Beranda / Romansa / Rindu yang Lupa / Bab 31 - Bab 40

Semua Bab Rindu yang Lupa: Bab 31 - Bab 40

49 Bab

Episode Tiga Puluh Satu : Sebuah Jebakan

Setiap orangtua menginginkan anaknya berkarakter peduli dengan kehidupan orang lain, sama seperti halnya Ayah Fira. Ia memangku harapan penuh kepada sang buah hati, semoga ia menjadi sosok yang ringan membantu dan menolong siapa pun. Sepanjang malam juga pada siang-siang yang pendek Ayah mendoakan untuk kehidupan Fira, tak pernah alfa, namanya tersimpan lekat dan merekat di hati yang terikat di antara dua bibirnya. Suara hatinya jarang menyebutkan nama lain di hadapan Allah, hanya ada putri-putrinya, Fira, Caca dan putrinya yang masih di dalam kandungan. Tak berkenalan dengan lelah. Ayah selalu mengeringkan keringatnya yang masih basah. Ia melebarkan waktu petang untuk kebutuhan mereka. Semuanya terbungkus rapi oleh cinta yang menguatkan hal-hal lemah, penyemangat menaiki tangga-tangga keharmonisan keluarga di rumah. Ia melupakan waktu indah di atas kasur, bermanja dengan kekasih, menyandarkan penat di bawah belaian angin malam. Bukan hanya itu saja, tak jarang ia tahan
Baca selengkapnya

Episode Tiga Puluh Dua : Ayah, Kapan Kau Pulang?

Kini, hati Fira seperti permukaan es tipis. Mudah retak bahkan cair ketika nama Akhtar disebut. Sejak kecelakaan itu Fira enggan menemui pemuda tersebut. Ia sadar, jiwa Akhtar keras, benci kepadanya tak akan pernah runtuh, diibaratkan seperti nyala api neraka yang abadi. Akhtar bukan lagi sosok mengagumkan di pikiran, ia tak lebih dari pemarah menyebalkan. Ia fokus dengan pelajaran sekolah, terus berlatih membaca, dan juga terus menjaga adik-adik. Tak ada lagi hal yang perlu ditakutkan sebab Ayah kembali diikat dalam pasung oleh paman. Sebelum kokok bersorak menyambut kelahiran pagi, Fira dan kedua adiknya akan berjalan pelan-pelan menuju kandang pasungan, menyuapkan makan dan minum, lalu pergi dengan kecup di kening. Mereka berusaha tak ada seorang tetangga yang menyadari keberadaan mereka, kecuali kambing-kambing dan stok rumput. Mata dan telinga mereka terkadang kurang awas. Fira sering tersandung kayu karena ruangan yang gelap, lorong-lorong dinding bambu belum diso
Baca selengkapnya

Episode Tiga Puluh Tiga : Sakit

Lelaki muda itu mengatur keseimbangan roda kursinya. Ia membungkukkan badan, hendak melepas sepatunya. Seragam putih birunya terlihat kusut. Rambutnya berantakan. Akhtar baru saja pulang dari sekolah. Bila mengantarkan putranya ke kamar. Semenjak kepulangan dari rumah Fira, ia sering bungkam, jarang berbicara dengan ibunya, padahal daun-daun yang semula hijau kini telah mengering, kelopak mawar yang waktu itu menguncup di halaman rumah, kini telah mekar, namun Akhtar masih sama, ia kunci bibirnya rapat-rapat. Tak seorang pun diperkenankannya mengetuk pintu hatinya termasuk Bila. “Ibu tadi dari pasar,” Bila berusaha menarik simpati Akhtar, “dan bertemu dengan Ibunya Fira.” Berita Bila pada putranya yang mengosongkan pikiran dari bayangnya gadis kecil itu. Ia tak menghiraukan. Ia turun dari kursi roda, memindah pantatnya ke kasur, meluruskan kakinya yang terasa pegal. Pandangannya menerawang ke tulang-tulang kakinya. Ia pedih membayangkannya yang m
Baca selengkapnya

Episode Tiga Puluh Empat : Bintang

Caca menggulung tikar dan membereskan lukisan-lukisannya. Pameran sungguh memuaskan, meski sampai detik itu pula belum ada peminang buah karyanya. Ia menatap langit mendung hari itu. Cerah hanya singgah sampai pukul sebelas siang, sisanya dibalut awan-awan kelabu. Seperti biasanya ia dibantu Akhtar. Ada raut perih yang menggelayut manja pada tatapannya. Ia merasa melakukan tindakan bodoh sementara orang-orang pandai mencemooh. Benar bukan? Buktinya ia terpanggil sebagai seniman menyedihkan. Di muka media pujian tentang bakat melambung, namun hastag netizen membuatnya terpukul. Ia seperti seekor kucing kampung yang ketahuan mencuri ikan pindang di dapur tuannya. Malu sekali, padahal jujur pencernaan terasa melilit. "Apa aku terlalu menyedihkan?" katanya dengan putus asa. Kakinya melangkah menuju parkiran, tempat mobil Akhtar menunggu sang tuan. "Kau belum berhasil, menyedihkan atau tidak itu relatif yang penting dirimu selalu membukakan pintu untuk tamu-tamu
Baca selengkapnya

Episode Tiga Puluh Lima : Kenangan Masa Lalu— Teror!

Fira Kecil dan Caca kecil sedang mengaji, mereka menghadapkan iqro’ di depan murobbi (guru), lidah Fira tertatih-tatih mengeja huruf hijaiyah. Sesekali ia menepuk meja jika huruf yang diucapkannya gagal keluar lancar bahkan ia melempar kitabnya karena jengkel.  “Kenapa Tuhan menciptakan bacaan sulit seperti ini, Ustadzah?” Fira berkata polos, ia yang lugu membuat gurunya menahan geli. Dibelai lembut ubun Fira. Saat itu Caca yang berada di sebelahnya sedang khusuk membaca iqro’ jilid satu, menuding setiap huruf dengan telunjuknya, namun bukan karena paham dan tahu bunyi bacaannya, melainkan tersebab heran dengan bentuk-bentuk huruf yang jarang dijumpainya di bangku sekolah TK. Caca masih duduk di bangku taman kanak-kanak kelas A, orang dewasa menyebutnya TK Kecil.  “Ini huruf arab Fira, huruf arab adalah hurufnya Al-Quran, jika Fira ingin membaca Al-Quran maka Fira harus belajar iqro’ terlebih dahulu sampai khata
Baca selengkapnya

Episode Tiga Puluh Enam : Salah Sasaran

Tangan Fira tremor. Napasnya dirasa sesak. Ia menelan air liur berkali-kali. Kepalanya ditundukkan untuk menyembunyikan rasa malu. Seragamnya tersiram jus jambu. Gumpalan es jatuh mengenai sepatu pantopelnya. Gelas pecah berserak. Kepiting tergeletak setengah meter dari pandangannya. Sambal terpisah dari wadah. Hotplate kangkung terpental, nyaris mengenai kaki tamu. Melodi terus berputar. Lagu pop terbaru dinyanyikan sebagai pelipur malam yang penuh kepenatan. "Maaf, maaf, saya kurang hati-hati." Kata Fira sembari memunguti serpihan beling. Hari ketiga Fira menjadi waitres, kerjaannya kurang beres. Ia belum bisa menyesuaikan beban dengan kedua tangannya, apalagi menyeimbangkan nampan beserta isinya dengan satu tangan. Sudah menjadi aturan restoran, waitres menyangga nampan bundar dengan satu tangan. Lagi-lagi Fira gagal. Anggun menggelengkan kepala sebelum berlari mendekat. Roni ikut andil, ia sigap dengan mengambil sapu dan sekop. Aldi— Aldi yang baru memesan bir
Baca selengkapnya

Episode Tiga Puluh Tujuh : Sebuah Nama

Pilar-pilar tinggi menyangga dua lantai di atasnya. Ruang tamunya luas, ada dinding putih pembatas dengan ruang sebelah. Kanvas barunya sangat menggoda, tak sabar minta jatah percikan cat-cat. Caca datang sendirian, semula ia meminta Akhtar untuk mengantarkannya, tapi pesannya tak dibalas meski sampai ditelpon berkali-kali. Caca pun berangkat sendirian naik bus ekonomi. Seorang pemuda tampan dengan potongan cepak menyambutnya dengan gembira, disusul wanita cantik yang mengenakan gaun anggun. Caca memberi salam, ia letakkan tas jinjingnya di sebelah sofa, tas berisi aneka macam kuas beserta cat-catnya. "Panggil saya, Damar. Saya ingin Anda melukis dinding itu—" ujung telunjuk Damar mengarah pada dinding putih selebar lima kali delapan meter persegi. Lantas senyum mengembang. Ada gambar raut penasaran yang terpancar di muka Damar. "Harganya berapa?""Sesuai hasilnya ya, Kak? Bayarlah sesuai kepuasan Anda." Kata Caca yakin. "Haruskah kami menjadi
Baca selengkapnya

Episode Tiga Puluh Delapan : Ingkar Janji

Ibu terbatuk-batuk. Tubuhnya dibalut jaket tebal sementara selendang dikalungkan di leher. Seperti biasanya ia siap berangkat ke pasar. Dari lantai dua, Ibu menunggu obor sang teman. Beruntung Caca bangun pagi itu, ia memeluk tubuh rapuh ibu dari belakang. "Bu, hari ini tidak usah ke pasar ya? Masakkan makanan paling enak di rumah saja," "Tidak. Ibu harus berangkat." "Bu, kali ini saja. Istirahatlah. Caca tidak tega melihat Ibu bekerja keras," rengek Caca sambil melepas pelukan. Ada ngengat yang mengerubungi lampu balkon. Tanaman di bawah terlihat menghitam, hanya gemericik air kolam yang terdengar jelas. Malam itu bintang bersembunyi, senyumnya dialihkan kabut. Musim penghujan seolah tak akan hengkang tahun ini. April menyapa namun belum ada tanda-tanda hujan ucap salam. Tanah-tanah basah menguarkan aroma kerinduan pada masakan nenek moyang. "Berapa rupiah Ibu dapatkan upah dalam sehari?" "Ibu biasanya menggendong mak
Baca selengkapnya

Episode Tiga Puluh Sembilan : Kemungkinan

Gadis berambut cepak mulai detik ini sampai ke depan sudah memiliki jam terbang. Ia menjadi seniman supersibuk yang akan jarang melihat ponsel. Bahkan, telpon dari kakaknya sendiri tidak sempat dijawab. Orderan menumpuk dengan antrian panjang. Toko cat senyum-senyum sendiri jika Caca baru saja membeli aneka warna cat dan kuas. Hidupnya benar-benar ditenggelamkan pada dunia lukis. Media sosial bergerilya membicarakan sosoknya sebab tidak mau diwawancarai apalagi diekspos media ketika melukis. Kata Caca, belum saatnya. Media semakin dibuat penasaran dengan dua kata yang diungkap oleh kedua daging tak bertulangnya. Semakin Caca diam, semakin parah publik membicarakannya. Tapi— ia tidak peduli, ia fokus dengan kegiatannya menjejali waktu lengang dengan warna-warna. Rekeningnya mulai membengkak. Berkali-kali Caca melarang Ibu pergi ke pasar, namun hasilnya teruslah nihil. "Hidup Ibu ada di pasar, seperti hidupmu dalam dunia gambar," kata Ibu ketika Caca berbicara pada
Baca selengkapnya

Episode Empat Puluh : Permohonan Maaf dari Masa Lalu

Tekad bulat-bulat ditancapkan pada hati dan keinginan kuat. Caca tak mau menunggu lama. Tabungan di rekening telah cukup untuk mengadakan event. Malam hari ketika rembulan terpantul di atas kolam ikan. Ia menggenangkan harapan indah pada hari esok. Suatu hal yang akan membuat dunia gempar. Caca tidak sabar! Waktu itu ketika jarum menahan napas di titik satu dini hari, ia melukis tiga sosok wanita yang saling rangkul dengan latar belakang kegelapan. Ada sendu dalam cat yang ditoreh, namun kesenduan itu dikurangi cahaya bulan yang digantung di sudut kanan. Terus ia memoles kanvas dengan cat-cat minyak. Sampai akhir batas fajar ia menemukan dirinya tergeletak di lantai. Ibu hari itu tidak mengabdikan tenaganya ke pasar, ia hendak membangunkan Caca menjelang adzan subuh. Lala sendiri baru selesai mandi. Ia melongok kamar Caca yang masih mengheningkan cipta. "Kak Caca belum bangun, Bu?""Ya, begitulah. Semenjak sering pergi sampai larut dia jarang bangun
Baca selengkapnya
Sebelumnya
12345
DMCA.com Protection Status