Home / Pernikahan / Simpanan Dokter Konglomerat / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of Simpanan Dokter Konglomerat : Chapter 11 - Chapter 20

43 Chapters

11

“Mas? Ayo kita pulang saja!” Dinda berseru dalam bisiknya tepat di kuping Ricky membuatnya memelotot kaget. Ricky terkejut karena Dinda yang tiba- tiba saja meminta pulang seolah sudah tak betah berada di tempat tersebut. Pria itu khawatir takut Dinda tak menyukai tempat tersebut, karena dirinya memang tak pandai dalam memilih tempat kencan. Ia benar- benar nol besar dalam pengalaman berkencan dengan seorang wanita. “Kenapa Dek? Kamu gasuka ya sama tempatnya? Atau Mas ada berbuat salah?” Ricky yang memelotot kaget dengan pernyataan Dinda segera menarik wajahnya dan menanyakan hal tersebut dengan nada sedikit lebih keras dari sekedar berbisik. Dinda yang takut pelayan pria yang ada di samping mejanya mendengar, segera menarik kerah kemeja Ricky sedikit kasar hendak membisikkan sesuatu. “Harganya mahal Mas!” Dinda mengatakannya dengan gamblang dalam bisiknya. Hal tersebut membuat Ricky sedikit lega sebab bukan karena tempatnyalah alasan Dinda mengajaknya pulang. Ternyata wanita itu men
Read more

12

“Jadi mengapa kamu memutuskan menjadi seorang Pekerja Seks Komersil (PSK) seperti ini?” Ricky memberanikan diri menanyakan sebuah hal yang sebenarnya tak boleh dipertanyakan, karena terlalu beresiko. Pertanyaan tersebut dimungkinkan menyinggung perasaan Dinda. Bahkan mungkin dirinya tak pernah membayangkan bahwa Ricky akan menanyakan hal tersebut di hari pertama pertemuan keduanya. “Hmmm, bagaimana ya menjawabnya…” Dinda memangku tangannya di dada seraya menggosok- gosok sedikit dagunya karena dirinya sendiri juga tak mengharapkan bahwa Ricky akan menanyakan hal tersebut. Mau tak mau dihari pertama pertemuannya dengan Ricky, dirinya harus menceritakan mengenai bagaimana dirinya sampai bisa menjalani kehidupan sebagai seorang pelacur sekarang ini. Dan menurut Dinda hal tersebut bukanlah merupakan aib atau keburukan yang harus disembunyikan. Toh dari pekerjaannya sebagai pelacur, Dinda bisa memenuhi kebutuhannya dan keluarga di kampung. “Kalau Dinda tak berkenan, Mas tak mau memaksa… N
Read more

13

“Kemari, biar Mas ajari cara menggunakannya…” Ricky bangkit dari kursinya mendekati Dinda berniat mengajari wanita lugu di hadapannya tersebut. Wajah Dinda mendadak memerah karena malu bahwa dirinya tak bisa mengenakan alat makan yang biasanya digunakan orang kaya tersebut. Lain halnya dengan pria di depannya yang tiba- tiba mendekat seolah memang menunjukkan rasa senang karena mendapat kesempatan untuk dekat- dekat dengan Dinda. Ricky berdiri di belakang Dinda, sambil mengulurkan kedua tangannya dari balik punggung Dinda. Tangannya sebelah kiri, dalam posisi merangkul menunjukkan kepada Dinda cara menggunakan pisau makan yang dikombinasikan dengan garpu tersebut. Dada Ricky terasa begitu dekat menempel dengan punggung Dinda, hingga wanita itu dapat merasakan tiap tarikan nafas yang dilakukan oleh Ricky. Jelas sekali bahwa Dinda dapat merasakan detak jantung Ricky yang bekerja terlalu keras. “Apakah seperti ini Mas?” Dinda menunjukkan apa yang dilihatnya saat Ricky mengajarinya. Mun
Read more

14

“Ayo naik Dek!” Ricky dengan mobilnya yang baru saja sampai di depan pintu keluar basement, segera menurunkan kaca mobil memanggil Dinda yang sedang melamun sendirian di sana. “Eh! Iya… Iya Mas,” Dinda yang tersadar dari lamunannya bergegas masuk ke dalam mobil yang dikemudikan Ricky tersebut. Ricky memasang wajah cerahnya dengan menggores senyuman. Suaranya parau, menghangatkan hati tiap wanita yang mendengarnya, termasuk Dinda. Dia lagi dan lagi terus menunjukkan perhatiannya. Secara tiba- tiba Ricky mendekatkan dirinya ke hadapan Dinda yang duduk di sampingnya. Wajahnya mendekat hingga nafas keduanya kembali bertemu untuk kesekian kalinya hari ini. Pada saat yang bersamaan, jantung Dinda tak bisa berdetak dengan tenang. Ia dapat merasakan tiap hembusan hangat nafas Ricky yang seolah- olah hendak menciumnya. Waktu seolah berhenti dalam beberapa detik, hanya untuk menikmati momen tersebut. Dinda yang gugup karena merasa akan dicium oleh Ricky mendadak memejamkan mata. Tetapi pada de
Read more

15

Ricky mengecek jam digital di layar radio touchscreen mobil mewah miliknya. Waktu ternyata sudah menunjukkan pukul 21.45, sudah sukup larut. Ia memutuskan untuk segera pulang ke rumah usai mengantarkan Dinda balik ke rumahnya. Tak tahu kenapa ada perasaan gusar saat dirinya sudah tak berada di dekat Dinda. Perasaan bersalah karena jalan dengan wanita lain tanpa sepengetahuan istrinya dan juga perasaan nyaman yang tampak bergejolak tiap kali dirinya memikirkan Dinda. “Assalamualaikum…” Ricky mengucapkan salam saat mengetuk pintu berharap istrinya belum tertidur. Sambil menunggu dengan tenang, dirinya yang menjinjing jas di lengannya menengok jendela kaca yang tertutup kelambu, memastikan lampu rumah menyala ada sudah dimatikan. “Masih nyala ternyata,” gumamnya pelan. “Wa’alaikum salam…” Sebuah suara nyaring menyahut setelah beberapa menit Ricky mengetuk pintu rumah. Ternyata istrinya belum tidur dan membukakan pintu untuknya. “Belum tidur Dek?” Ricky memulai menjejalkan pertanyaan s
Read more

16

“Kamu ke mana Mas sejak sore tadi?” Tari menyerang suaminya dengan pertanyaan kejutan. Membuat Ricky sedikit terkejut dan tak menyangka bahwa Tari akan menanyakan hal tersebut kepadanya. Ricky berusaha menutupi perasaann terkejutnya dengan tetap tenang dan masih dengan wajah datar. “Tadi sore?” Ricky yang belum sempat terpikirkan alasan untuk menjawab pertanyaan tersebut sedikit kelabakan. Dirinya menoleh tenang dengan tak berekspresi menatap istrinya yang berada di sebelahnya. “Iya Mas, tadi sore. Sekitar jam 3 sehabis ashar.” Timpal Tari menanggapinya. “Ada urusan di luar rumah sakit! Lagian dirimu mengapa tiba- tiba menjadi sangat hyperprotective seperti ini sih? Apa harus sampai menelepon rumah sakit untuk menanyakan kabarku?” Ricky yang tersulut emosi memilih untuk menggigit balik serangan pertanyaan jebakan yang dilontarkan Tari dengan amarah. “Urusan apa Mas? Sampai pulang selarut ini? Urusan apa yang membuatmu sampai mengatakan kamu kecapekan Mas?” Rasa kecurigaan Tari terh
Read more

17

“Pagi sayang…” Ricky yang baru saja terbangun dari tidur, mendapati istrinya pagi- pagi sekali sudah sibuk memasak di dapur. Dirinya langsung menghampiri sang istri dan menganggunya yang sedang memasak. Ricky dengan wajah yang memerah karena benar- benar baru terbangun dari tidurnya, langsung memeluk pinggul Tari dari belakang dengan mesra. Sementara itu, Tari hanya tersenyum kecil sambil tetap melakukan pekerjaannya yang tengah menggoreng telur ceplok mata sapi. “Udah ih Mas, biarku selesaikan dulu menggoreng telurnya. Takut gosong!” Tari menggerakan tubuhnya pelan, menjauhkan diri dari pelukan Ricky. Karena hal tersebut, Ricky langsung bereaksi dengan menciumi seluruh bagian leher Tari dari belakang mengusilinya. “Gamau!” Pungkas Ricky yang sibuk menciumi leher istrinya. Bekas- bekas percintaan semalam, ternyata masih membekas di benak keduanya. Sebuah pertengkaran dan kecurigaan justru membuat keduanya makin lengket satu sama lain. Tak disangka betapa mesra keduanya, saling menggo
Read more

Chapter 18. Winda Jatuh Cinta

Pak Saleh, Raizel beserta rombongannya kembali ke rencana awal yaitu, menginap di rumah Pak Saleh untuk malam itu.Tok tok tok tokkk..."Asalammualaikum dik!" seru  Pak Saleh  memanggil istrinya untuk membukakan pintu yang diketuknya."Waalaikumsallam?" jawab Ningsih istri Pak Saleh dari dalam rumah.Kriyekk...Suara pintu tua yang rentan rusak, milik kediaman Pak Saleh."Kang Saleh?" ucap Ningsih yang gembira melihat sosok lelaki yang sangat ia tunggu-tunggu kehadirannya. Ninsih  begitu kaget, Suami tercintanya pulang secara tiba-tiba tanpa mengabarinya terlebih dahulu. Biasanya, Pak Saleh akan mengabarinya sehari sebelum pulang dengan HP milik teman sekostnya.Dengan cepat, Ningsih mencium punggung tangan suaminya itu."Kok nggak ngabarin dulu kang?"  ucap Ningsih tersenyum bahagia."Iya dek, akang lupa! maaf!" jawab Pak Saleh mengusap rambut Istrinya."Lho? Akang pulang sama sia
Read more

Chapter 19. Pertemuan

Dua buah tas ransel milik pria indigo itu, sudah siap digendong sejak setengah jam lalu. Pagi itu Pak Saleg berencana mengantarkan Raizel, Egy dan yang lainnya ke rumah Pak Gunawan."Udah selesai beberesnya den?" ucpa Pak Saleh yang habis mandi, keluar dari dapurnya."Udah pak!" ucap Raizel menata keduavtas ranselnya berjajar."Dik? Ini anak-anak mau pamit!" teriak Pak Saleh memanggil istrinya yang masih di kamar."Iya, kang!" jawabnya membuka hordenf yang menutupi kamarnya."Egh, aden udah pada mau berangkat?""Iya nih Buk, kita mau langsung ke Rumah papah aja," balas Egy berpamitan."Terimakasih ya bu, atas tumpangannya semalan," imbuh Diva."Sama-sama neng," balasnya tersenyum ramah."Akang juga ikut pamit sebentar ya dik! Mau mengantar mereja ke rumah Pak Gunawan!""Iya kang, ati-ati!" ucap istrinya mencium punggung tangan Pak Saleh.Nita sudah menyibukkan dirinya mencuci di belakang sejak subuh tadi, s
Read more

Chapter 20. Kain Kafan

"Pak? Saya pamit dulu ya, lagi buru-buru soalnya!""Kok buru-buru banget?" ucap Gunawan basa-basi."Iya nih pak," balas saleh menunduk memberi hormat."Den? Bapak pamit ya!" ucap Pak Saleh kepada Raizel dan Egt."Oh iya pak, terimakasih udah dianter sampe sini dengan keadaan utuh," kekeh Egt bangkit dari dudukbya bersalaman dengan Pak Saleh."Bukan apa-apa den," tutup Pak Saleh meninggalkan mereka di ruang tamu.Mereka akhirnya melanjutkan pembicaraan denfan Ayah Egy. Raizel awalnya diam, diwakilkan oleh Egy , berusaha menyampaikan tujuan mereka menyusul Ayah Egy jauh jauh ke sana."Jadi? Tujuan kalian kemari apa?" tanya Pak Gunawan yang duduk di kursi paling ujung, tepat di sebelah Egy putranya."Sebenarnya, kira ada sesuatu penting yang harus di selesaikan di sini pah!""Sesuatu penting?" tanya Pak Gunawan penasaran dengan ucapan anaknya."Soal Ega pah?" ucap Egy menatap ayahnya yang kini menatapnya dengan khidm
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status