. Aku tidak tahu apa persoalan yang kamu alami hingga ingin bunuh diri. Jadi aku mengambil jalan seperti itu. Seandainya aku tahu persis p
Read more

Episode 24. Epilepsi Simptomatik

Hana keluar dari toilet, dia baru saja selesai menyikat gigi. "Green, kamu tidak sikat gigi? Kan mau tidur?" ucap Hana melihat Green ternyata sudah berbaring di sofa. Mereka saat ini sudah berada di dalam kamar Hana.   "Sikat gigi?" Mata Green terbuka. Terkadang Green memang melewatkan aktivitas sikat gigi saat malam, apalagi kalau sudah mengantuk seperti saat ini.   "Iya, jangan bilang kalau kamu mau langsung tidur," ucap Hana dengan nada tak percaya.   Green terdiam, karena memang tadi ia berniat untuk langsung tidur. Mata Hana melebar. "Jadi benar kamu mau langsung tidur tadi?"   "Um, aku..aku akan sikat gigi!" jawab Green gugup. Dia melawan rasa malasnya dan langsung beranjak pergi ke toilet.   Melihat Green sudah beranjak ke kamar mandi, Hana pergi ke ruang pakaian untuk mengambil seprei, selimut dan beberapa bantal. Karena sofa itu akan menjadi tempat tidur Green, Hana mela
Read more

Episode 25. Keinginan Memiliki

Pagi tiba. Ini adalah hari Minggu. Hana dan Green sedang memakan sarapan bersama di ruang makan. Seperti kemarin, Green dan Hana duduk berdampingan. Green sarapan sambil memandangi segelas susu hangat di dekatnya. Di keluarga Assa bisa dikatakan hampir tidak pernah ia meminum susu. Tetapi Green tidak pernah mengeluhkan hal itu. Dia selalu mensyukuri apa saja yang tersedia di rumah keluarga Assa.   "Green, apa kamu terbiasa mengikuti acara ibadah?" tanya Hana tiba-tiba setelah meminum susu hangat miliknya.   "Um, tidak," jawab Green singkat.   "Pagi ini aku akan pergi beribadah. Setiap minggu aku memang terbiasa melakukannya. Apa kamu mau ikut?" ajak Hana.   Green terdiam. Seumur hidupnya tidak pernah ada orang lain yang mau mengajaknya pergi bersama seperti ini. "Kalau kamu tidak keberatan membawaku, aku akan ikut," tanggap Green dengan wajah serius.   "Tentu saja aku tidak keber
Read more

Episode 26. Hati Nurani

Green dan Hana kini berada di tempat ibadah. Dan saat ini mereka sedang mendengarkan khotbah.   "Green, tadi di kitab mana?" Hana berbisik pada Green, sedari tadi ia mencari dari aplikasi kitab suci di ponselnya, tetapi tidak menemukannya. Mulut Green terbuka, ia terkejut tiba-tiba Hana bertanya padanya. Jujur saja dia tidak menyimak apa yang disampaikan si pembawa khotbah. Pikiran Green berada di tempat lain. Tadi di rumah sewaktu Hana bertelepon pada ibunya, Green cukup menyimak ucapan Hana pada Jihan bahwa setelah beribadah, rencananya mereka akan langsung pergi ke satu tempat di mana keluarga Hana berada. Sesungguhnya Green cukup cemas akan hal itu. Dia sudah melihat sendiri Tuan dan Nyonya Winata memberikan tatapan jijik terhadapnya kemarin. Apa yang akan terjadi nanti di sana?   "Aku tidak tahu, aku kurang menyimaknya," jawab Green dengan berbisik juga.   "Hah? Hmm, baiklah." Hana mencoba mencari-cari lagi, tetapi
Read more

Episode 27. Pertemuan Keluarga Winata

Begitu masuk, seorang pelayan menyambutnya. "Nona Hana, silakan ditunggu di ruang keluarga." "Tunggu sebentar. Siapa saja yang ada di ruang keluarga?" Hana melihat beberapa mobil diparkir di sana, jadi dia menanyakan pelayan untuk mempersiapkan hati. "Seluruh keluarga Winata hadir, Nona Hana." "Apa? Semua hadir?" Mata Hana terbelalak. Tentu saja semua hadir. Siapa yang tidak terkejut mendengar Hana, cucu perempuan yang paling diandalkan Nyonya besar Erina Winata untuk masa depan keluarga Winata, malah menikah secara mendadak? Ditambah lagi suami yang dinikahinya memiliki penyakit epilepsi. Ini adalah masalah yang sangat serius, dan harus segera diselesaikan. "Iya, Nona. Mari silakan." Hana dan Green berjalan melewati ruang tamu dan kemudian memasuki ruang keluarga. Semua yang berada di ruang besar itu langsung menatap Hana dan Green. Hana mendadak tersenyum, untuk melarutkan aura
Read more

Episode 28. Perdebatan

"Keputusanku, hari ini juga kalian harus berpisah! Anggap pernikahan itu tidak terjadi. Lebih baik hadapi ancaman skandal secara langsung daripada mundur, padahal ujung-ujungnya kalian tetap akan menghadapinya. Cepat atau lambat keluarga Milan akan membongkar pernikahanmu dan juga skandal itu!" jelas Nyonya besar Erina dengan nada kesal. "Nek, alasan papa menuruti keluarga Milan dengan menikahkan kami, itu untuk mengulur waktu supaya aku punya kesempatan meyakinkan Marcell, sebelum Marcel mendengar berita skandal itu dari mereka. Lagian keluarga Milan sudah menyaksikan sendiri pernikahan kami. Bagaimana bisa aku menyangkal pernikahan itu?" Hana mengerutkan keningnya. "Itu sebabnya harusnya kalian tidak menikah! Tetapi soal pernikahan yang disaksikan keluarga Milan, katakan saja yang sebenarnya, bahwa merekalah yang memintamu menikah sebagai syarat agar skandal itu tidak disebar. Intinya sekarang juga pernikahan ini harus kau akhiri. Aku ingi
Read more

Episode 29. Pengecut

Pertemuan keluarga Winata berlangsung dengan cukup menegangkan, apalagi Erina mengeluarkan ancaman seperti itu terhadap Anton. "Itu adalah hak Mama. Terserah jika Mama pada akhirnya memutuskan seperti itu." Itulah tanggapan Anton atas ancaman Nyonya besar Erina Winata.  "Tentu saja. Itu sepenuhnya hakku!" Setelah berucap seperti itu, Nyonya besar Erina Winata beralih pada Hana. "Seperti kata papamu, katanya kau akan mampu meyakinkan Marcell. Apa kau memiliki kepercayaan diri yang sama?" "Tentu saja, Nek." Hana menjawab dengan singkat. Setelah itu, ia memutuskan untuk undur diri. Sebenarnya sudah sedari tadi ia tidak betah duduk di sana begitu keluarganya terus saja sibuk menghina Green dalam perdebatan mereka. "Kenapa terburu-buru, Hana? Jarang-jarang kita bisa berkumpul seperti ini. Kita semua berencana akan makan siang bersama setelah pembicaraan selesai." Bibi Felisa menahan Hana.&nbs
Read more

Episode 30. Rasa Suka

Hana melajukan mobilnya meninggalkan rumah Nyonya Besar Erina Winata. Suasana tampak hening di dalam mobil. Baik Hana maupun Green masing-masing berkutat pada pemikirannya sendiri. Saat ini, Hana merasa marah. Kenapa keluarga Winata begitu sombong? Dari dulu selalu seperti itu, memandang rendah orang yang berada di bawahnya. Harusnya saat seseorang jatuh dan terluka kita harus segera menolongnya, tetapi keluarganya malah menertawakan Green saat Green terjatuh seperti itu. Benar-benar sulit diterima akal sehat! Hana benar-benar kesal dan merasa malu punya keluarga yang seperti itu. Neneknya begitu marah pada Green, padahal salah Green tidak ada sama sekali. Paman-pamannya dan juga sepupu-sepupunya juga sangat keterlaluan. "Benar-benar gila!" umpatnya dalam hati. Hati Hana mendadak sedih, saat memikirkan sikap neneknya tadi. Padahal dia adalah cucu kesayangan neneknya. Tetapi hanya karena dia tidak sengaja berbuat satu kesalahan, neneknya lang
Read more
PREV
123456
...
25
DMCA.com Protection Status