"Aku talak kamu! Aku talak kamu! Aku talak kamu!"
Seketika langit terasa runtuh, seperti ada batu besar yang menghantam hatiku, bertubi-tubi. Rasanya sakiiiit, seperti ditusuk-tusuk sembilu. Apa salahku? Tiba-tiba ditalak seperti ini?
Mataku terasa pedih dan panas, seketika air mata sudah berderai, jatuh bak anak sungai. Leherku seperti tercekat, lidahkupun terasa kelu. Aku sudah tak punya pijakan. Hancur. Hancur sehancur-hancurnya.
Mas Andri, lelaki yang selama delapan tahun belakangan ini menemaniku, tiba-tiba menalakku tanpa alasan. Kami berbagi suka dan duka bersama, bahkan aku menerima keadaannya yang sulit mempunyai keturunan. Lalu kenapa dia tega menceraikanku?
Aku duduk terkulai di lantai. Rasanya sudah tak punya tenaga untuk berdiri.
Bruukk...
Dia melemparkan tas ransel dan beberapa helai pakaian ke tubuhku. Dadanya masih terlihat naik turun menahan amarah. Tangannya terkepal, matanya nyalang merah dengan gigi bergemeletuk. Dia benar-benar marah. Tak pernah kulihat dia semarah ini padaku."Pergi kamu dari rumah ini! Aku tak sudi punya istri tak setia sepertimu!" teriak Mas Andri, makin membuatku tak mengerti. Apa maksudnya?
Aku memunguti baju-bajuku sambil sesekali menyeka air mata yang tak kunjung berhenti. Untuk sekadar menyanggah ucapannyapun terasa begitu berat. Aku tak bisa berbicara untuk membela diri.
"Dasar istri tak tau diuntung!" umpatnya lagi.
"Aaarghhh...!!" teriaknya dengan kencang. Dia melepaskan amarahnya dengan meninju tembok yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Sesekali dia menjambak-jambakkan rambutnya. Mas Andri benar-benar terlihat frustasi.
"Kenapa kau tega melakukan ini padaku, Mira?! Kenapa?!" sebuah pertanyaan yang lebih terdengar seperti rutuk penyesalan.
Berkali-kali aku menelan saliva untuk menenangkan diri, bahwa badai hebat kini sedang kuhadapi.
"Sebenarnya aku salah apa mas? Kenapa kau bisa semarah ini padaku? Kenapa kau menalakku tanpa alasan?" tanyaku dengan hati-hati. Aku mulai membuka suara setelah sedari tadi diam.
"Jangan pura-pura tidak tahu! Kau ini istri tidak tahu malu ya! Bisa-bisanya selingkuh saat suami pergi?!"
"Selingkuh? Apa maksudmu, mas? Aku tidak mengerti..."
"Halaaah jangan sok pura-pura gak tahu. Aku sudah tahu semua kelakuanmu di belakangku! Tega ya kamu!" serunya kembali. Tak lama dia melemparkan foto-fotoku bersama seorang lelaki. Aku memeriksanya dengan teliti. Satu foto saat aku memberikan teh untuknya setelah dia membantuku. Satu foto saat aku akan pergi ke pasar dan kebetulan bertemu dengannya di jalan. Satu foto lagi saat aku berada di minimarket, kebetulan aku bertemu dengannya dan kami sama-sama mengantri di kasir. Satu foto lagi saat dia memberikan tanaman bunga beserta potnya.
Aku menghela nafas dalam-dalam dan mengembuskannya secara perlahan. Lelaki yang difoto itu adalah Mas Bian, yang tempo hari dimintai tolong panjat genteng gegara bocor karena air hujan. Beberapa kali juga aku bertemu dengannya di jalan saat aku akan pergi ke pasar. Tapi hanya sebatas menyapa, tidak lebih dari itu. Lalu siapa yang dengan tega dan iseng mengambil gambarku dan mengirimkannya pada Mas Andri? Apakah ada seseorang yang menginginkan kami berpisah?
"Kamu dapat dari mana foto-foto ini, mas?" tanyaku.
"Jadi benar kan, itu adalah kamu? Kalian berselingkuh?!"
"Tidak mas, itu tidak benar. Ini memang foto-fotoku. Tapi sungguh mas, aku tidak selingkuh. Aku tidak ada hubungan apa-apa dengannya. Kamu sudah salah paham," sanggahku apa adanya.
"Hah, mana ada maling mau ngaku. Salah paham bagaimana, jelas-jelas foto ini foto kamu kok!" tukas Mas Andri masih emosi.
Rasanya percuma membela diri dihadapannya, sudah tak ada gunanya lagi. Toh pernikahanku juga sudah hancur, aku tak bisa kembali dengannya. Dia tak mungkin percaya padaku. Hatinya sudah tertutup oleh prasangka buruk dan cemburu yang membabi buta.
Aku tak pernah menyangka, hanya gara-gara sebuah kesalahpahaman menjadikan aku seorang janda. Ya, dia salah paham padaku, tapi dia tak mau mendengar penjelasanku. Dia lebih percaya orang lain. Entah siapa orang itu? Dia dengan tega menusukku dari belakang. Apakah orang terdekatku atau siapa? Aku rasa selama ini aku tak pernah punya musuh maupun bermasalah dengan siapapun. Masalah ini benar-benar membuat kepalaku serasa mau pecah.
"Maafkan aku mas, kalau selama ini aku punya salah terhadapmu. Aku pergi," pamitku pada suamiku. Ah bukan, maksudku mantan suamiku. Kubawa tas yang berisi baju-bajuku. Entahlah mau kemana tujuanku. Aku tak punya sanak saudara disini. Yang penting aku pergi dulu dari rumah ini. Rumah yang mempunyai banyak kenangan suka maupun duka.
Saat sampai diambang pintu, aku berpapasan dengan ibu mertuaku.
"Lho... Amira, kamu mau kemana? Kenapa kamu nangis, nduk?" tanya ibu mertuaku dengan heran. Ibu mertuaku baru pulang dari pengajian, jadi beliau tidak menyaksikan pertengkaran hebat kami.
"Jangan halangi dia, Bu. Biarkan dia pergi, Amira sudah bukan istriku lagi!" seru Mas Andri, dia menyusulku dari belakang.
Aku memeluk tubuh renta dihadapanku. Ibu mertua yang sudah kuanggap seperti ibu kandungku sendiri. Selama delapan tahun aku tinggal serumah dengan beliau dan saudara ipar. Suka duka kami lewati bersama, ibu mertua memang agak cerewet, tapi dia orang yang baik dan penyabar. Beliau seorang janda ditinggal mati oleh suaminya. Dan beliau punya dua orang anak laki-laki, semuanya sudah menikah. Anak pertama Mas Restu dan anak kedua Mas Andri. Tapi walaupun anak-anak mereka sudah bekerja, kami masih sama-sama tinggal di rumah ibu.
Mas Restu bekerja di pertambangan, di luar pulau, sehingga dia jarang pulang. Paling cepat enam bulan sekali. Sedangkan Mas Andri bekerja sebagai supervisor di pabrik sepatu di luar kota, tetapi walaupun kami LDR dia masih bisa pulang tiap seminggu sekali.
Mas Restu dan Mbak Lani, mereka sudah menikah 10 tahun lamanya, merekapun sudah mempunyai seorang anak perempuan, usianya masih 7 tahun, Reni namanya ( kepanjangan dari Restu dan Lani ). Berbeda denganku, walaupun sudah menikah 8 tahun ini tapi kami belum dikaruniai anak juga. Beberapa pengobatan medis dan alternatif sudah kami coba, tapi kami tak juga dianugerahi momongan. Mungkin memang kami belum pantas mendapatkan amanah itu.
"Bu, maafkan Mira ya bu, kalau selama ini punya banyak salah sama ibu. Mira pamit pergi dari rumah ini, ibu jaga kesehatan ya," ucapku berpamitan pada ibu.
Kulihat mata ibu berkaca-kaca, merasa tak rela salah satu menantunya akan pergi. Sebenarnya ibupun belum tahu masalah apa yang sedang kuhadapi bersama Mas Andri.
"Tunggu, tunggu, sebenarnya ini ada apa, nak?" tanya ibu. Matanya memandang ke arahku dan bergantian ke arah Mas Andri.
"Mas Andri sudah menalakku, bu," jawabku sesenggukan.
"Apa?? Ini ada apa, nak? Kenapa kau menalak istrimu?" tanya ibu, dia menatap tajam ke arah putra bungsunya.
"Sudahlah bu, jangan pedulikan dia. Biarkan dia pergi. Wanita seperti dia tak pantas ada disini!" sergah Mas Andri, terdengar jelas kebenciannya kepadaku.
"Iya, tapi ibu ingin tahu masalahnya apa sampai-sampai kamu bersikap seperti ini pada Amira?"
Mas Andri mendengus kesal.
"Tak bisakah kalian bicarakan masalah kalian baik-baik?" Ibu kembali bertanya.
"Tak ada ampun untuk seorang pengkhianat sepertinya! Tega-teganya dia berselingkuh di belakangku! Biarkan wanita itu pergi, Bu! Ibu tak perlu membelanya lagi. Dia sudah bukan bagian dari keluarga ini! Pergi kau wanita j*lang!" bentak Mas Andri yang mengundang beberapa tetangga ikut datang menyaksikan kami. Bak sinetron yang paling di gemari di channel kesayangan, mereka tidak mau melewatkannya.
"Tidak, nak. Tidak mungkin. Kau pasti sudah salah paham. Amira sangat setia padamu, nak, dia tidak mungkin mengkhianatimu. Ibu yang tahu kesehariannya disini," sanggah ibu. Ibu memandangku dengan tatapan iba. Selama ini, ibulah yang menjadi tempat keluh kesahku tak ada rahasia.
"Ibu, ibu itu sudah dibodohi oleh wanita seperti dia. Berpura-pura polos didepan tapi sebenarnya dia sangat murahan!" teriak Mas Andri lagi. Makiannya benar-benar membuatku sakit. Aku seakan tak ada harganya lagi di matanya. Semua terlihat buruk gara-gara beberapa lembar foto yang ia dapatkan entah dari siapa.
"Tutup mulutmu, nak! Kau pasti sudah salah paham," tukas ibu lagi.
"Aku punya semua bukti perselingkuhannya, bu! Diapun sudah mengakui kalau itu benar-benar fotonya! Bahkan aku punya videonya yang telanjang bulat sedang mandi tersebar di sosial media! Dasar wanita murahan! Dia mengumbar aibnya sendiri tanpa menghargai perasaan suami!" teriak Mas Andri penuh penekanan.
Glek! Video? Video apaan? Telanjang bulat? Apakah ada yang merekamku diam-diam saat aku sedang mandi? Lalu menyebarkannya di sosial media? Tapi bahkan aku tak punya akun sosmed selain W******p. Ah, aku benar-benar tak mengerti.
Para tetangga yang berkumpul menatapku dan berbisik-bisik. Mereka melihatku dengan jijik seperti kotoran.
Aku merasa terhina sekali. Tak ada satupun yang benar. Hal yang dia tuduhkan padaku, hanya fitnah belaka. Fitnah yang kejam.
Aku berjalan dengan gontai, meninggalkan kerumunan warga. Mata-mata mereka mengikuti kemana langkahku pergi."Padahal kelihatannya alim ya, kok bisa gitu..." Masih kudengar selentingan-selentingan suara yang memojokkanku."Iya benar, dia kan jarang kemana-mana kok bisa selingkuh? Cuma salah paham kali," sahut yang lain ikut menimpali."Kalau cuma salah paham, gak mungkin Mas Andri sampai marah-marah begitu.""Mungkin emang benar, dia wanita murahan. Ih gak banget deh! Padahal penampilannya sederhana begitu, tapi kok bisa-bisanya selingkuh. Ngumbar video porno pula!""Emangnya bener itu videonya??""Iya, aku dah lihat lho video itu di Facebook, ih menjijikan! Gak tahu malu!" timpal yang lain masih terus memojokkanku."Siapa nama akunnya?""Cari aja Amira, akunnya masih baru sih, tapi isinya video telanjang begitu, iih..."Bisik-bisik itu masih terus terngiang di telingaku. Astaghfirullah hal'adzim... Vid
POV AndriSatu hari sebelumnya"Aku kangen sekali padamu, Mira," ucapku dengan lirih sembari memandang fotonya di galeri ponselku.Delapan tahun menikah, namun perasaanku padanya tidak berubah, masih seperti dulu. Aku mencintainya, bahkan saat ini rasa rinduku begitu membuncah. Rasanya sudah tak sabar ingin pulang dan melihat paras wajahnya yang ayu. Aku tersenyum membayangkan dia menyambutku dengan hangat. Dia yang manja akan bergelayut di lenganku. Lalu sampai kamar aku akan memeluknya dan menciumnya dengan mesra.Aku sudah bersiap-siap untuk pulang, dengan sebuah tas ransel di punggung. Seminggu sekali aku pasti pulang ke rumah, untuk menemui istri dan ibuku.Tiba-tiba sebuah pesan WA masuk dari Mbak Lani. Dia mengirimkan foto-foto istriku bersama seorang lelaki.[Maafkan aku ya Mas Andri, ini kelakuan istrimu di belakangmu. Dia berselingkuh sama si mas-mas yang ada di foto itu. Aku sering lihat mereka berdua bertemu. Tapi hanya fot
Aku berdiri dengan gelisah, mondar-mandir tak tenang di depan ranjangku."Bagaimana, Andri?" tanya ibu menghampiriku."Ternyata aku sudah salah menilainya, bu. Bodohnya aku tidak percaya pada istriku sendiri," sahutku penuh sesal.Ibu memandangku dengan tatapan iba. "Bagaimana ini? Diluar sudah mulai hujan... Kasihan Amira, pergi kemana dia? Dia tidak punya sanak saudara disini," sahut ibu, netranya nampak berkaca-kaca.Ucapan ibu justru membuatku makin menyesal."Aku harus bagaimana, Bu?" tanyaku. Aku mengembuskan nafas dengan kasar. "Aku sudah mengucapkan kata talak tiga kali, bu," sesalku lagi."Astaghfirullah hal'adzim, Andriii...""Andri nyesel, Bu.""Tidak ada gunanya kamu menyesal sekarang. Makanya kalau ada masalah itu selesaikan baik-baik dulu, bukan karena emosi kamu menjatuhkan talak segitu mudahnya. Kalau kayak sekarang gini gimana?""Apa aku masih bisa rujuk sama Mira, Bu?""Bisa, nanti kita tan
"Ndri... Ndri..., Buka pintunya, nak. Ibu ada kabar baik buat kamu," panggil ibu dari luar kamar.Aku menatap jam yang bertengger di dinding, waktu sudah menunjukkan pukul 07.00 pagi.Aku membuka pintu, ibu menyambutku dengan senyuman."Ada apa bu, pagi-pagi begini?" tanyaku dengan nada suara malas."Ndri, barusan ibu dari pasar, ibu lihat Amira, Ndri," ucap ibu. Beliau mengambil nafas dalam-dalam.Bola mataku langsung membulat. Aku sudah tak sabar ingin menjemput Amira."Dimana, Bu? Dimana ibu lihat Amira?" tanyaku dengan rasa penasaran yang sangat tinggi."Dia terlihat sangat sibuk bantu-bantu di warungnya Budhe Narti, sampai-sampai ibu panggil pun tidak menoleh," jawab ibu kemudian."Budhe Narti?""Iya budhenya si Bian, teman kamu itu lho," cerocos ibu lagi."Warungnya di sebelah mana, Bu?"Dekat pasar kok.""Andri akan kesana cari Amira, Bu," sahutku sembari menyambar jaket kesayangan
"Kemudian, setelah wanita itu dicerai tiga oleh sang suami maka sang suami tidak boleh kembali lagi ke mantan istri, tidak boleh rujuk lagi ke mantan istri kecuali mantan istri sudah menikah lagi dengan laki-laki lain." Ucapan Pak Ustadz tadi pagi masih saja terngiang-ngiang ditelingaku.Bayang wajah Amira kembali hadir menari-nari di kepalaku."Mas, nih aku bikin cemilan kue, coba nih dicicipinya dulu," ucapnya kemudian langsung menyuapiku kue itu dengan tangannya."Mas, aku punya tanaman baru, ayo lihat dulu," ajaknya sambil menggamit lenganku lalu menunjukkan tanaman-tanaman hias kesukaannya."Mas, terima kasih ya," jawabnya sambil tersenyum manis lalu merangkulku, setelah kuberikan sebagian gajiku padanya. Ya, hanya sebagian karena yang sebagian lagi aku pakai untuk biaya hidupku disana. Tapi dia tak pernah mengeluh tentang hal itu, Amira selalu menerimanya dan mengelola uang itu dengan baik."Mas, aku bikin nasi goreng lho, coba ni
Air mata ini tak berhenti menitik. Kenapa Mas Andri tak menghargai perasaanku? Semudah itu mengucap kata talak dan semudah itu juga bilang mau mencarikan muhalil untukku? Apakah sebuah pernikahan tak berarti untukmu, mas? Apakah pernikahan bagimu adalah sebuah permainan?Aku menghela nafas dalam-dalam. Kuseka air mata yang berulang kali jatuh tanpa kompromi. Kenapa aku mendadak mellow begini."Beliiii...." teriak suara dari luar.Aku terkesiap, lalu menghapus air mataku dan mengecilkan nyala kompor agar masakan tetap hangat namun juga tidak gosong.Aku tergopoh-gopoh menghampiri pelanggan, seorang bapak-bapak dengan perawakan tambun, dan sebuah kacamata hitam disampirkan di kepala."Ya mau pesan apa, pak?" tanyaku sembari membawa kertas kecil dan pena untuk menuliskan pesanannya.Pria tambun itu melihatku dari ujung kaki sampai ujung kepala dengan tatapan genit dan menggoda."Pesan kamu, neng? Berapa?" ujarnya dengan kerlingan m
"Bagaimana hasilnya, Nduk?" tanya Budhe Narti ketika kami sampai."Mbak Amira hamil, Budhe," celetuk Mas Bian. Dia melirikku yang masih terdiam membisu."Bukankah ini kabar gembira? Kenapa kamu murung, Nduk?" tanya Budhe Narti lagi."Tidak apa-apa, budhe," jawabku. Sebenarnya aku khawatir dengan kehidupan anak ini selanjutnya. Apakah aku bisa menghidupi dan mendidiknya dengan baik? Selain menjadi seorang ibu, aku juga harus menjadi seorang ayah untuknya."Padahal sudah kubilang budhe, supaya Mbak Amira gak perlu khawatir masalah kebutuhan bayinya, aku bisa membantunya. Tapi dia masih saja murung," sahut Mas Bian lagi."Bian, masalahnya gak semudah itu. Wanita itu punya perasaan. Banyak yang harus dipikirkan. Bukan hanya kebutuhan fisik bayinya saja, psikisnya juga perlu. Bayi itu juga butuh kasih sayang seorang ayah. Sedangkan disini posisi Amira sedang sulit. Mungkin dia masih shock. Dia baru bercerai dengan sang suami. Bahkan mungkin suaminya pun
Hari demi hari berganti, menjalani kehamilan pertama tanpa suami rasanya nano-nano, menyedihkan. Tidak ada yang bisa menjadi sandaran hati ketika rasa lelah menanti. Meskipun Budhe Narti sudah melarangku untuk bekerja, tapi aku merasa tak enak hati. Aku memang sudah tak membantunya berjualan di warung, karena hidungku terlalu sensitif, mencium aroma masakan saja sudah membuatku mual. Jadi, aku hanya melakukan tugas rumahan yang ringan."Hueek... Hueek... Hueek..."Mendadak perutku mual-mual kembali. Apakah bawaan bayi memang seperti ini? Pusing, mual, muntah, badan meriyang tak karuan. Rasanyaaku ingin menangis saja."Sabar ya mbak, hanya itu yang bisa aku ucapkan. Oh iya, ini mbak, ada buah dan susu hamil untukmu. Biasanya ibu hamil suka yang seger-seger," tukas Mas Bian. Dia memberikan parsel berisi buah-buahan dan juga susu untuk ibu hamil."Mas, gak usah repot-repot," sahutku."Aku gak merasa direpotkan kok. Sudah tanggung jawabku," jawabnya la
POV RestuPagi menjelang siang, aku kedatangan tamu yang tidak terduga. Andri dan istrinya datang berkunjung. Mereka membawa Affan juga. Sudah lama kami tak bertemu."Mas, maaf ya mas, aku gak bisa datang waktu acara pernikahanmu. Waktu itu istriku lagi ngidam parah, mual dan muntah-muntah terus tiap hari sampai dia harus bedrest total," ucap Andri mengungkapkan alasannya kenapa dia tak bisa datang saat acara pernikahanku digelar."Istrimu sedang hamil, Ndri?" tanyaku."Iya mas, sudah memasuki usia 4 bulanan," jawab Andri sembari memandang istrinya dengan penuh cinta. Aini hanya mengulum senyum sambil mengangguk."Alhamdulillah, mas ikut senang mendengarnya.""Iya mas, ini baru bisa diajak pergi-pergi. Dulu mau ditinggal juga kasihan.""Tidak apa-apa, mas senang kalau kalian sehat, itu saja sudah cukup.""Aku gak bisa ngasih apa-apa, Mas.
POV MutiaMenikah dengan seseorang yang tak kukenal sebelumnya, kalian bisa bayangkan sendiri bagaimana rasanya. Takut, ragu, canggung, semuanya campur aduk jadi satu.Tapi mungkin ini jalan takdirku. Dan mungkin saja Mas Restu adalah jodoh yang dipilihkan Allah untukku dengan jalan yang tidak terduga.Setelah sempat beberapa hari kemarin hidupku benar-benar terguncang, menghadapi kenyataan yang ada di depanku. Kehilangan seseorang yang besok akan meminangku. Calon suamiku meninggal tepat dua hari sebelum hari H.Lalu, setelah menghadapi kenyataan bahwa ternyata Mas Roni-lah yang bersalah, tidak hati-hati dalam mengendarai motornya hingga ia terjatuh. Hatiku terkoyak begitu dalam.Apalagi keinginan ibu yang seakan memaksa kalau aku harus menikah dengan yang menabrak Mas Roni, itu tidak masuk akal bukan? Tapi aku bisa apa? Aku tak berani menolak. Keluarga Mas Roni telah banyak membantuku. Mereka sangat berjasa dalam hidupku. Mereka telah membawa
"Mas, kenapa melamun?" tanyanya menghenyakkanku."Emmh, enggak. Terima kasih ya dek, semoga kamu bisa menerima anakku ...""Iya, mas. Aku beres-beres dulu."Aku mengangguk. Kutinggalkan dia di kamar bersama Reni dan tumpukan baju yang akan dimasukkan ke dalam lemari.Aku bergegas membuka warung, sudah beberapa hari ini, tidak buka karena hal-hal yang tidak terduga. Beruntung yang dijual adalah sembako dan produk-produk kering lainnya untuk kebutuhan sehari-hari."Mas, baru buka, nih?" tanya ibu-ibu pembeli saat datang ke warung. "Katanya habis nikah ya, Mas? Kok gak ngundang-ngundang?" tanya ibu itu kembali."Iya Bu, pernikahannya sederhana saja, cuma digelar di tempat mempelai wanita," jawabku."Sama orang mana, Mas?""Beda kecamatan saja, Bu.""Mana istrinya? Gak kelihatan ...""Lagi beres-beres Bu, di kamar.""Oh iya iya, semoga langgeng ya mas, pernikahannya.""Aamiin, iya Bu, terima kasih doanya
POV Restu"Biar aku yang akan menikahi Mutia."Mungkin itu pernyataan konyol yang aku lontarkan saat itu. Bisa-bisanya aku mengajak nikah dengan orang yang tak kukenal sebelumnya. Wanita seperti apa dia, sikap dan karakternya bagaimana. Entahlah. Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku.Sebenarnya aku hanya ingin tidak ada keretakan dalam rumah tangga Bian dan Amira. Kasihan, cinta mereka selalu diuji. Padahal baru saja akan merasakan kebahagiaan, sudah harus melewati masalah yang begitu besar."Kamu serius akan menikahi Mutia?" tanya Pak Sobri.Aku mengangguk. Aku paham mungkin mereka khawatir, aku tidak bisa menafkahinya."Dari pada menikah dengan Bian lalu menjadi yang kedua, lebih baik Mutia menikah denganku. Aku memang seorang duda, tapi aku bisa menafkahinya," jawabku."Aku sudah lama sendiri, istriku sudah meninggal. Anakku sekarang sudah kelas lima SD. Kalau Bapak dan Bu Sobri merestui, aku akan segera menikahi
Sesampainya disana, setelah mengobrol banyak dengan petugas polisi, aku sepakat meminta petugas polisi untuk membebaskan mereka semua.Bu Sobri dan Mutia terlihat saling berpelukan. Mereka menangis."Terima kasih Mas Bian, kamu sudah membebaskan kami," ucap Mutia berusaha ramah. Wajahnya masih terlihat sendu dan juga kuyu, masih tersisa genangan air mata dalam tatapannya. Sedangkan Bu Sobri terdiam, wanita paruh baya itu terlihat menyeka air mata yang jatuh ke pipinya."Maafkan kesalahan kami ya mas," ucap Mutia kembali. "Ibu sangat terpukul dengan keadaan ini, makanya dia bertindak nekat. Meskipun seharusnya kami tak bertindak seperti ini pada kalian. Kami benar-benar bersalah. Tapi kalian sudah berbaik hati membebaskan kami. Sekali lagi terima kasih Mas Bian, Mas Restu, kalian benar-benar orang yang sangat baik."Tak lama Pak Sobri juga datang menjemput. Rupanya dia habis ada pekerjaan, ketika Bu Sobri berlaku nekat pada Alia, pak Sobri tidak tahu
"Alia, bertahanlah ya nak, kita akan menemui ibu," bisikku pada pada Alia. Tubuh mungil itu sepertinya kedinginan, sepanjang perjalanan aku mendekapnya dengan erat.Sesampainya di rumahKami langsung disambut oleh isak tangis Amira. Dia menciumi Alia tanpa henti."Mas, badan Alia panas sekali," ucap Amira. Air mata yang masih menggenang di pelupuk matanya."Segera kompres Alia, dek. Lalu kasih ASI. Obat penurun panas juga, masih ada kan?"Amira mengangguk lalu menuju ke kamar. Ia langsung menyusui Alia. Sedangkan Budhe Narti segera mengambilkan air hangat untuk kompres.Aku duduk di sofa ruang tamu. Kuhela nafas dalam-dalam. Ya Allah, terima kasih akhirnya anakku kembali, semoga dia tidak apa-apa. Batinku terus berdoa, semoga Alia selalu dalam lindungan-Mu, ya Allah."Restu, terima kasih kamu sudah membantuku, untung saja kamu segera datang," ucapku memecah kebisuan"Iya Bian, maaf kami sedikit terlambat tadi. Aku tidak m
Siang itu aku dan Restu pergi ke pemakaman. Berziarah ke makam Roni, korban kecelakaan itu.Sesampainya disana, kulihat seorang wanita sedang terpekur sambil memeluk pusara itu. Tangisannya terdengar pilu. Dia pasti Mutia, sedalam itu kah luka hatinya?Hatiku benar-benar merasa tersayat pedih, seharusnya mereka bahagia bersanding di pelaminan. Tapi... tanpa disengaja aku telah memisahkan mereka."Bian, ayo," ajak Restu, dia menarik lenganku untuk mendekat ke pusara itu.Gadis itu mendongak, air matanya basah membanjiri pipi. Matanya nampak sembab. Ia menyeka air matanya sendiri lalu menunduk dan pergi begitu saja tanpa sepatah kata apapun.Kulantunkan surat Alfatihah dan berdoa untuknya.Tiba-tiba ponselku berdering, panggilan dari Amira."Hallo, assalamualaikum. Ada apa, sayang?""Waalaikum salam, mas, Alia mas," sahut Amira dengan nada khawatir."Kenapa dengan Alia?""Alia diculik mas, huhuhu..." sahutnya
Sudah satu minggu aku menginap disini. Banyak nyamuk, pasti. Kedinginan? Ya tentu saja, karena gak ada Amira yang menghangatkanku. Sesekali tubuhku terasa menggigil ketika cuaca sedang dingin-dinginnya karena terus menerus diguyur hujan.Ah, sebenarnya bukan itu yang aku pikirkan. Aku memikirkan Amira dan bayi kami. Terbayang kembali raut wajah Amira yang bersedih dengan hal ini. Aku tak tega membayangkannya apalagi kalau melihatnya menitikkan air mata.Agaknya proses penyidikan masih lama berlangsung, Restu dan pengacara yang ia sewa pun sedang mengumpulkan bukti-bukti kuat, agar aku dinyatakan tidak bersalah, setidaknya misalkan menjalani masa hukuman, tidak terlalu lama.Aku bersyukur masih punya teman baik seperti Restu. Dia rela membantuku.Pagi menjelang siang, Amira datang menjengukku kembali. Ini kali kedua ia berkunjung kesini, aku maklum dia pasti kerepotan dan mungkin saja, badannya masih sakit pasca melahirkan, masih belum sembuh total.
"Mereka minta kamu menikahi gadis itu."Jedeeerr...! Bagaikan disambar petir saat mendengar pernyataan Restu. Sungguh ini tidak masuk akal. Benar-benar tidak masuk akal."Apaaaa?? Itu tidak mungkin! Apa mereka sudah gila?" pekikku tak percaya.Restu terdiam."Restu, katakan pada mereka, aku menolak. Aku lebih baik di penjara dari pada harus menikah dengan gadis itu. Berapa tahun hukumanku? Lima tahun? Sepuluh tahun? Baik, aku akan menjalaninya. Tapi kalau untuk menikahi gadis itu, aku tidak mau," sergahku dengan tegas."Ya, aku mengerti.""Restu, rasa cintaku pada Amira melebihi apapun. Kau tahu itu, bukan? Aku tidak akan pernah menduakannya, sampai kapanpun. Bila aku harus selamanya mendekam di penjara, itu tidak masalah bagiku.""Apa kau tidak memikirkan perasaan Amira dan juga anakmu? Kalau kamu terus menerus mendekam di penjara, bagaimana hidup mereka tanpamu?" tanya Restu. Ah, kenapa dia tak paham dengan isi hatiku?