Kini, hati Fira seperti permukaan es tipis. Mudah retak bahkan cair ketika nama Akhtar disebut. Sejak kecelakaan itu Fira enggan menemui pemuda tersebut. Ia sadar, jiwa Akhtar keras, benci kepadanya tak akan pernah runtuh, diibaratkan seperti nyala api neraka yang abadi. Akhtar bukan lagi sosok mengagumkan di pikiran, ia tak lebih dari pemarah menyebalkan. Ia fokus dengan pelajaran sekolah, terus berlatih membaca, dan juga terus menjaga adik-adik. Tak ada lagi hal yang perlu ditakutkan sebab Ayah kembali diikat dalam pasung oleh paman. Sebelum kokok bersorak menyambut kelahiran pagi, Fira dan kedua adiknya akan berjalan pelan-pelan menuju kandang pasungan, menyuapkan makan dan minum, lalu pergi dengan kecup di kening. Mereka berusaha tak ada seorang tetangga yang menyadari keberadaan mereka, kecuali kambing-kambing dan stok rumput. Mata dan telinga mereka terkadang kurang awas. Fira sering tersandung kayu karena ruangan yang gelap, lorong-lorong dinding bambu belum diso
Baca selengkapnya