Home / Pernikahan / Talak Tiga / Chapter 1 - Chapter 10

All Chapters of Talak Tiga: Chapter 1 - Chapter 10

47 Chapters

1. Mendadak Ditalak

 "Aku talak kamu! Aku talak kamu! Aku talak kamu!"Seketika langit terasa runtuh, seperti ada batu besar yang menghantam hatiku, bertubi-tubi. Rasanya sakiiiit, seperti ditusuk-tusuk sembilu. Apa salahku? Tiba-tiba ditalak seperti ini?Mataku terasa pedih dan panas, seketika air mata sudah berderai, jatuh bak anak sungai.  Leherku seperti tercekat, lidahkupun terasa kelu. Aku sudah tak punya pijakan. Hancur. Hancur sehancur-hancurnya.Mas Andri, lelaki yang selama delapan tahun belakangan ini menemaniku, tiba-tiba menalakku tanpa alasan. Kami berbagi suka dan duka bersama, bahkan aku menerima keadaannya yang sulit mempunyai keturunan. Lalu kenapa dia tega menceraikanku?Aku duduk terkulai di lantai. Rasanya sudah tak punya tenaga untuk berdiri.Bruukk...Dia melemparkan tas ransel dan beberapa helai pakaian ke tubuhku. Dadanya masih terlihat naik turun menahan amarah. Tangannya terkepal, matanya nyalang merah dengan gigi berg
Read more

2. Dikucilkan

Aku berjalan dengan gontai, meninggalkan kerumunan warga. Mata-mata mereka mengikuti kemana langkahku pergi."Padahal kelihatannya alim ya, kok bisa gitu..." Masih kudengar selentingan-selentingan suara yang memojokkanku. "Iya benar, dia kan jarang kemana-mana kok bisa selingkuh? Cuma salah paham kali," sahut yang lain ikut menimpali."Kalau cuma salah paham, gak mungkin Mas Andri sampai marah-marah begitu.""Mungkin emang benar, dia wanita murahan. Ih gak banget deh! Padahal penampilannya sederhana begitu, tapi kok bisa-bisanya selingkuh. Ngumbar video porno pula!" "Emangnya bener itu videonya??""Iya, aku dah lihat lho video itu di Facebook, ih menjijikan! Gak tahu malu!" timpal yang lain masih terus memojokkanku. "Siapa nama akunnya?""Cari aja Amira, akunnya masih baru sih, tapi isinya video telanjang begitu, iih..."Bisik-bisik itu masih terus terngiang di telingaku. Astaghfirullah hal'adzim... Vid
Read more

3. Ternyata ...

POV AndriSatu hari sebelumnya"Aku kangen sekali padamu, Mira," ucapku dengan lirih sembari memandang fotonya di galeri ponselku.Delapan tahun menikah, namun perasaanku padanya tidak berubah, masih seperti dulu. Aku mencintainya, bahkan saat ini rasa rinduku begitu membuncah. Rasanya sudah tak sabar ingin pulang dan melihat paras wajahnya yang ayu. Aku tersenyum membayangkan dia menyambutku dengan hangat. Dia yang manja akan bergelayut di lenganku. Lalu sampai kamar aku akan memeluknya dan menciumnya dengan mesra.Aku sudah bersiap-siap untuk pulang, dengan sebuah tas ransel di punggung. Seminggu sekali aku pasti pulang ke rumah, untuk menemui istri dan ibuku. Tiba-tiba sebuah pesan WA masuk dari Mbak Lani. Dia mengirimkan foto-foto istriku bersama seorang lelaki.[Maafkan aku ya Mas Andri, ini kelakuan istrimu di belakangmu. Dia berselingkuh sama si mas-mas yang ada di foto itu. Aku sering lihat mereka berdua bertemu. Tapi hanya fot
Read more

4. Menyesal

Aku berdiri dengan gelisah, mondar-mandir tak tenang di depan ranjangku."Bagaimana, Andri?" tanya ibu menghampiriku."Ternyata aku sudah salah menilainya, bu. Bodohnya aku tidak percaya pada istriku sendiri," sahutku penuh sesal.Ibu memandangku dengan tatapan iba. "Bagaimana ini? Diluar sudah mulai hujan... Kasihan Amira, pergi kemana dia? Dia tidak punya sanak saudara disini," sahut ibu, netranya nampak berkaca-kaca.Ucapan ibu justru membuatku makin menyesal. "Aku harus bagaimana, Bu?" tanyaku. Aku mengembuskan nafas dengan kasar. "Aku sudah mengucapkan kata talak tiga kali, bu," sesalku lagi."Astaghfirullah hal'adzim, Andriii...""Andri nyesel, Bu.""Tidak ada gunanya kamu menyesal sekarang. Makanya kalau ada masalah itu selesaikan baik-baik dulu, bukan karena emosi kamu menjatuhkan talak segitu mudahnya. Kalau kayak sekarang gini gimana?""Apa aku masih bisa rujuk sama Mira, Bu?""Bisa, nanti kita tan
Read more

5. Minta Balikan

"Ndri... Ndri..., Buka pintunya, nak. Ibu ada kabar baik buat kamu," panggil ibu dari luar kamar.Aku menatap jam yang bertengger di dinding, waktu sudah menunjukkan pukul 07.00 pagi. Aku membuka pintu, ibu menyambutku dengan senyuman. "Ada apa bu, pagi-pagi begini?" tanyaku dengan nada suara malas."Ndri, barusan ibu dari pasar, ibu lihat Amira, Ndri," ucap ibu. Beliau mengambil nafas dalam-dalam.Bola mataku langsung membulat. Aku sudah tak sabar ingin menjemput Amira."Dimana, Bu? Dimana ibu lihat Amira?" tanyaku dengan rasa penasaran yang sangat tinggi."Dia terlihat sangat sibuk bantu-bantu di warungnya Budhe Narti, sampai-sampai ibu panggil pun tidak menoleh," jawab ibu kemudian."Budhe Narti?""Iya budhenya si Bian, teman kamu itu lho," cerocos ibu lagi."Warungnya di sebelah mana, Bu?"Dekat pasar kok.""Andri akan kesana cari Amira, Bu," sahutku sembari menyambar jaket kesayangan
Read more

6. Kelakuan Lani

"Kemudian, setelah wanita itu dicerai tiga oleh sang suami maka sang suami tidak boleh kembali lagi ke mantan istri, tidak boleh rujuk lagi ke mantan istri kecuali mantan istri sudah menikah lagi dengan laki-laki lain." Ucapan Pak Ustadz tadi pagi masih saja terngiang-ngiang ditelingaku.Bayang wajah Amira kembali hadir menari-nari di kepalaku. "Mas, nih aku bikin cemilan kue, coba nih dicicipinya dulu," ucapnya kemudian langsung menyuapiku kue itu dengan tangannya."Mas, aku punya tanaman baru, ayo lihat dulu," ajaknya sambil menggamit lenganku lalu menunjukkan tanaman-tanaman hias kesukaannya."Mas, terima kasih ya," jawabnya sambil tersenyum manis lalu merangkulku, setelah kuberikan sebagian gajiku padanya. Ya, hanya sebagian karena yang sebagian lagi aku pakai untuk biaya hidupku disana. Tapi dia tak pernah mengeluh tentang hal itu, Amira selalu menerimanya dan mengelola uang itu dengan baik. "Mas, aku bikin nasi goreng lho, coba ni
Read more

7. Kabar Mengejutkan

Air mata ini tak berhenti menitik. Kenapa Mas Andri tak menghargai perasaanku? Semudah itu mengucap kata talak dan semudah itu juga bilang mau mencarikan muhalil untukku? Apakah sebuah pernikahan tak berarti untukmu, mas? Apakah pernikahan bagimu adalah sebuah permainan?Aku menghela nafas dalam-dalam. Kuseka air mata yang berulang kali jatuh tanpa kompromi. Kenapa aku mendadak mellow begini. "Beliiii...." teriak suara dari luar.Aku terkesiap, lalu menghapus air mataku dan mengecilkan nyala kompor agar masakan tetap hangat namun juga tidak gosong.Aku tergopoh-gopoh menghampiri pelanggan, seorang bapak-bapak dengan perawakan tambun, dan sebuah kacamata hitam disampirkan di kepala."Ya mau pesan apa, pak?" tanyaku sembari membawa kertas kecil dan pena untuk menuliskan pesanannya.Pria tambun itu melihatku dari ujung kaki sampai ujung kepala dengan tatapan genit dan menggoda."Pesan kamu, neng? Berapa?" ujarnya dengan kerlingan m
Read more

8. Belum Berubah

"Bagaimana hasilnya, Nduk?" tanya Budhe Narti ketika kami sampai."Mbak Amira hamil, Budhe," celetuk Mas Bian. Dia melirikku yang masih terdiam membisu."Bukankah ini kabar gembira? Kenapa kamu murung, Nduk?" tanya Budhe Narti lagi."Tidak apa-apa, budhe," jawabku. Sebenarnya aku khawatir dengan kehidupan anak ini selanjutnya. Apakah aku bisa menghidupi dan mendidiknya dengan baik? Selain menjadi seorang ibu, aku juga harus menjadi seorang ayah untuknya."Padahal sudah kubilang budhe, supaya Mbak Amira gak perlu khawatir masalah kebutuhan bayinya, aku bisa membantunya. Tapi dia masih saja murung," sahut Mas Bian lagi."Bian, masalahnya gak semudah itu. Wanita itu punya perasaan. Banyak yang harus dipikirkan. Bukan hanya kebutuhan fisik bayinya saja, psikisnya juga perlu. Bayi itu juga butuh kasih sayang seorang ayah. Sedangkan disini posisi Amira sedang sulit. Mungkin dia masih shock. Dia baru bercerai dengan sang suami. Bahkan mungkin suaminya pun
Read more

9. Jatuh

Hari demi hari berganti, menjalani kehamilan pertama tanpa suami rasanya nano-nano, menyedihkan. Tidak ada yang bisa menjadi sandaran hati ketika rasa lelah menanti. Meskipun Budhe Narti sudah melarangku untuk bekerja, tapi aku merasa tak enak hati. Aku memang sudah tak membantunya berjualan di warung, karena hidungku terlalu sensitif, mencium aroma masakan saja sudah membuatku mual. Jadi, aku hanya melakukan tugas rumahan yang ringan."Hueek... Hueek... Hueek..."Mendadak perutku mual-mual kembali. Apakah bawaan bayi memang seperti ini? Pusing, mual, muntah, badan meriyang tak karuan. Rasanyaaku ingin menangis saja."Sabar ya mbak, hanya itu yang bisa aku ucapkan. Oh iya, ini mbak, ada buah dan susu hamil untukmu. Biasanya ibu hamil suka yang seger-seger," tukas Mas Bian. Dia memberikan parsel berisi buah-buahan dan juga susu untuk ibu hamil."Mas, gak usah repot-repot," sahutku."Aku gak merasa direpotkan kok. Sudah tanggung jawabku," jawabnya la
Read more

10. Kabar Duka

Aku mulai membukakan mata, kulihat sekeliling, ruangan yang rapi, suasana hening, ada selang infus yang menancap di tanganku. Sudah kupastikan ini pasti sebuah ruang perawatan di rumah sakit. Seketika aku tersadar. Bayiku, bagaimana dengan bayiku?"Alhamdulillah mbak, kamu sudah sadar," ucap seseorang. Aku menoleh, ada Mas Bian duduk di sisi kananku yang tak kusadari kehadirannya."Bayiku, bayiku gimana, mas?" tanyaku sembari meraba perut yang masih rata."Alhamdulillah, bayi mbak gak apa-apa.""Beneran, mas? Aku gak keguguran kan?""Enggak. Nanti kalau dokter berkunjung, tanyakan langsung saja," sahut Mas Bian.Aku mengangguk. Tak berselang lama, Bu dokter dan perawat datang. Perawat memeriksa tensi darahku lalu mencatatnya."Alhamdulillah semuanya normal, besok ibu sudah boleh pulang," ucap Bu dokter."Bayi saya tidak apa-apa kan, dokter?""Alhamdulillah tidak apa-apa. Lain kali harus dijaga ya, jangan sampai jatuh lag
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status