Beranda / Romansa / Rindu yang Lupa / Episode Tiga Puluh : Teguran

Share

Episode Tiga Puluh : Teguran

Penulis: Titin Widyawati
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Kini Fira paham dirinya telah melangkah di jalanan salah. Ia tidak boleh marah apalagi sakit hati dengan gosip yang diedarkan oleh Karin dan teman-teman. Memang sungguh nyatanya ia tak serajin dan tak sebertanggungjawab dahulu. Kini ia berpikir ulang untuk bertahan dengan sikapnya yang melulu seperti itu atau pergi kembali pulang, atau mencari pengalaman baru di tanah rantau. 

Lehernya terasa pegal, sudah nyaris lima belas menit lamanya ia mendengarkan keluh kesah mengenai tindakan yang telah diperbuat. Ia sedang disidang, dimintai keterangan pasti, juga dites kejujurannya. HRD menatap ubun-ubunnya— sebab ia tak berani mengangkat wajah. Perasaannya tidak nyaman. Ruangan HRD ber-AC, sejuk, tidak ada polusi masuk, pun dipeluk sepi harusnya tidak menjenuhkan seperti suasana ballroom restoran ketika musik dangdut sedang dipentaskan, baginya duduk di hadapan HRD di ruangan tersebut seumpama sedang dijemur di tengah-tengah lapangan dengan satu kaki pada waktu siang. Ia k

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Rindu yang Lupa   Episode Tiga Puluh Satu : Sebuah Jebakan

    Setiap orangtua menginginkan anaknya berkarakter peduli dengan kehidupan orang lain, sama seperti halnya Ayah Fira. Ia memangku harapan penuh kepada sang buah hati, semoga ia menjadi sosok yang ringan membantu dan menolong siapa pun. Sepanjang malam juga pada siang-siang yang pendek Ayah mendoakan untuk kehidupan Fira, tak pernah alfa, namanya tersimpan lekat dan merekat di hati yang terikat di antara dua bibirnya. Suara hatinya jarang menyebutkan nama lain di hadapan Allah, hanya ada putri-putrinya, Fira, Caca dan putrinya yang masih di dalam kandungan. Tak berkenalan dengan lelah. Ayah selalu mengeringkan keringatnya yang masih basah. Ia melebarkan waktu petang untuk kebutuhan mereka.Semuanya terbungkus rapi oleh cinta yang menguatkan hal-hal lemah, penyemangat menaiki tangga-tangga keharmonisan keluarga di rumah. Ia melupakan waktu indah di atas kasur, bermanja dengan kekasih, menyandarkan penat di bawah belaian angin malam. Bukan hanya itu saja, tak jarang ia tahan

  • Rindu yang Lupa   Episode Tiga Puluh Dua : Ayah, Kapan Kau Pulang?

    Kini, hati Fira seperti permukaan es tipis. Mudah retak bahkan cair ketika nama Akhtar disebut. Sejak kecelakaan itu Fira enggan menemui pemuda tersebut. Ia sadar, jiwa Akhtar keras, benci kepadanya tak akan pernah runtuh, diibaratkan seperti nyala api neraka yang abadi. Akhtar bukan lagi sosok mengagumkan di pikiran, ia tak lebih dari pemarah menyebalkan.Ia fokus dengan pelajaran sekolah, terus berlatih membaca, dan juga terus menjaga adik-adik. Tak ada lagi hal yang perlu ditakutkan sebab Ayah kembali diikat dalam pasung oleh paman. Sebelum kokok bersorak menyambut kelahiran pagi, Fira dan kedua adiknya akan berjalan pelan-pelan menuju kandang pasungan, menyuapkan makan dan minum, lalu pergi dengan kecup di kening. Mereka berusaha tak ada seorang tetangga yang menyadari keberadaan mereka, kecuali kambing-kambing dan stok rumput. Mata dan telinga mereka terkadang kurang awas. Fira sering tersandung kayu karena ruangan yang gelap, lorong-lorong dinding bambu belum diso

  • Rindu yang Lupa   Episode Tiga Puluh Tiga : Sakit

    Lelaki muda itu mengatur keseimbangan roda kursinya. Ia membungkukkan badan, hendak melepas sepatunya. Seragam putih birunya terlihat kusut. Rambutnya berantakan. Akhtar baru saja pulang dari sekolah. Bila mengantarkan putranya ke kamar. Semenjak kepulangan dari rumah Fira, ia sering bungkam, jarang berbicara dengan ibunya, padahal daun-daun yang semula hijau kini telah mengering, kelopak mawar yang waktu itu menguncup di halaman rumah, kini telah mekar, namun Akhtar masih sama, ia kunci bibirnya rapat-rapat. Tak seorang pun diperkenankannya mengetuk pintu hatinya termasuk Bila.“Ibu tadi dari pasar,” Bila berusaha menarik simpati Akhtar, “dan bertemu dengan Ibunya Fira.” Berita Bila pada putranya yang mengosongkan pikiran dari bayangnya gadis kecil itu. Ia tak menghiraukan. Ia turun dari kursi roda, memindah pantatnya ke kasur, meluruskan kakinya yang terasa pegal. Pandangannya menerawang ke tulang-tulang kakinya. Ia pedih membayangkannya yang m

  • Rindu yang Lupa   Episode Tiga Puluh Empat : Bintang

    Caca menggulung tikar dan membereskan lukisan-lukisannya. Pameran sungguh memuaskan, meski sampai detik itu pula belum ada peminang buah karyanya. Ia menatap langit mendung hari itu. Cerah hanya singgah sampai pukul sebelas siang, sisanya dibalut awan-awan kelabu. Seperti biasanya ia dibantu Akhtar. Ada raut perih yang menggelayut manja pada tatapannya. Ia merasa melakukan tindakan bodoh sementara orang-orang pandai mencemooh. Benar bukan? Buktinya ia terpanggil sebagai seniman menyedihkan. Di muka media pujian tentang bakat melambung, namun hastag netizen membuatnya terpukul. Ia seperti seekor kucing kampung yang ketahuan mencuri ikan pindang di dapur tuannya. Malu sekali, padahal jujur pencernaan terasa melilit."Apa aku terlalu menyedihkan?" katanya dengan putus asa. Kakinya melangkah menuju parkiran, tempat mobil Akhtar menunggu sang tuan."Kau belum berhasil, menyedihkan atau tidak itu relatif yang penting dirimu selalu membukakan pintu untuk tamu-tamu

  • Rindu yang Lupa   Episode Tiga Puluh Lima : Kenangan Masa Lalu— Teror!

    Fira Kecil dan Caca kecil sedang mengaji, mereka menghadapkan iqro’ di depan murobbi (guru), lidah Fira tertatih-tatih mengeja huruf hijaiyah. Sesekali ia menepuk meja jika huruf yang diucapkannya gagal keluar lancar bahkan ia melempar kitabnya karena jengkel.“Kenapa Tuhan menciptakan bacaan sulit seperti ini, Ustadzah?” Fira berkata polos, ia yang lugu membuat gurunya menahan geli. Dibelai lembut ubun Fira. Saat itu Caca yang berada di sebelahnya sedang khusuk membaca iqro’ jilid satu, menuding setiap huruf dengan telunjuknya, namun bukan karena paham dan tahu bunyi bacaannya, melainkan tersebab heran dengan bentuk-bentuk huruf yang jarang dijumpainya di bangku sekolah TK. Caca masih duduk di bangku taman kanak-kanak kelas A, orang dewasa menyebutnya TK Kecil.“Ini huruf arab Fira, huruf arab adalah hurufnya Al-Quran, jika Fira ingin membaca Al-Quran maka Fira harus belajar iqro’ terlebih dahulu sampai khata

  • Rindu yang Lupa   Episode Tiga Puluh Enam : Salah Sasaran

    Tangan Fira tremor. Napasnya dirasa sesak. Ia menelan air liur berkali-kali. Kepalanya ditundukkan untuk menyembunyikan rasa malu. Seragamnya tersiram jus jambu. Gumpalan es jatuh mengenai sepatu pantopelnya. Gelas pecah berserak. Kepiting tergeletak setengah meter dari pandangannya. Sambal terpisah dari wadah. Hotplate kangkung terpental, nyaris mengenai kaki tamu. Melodi terus berputar. Lagu pop terbaru dinyanyikan sebagai pelipur malam yang penuh kepenatan."Maaf, maaf, saya kurang hati-hati." Kata Fira sembari memunguti serpihan beling. Hari ketiga Fira menjadi waitres, kerjaannya kurang beres. Ia belum bisa menyesuaikan beban dengan kedua tangannya, apalagi menyeimbangkan nampan beserta isinya dengan satu tangan. Sudah menjadi aturan restoran, waitres menyangga nampan bundar dengan satu tangan. Lagi-lagi Fira gagal. Anggun menggelengkan kepala sebelum berlari mendekat. Roni ikut andil, ia sigap dengan mengambil sapu dan sekop. Aldi— Aldi yang baru memesan bir

  • Rindu yang Lupa   Episode Tiga Puluh Tujuh : Sebuah Nama

    Pilar-pilar tinggi menyangga dua lantai di atasnya. Ruang tamunya luas, ada dinding putih pembatas dengan ruang sebelah. Kanvas barunya sangat menggoda, tak sabar minta jatah percikan cat-cat. Caca datang sendirian, semula ia meminta Akhtar untuk mengantarkannya, tapi pesannya tak dibalas meski sampai ditelpon berkali-kali. Caca pun berangkat sendirian naik bus ekonomi. Seorang pemuda tampan dengan potongan cepak menyambutnya dengan gembira, disusul wanita cantik yang mengenakan gaun anggun. Caca memberi salam, ia letakkan tas jinjingnya di sebelah sofa, tas berisi aneka macam kuas beserta cat-catnya."Panggil saya, Damar. Saya ingin Anda melukis dinding itu—" ujung telunjuk Damar mengarah pada dinding putih selebar lima kali delapan meter persegi. Lantas senyum mengembang. Ada gambar raut penasaran yang terpancar di muka Damar. "Harganya berapa?""Sesuai hasilnya ya, Kak? Bayarlah sesuai kepuasan Anda." Kata Caca yakin."Haruskah kami menjadi

  • Rindu yang Lupa   Episode Tiga Puluh Delapan : Ingkar Janji

    Ibu terbatuk-batuk. Tubuhnya dibalut jaket tebal sementara selendang dikalungkan di leher. Seperti biasanya ia siap berangkat ke pasar. Dari lantai dua, Ibu menunggu obor sang teman. Beruntung Caca bangun pagi itu, ia memeluk tubuh rapuh ibu dari belakang."Bu, hari ini tidak usah ke pasar ya? Masakkan makanan paling enak di rumah saja,""Tidak. Ibu harus berangkat.""Bu, kali ini saja. Istirahatlah. Caca tidak tega melihat Ibu bekerja keras," rengek Caca sambil melepas pelukan. Ada ngengat yang mengerubungi lampu balkon. Tanaman di bawah terlihat menghitam, hanya gemericik air kolam yang terdengar jelas. Malam itu bintang bersembunyi, senyumnya dialihkan kabut. Musim penghujan seolah tak akan hengkang tahun ini. April menyapa namun belum ada tanda-tanda hujan ucap salam. Tanah-tanah basah menguarkan aroma kerinduan pada masakan nenek moyang."Berapa rupiah Ibu dapatkan upah dalam sehari?""Ibu biasanya menggendong mak

Bab terbaru

  • Rindu yang Lupa   Episode Empat Puluh Sembilan: Menjadi Rukun

    Lantas kotak yang dibawa Akhtar ia sembunyikan, ia kulum senyum sembari memandang wajah Fira. Pemuda yang dianggap tampan oleh bening embun tersebut berusaha tegar meski ada sedikit gelenyar perih yang mengendap di dadany—gadis yang diam-diam ia cintai dan ingin dimiliki—sudah disematkan cincin indah di jari manisnya—lantas berkenan untuk dijadikan putri, rupanya memikirkan laki-laki lain. Akhtar memacu kendaraannya menuju Yogyakarta, ke tempat yang dipenuhi dengan kenangan emosinya mengenai Fira. Bayangan saat dirinya memukul tubuh Aldi yang mabuk kembali terpampang. Amarahnya yang saat itu sungguh tidak mampu dibendung masih terasa kental dalam ingatan. Lantas detik itulah ia sadar bahwa Fira adalah gadis yang ingin ia jaga. "Terima kasih kau sudah banyak membuat Caca berkembang," kata Fira memulai obrolan. Di hadapan mereka bangunan ruko-ruko menjulang tinggi. Lampu-lampu kendaraan menyala terang-benderang. Senja menyelinap di ufuk timur, terlihat anggun dan mengagumkan serupa l

  • Rindu yang Lupa   Episode Empat Puluh Delapan: Teman yang Hilang

    Waktu cepat berlalu, pergerakan detik pada dinding berputar sangat cepat. Fira merasa Lukisan-lukisan Caca banyak yang memesan, meski potretnya hanya gambar sketsa perempuan dan pemandangan. Semula ia ingin fokus pada kegiatan baru mengurus butik pakaian bersama Mamak dan Fira, tetapi saudata perempuannya melarang. "Mimpimu harus tetap berkembang, Ca! Jangan menderita karena diriku," kata Fira di suatu senja ketika mereka menyesap teh hangat di balkon rumah. "Kau tidak suka aku melukis, kan, Kak?" "Mulanya begitu, tetapi sekarang aku tidak bisa memungkiri kemampuanmu yang hebat, orang-orang akan sedih jika kau berhenti menjadi seniman. Berkembang biaklah dengan menjadi Caca yang utuh, jangan jadikan aku alasan dirimu melukis atau menghentikan lukisanmu," ucap Fira lagi sambil menepuk bahunya. "Hmm, akan aku pertimbangkan jika kau tidak keras kepala lagi, Kak." Lalu mereka tertawa berdua. Tetiba ada bening yang singgah di wajah Fira, ada perasaan haru tak tanggung-tanggung. Ia hend

  • Rindu yang Lupa   Episode Empat Puluh Tujuh : Seorang Putri

    Cairan bening asin dan getir dimuntahkan. Wajahnya lesu. Ia tidak berselera makan. Jika diibaratkan sebagai bunga, maka kali itu dirinya adalah kelopak berguguran. Fira putus asa, ia tak tahu bagaimana lagi membuat Caca bicara apalagi sampai mau mendengarkannya. Adiknya berubah menjadi sosok tak tahu diri, egois, bahkan enggan mendengar nasihatnya untuk tidak pulang larut malam. Ia stres, sampai lupa makan sehari kemarin. Sudah bisa ditebak, maagnya kambuh.Mengapa kenyataan sering berjalan tidak seimbang? Ketika perasaan manusia siap menerima takdir yang diberikan, yang diharap malah bertolak belakang, akhirnya— menggerutu lagi, lupa bersyukur, bahkan sampai menyerah pada titik terendah. Buat apa semangat? Jika kehidupan tidak pernah berubah? Fira merasa hari-harinya berada di titik koordinat sebelah kiri, berhenti pada angka nol, jarang maju ke angka satu, lebih sering mundur menjadi minus! Ya! Perasaan bahagianya semakin berkurang seiring bertambahnya detik.&nb

  • Rindu yang Lupa   Episode Empat Puluh Enam : Caca

    Caca kali ini menyadari keikhlasan kakaknya yang amat suci. Setelah tahu Fira susah payah hilir mudik dari kampung ke kecamatan, ke pusat kota, browsing sana sini, namun tak menemukan pekerjaan cocok dengannya. Ia tak tahan melihat kemurungan Fira memandang langit dengan gerakan bibir putus asa menghitung bintang-bintang sementara telunjuknya diarahkan ke angkasa, lalu pelan bulir-bulir diterpa cahaya rembulan. Malam merekam sesok gadis berambut panjang duduk bersandar tembok di balkon rumah, tangan kirinya dipangku di atas lutut sementara satunya bergerak ke kanan ke kiri di udara."Ibu, keahlian apa yang harus kubeli agar punggungmu berhenti bekerja?" ceracaunya sambil menyeka air mata sendiri.Caca mengintip dan menguping dari balik jendela. Ibu dan Lala telah pergi ke tanah mimpi untuk mengubur kepingan lelah yang dipanen sewaktu terang. Caca ingat betul ucapan terima kasih bertumpuk-tumpuk terbubuhi peluh dan ungkapan maaf ketika dirinya menyampaikan u

  • Rindu yang Lupa   Episode Empat Puluh Lima : Dendam Usang

    Kisah ini akan usai, seperti pengalaman kerja Fira yang berhenti tanpa diminati. Ia anggap semua ini terjadi sudah sesuai porsi takdir. Menyesalinya? Mustahil, toh dirinya memang berbuat salah, pantas diundurkan. Ia akan berpisah dengan kamar kos, meninggalkan ballroom, dan tentunya tak akan sentuh botol miras serta setumpuk lembar rupiah di kasir. Paling akhir, ia akan menjadikan Aldi beserta rekan kerja lain sebagai kenangan."Jangan pernah main ke sini lagi!" kata Aldi terdengar seperti sebuah ancaman padahal suaranya keluar begitu lembut. Fira ditemani membereskan kamarnya. Ibu kos mengijinkan pria masuk ke tempat Fira karena ditemani Caca juga Akhtar. Barang-barang Fira dikeluarkan semua, kecuali kasur dan bantal.Caca menyeret koper baju, sementara Akhtar membawa boneka beruang dan beberapa buku bacaan. Mereka semua bergantian memasukkan ke dalam mobil. Aldi dan Fira melangkah pelan-pelan di belakang menikmati hari-hari akhir."Kenapa? Be

  • Rindu yang Lupa   Episode Empat Puluh Empat : Rival

    Hari ini sabtu, anak-anak berseragam cokelat melipat kesenangan mereka di dada. Wajah diluruskan demi menatap gerik bibir Caca menjelaskan. Ada sebuah kanvas di depan papan tulis, Caca memberi coretan sketsa sungai dan rumput, kemudian bibir dan tangannya bekerjasama menuntun para siswa. Kuas bergerak ragu-ragu. Ruang kelas disorot cahaya pagi melalui gorden jendela.Sepekan lalu ada surat datang ke rumah, sebuah permohonan pengajar ekstrakurikuler seni lukis di sebuah SMA swasta, sekali dalam satu pekan itu ia setujui. Karir Caca melonjak. Ia tidak sempat membaca komentar netizen di dunia maya. Sengaja melupakan tragedi malam pameran. Bahkan jika mampu menghapus maka akan dihapus secepat kilat. Caca tahu banyak makian dan umpatan ditujukan kepada Fira, ia hanya meyakini umpatan mereka sebentar lagi sirna. Sekali lagi ia tidak pendam amarah, hanya saja ada hal ganjil yang membuatnya belum siap menemui Fira. Entah apa itu—'Ca, kau harus bertemu kakakm

  • Rindu yang Lupa   Episode Empat Puluh Tiga : Ayah Hebat

    ATM dimasukkan ke mesin, ia pencet sandi kemudian menentukan nominal yang akan ditransfer ke rekening Caca. Ia tak mau berspekulasi apa-apa mengenai ibu, yang mendadak membutuhkan uang. Ibu tidak suka berbohong, Fira yakin ibu tidak melakukan tindakan memalukan tersebut. Sungguh ibu dalam kesusahan. Ada hal terbesit dalam keningnya, mengapa Caca yang notobenenya sedang berlimpah uang tidak tahu masalah ibu?Fira tak sadar berapa jam lamanya ia menyiksa kedua mata Akhtar. Pemuda itu semalaman menemani perasaan nanar bercampur tangisnya, puluhan kilometer dihabiskan berkawan angin dan kesunyian jalan. Fira memohon dirinya untuk mengantar ke ATM setibanya di kos-kosan. Harusnya Fira pulang ke kampung halaman, namun ia menutup hati, raut mukanya belum siap dipertemukan dengan Caca.Ketika media masa sibuk membicarakan kelancangan tangan Fira menampar seorang seniman, Akhtar justru lelap bersaksikan setir mobil. Rambut awut-awutan, dua kancing kemeja yang lepas,

  • Rindu yang Lupa   Episode Empat Puluh Dua : Sebuah Ingatan

    Aldi seumpama bohlam lampu di atas kepala Fira, sinarnya menyinari seluruh wajah namun tak mudah digapai. Begitu karakternya belakangan ini, meski setiap hari bertemu namun ia jarang memberi sapa. Senyumnya seolah baru dicuri hantu, rautnya sedingin es apalagi jika Fira mengajaknya bicara. Ada pagar yang membatasi pergaulan Aldi, entah itu apa. Siapa pun yang mengajaknya bicara, responnya hanya deheman atau anggukan kepala, bahkan ia tak lagi seramah dahulu tatkala menyambut tamu. Aldi kehilangan harta paling berharga, meski ia sendiri buta dengan yang diharga."Apa aku membuat kesalahan?" Fira menerka-nerka sambil meletakkan nampan di meja. Ia baru selesai mengantarkan pesanan. Hari ini hari terakhir dirinya menjalani hukuman, pekan depan kembali menjadi kasir."Kau malas bicara padaku?"Aldi diam, ia menenggak mineral lalu meninggalkan Fira. Maka yang bisa gadis itu lakukan hanyalah mengutus kedua langkahnya untuk mengejar sampai ke ruang wai

  • Rindu yang Lupa   Empat Puluh Satu : Uang Hilang

    Ibu orang jujur dan selalu menerima apa adanya. Ia tak pernah protes sekalipun jasanya lupa belum diupahi. Senyumnya juga senantiasa subur, walaupun ucapan pahit dari teman-teman seperjuangannya menciptakan kemarau panjang di dada. Orang-orang melunasi lelah malam mereka dengan menjalankan aktivitas pagi seperti biasa.Lidi bergesekan dengan tanah, permukaan genting mengepulkan asap-asap dapur, anak-anak kecil berlomba menuju sekolah dan kaki lima menyiapkan dagangan dalam gerobak, sementara kucing tetangga malas-malasan dengan tidur di bangku teras.Ketika semua orang menjelmakan cinta dalam kesibukan, Ibu justru mondar-mandir pendam gelisah. Usai menyibak gorden jendela ia mengintip kamar Caca. Memperhatikan setiap gerik jari-jari putrinya menuangkan cat dalam kanvas. Sudah beberapa hari ini Caca bangun sebelum fajar bernapas untuk menyapa kanvas-kanvas kosongnya yang tergeletak di sebelah dipan.Kamar Caca lebih layak disebut gudang lukisan

DMCA.com Protection Status