All Chapters of ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa: Chapter 21 - Chapter 30

44 Chapters

#21 Masa Jadul

“Ka, maneh inget nggak? Ini kaya masa lalu, euy. Kita nyari geng lain, terus ngehajar mereka satu-satu. Tapi, waktu itu yang bawa motor maneh!” Reki mengeraskan suara menyesuaikannya dengan laju motor yang mengegas. Aku hanya menanggapinya dengan senyum lebar sembari menggaruk kepala.Ngomong-ngomong tentang masa lalu. Reki benar, jika kami pernah begini sebelumnya. Tepatnya saat kami masih di bangku SMA. Benakku kini mulai mengingatnya.“Aka, maafin aku, ya, lama.” Suara merdu mengalir dari arah samping. Aku segera melirik ke sumbernya. Perem
Read more

#22 Perasaan Tak Enak

“Nuhun, Do, udah mau ngurus si Hitam Putih,” ucapku pada Ardo di seberang sana. Sambungan teleponku tiba-tiba mati, saat kulihat layarnya ada pesan, jika pulsa habis. “Aduh, nggak ada duit, euy.” Aku merebahkan punggung ke kursi di teras rumah. Ya, sudah dua hari aku menginap di rumah Reki, lebih tepatnya di rumah milik orang tuanya. Beruntungnya bangunan ini sekarang adalah tempat tinggal megah kedua. Sementara itu, orang tua Reki tinggal di rumah pertama yang lebih megah dari ini. "Ka, gimana hari ini mau ngeburu?" Reki sudah ada di ambang pintu. Kemudian duduk di kursi. "Males, pas waktu itu tiga orang lolos. Kemarin juga kita nggak nemu y
Read more

#23 Berisik!

“Nih, Ka, urang nemu ini di kardus si Hitam Putih. Tapi dua-duanya udah nggak ada. Mungkin main.” Ardo menyodorkan kertas yang persis dengan yang kupegang. Benda itu dibawa dari tempat tidur kucing yang disimpan di atap, tepatnya di gudang. Segera aku meraihnya, kemudian membacanya. “Isinya apa, Ka?” tutur Ardo penasaran. “Do, nuhun. Urang ada urusan dulu.” Aku melenggang, melangkah cepat menuju gerbang. Tak disangka di luar baru datang tiga orang yang wajahnya tak asing, mereka 'para aligator'. Jadi, mereka yang diperintah Reki untuk melindungi Ardo. Tapi, tunggu dulu, kalau begitu siapa yang menjaga Salma?
Read more

#24 Bogem Mentah

"Peraturannya cuman satu; jangan ngelawan.""Aing udah siap!""Lo emang sombong," tegasnya. "Kalian kasih dia sakit," tambahnya seraya menunjuk tiga orang berbadan cukup berisi.Sedetik kemudian, tiga orang sangar itu mendekat. Satu per satu melempar kepalan tangan ke perut, ulu hati, lalu dadaku. Pukulan terakhir membuatku sedikit mundur, tapi ini belum seberapa."Aw, tamparan cewe aja bisa lebih sakit daripada ini," ledekku tersenyum.Tiga orang itu tak terima. Mereka hendak kembali merangsek. Namun dihentikan si Anting yang telah melotot. Mereka seketika ciut, lalu kembali ke kerumunan."Ada
Read more

#25 Pandangan Pengkhianatan

"Ka!" Mataku perlahan terbuka, langit cerah seketika menerpa pupil juga wajah. Sayup-sayup riuh bunyi yang tak asing dan hiruk pikuk suara teriakan menekan gendang telinga. "Woi, Ka, ada polisi!" Wajah yang juga tak asing muncul sambil tangannya terulur. "Buru!" Aku segera bangkit dibantu Reki. Semua orang-meski babak belur-telah dengan cepat meninggalkan halaman gedung. "Hayu, Ka!" Reki berlari. Tanpa pikir panjang aku menyusul. Aku duduk di jok penumpang. Reki membawa roda duanya santai ketika melewati tiga mobil penegak hukum yang beriringan ke arah tempat perkelahian tadi. Entah siapa yang telah menghubungi polisi. Reki segera tancap gas setelah agak jauh. Aku menghela n
Read more

#26 Kembali Menatap

"Nak Arka, terima kasih atas waktunya. Semoga cepat sembuh.""Siap, terima kasih, Pak Sobari.""Nak Salma, lain kali hati-hati, ya.""Baik, Pak, terima kasih."Kedua Bapak Polisi segera meninggalkan ruangan dengan langkah gagah. Jujur saja aku sedikit deg-degan ada penegak hukum masuk ke sini, tapi ternyata wajah mereka tak asing bagiku. Pak Sobari dan Pak eko adalah tetanggaku atau lebih tepatnya teman karib Bapakku.Sempat ada rasa khawatir ketika mereka menanyakan tentang kejadian pagi tadi. Walau dari dulu sering berkelahi aku juga takut kalau harus dijebloskan ke penjara. Nyatanya Pak Sobari hanya memintaku untuk menceritakan kronologi. Pak Sobari juga menjelaskan, jika si Anting berhasil tertangkap bersama tiga-empat orang anggotanya. Bagiku itu kabar yang memuaskan."Arka," sapa lembut dari sampingku.Aku kembali menunduk. "Jangan paksa aku menatapmu. Biar aku yang usaha sendiri." Perlahan kepalaku melirik. Bibir merah pudar Sa
Read more

#27 Hati Bukan Paksaan

"Emm ....""Aku tanya sekali lagi, kenapa kamu nggak jujur?" Kali ini Salma menatapku tajam.Interogasi ini cuman beberapa menit, tapi rasanya telah berlangsung berjam-jam. Nyatanya kini hatiku deg-degan hebat. Apa ini lebih menyeramkan daripada ditanya-tanya penegak hukum?"Ya udah, aku nggak mau minum bajigurnya kalau kamu nggak mau jujur," ancam Salma dengan nada merdu. Apa gak ada yang lain alasannya?
Read more

#28 Langit Bisa Apa?

“Nuhun, Rek, udah nganterin urang.” Aku membuka perban yang masih terbalut di kepala, lalu membuangnya ke tong sampah. Meski masih terasa sakit, sih. “Yow, Ka, urang baliknya,” balas Reki, kemudian menggeber motor gedenya kembali ke jalan Raya. Aku memandang bangunan megah dua lantai dengan halaman luas berumput rapi, kolam ikan kecil berair mancur, serta gerbang cukup besar warna coklat. Gubuk di hadapanku saat ini adalah tempat tinggalku, lebih tepatnya rumah milik Bapak Ibuku.
Read more

#29 Mengegas.

“Arka, mau kemana?” “Aku ada urusan dulu, Bell, nanti kita ngobrol lagi.” Kami sudah di tempat penyimpanan kendaraan. Aku langsung menuju bebek hitam roda dua yang tengah bersantai di samping dinding. Aku segera cek mesinnya. Tak lupa aku memencet tombol pintu garasi. Perlahan cahaya luar merebak ke dalam. “Kenapa nggak pake yang ini aja?” ujar Bella sambil memegang motor gede berwarna hitam. “Bukan punya ku.” Tanganku telah menggenggam setang. Kendaraan bebek ini masih enak untuk ditunggangi.
Read more

#30 Genangan di Pelupuknya

“Fer!” Aku memberi isyarat pada Ferdi untuk belok serta menepi. Ferdi mengiyakan, langsung membuntuti. Sekian kemudian, kami sudah duduk di dekat jendela di dalam warung kopi yang dapat dibilang bintang tiga, karena arsitektur ruangannya tampak bergaya klasik. Tak lama melintas seseorang memakai pelindung kepala dengan motor gede berwarna dominan hijau. Kepalanya melirik memperhatikan kami. Aku menelaahnya sejenak sambil memicingkan mata, silau. Sosoknya segera hilang di tikungan jalan.
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status