Beranda / Romansa / Rindu yang Lupa / Bab 21 - Bab 30

Semua Bab Rindu yang Lupa: Bab 21 - Bab 30

49 Bab

Episode Dua Puluh Satu : Pangeran Angka

Tatapan Fira kosong, ia tidak mendengarkan nasihat guru, justru mengajak imajinasinya berjalan-jalan ke negeri antah berantah. Perasaan bersalah tidak mengendap di dadanya. Baginya, apa yang ia ucapkan telah tepat dan tidak melesat dari yang diharapkan teman-teman. Kenyataannya mereka semua terbahak, bukankah itu yang dinamakan dengan mendukung? Lantas mengapa guru dengan kaca mata tebal, sebut saja Pak Ano itu menatapnya geram? Ini tidak adil! Ya menurutnya Pak Ano berbuat tidak adil. Kini justru ia berbalik menatap Pak Ano, menggelembungkan pipi, berkacak pinggang, matanya melotot tajam. Dua manusia itu kini pelotot-pelototan! Lala sedang bermain tepuk tangan di bangku paling belakang dengan Devi. Kakaknya diabaikan.  Kawan, baru saja Fira melamun, ia tidak mengerjakan PR yang diberikan Pak Ano minggu lalu. Guru dengan kumis tipis di bawah hidungnya itu masih bersabar, sayang ketika soal dipecahkan, Fira tetap tidak memerhatikan. Kesabaran Pak Ano lenyap dicuri h
last updateTerakhir Diperbarui : 2021-09-10
Baca selengkapnya

Ketakutan

Caca menerka-nerka pikiran takdir, ia mengemas segala resah dari balik jendela kamar. Mengunci mulut berhari-hari demi menutup kesalahan yang tak mau ia ungkap. Tubuhnya diserang gigil ketakutan akut. Ia sampai kehilangan nafsu bermain dan makan. Ingatannya terus tertuju pada kenangannya bersama Fira, menerobos masuk ke kandang, tempat Ayah dipasung. Andaikan jari-jarinya tidak usil, kabar mengerikan utusan takdir itu tak akan tersebar liar. Ia menyalahkan Tuhan yang selama ini dianggap tak mendengar doa-doanya. Sudah berulangkali Caca pinta akal sehat Ayah dipulihkan, sayang sepertinya Tuhan tak mau mengabulkan. Ia merutuk sambil bercermin di kamar. Senyumnya purna beberapa pekan. Keceriannya disirnakan kebisuan. Ia jatuh pada rasa bersalah amat curam. Tardir memilukan. Orang-orang dirundung panik di mana-mana. Khawatir jika tetiba Ayah datang membawa sebilah pisau, lantas menghunus ke sembarang leher. Gunjingan berkelindan di mana-mana. Keramah tamahan yang biasa dibe
last updateTerakhir Diperbarui : 2021-09-16
Baca selengkapnya

Episode Dua Puluh Tiga : Pak Ano

“Lekas kau bereskan buku belajarmu, tuntun adikmu ke kantor. Bapak mau mengantarkanmu pulang,”Pak Ano simpati, ia sangat iba dengan prestasi anak didiknya yang tidak pernah meningkat. Harapannya siang itu sederhana, ingin bertemu Ibunya untuk menyampaikan nasihat-nasihat yang bersifat konstruktif demi membantu perkembangan alam pengetahuannya. “Kita pulang naik mobil, Pak?” mata Fira berbinar. Pak Ano mengangguk.Pijakan kakinya melompat girang. Guru yang baru saja masuk ke dalam ruang itu menatap heran. “Bapak ingin bertemu dengan ibumu,”Fira bergeming, ia mendadak menjadi patung yang merasa tidak beruntung. Kalimatnya tercekak, berkali-kali guru-gurunya menanyakan perihal Ibu dan mengutarakan keinginan mereka yang selalu ingin bertemu dengan ibunya, berkali-kali pula ia berkata jujur bahwa siang hari ibunya tidak bersemayam di rumah, tetap saja mereka kurang percaya. Dianggapnya orang dewasa adalah sekelo
last updateTerakhir Diperbarui : 2021-09-16
Baca selengkapnya

Episode Dua Puluh Empat : Permulaan

Pagi. Aroma aspal terkontaminasi dengan wewangian air hujan. Lumpur-lumpur mengendap di jalan berlubang. Alam basah dan pandangan penuh kabut. Rambut Caca bertabur embun. Ransel menggantung di bahu terlihat malang, sedih karena tuannya tak segera melangkahkan kaki menuju kampus. Pandangan layunya masih memerhatikan laju titik air yang memantul di permukaan jalan, pepohonan, dedaunan, bebunga, dan obyek-obyek di depan tubuhnya. Ia tak beranjak dari halte bus, meski kendaraan telah berhenti menantikan dirinya masuk. Sayang, ia hanya melambaikan tangan. Sepuluh menit kemudian, ia biakkan payung yang sedari tadi digenggamnya. Barulah hasrat menuntunnya melangkah, namun berlawanan arah dari kampus. Seperti biasanya, ia hendak membuang penat di kursi tunggu Indomaret. Ia duduk di sana, terus memandang detak jantung hujan yang tenang berdenyut. Waktu itu jiwanya mendung. Banyak kenangan hinggap di pikiran. Aroma tanah mengantarkannya pada lorong waktu masa lalu. Ada cerita tib
last updateTerakhir Diperbarui : 2021-09-19
Baca selengkapnya

Episode Dua Puluh Lima : Menghitung Bintang

Sampai azan isyak lelap, ibu tak kunjung datang membawakan jajan. Fira mematung di depan jendela, mengintip jalanan kampung, mengharap wanita yang melahirkannya menyembul. Lala duduk di pangkuannya, menghitung bintang yang berkelip malu-malu.  “Jika sudah sampai hitungan ke seratus, Ibu pasti pulang, Kak! Ayo menghitung!”  Fira mengeryitkan dahinya, ada satu kata yaang kurang tepat terucap oleh adiknya. Ia menatap wajah Lala. “Kau bilang apa?” “Kita hitung bintang sampai seratus, nanti Ibu akan pulang, Kak Fira!” “CACA!” Fira berteriak keras sekali, ia lupa dengan kekhawatiran Ibu yang tidak kunjung pulang. Membopong tubuh Lala ke ruang tamu. Gadis yang sedang menggelesor di atas permadani ruang teve itu menatap kakaknya heran, suara lantangnya justru mengganggu kenyamanannya mengguratkan warna crayon di atas lembaran kertas. ‘Dasar pengganggu!’ gerutu malam pada
last updateTerakhir Diperbarui : 2021-09-20
Baca selengkapnya

Episode Dua Puluh Enam : Kedengkian

Hujan memeluk bumi. Tumbuhan kembali dibuat basah. Kucing-kucing tetangga kedinginan, mereka meringkuk di sebelah tungku perapian. Aroma tanah menguar. Kopi diseduh dengan kebisingan hujan yang turun bergerilya mengamuk atap-atap rumah. Kaca berembun, lantas embunnya jatuh mencetak angka satu yang panjang. Debu-debu sirna. Hujan menggambarkan wajah sesal Fira di sudut ruang. Ia meletakkan telapak tangannya di permukaan kaca. Hujan di luar hendak menjemput titik tangis Fira. Pedihnya menggema di dinding-dinding rumah sakit. Di dalam sana Akhtar sedang mengumpat kedengkian. "Kalau saja Ibu tidak pernah mengenalkan aku dengan bocah bodoh itu—" suaranya tertekan riak tangis. Dua tangan meremas selimut erat-erat. Bila menundukkan kepala, tak mengerti kalimat apa yang harus diucap. Pak Bagas duduk di sisi Akhtar, mengelus bahunya yang terus bergetar. "Aku tak akan seperti ini!" Kenyataan pahit meraup kedua kaki Akhtar. Dulu hanya satu kaki yang lumpuh, kini
last updateTerakhir Diperbarui : 2021-09-21
Baca selengkapnya

Episode Dua Puluh Tujuh : Memanen Embun

Bila berusaha keras mencari identitas Ibu. Ia merogoh kantong bajunya, mencari dompet barangkali menyelip di dalam. Tak ada, mungkinkah Ibu tidak memiliki dompet, atau tertinggal di rumah? Suaminya yang baru saja pulang kerja menyarankan Bila membawanya ke rumah sakit, sayang hujan tak kunjung berhenti. Malam itu Ibu direbahkan di kamar Akhtar, diselimuti hangat, diolesi minyak kayu putih. Dokter tidak dikunjungi, namun dipanggil ke rumah Bila. Ibu kelelahan dan masuk angin. Jika istirahatnya cukup dan obat diminum dengan teratur, Ibu akan cepat sembuh. Begitu kata Dokter. Identitas Ibu tidak ditemukan, suami Bila, atau kau boleh memanggilnya Pak Bagas, tak jadi mengantarkannya pulang ke rumah. Hujan masih menemani malam hari itu. Dingin menusuk kulit-kulit keluarga Bila. Kunang tidak bercerita di semak. Jalanan aspal sepi. Warga membalut tubuh dengan selimut. Ibu sadar, namun ia langsung disuntik oleh dokter agar kembali terpejam. Biarkanlah ia istirahat, melup
last updateTerakhir Diperbarui : 2021-09-26
Baca selengkapnya

Episode Dua Puluh Delapan : Pameran

Caca menatap langit-langit kamar. Guling dibiarkan rebah di atas tubuhnya. Selimut menyarung separuh badan. Tangannya memeluk guling. Cahaya neon yang jatuh menerpa wajah seolah hendak menyinari kegamangan alam pikir Caca. Ia berdiri di pertigaan jalan, bimbang memilih arah, ada kelam di kiri, ada kesia-kesiaan di tengah, sementara di akhir bayang abstrak seputar masa depan melambai-lambai. Bermalam-malam lamanya pikiran Caca tidak tenang, ia merasa akalnya ditindih beban berat. Beban yang tidak mudah dipindah ke lapang perasaan orang lain. Usia Ibu berkurang, dan tanggung jawab tiada berhenti. Ada hasrat ingin mengakhiri kuliah demi membantu Ibu bertahan hidup di bumi Tuhan. Tapi, apa yang harus ia lakukan? Setiap dua bulan sekali Fira memberi uang kepada Ibu. Lelahnya bekerja dibuang tuntas pada bening Ibu. Keringat-keringat mengalir menjadi hidangan di meja makan. Ia simpan rupiah pada permukaan kasar jemari Ibu. Lantas kembali menjejali malam dengan pen
last updateTerakhir Diperbarui : 2021-10-02
Baca selengkapnya

Episode Dua Puluh Sembilan : Pangeran Kursi Roda

Kehadiran keluarga Bila membuat perasaan Caca gusar. Ia setengah senang dengan kepulangan Ibu, ia tidak menyalahkan kedatangan mereka bertiga, bahkan diakuinya sempat tertanam rasa syukur dirinya mampu berpijak tegak dengan benar, tak senasib dengan pemuda yang duduk di kursi roda. Namun ada hal lain yang ia perhatikan, tentang kasih yang berkurang, suatu hak yang membuatnya terus dibekap kesendirian, dipandang berbeda dari yang lain. Ia berdiri mematung, tidak bergerak maju memeluk Ibu, bukan karena tidak rindu, namun jiwanya membeku. Ada iri yang menggenang di sudut matanya. Burung-burung di langit berangkat mencari makan, meninggalkan anaknya di sangkar, melintasi langit yang semakin cerah menjadi rupawan, tidak ada lagi yang malas-malasan di kabel listrik. Ayam-ayam tetangga mulai membuat kesibukan, mencakar-cakar endapan sampah di tempat pembuangan, beruntung jika cacing tanah mampu dipatuknya, ia tidak pernah mengharapkan lebih dari sisa makanan manusia.  Emb
last updateTerakhir Diperbarui : 2021-10-06
Baca selengkapnya

Episode Tiga Puluh : Teguran

Kini Fira paham dirinya telah melangkah di jalanan salah. Ia tidak boleh marah apalagi sakit hati dengan gosip yang diedarkan oleh Karin dan teman-teman. Memang sungguh nyatanya ia tak serajin dan tak sebertanggungjawab dahulu. Kini ia berpikir ulang untuk bertahan dengan sikapnya yang melulu seperti itu atau pergi kembali pulang, atau mencari pengalaman baru di tanah rantau. Lehernya terasa pegal, sudah nyaris lima belas menit lamanya ia mendengarkan keluh kesah mengenai tindakan yang telah diperbuat. Ia sedang disidang, dimintai keterangan pasti, juga dites kejujurannya. HRD menatap ubun-ubunnya— sebab ia tak berani mengangkat wajah. Perasaannya tidak nyaman. Ruangan HRD ber-AC, sejuk, tidak ada polusi masuk, pun dipeluk sepi harusnya tidak menjenuhkan seperti suasana ballroom restoran ketika musik dangdut sedang dipentaskan, baginya duduk di hadapan HRD di ruangan tersebut seumpama sedang dijemur di tengah-tengah lapangan dengan satu kaki pada waktu siang. Ia k
last updateTerakhir Diperbarui : 2021-10-08
Baca selengkapnya
Sebelumnya
12345
DMCA.com Protection Status