POV Andri
Satu hari sebelumnya
"Aku kangen sekali padamu, Mira," ucapku dengan lirih sembari memandang fotonya di galeri ponselku.
Delapan tahun menikah, namun perasaanku padanya tidak berubah, masih seperti dulu. Aku mencintainya, bahkan saat ini rasa rinduku begitu membuncah. Rasanya sudah tak sabar ingin pulang dan melihat paras wajahnya yang ayu. Aku tersenyum membayangkan dia menyambutku dengan hangat. Dia yang manja akan bergelayut di lenganku. Lalu sampai kamar aku akan memeluknya dan menciumnya dengan mesra.
Aku sudah bersiap-siap untuk pulang, dengan sebuah tas ransel di punggung. Seminggu sekali aku pasti pulang ke rumah, untuk menemui istri dan ibuku.
Tiba-tiba sebuah pesan WA masuk dari Mbak Lani. Dia mengirimkan foto-foto istriku bersama seorang lelaki.
[Maafkan aku ya Mas Andri, ini kelakuan istrimu di belakangmu. Dia berselingkuh sama si mas-mas yang ada di foto itu. Aku sering lihat mereka berdua bertemu. Tapi hanya foto-foto itu saja yang aku abadikan]
Mbak Lani, biarpun dia istri kakakku tapi umurnya lebih muda dariku, dan dia tetap memanggilku mas.
Membaca pesannya dadaku langsung bergemuruh hebat. Amarah dan kecewa bercampur jadi satu. Pertama kali yang kulontarkan, mana mungkin istriku berselingkuh?
[Terserah Mas Andri mau percaya atau tidak, tapi kenyataannya seperti itu. Aku sering memergokinya berdua. Aku ngasih tahu ini ke Mas, soalnya Mas Andri kan adiknya suamiku. Aku kasihan padamu hidup dengan seorang pengkhianat. Kalau kau bertanya pada istrimu, aku yakin sih dia pasti gak bakal ngaku kalau udah selingkuh.]
Tulisnya lagi pada pesan itu. Ya, Mbak Lani benar mana mungkin ada orang yang mau mengaku kalau kepergok selingkuh. Aku sudah tak bisa berpikir jernih lagi, rasa rindu yang begitu dalam kini berganti emosi yang sudah memuncak sampai ke ubun-ubun.
Aku memejamkan mata sejenak. Mataku sudah terasa panas dan juga pedih. Bayang-bayang Amira bermesraan dengan seorang laki-laki tiba-tiba hadir menari-nari di kepalaku. Hatiku terasa sakit, nyeri sampai ke ulu hati.
[Maaf ya mas, aku sih gak ada untungnya bilang kayak gini ke Mas Andri, tapi aku kasihan sama mas. Terus coba deh lihat F******k, istri mas sepertinya sudah gila]
[Maksud mbak apaan ya?]
Mbak Lani mengirim screenshot profil Amira.
[Itu facebooknya Amira kan? Dia upload videonya sendiri yang sedang mandi.]
Aku memicingkan mata, lalu mencari tahu. Aku mengklik aplikasi berwarna biru berlogo huruf 'f' itu. Benar, yang divideo itu memanglah istriku. Ah, kenapa dia melakukan ini semua? Dia menghancurkan nama baikku. Dia tak menghargai aku sebagai suaminya. Benar-benar ya istriku sudah gila.
Aku bergegas ke tempat fotocopy yang juga menyediakan jasa cetak foto. 4 lembar foto istriku bersama seorang pria sudah ada di tanganku. Ini bisa kugunakan untuk menceraikan istriku yang sudah tidak setia. Ya, tekadku sudah bulat. Untuk apa hidup bersama seorang pegkhianat. Dia tak pantas untukku. Dia sudah menodai pernikahan kami. Betapa tega dirinya.
Aku mengambil nafas dalam-dalam, emosiku belum memudar juga. Kulajukan motorku menuju rumah. Jarak waktu yang kutempuh 2,5 jam perjalanan, maka dari itu kami LDR'an. Aku menyewa rumah di dekat pabrik di tempatku bekerja.
Sesampainya di rumah.
Rumah nampak sepi dan pintu tertutup dengan rapat.
Tok... Tok... Tok...
Aku mengetuk pintu. Tak lama pintu sudah terbuka. Seorang wanita menyambutku dengan senyuman.
"Mas sudah pulang?"
Munafik sekali kau, Amira! Teganya kau mengkhianatiku. Batinku mulai mengumpat sendiri.
Dia meraih tanganku dan mencium punggung tanganku. Kukibaskan tanganku dengan kasar. Aku tak sudi disentuh oleh wanita sepertimu.
"Mas...?" panggilnya. Pandangannya menyiratkan banyak sekali pertanyaan.
Aku diam. Tapi emosiku semakin membuncah ketika dia akan mengambil tas ransel yang ada di punggungku.
"Jangan sentuh aku!" bentakku dengan kasar. Amira merasa terkejut dengan perubahan sikapku.
"Mas, ada apa?" tanyanya.
Ah, aku jadi makin benci melihatnya yang seakan pura-pura tidak tahu apa yang terjadi. Munafik! Benar ya, kalau orang selingkuh itu akan bersikap manis pada pasangannya!
"Mas, apa aku punya salah?" tanyanya lagi.
"Ya, kamu punya salah dan kesalahanmu sangat fatal. Aku tak bisa memaafkanmu!" seruku lagi.
"Maksudmu apa, mas?"
"Aku talak kamu! Aku talak kamu! Aku talak kamu!"
Emosiku sudah tak tertahankan lagi. Tanpa pikir panjang lagi aku melontarkan kata talak untuknya. Dadaku masih bergemuruh hebat karena amarah.
Kulihat air matanya mulai jatuh. Dia terdiam dan terduduk di lantai. Sepertinya dia sangat shock dengan apa yang kukatakan padanya. Ah Amiraaa, andai saja kau tidak berselingkuh, aku tidak akan menalakmu seperti ini.
Aku melemparkan beberapa pakaian dan mengusirnya pergi. Tak ada perlawanan darinya. Dia seakan pasrah saja.
"Kenapa kau tega melakukan ini padaku, Mira?! Kenapa?!" rutukku, mataku mulai mengembun, ada hawa panas menjalar di kedua bola mata.
Aku benar-benar frustasi, apalagi ketika melihat dia pergi dengan sejuta luka.
***
"Ibu-ibu, tolong pada bubar ya, bubar," perintah ibu, kemudian ibu menutup pintu rumah.
Aku masih menahan amarah dan kecewa. Ibu menuntunku untuk duduk di sofa.
"Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa kamu bisa semarah ini sama Amira?" tanya ibu.
Aku mengambil nafas dalam-dalam. "Amira sudah berselingkuh, bu."
"Mana buktinya?" tanya ibu.
Aku memberikan beberapa lembar foto yang membuatku naik pitam. Ibu melihatnya dengan seksama.
"Kamu menalak istrimu hanya gara-gara melihat foto-foto ini? Apakah tidak kau tanyakan langsung padanya, apa yang sebenarnya terjadi?"
Aku menggeleng perlahan.
"Astaghfirullah hal'adzim, Andriiii... Pikiranmu kok ya pendek bangeet, kenapa ambil keputusan saat marah. Sekarang kamu puas istrimu dah pergi? Kenapa kamu gak bicarakan baik-baik dulu?!"
"Andri sudah terlanjur emosi, bu."
"Istighfar coba, istighfar..."
Aku kembali mengambil nafas dalam-dalam lalu mengembuskannya secara perlahan.
"Kenapa tidak kau selidiki dulu kebenarannya? Kau sangat gegabah Andri. Ibu yang tahu keseharian Amira disini. Harusnya kau tanya ibu dulu. Kamu lihat ini, foto saat Amira memberikan teh untuk Bian? Itu karena Bian sudah membantu mengganti genteng yang hari sebelumnya bocor," jelas ibu sambil memperlihatkan foto pertama.
"Tapi kenapa harus dia? Kenapa gak orang lain?"
"Karena tidak ada orang lain lagi, pas kebetulan Bian lewat depan rumah, itupun ibu yang panggil."
"Kalau foto yang lain bagaimana, Bu? Mereka bertemu diluar sana."
"Andri, tolong buang jauh-jauh rasa cemburumu itu. Amira jarang keluar rumah, kecuali ibu yang suruh. Ibu yang suruh dia ke pasar untuk beli bahan-bahan kue. Ibu juga yang suruh Amira pergi ke minimarket beli sesuatu. Mungkin tidak sengaja mereka bertemu di jalan. Coba kau perhatikan baik-baik foto ini? Apa ada yang salah? Ini hanya foto biasa. Mereka tidak pegangan tangan atau pelukan, kenapa kau pikir mereka selingkuh?"
Aku terdiam, memikirkan ucapan ibu yang memang benar adanya.
"Kau lihat foto yang terakhir ini? Bian memberikan tanaman untuk Amira. Itu karena Rumah Bian sedang di renovasi, dia merasa sayang kalau tanamannya dibuang, kebetulan istrimu kan suka tanaman hias, jadi dia ngasih tanaman itu kesini. Wong ibu juga ada disini kok melihat mereka. Noh tanamannya masih ada diluar. Dirawat baik-baik oleh Amira."
Penjelasan ibu, membuat kepalaku berdenyut-denyut. Aku menarik-narik rambutku sendiri.
"Terus masalah video itu bu, aku tak habis pikir Amira mengupload dirinya sendiri ke sosmed!"
"Kamu yakin itu Amira?"
"Iya bu, itu memang Amira."
"Maksud ibu, kamu yakin Amira yang mengumbar videonya sendiri? Ibu sih tidak yakin kalau itu Amira."
Aku bangkit dari duduk lalu menuju ke kamar. Aku mencari ponsel istriku dan kutemukan ponselnya tergeletak diatas meja.
Deg! Jantungku seakan berhenti, aku menahan nafas. Aplikasi F******k sama sekali tidak terinstall di ponselnya. Kuperiksa galeri foto dan yang lain, tak ada video maupun foto-fotonya. Yang ada hanya video resep-resep kue dan foto-foto tanaman hiasnya. Lalu dia membuka ponsel miliknya sendiri, mengklik profil f******k Amira, ada tanda titik warna hijau di sebelah kiri bawah, menandakan dia sedang online. Hah, sebenarnya siapa dia?
Tak kehabisan akal, aku segera membuat akun F******k lagi dengan nama samaran. Setelah berhasil, aku mengirimkan permintaan pertemanan pada akun Amira. Dan ajaibnya, permintaan pertemanan itu langsung dikonfirmasi. Akupun langsung mengirim pesan melalui messenger.
"Hallo cantik..."
"Hallo juga..." balasnya tanpa menunggu waktu lama.
Aku terduduk dengan lemas diatas ranjang. Jantungku berdetak dengan kencang. Jadi benar perkataan ibu. Dia bukan Amira. Seketika hatiku merasa hancur. Penyesalan datang bertubi-tubi menghantam kepalaku. Aku mengusap wajahku dengan kasar.
'Aarrggghhh, kenapa aku bisa segegabah ini? Bahkan aku sudah menalaknya tiga kali!' umpatku dalam hati.
Aku berdiri dengan gelisah, mondar-mandir tak tenang di depan ranjangku."Bagaimana, Andri?" tanya ibu menghampiriku."Ternyata aku sudah salah menilainya, bu. Bodohnya aku tidak percaya pada istriku sendiri," sahutku penuh sesal.Ibu memandangku dengan tatapan iba. "Bagaimana ini? Diluar sudah mulai hujan... Kasihan Amira, pergi kemana dia? Dia tidak punya sanak saudara disini," sahut ibu, netranya nampak berkaca-kaca.Ucapan ibu justru membuatku makin menyesal."Aku harus bagaimana, Bu?" tanyaku. Aku mengembuskan nafas dengan kasar. "Aku sudah mengucapkan kata talak tiga kali, bu," sesalku lagi."Astaghfirullah hal'adzim, Andriii...""Andri nyesel, Bu.""Tidak ada gunanya kamu menyesal sekarang. Makanya kalau ada masalah itu selesaikan baik-baik dulu, bukan karena emosi kamu menjatuhkan talak segitu mudahnya. Kalau kayak sekarang gini gimana?""Apa aku masih bisa rujuk sama Mira, Bu?""Bisa, nanti kita tan
"Ndri... Ndri..., Buka pintunya, nak. Ibu ada kabar baik buat kamu," panggil ibu dari luar kamar.Aku menatap jam yang bertengger di dinding, waktu sudah menunjukkan pukul 07.00 pagi.Aku membuka pintu, ibu menyambutku dengan senyuman."Ada apa bu, pagi-pagi begini?" tanyaku dengan nada suara malas."Ndri, barusan ibu dari pasar, ibu lihat Amira, Ndri," ucap ibu. Beliau mengambil nafas dalam-dalam.Bola mataku langsung membulat. Aku sudah tak sabar ingin menjemput Amira."Dimana, Bu? Dimana ibu lihat Amira?" tanyaku dengan rasa penasaran yang sangat tinggi."Dia terlihat sangat sibuk bantu-bantu di warungnya Budhe Narti, sampai-sampai ibu panggil pun tidak menoleh," jawab ibu kemudian."Budhe Narti?""Iya budhenya si Bian, teman kamu itu lho," cerocos ibu lagi."Warungnya di sebelah mana, Bu?"Dekat pasar kok.""Andri akan kesana cari Amira, Bu," sahutku sembari menyambar jaket kesayangan
"Kemudian, setelah wanita itu dicerai tiga oleh sang suami maka sang suami tidak boleh kembali lagi ke mantan istri, tidak boleh rujuk lagi ke mantan istri kecuali mantan istri sudah menikah lagi dengan laki-laki lain." Ucapan Pak Ustadz tadi pagi masih saja terngiang-ngiang ditelingaku.Bayang wajah Amira kembali hadir menari-nari di kepalaku."Mas, nih aku bikin cemilan kue, coba nih dicicipinya dulu," ucapnya kemudian langsung menyuapiku kue itu dengan tangannya."Mas, aku punya tanaman baru, ayo lihat dulu," ajaknya sambil menggamit lenganku lalu menunjukkan tanaman-tanaman hias kesukaannya."Mas, terima kasih ya," jawabnya sambil tersenyum manis lalu merangkulku, setelah kuberikan sebagian gajiku padanya. Ya, hanya sebagian karena yang sebagian lagi aku pakai untuk biaya hidupku disana. Tapi dia tak pernah mengeluh tentang hal itu, Amira selalu menerimanya dan mengelola uang itu dengan baik."Mas, aku bikin nasi goreng lho, coba ni
Air mata ini tak berhenti menitik. Kenapa Mas Andri tak menghargai perasaanku? Semudah itu mengucap kata talak dan semudah itu juga bilang mau mencarikan muhalil untukku? Apakah sebuah pernikahan tak berarti untukmu, mas? Apakah pernikahan bagimu adalah sebuah permainan?Aku menghela nafas dalam-dalam. Kuseka air mata yang berulang kali jatuh tanpa kompromi. Kenapa aku mendadak mellow begini."Beliiii...." teriak suara dari luar.Aku terkesiap, lalu menghapus air mataku dan mengecilkan nyala kompor agar masakan tetap hangat namun juga tidak gosong.Aku tergopoh-gopoh menghampiri pelanggan, seorang bapak-bapak dengan perawakan tambun, dan sebuah kacamata hitam disampirkan di kepala."Ya mau pesan apa, pak?" tanyaku sembari membawa kertas kecil dan pena untuk menuliskan pesanannya.Pria tambun itu melihatku dari ujung kaki sampai ujung kepala dengan tatapan genit dan menggoda."Pesan kamu, neng? Berapa?" ujarnya dengan kerlingan m
"Bagaimana hasilnya, Nduk?" tanya Budhe Narti ketika kami sampai."Mbak Amira hamil, Budhe," celetuk Mas Bian. Dia melirikku yang masih terdiam membisu."Bukankah ini kabar gembira? Kenapa kamu murung, Nduk?" tanya Budhe Narti lagi."Tidak apa-apa, budhe," jawabku. Sebenarnya aku khawatir dengan kehidupan anak ini selanjutnya. Apakah aku bisa menghidupi dan mendidiknya dengan baik? Selain menjadi seorang ibu, aku juga harus menjadi seorang ayah untuknya."Padahal sudah kubilang budhe, supaya Mbak Amira gak perlu khawatir masalah kebutuhan bayinya, aku bisa membantunya. Tapi dia masih saja murung," sahut Mas Bian lagi."Bian, masalahnya gak semudah itu. Wanita itu punya perasaan. Banyak yang harus dipikirkan. Bukan hanya kebutuhan fisik bayinya saja, psikisnya juga perlu. Bayi itu juga butuh kasih sayang seorang ayah. Sedangkan disini posisi Amira sedang sulit. Mungkin dia masih shock. Dia baru bercerai dengan sang suami. Bahkan mungkin suaminya pun
Hari demi hari berganti, menjalani kehamilan pertama tanpa suami rasanya nano-nano, menyedihkan. Tidak ada yang bisa menjadi sandaran hati ketika rasa lelah menanti. Meskipun Budhe Narti sudah melarangku untuk bekerja, tapi aku merasa tak enak hati. Aku memang sudah tak membantunya berjualan di warung, karena hidungku terlalu sensitif, mencium aroma masakan saja sudah membuatku mual. Jadi, aku hanya melakukan tugas rumahan yang ringan."Hueek... Hueek... Hueek..."Mendadak perutku mual-mual kembali. Apakah bawaan bayi memang seperti ini? Pusing, mual, muntah, badan meriyang tak karuan. Rasanyaaku ingin menangis saja."Sabar ya mbak, hanya itu yang bisa aku ucapkan. Oh iya, ini mbak, ada buah dan susu hamil untukmu. Biasanya ibu hamil suka yang seger-seger," tukas Mas Bian. Dia memberikan parsel berisi buah-buahan dan juga susu untuk ibu hamil."Mas, gak usah repot-repot," sahutku."Aku gak merasa direpotkan kok. Sudah tanggung jawabku," jawabnya la
Aku mulai membukakan mata, kulihat sekeliling, ruangan yang rapi, suasana hening, ada selang infus yang menancap di tanganku. Sudah kupastikan ini pasti sebuah ruang perawatan di rumah sakit. Seketika aku tersadar. Bayiku, bagaimana dengan bayiku?"Alhamdulillah mbak, kamu sudah sadar," ucap seseorang. Aku menoleh, ada Mas Bian duduk di sisi kananku yang tak kusadari kehadirannya."Bayiku, bayiku gimana, mas?" tanyaku sembari meraba perut yang masih rata."Alhamdulillah, bayi mbak gak apa-apa.""Beneran, mas? Aku gak keguguran kan?""Enggak. Nanti kalau dokter berkunjung, tanyakan langsung saja," sahut Mas Bian.Aku mengangguk. Tak berselang lama, Bu dokter dan perawat datang. Perawat memeriksa tensi darahku lalu mencatatnya."Alhamdulillah semuanya normal, besok ibu sudah boleh pulang," ucap Bu dokter."Bayi saya tidak apa-apa kan, dokter?""Alhamdulillah tidak apa-apa. Lain kali harus dijaga ya, jangan sampai jatuh lag
POV BianAku tak mengerti apa yang ada dipikiran Amira, wanita itu seringkali menangis. Membuat hati ini ikut merasa iba. Kenapa air mata itu tak kunjung kering justru semakin banyak, padahal sudah berbulan-bulan, bahkan tiap hari dia selalu menitikkan air mata.Dia terlalu melankolis. Aku paham, masalah ini terlalu berat untuknya. Diceraikan oleh sang suami dengan tuduhan selingkuh denganku, serta video dia sedang mandi dan tetiba hamil, pasti dia sangat shock menjalani semuanya. Dikucilkan oleh para tetangga, bahkan ada yang hampir melecehkannya adalah sanksi sosial yang ia dapatkan dari ulah seseorang yang tak bertanggung jawab.Sedangkan disatu sisi, sang suami, maksudku sang mantan suami seakan angkat tangan tidak mau mencari tahu siapa sebenarnya yang sudah menjebak Amira. Bahkan dia sibuk mencari pembenaran sendiri, ingin rujuk lagi dengan Amira dan meminta aku menjadi muhalilnya. Ironis bukan?Sungguh aku tak habis pikir dengan jalan p
POV RestuPagi menjelang siang, aku kedatangan tamu yang tidak terduga. Andri dan istrinya datang berkunjung. Mereka membawa Affan juga. Sudah lama kami tak bertemu."Mas, maaf ya mas, aku gak bisa datang waktu acara pernikahanmu. Waktu itu istriku lagi ngidam parah, mual dan muntah-muntah terus tiap hari sampai dia harus bedrest total," ucap Andri mengungkapkan alasannya kenapa dia tak bisa datang saat acara pernikahanku digelar."Istrimu sedang hamil, Ndri?" tanyaku."Iya mas, sudah memasuki usia 4 bulanan," jawab Andri sembari memandang istrinya dengan penuh cinta. Aini hanya mengulum senyum sambil mengangguk."Alhamdulillah, mas ikut senang mendengarnya.""Iya mas, ini baru bisa diajak pergi-pergi. Dulu mau ditinggal juga kasihan.""Tidak apa-apa, mas senang kalau kalian sehat, itu saja sudah cukup.""Aku gak bisa ngasih apa-apa, Mas.
POV MutiaMenikah dengan seseorang yang tak kukenal sebelumnya, kalian bisa bayangkan sendiri bagaimana rasanya. Takut, ragu, canggung, semuanya campur aduk jadi satu.Tapi mungkin ini jalan takdirku. Dan mungkin saja Mas Restu adalah jodoh yang dipilihkan Allah untukku dengan jalan yang tidak terduga.Setelah sempat beberapa hari kemarin hidupku benar-benar terguncang, menghadapi kenyataan yang ada di depanku. Kehilangan seseorang yang besok akan meminangku. Calon suamiku meninggal tepat dua hari sebelum hari H.Lalu, setelah menghadapi kenyataan bahwa ternyata Mas Roni-lah yang bersalah, tidak hati-hati dalam mengendarai motornya hingga ia terjatuh. Hatiku terkoyak begitu dalam.Apalagi keinginan ibu yang seakan memaksa kalau aku harus menikah dengan yang menabrak Mas Roni, itu tidak masuk akal bukan? Tapi aku bisa apa? Aku tak berani menolak. Keluarga Mas Roni telah banyak membantuku. Mereka sangat berjasa dalam hidupku. Mereka telah membawa
"Mas, kenapa melamun?" tanyanya menghenyakkanku."Emmh, enggak. Terima kasih ya dek, semoga kamu bisa menerima anakku ...""Iya, mas. Aku beres-beres dulu."Aku mengangguk. Kutinggalkan dia di kamar bersama Reni dan tumpukan baju yang akan dimasukkan ke dalam lemari.Aku bergegas membuka warung, sudah beberapa hari ini, tidak buka karena hal-hal yang tidak terduga. Beruntung yang dijual adalah sembako dan produk-produk kering lainnya untuk kebutuhan sehari-hari."Mas, baru buka, nih?" tanya ibu-ibu pembeli saat datang ke warung. "Katanya habis nikah ya, Mas? Kok gak ngundang-ngundang?" tanya ibu itu kembali."Iya Bu, pernikahannya sederhana saja, cuma digelar di tempat mempelai wanita," jawabku."Sama orang mana, Mas?""Beda kecamatan saja, Bu.""Mana istrinya? Gak kelihatan ...""Lagi beres-beres Bu, di kamar.""Oh iya iya, semoga langgeng ya mas, pernikahannya.""Aamiin, iya Bu, terima kasih doanya
POV Restu"Biar aku yang akan menikahi Mutia."Mungkin itu pernyataan konyol yang aku lontarkan saat itu. Bisa-bisanya aku mengajak nikah dengan orang yang tak kukenal sebelumnya. Wanita seperti apa dia, sikap dan karakternya bagaimana. Entahlah. Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku.Sebenarnya aku hanya ingin tidak ada keretakan dalam rumah tangga Bian dan Amira. Kasihan, cinta mereka selalu diuji. Padahal baru saja akan merasakan kebahagiaan, sudah harus melewati masalah yang begitu besar."Kamu serius akan menikahi Mutia?" tanya Pak Sobri.Aku mengangguk. Aku paham mungkin mereka khawatir, aku tidak bisa menafkahinya."Dari pada menikah dengan Bian lalu menjadi yang kedua, lebih baik Mutia menikah denganku. Aku memang seorang duda, tapi aku bisa menafkahinya," jawabku."Aku sudah lama sendiri, istriku sudah meninggal. Anakku sekarang sudah kelas lima SD. Kalau Bapak dan Bu Sobri merestui, aku akan segera menikahi
Sesampainya disana, setelah mengobrol banyak dengan petugas polisi, aku sepakat meminta petugas polisi untuk membebaskan mereka semua.Bu Sobri dan Mutia terlihat saling berpelukan. Mereka menangis."Terima kasih Mas Bian, kamu sudah membebaskan kami," ucap Mutia berusaha ramah. Wajahnya masih terlihat sendu dan juga kuyu, masih tersisa genangan air mata dalam tatapannya. Sedangkan Bu Sobri terdiam, wanita paruh baya itu terlihat menyeka air mata yang jatuh ke pipinya."Maafkan kesalahan kami ya mas," ucap Mutia kembali. "Ibu sangat terpukul dengan keadaan ini, makanya dia bertindak nekat. Meskipun seharusnya kami tak bertindak seperti ini pada kalian. Kami benar-benar bersalah. Tapi kalian sudah berbaik hati membebaskan kami. Sekali lagi terima kasih Mas Bian, Mas Restu, kalian benar-benar orang yang sangat baik."Tak lama Pak Sobri juga datang menjemput. Rupanya dia habis ada pekerjaan, ketika Bu Sobri berlaku nekat pada Alia, pak Sobri tidak tahu
"Alia, bertahanlah ya nak, kita akan menemui ibu," bisikku pada pada Alia. Tubuh mungil itu sepertinya kedinginan, sepanjang perjalanan aku mendekapnya dengan erat.Sesampainya di rumahKami langsung disambut oleh isak tangis Amira. Dia menciumi Alia tanpa henti."Mas, badan Alia panas sekali," ucap Amira. Air mata yang masih menggenang di pelupuk matanya."Segera kompres Alia, dek. Lalu kasih ASI. Obat penurun panas juga, masih ada kan?"Amira mengangguk lalu menuju ke kamar. Ia langsung menyusui Alia. Sedangkan Budhe Narti segera mengambilkan air hangat untuk kompres.Aku duduk di sofa ruang tamu. Kuhela nafas dalam-dalam. Ya Allah, terima kasih akhirnya anakku kembali, semoga dia tidak apa-apa. Batinku terus berdoa, semoga Alia selalu dalam lindungan-Mu, ya Allah."Restu, terima kasih kamu sudah membantuku, untung saja kamu segera datang," ucapku memecah kebisuan"Iya Bian, maaf kami sedikit terlambat tadi. Aku tidak m
Siang itu aku dan Restu pergi ke pemakaman. Berziarah ke makam Roni, korban kecelakaan itu.Sesampainya disana, kulihat seorang wanita sedang terpekur sambil memeluk pusara itu. Tangisannya terdengar pilu. Dia pasti Mutia, sedalam itu kah luka hatinya?Hatiku benar-benar merasa tersayat pedih, seharusnya mereka bahagia bersanding di pelaminan. Tapi... tanpa disengaja aku telah memisahkan mereka."Bian, ayo," ajak Restu, dia menarik lenganku untuk mendekat ke pusara itu.Gadis itu mendongak, air matanya basah membanjiri pipi. Matanya nampak sembab. Ia menyeka air matanya sendiri lalu menunduk dan pergi begitu saja tanpa sepatah kata apapun.Kulantunkan surat Alfatihah dan berdoa untuknya.Tiba-tiba ponselku berdering, panggilan dari Amira."Hallo, assalamualaikum. Ada apa, sayang?""Waalaikum salam, mas, Alia mas," sahut Amira dengan nada khawatir."Kenapa dengan Alia?""Alia diculik mas, huhuhu..." sahutnya
Sudah satu minggu aku menginap disini. Banyak nyamuk, pasti. Kedinginan? Ya tentu saja, karena gak ada Amira yang menghangatkanku. Sesekali tubuhku terasa menggigil ketika cuaca sedang dingin-dinginnya karena terus menerus diguyur hujan.Ah, sebenarnya bukan itu yang aku pikirkan. Aku memikirkan Amira dan bayi kami. Terbayang kembali raut wajah Amira yang bersedih dengan hal ini. Aku tak tega membayangkannya apalagi kalau melihatnya menitikkan air mata.Agaknya proses penyidikan masih lama berlangsung, Restu dan pengacara yang ia sewa pun sedang mengumpulkan bukti-bukti kuat, agar aku dinyatakan tidak bersalah, setidaknya misalkan menjalani masa hukuman, tidak terlalu lama.Aku bersyukur masih punya teman baik seperti Restu. Dia rela membantuku.Pagi menjelang siang, Amira datang menjengukku kembali. Ini kali kedua ia berkunjung kesini, aku maklum dia pasti kerepotan dan mungkin saja, badannya masih sakit pasca melahirkan, masih belum sembuh total.
"Mereka minta kamu menikahi gadis itu."Jedeeerr...! Bagaikan disambar petir saat mendengar pernyataan Restu. Sungguh ini tidak masuk akal. Benar-benar tidak masuk akal."Apaaaa?? Itu tidak mungkin! Apa mereka sudah gila?" pekikku tak percaya.Restu terdiam."Restu, katakan pada mereka, aku menolak. Aku lebih baik di penjara dari pada harus menikah dengan gadis itu. Berapa tahun hukumanku? Lima tahun? Sepuluh tahun? Baik, aku akan menjalaninya. Tapi kalau untuk menikahi gadis itu, aku tidak mau," sergahku dengan tegas."Ya, aku mengerti.""Restu, rasa cintaku pada Amira melebihi apapun. Kau tahu itu, bukan? Aku tidak akan pernah menduakannya, sampai kapanpun. Bila aku harus selamanya mendekam di penjara, itu tidak masalah bagiku.""Apa kau tidak memikirkan perasaan Amira dan juga anakmu? Kalau kamu terus menerus mendekam di penjara, bagaimana hidup mereka tanpamu?" tanya Restu. Ah, kenapa dia tak paham dengan isi hatiku?