Pagi. Aroma aspal terkontaminasi dengan wewangian air hujan. Lumpur-lumpur mengendap di jalan berlubang. Alam basah dan pandangan penuh kabut. Rambut Caca bertabur embun. Ransel menggantung di bahu terlihat malang, sedih karena tuannya tak segera melangkahkan kaki menuju kampus. Pandangan layunya masih memerhatikan laju titik air yang memantul di permukaan jalan, pepohonan, dedaunan, bebunga, dan obyek-obyek di depan tubuhnya. Ia tak beranjak dari halte bus, meski kendaraan telah berhenti menantikan dirinya masuk. Sayang, ia hanya melambaikan tangan.
Sepuluh menit kemudian, ia biakkan payung yang sedari tadi digenggamnya. Barulah hasrat menuntunnya melangkah, namun berlawanan arah dari kampus. Seperti biasanya, ia hendak membuang penat di kursi tunggu Indomaret. Ia duduk di sana, terus memandang detak jantung hujan yang tenang berdenyut. Waktu itu jiwanya mendung. Banyak kenangan hinggap di pikiran. Aroma tanah mengantarkannya pada lorong waktu masa lalu. Ada cerita tib
Sampai azan isyak lelap, ibu tak kunjung datang membawakan jajan. Fira mematung di depan jendela, mengintip jalanan kampung, mengharap wanita yang melahirkannya menyembul. Lala duduk di pangkuannya, menghitung bintang yang berkelip malu-malu.“Jika sudah sampai hitungan ke seratus, Ibu pasti pulang, Kak! Ayo menghitung!”Fira mengeryitkan dahinya, ada satu kata yaang kurang tepat terucap oleh adiknya. Ia menatap wajah Lala. “Kau bilang apa?”“Kita hitung bintang sampai seratus, nanti Ibu akan pulang, Kak Fira!”“CACA!” Fira berteriak keras sekali, ia lupa dengan kekhawatiran Ibu yang tidak kunjung pulang. Membopong tubuh Lala ke ruang tamu. Gadis yang sedang menggelesor di atas permadani ruang teve itu menatap kakaknya heran, suara lantangnya justru mengganggu kenyamanannya mengguratkan warna crayon di atas lembaran kertas. ‘Dasar pengganggu!’ gerutu malam pada
Hujan memeluk bumi. Tumbuhan kembali dibuat basah. Kucing-kucing tetangga kedinginan, mereka meringkuk di sebelah tungku perapian. Aroma tanah menguar. Kopi diseduh dengan kebisingan hujan yang turun bergerilya mengamuk atap-atap rumah. Kaca berembun, lantas embunnya jatuh mencetak angka satu yang panjang. Debu-debu sirna. Hujan menggambarkan wajah sesal Fira di sudut ruang. Ia meletakkan telapak tangannya di permukaan kaca. Hujan di luar hendak menjemput titik tangis Fira. Pedihnya menggema di dinding-dinding rumah sakit. Di dalam sana Akhtar sedang mengumpat kedengkian."Kalau saja Ibu tidak pernah mengenalkan aku dengan bocah bodoh itu—" suaranya tertekan riak tangis. Dua tangan meremas selimut erat-erat. Bila menundukkan kepala, tak mengerti kalimat apa yang harus diucap. Pak Bagas duduk di sisi Akhtar, mengelus bahunya yang terus bergetar. "Aku tak akan seperti ini!"Kenyataan pahit meraup kedua kaki Akhtar. Dulu hanya satu kaki yang lumpuh, kini
Bila berusaha keras mencari identitas Ibu. Ia merogoh kantong bajunya, mencari dompet barangkali menyelip di dalam. Tak ada, mungkinkah Ibu tidak memiliki dompet, atau tertinggal di rumah? Suaminya yang baru saja pulang kerja menyarankan Bila membawanya ke rumah sakit, sayang hujan tak kunjung berhenti. Malam itu Ibu direbahkan di kamar Akhtar, diselimuti hangat, diolesi minyak kayu putih. Dokter tidak dikunjungi, namun dipanggil ke rumah Bila. Ibu kelelahan dan masuk angin. Jika istirahatnya cukup dan obat diminum dengan teratur, Ibu akan cepat sembuh. Begitu kata Dokter.Identitas Ibu tidak ditemukan, suami Bila, atau kau boleh memanggilnya Pak Bagas, tak jadi mengantarkannya pulang ke rumah. Hujan masih menemani malam hari itu. Dingin menusuk kulit-kulit keluarga Bila. Kunang tidak bercerita di semak. Jalanan aspal sepi. Warga membalut tubuh dengan selimut. Ibu sadar, namun ia langsung disuntik oleh dokter agar kembali terpejam. Biarkanlah ia istirahat, melup
Caca menatap langit-langit kamar. Guling dibiarkan rebah di atas tubuhnya. Selimut menyarung separuh badan. Tangannya memeluk guling. Cahaya neon yang jatuh menerpa wajah seolah hendak menyinari kegamangan alam pikir Caca. Ia berdiri di pertigaan jalan, bimbang memilih arah, ada kelam di kiri, ada kesia-kesiaan di tengah, sementara di akhir bayang abstrak seputar masa depan melambai-lambai.Bermalam-malam lamanya pikiran Caca tidak tenang, ia merasa akalnya ditindih beban berat. Beban yang tidak mudah dipindah ke lapang perasaan orang lain. Usia Ibu berkurang, dan tanggung jawab tiada berhenti. Ada hasrat ingin mengakhiri kuliah demi membantu Ibu bertahan hidup di bumi Tuhan.Tapi, apa yang harus ia lakukan? Setiap dua bulan sekali Fira memberi uang kepada Ibu. Lelahnya bekerja dibuang tuntas pada bening Ibu. Keringat-keringat mengalir menjadi hidangan di meja makan. Ia simpan rupiah pada permukaan kasar jemari Ibu. Lantas kembali menjejali malam dengan pen
Kehadiran keluarga Bila membuat perasaan Caca gusar. Ia setengah senang dengan kepulangan Ibu, ia tidak menyalahkan kedatangan mereka bertiga, bahkan diakuinya sempat tertanam rasa syukur dirinya mampu berpijak tegak dengan benar, tak senasib dengan pemuda yang duduk di kursi roda. Namun ada hal lain yang ia perhatikan, tentang kasih yang berkurang, suatu hak yang membuatnya terus dibekap kesendirian, dipandang berbeda dari yang lain. Ia berdiri mematung, tidak bergerak maju memeluk Ibu, bukan karena tidak rindu, namun jiwanya membeku. Ada iri yang menggenang di sudut matanya. Burung-burung di langit berangkat mencari makan, meninggalkan anaknya di sangkar, melintasi langit yang semakin cerah menjadi rupawan, tidak ada lagi yang malas-malasan di kabel listrik. Ayam-ayam tetangga mulai membuat kesibukan, mencakar-cakar endapan sampah di tempat pembuangan, beruntung jika cacing tanah mampu dipatuknya, ia tidak pernah mengharapkan lebih dari sisa makanan manusia.Emb
Kini Fira paham dirinya telah melangkah di jalanan salah. Ia tidak boleh marah apalagi sakit hati dengan gosip yang diedarkan oleh Karin dan teman-teman. Memang sungguh nyatanya ia tak serajin dan tak sebertanggungjawab dahulu. Kini ia berpikir ulang untuk bertahan dengan sikapnya yang melulu seperti itu atau pergi kembali pulang, atau mencari pengalaman baru di tanah rantau.Lehernya terasa pegal, sudah nyaris lima belas menit lamanya ia mendengarkan keluh kesah mengenai tindakan yang telah diperbuat. Ia sedang disidang, dimintai keterangan pasti, juga dites kejujurannya. HRD menatap ubun-ubunnya— sebab ia tak berani mengangkat wajah. Perasaannya tidak nyaman. Ruangan HRD ber-AC, sejuk, tidak ada polusi masuk, pun dipeluk sepi harusnya tidak menjenuhkan seperti suasana ballroom restoran ketika musik dangdut sedang dipentaskan, baginya duduk di hadapan HRD di ruangan tersebut seumpama sedang dijemur di tengah-tengah lapangan dengan satu kaki pada waktu siang. Ia k
Setiap orangtua menginginkan anaknya berkarakter peduli dengan kehidupan orang lain, sama seperti halnya Ayah Fira. Ia memangku harapan penuh kepada sang buah hati, semoga ia menjadi sosok yang ringan membantu dan menolong siapa pun. Sepanjang malam juga pada siang-siang yang pendek Ayah mendoakan untuk kehidupan Fira, tak pernah alfa, namanya tersimpan lekat dan merekat di hati yang terikat di antara dua bibirnya. Suara hatinya jarang menyebutkan nama lain di hadapan Allah, hanya ada putri-putrinya, Fira, Caca dan putrinya yang masih di dalam kandungan. Tak berkenalan dengan lelah. Ayah selalu mengeringkan keringatnya yang masih basah. Ia melebarkan waktu petang untuk kebutuhan mereka.Semuanya terbungkus rapi oleh cinta yang menguatkan hal-hal lemah, penyemangat menaiki tangga-tangga keharmonisan keluarga di rumah. Ia melupakan waktu indah di atas kasur, bermanja dengan kekasih, menyandarkan penat di bawah belaian angin malam. Bukan hanya itu saja, tak jarang ia tahan
Kini, hati Fira seperti permukaan es tipis. Mudah retak bahkan cair ketika nama Akhtar disebut. Sejak kecelakaan itu Fira enggan menemui pemuda tersebut. Ia sadar, jiwa Akhtar keras, benci kepadanya tak akan pernah runtuh, diibaratkan seperti nyala api neraka yang abadi. Akhtar bukan lagi sosok mengagumkan di pikiran, ia tak lebih dari pemarah menyebalkan.Ia fokus dengan pelajaran sekolah, terus berlatih membaca, dan juga terus menjaga adik-adik. Tak ada lagi hal yang perlu ditakutkan sebab Ayah kembali diikat dalam pasung oleh paman. Sebelum kokok bersorak menyambut kelahiran pagi, Fira dan kedua adiknya akan berjalan pelan-pelan menuju kandang pasungan, menyuapkan makan dan minum, lalu pergi dengan kecup di kening. Mereka berusaha tak ada seorang tetangga yang menyadari keberadaan mereka, kecuali kambing-kambing dan stok rumput. Mata dan telinga mereka terkadang kurang awas. Fira sering tersandung kayu karena ruangan yang gelap, lorong-lorong dinding bambu belum diso
Lantas kotak yang dibawa Akhtar ia sembunyikan, ia kulum senyum sembari memandang wajah Fira. Pemuda yang dianggap tampan oleh bening embun tersebut berusaha tegar meski ada sedikit gelenyar perih yang mengendap di dadany—gadis yang diam-diam ia cintai dan ingin dimiliki—sudah disematkan cincin indah di jari manisnya—lantas berkenan untuk dijadikan putri, rupanya memikirkan laki-laki lain. Akhtar memacu kendaraannya menuju Yogyakarta, ke tempat yang dipenuhi dengan kenangan emosinya mengenai Fira. Bayangan saat dirinya memukul tubuh Aldi yang mabuk kembali terpampang. Amarahnya yang saat itu sungguh tidak mampu dibendung masih terasa kental dalam ingatan. Lantas detik itulah ia sadar bahwa Fira adalah gadis yang ingin ia jaga. "Terima kasih kau sudah banyak membuat Caca berkembang," kata Fira memulai obrolan. Di hadapan mereka bangunan ruko-ruko menjulang tinggi. Lampu-lampu kendaraan menyala terang-benderang. Senja menyelinap di ufuk timur, terlihat anggun dan mengagumkan serupa l
Waktu cepat berlalu, pergerakan detik pada dinding berputar sangat cepat. Fira merasa Lukisan-lukisan Caca banyak yang memesan, meski potretnya hanya gambar sketsa perempuan dan pemandangan. Semula ia ingin fokus pada kegiatan baru mengurus butik pakaian bersama Mamak dan Fira, tetapi saudata perempuannya melarang. "Mimpimu harus tetap berkembang, Ca! Jangan menderita karena diriku," kata Fira di suatu senja ketika mereka menyesap teh hangat di balkon rumah. "Kau tidak suka aku melukis, kan, Kak?" "Mulanya begitu, tetapi sekarang aku tidak bisa memungkiri kemampuanmu yang hebat, orang-orang akan sedih jika kau berhenti menjadi seniman. Berkembang biaklah dengan menjadi Caca yang utuh, jangan jadikan aku alasan dirimu melukis atau menghentikan lukisanmu," ucap Fira lagi sambil menepuk bahunya. "Hmm, akan aku pertimbangkan jika kau tidak keras kepala lagi, Kak." Lalu mereka tertawa berdua. Tetiba ada bening yang singgah di wajah Fira, ada perasaan haru tak tanggung-tanggung. Ia hend
Cairan bening asin dan getir dimuntahkan. Wajahnya lesu. Ia tidak berselera makan. Jika diibaratkan sebagai bunga, maka kali itu dirinya adalah kelopak berguguran. Fira putus asa, ia tak tahu bagaimana lagi membuat Caca bicara apalagi sampai mau mendengarkannya. Adiknya berubah menjadi sosok tak tahu diri, egois, bahkan enggan mendengar nasihatnya untuk tidak pulang larut malam. Ia stres, sampai lupa makan sehari kemarin. Sudah bisa ditebak, maagnya kambuh.Mengapa kenyataan sering berjalan tidak seimbang? Ketika perasaan manusia siap menerima takdir yang diberikan, yang diharap malah bertolak belakang, akhirnya— menggerutu lagi, lupa bersyukur, bahkan sampai menyerah pada titik terendah. Buat apa semangat? Jika kehidupan tidak pernah berubah? Fira merasa hari-harinya berada di titik koordinat sebelah kiri, berhenti pada angka nol, jarang maju ke angka satu, lebih sering mundur menjadi minus! Ya! Perasaan bahagianya semakin berkurang seiring bertambahnya detik.&nb
Caca kali ini menyadari keikhlasan kakaknya yang amat suci. Setelah tahu Fira susah payah hilir mudik dari kampung ke kecamatan, ke pusat kota, browsing sana sini, namun tak menemukan pekerjaan cocok dengannya. Ia tak tahan melihat kemurungan Fira memandang langit dengan gerakan bibir putus asa menghitung bintang-bintang sementara telunjuknya diarahkan ke angkasa, lalu pelan bulir-bulir diterpa cahaya rembulan. Malam merekam sesok gadis berambut panjang duduk bersandar tembok di balkon rumah, tangan kirinya dipangku di atas lutut sementara satunya bergerak ke kanan ke kiri di udara."Ibu, keahlian apa yang harus kubeli agar punggungmu berhenti bekerja?" ceracaunya sambil menyeka air mata sendiri.Caca mengintip dan menguping dari balik jendela. Ibu dan Lala telah pergi ke tanah mimpi untuk mengubur kepingan lelah yang dipanen sewaktu terang. Caca ingat betul ucapan terima kasih bertumpuk-tumpuk terbubuhi peluh dan ungkapan maaf ketika dirinya menyampaikan u
Kisah ini akan usai, seperti pengalaman kerja Fira yang berhenti tanpa diminati. Ia anggap semua ini terjadi sudah sesuai porsi takdir. Menyesalinya? Mustahil, toh dirinya memang berbuat salah, pantas diundurkan. Ia akan berpisah dengan kamar kos, meninggalkan ballroom, dan tentunya tak akan sentuh botol miras serta setumpuk lembar rupiah di kasir. Paling akhir, ia akan menjadikan Aldi beserta rekan kerja lain sebagai kenangan."Jangan pernah main ke sini lagi!" kata Aldi terdengar seperti sebuah ancaman padahal suaranya keluar begitu lembut. Fira ditemani membereskan kamarnya. Ibu kos mengijinkan pria masuk ke tempat Fira karena ditemani Caca juga Akhtar. Barang-barang Fira dikeluarkan semua, kecuali kasur dan bantal.Caca menyeret koper baju, sementara Akhtar membawa boneka beruang dan beberapa buku bacaan. Mereka semua bergantian memasukkan ke dalam mobil. Aldi dan Fira melangkah pelan-pelan di belakang menikmati hari-hari akhir."Kenapa? Be
Hari ini sabtu, anak-anak berseragam cokelat melipat kesenangan mereka di dada. Wajah diluruskan demi menatap gerik bibir Caca menjelaskan. Ada sebuah kanvas di depan papan tulis, Caca memberi coretan sketsa sungai dan rumput, kemudian bibir dan tangannya bekerjasama menuntun para siswa. Kuas bergerak ragu-ragu. Ruang kelas disorot cahaya pagi melalui gorden jendela.Sepekan lalu ada surat datang ke rumah, sebuah permohonan pengajar ekstrakurikuler seni lukis di sebuah SMA swasta, sekali dalam satu pekan itu ia setujui. Karir Caca melonjak. Ia tidak sempat membaca komentar netizen di dunia maya. Sengaja melupakan tragedi malam pameran. Bahkan jika mampu menghapus maka akan dihapus secepat kilat. Caca tahu banyak makian dan umpatan ditujukan kepada Fira, ia hanya meyakini umpatan mereka sebentar lagi sirna. Sekali lagi ia tidak pendam amarah, hanya saja ada hal ganjil yang membuatnya belum siap menemui Fira. Entah apa itu—'Ca, kau harus bertemu kakakm
ATM dimasukkan ke mesin, ia pencet sandi kemudian menentukan nominal yang akan ditransfer ke rekening Caca. Ia tak mau berspekulasi apa-apa mengenai ibu, yang mendadak membutuhkan uang. Ibu tidak suka berbohong, Fira yakin ibu tidak melakukan tindakan memalukan tersebut. Sungguh ibu dalam kesusahan. Ada hal terbesit dalam keningnya, mengapa Caca yang notobenenya sedang berlimpah uang tidak tahu masalah ibu?Fira tak sadar berapa jam lamanya ia menyiksa kedua mata Akhtar. Pemuda itu semalaman menemani perasaan nanar bercampur tangisnya, puluhan kilometer dihabiskan berkawan angin dan kesunyian jalan. Fira memohon dirinya untuk mengantar ke ATM setibanya di kos-kosan. Harusnya Fira pulang ke kampung halaman, namun ia menutup hati, raut mukanya belum siap dipertemukan dengan Caca.Ketika media masa sibuk membicarakan kelancangan tangan Fira menampar seorang seniman, Akhtar justru lelap bersaksikan setir mobil. Rambut awut-awutan, dua kancing kemeja yang lepas,
Aldi seumpama bohlam lampu di atas kepala Fira, sinarnya menyinari seluruh wajah namun tak mudah digapai. Begitu karakternya belakangan ini, meski setiap hari bertemu namun ia jarang memberi sapa. Senyumnya seolah baru dicuri hantu, rautnya sedingin es apalagi jika Fira mengajaknya bicara. Ada pagar yang membatasi pergaulan Aldi, entah itu apa. Siapa pun yang mengajaknya bicara, responnya hanya deheman atau anggukan kepala, bahkan ia tak lagi seramah dahulu tatkala menyambut tamu. Aldi kehilangan harta paling berharga, meski ia sendiri buta dengan yang diharga."Apa aku membuat kesalahan?" Fira menerka-nerka sambil meletakkan nampan di meja. Ia baru selesai mengantarkan pesanan. Hari ini hari terakhir dirinya menjalani hukuman, pekan depan kembali menjadi kasir."Kau malas bicara padaku?"Aldi diam, ia menenggak mineral lalu meninggalkan Fira. Maka yang bisa gadis itu lakukan hanyalah mengutus kedua langkahnya untuk mengejar sampai ke ruang wai
Ibu orang jujur dan selalu menerima apa adanya. Ia tak pernah protes sekalipun jasanya lupa belum diupahi. Senyumnya juga senantiasa subur, walaupun ucapan pahit dari teman-teman seperjuangannya menciptakan kemarau panjang di dada. Orang-orang melunasi lelah malam mereka dengan menjalankan aktivitas pagi seperti biasa.Lidi bergesekan dengan tanah, permukaan genting mengepulkan asap-asap dapur, anak-anak kecil berlomba menuju sekolah dan kaki lima menyiapkan dagangan dalam gerobak, sementara kucing tetangga malas-malasan dengan tidur di bangku teras.Ketika semua orang menjelmakan cinta dalam kesibukan, Ibu justru mondar-mandir pendam gelisah. Usai menyibak gorden jendela ia mengintip kamar Caca. Memperhatikan setiap gerik jari-jari putrinya menuangkan cat dalam kanvas. Sudah beberapa hari ini Caca bangun sebelum fajar bernapas untuk menyapa kanvas-kanvas kosongnya yang tergeletak di sebelah dipan.Kamar Caca lebih layak disebut gudang lukisan