Semua Bab ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa: Bab 31 - Bab 40

44 Bab

#31 Penuh Keraguan

“Saha maneh?!” Mataku terbelalak, marah, heran bercampur jadi satu. “Gue pacarnya! Lo mau apa?!” balas pria itu sambil tangan kanannya memukul-mukul dada. Dari situ aku tak bisa berkata apa-apa, hanya dapat menyerang balik tatapan emosi pria itu. Tapi ada yang aneh pada pandangan pria bermasker itu, ekspresi matanya terlihat dibuat-buat, dan suaranya terdengar sedikit tak asing. “Lo
Baca selengkapnya

#32 Rapat Dadakan

“Maneh, Arka, Arka, teh?” Aku tak menanggapi, masih dengan menampakkan cengiran. “Udahlah, Sat, dia temen Ketua, lho,” ujar pria berkacamata minus yang terlihat santai memainkan HP pintarnya. “Anjing, kalah lagi,” umpatnya pada layar ponsel. Aku beralih menatap Dika dan Kadi, mereka memandang antusias.
Baca selengkapnya

#33 Sesaat Damai

[Di taman aja, ya, jangan di sana. Aku mau ngomong sesuatu sama kamu.] Aku kembali melangkah saat tiba di kantin karena membaca SMS masuk. Setibanya di taman yang dimaksud, aku menatap Salma yang juga baru sampai. Kami tak saling sapa, bergeming seribu suara. Hening. Meski tempat ini masih ada di dalam kampus, tapi tak ada orang berjalan ke sini, hanya ada kicauan burung dari atas pohon-pohon rimbun. “Arka,” ucap Salma memecah suasana sunyi.
Baca selengkapnya

#34 Kebisingan

“Kalem, Bos, kalem. Tempat ibadah itu.” Aku menenangkan kelima orang di depan, menunjuk ke belakang mereka sembari perlahan sedikit mundur. “Heeh, Bray, poho itu tempat ibadah,” ucap salah satu pria seraya menjulurkan telunjuk ke arah bangunan megah nan indah itu. Tiga orang mengangguk paham, sementara si Bos berbaju mahal itu masih menatap kami dengan amarah. “Mun panggih lagi, kami hajar,” ketusnya sambil balik kanan, kemudian diikuti anak buahnya. Mereka berlalu Aku menengok ke belakang, ternyata Bella dan Ferdi telah menjauh dan duduk di pinggir lapang sintetis. Langkahku segera menghampiri
Baca selengkapnya

#35 Mantan Mendesak

“Kenapa kamu tau Salma?”  Aku menggenggam pergelangan lengan kanannya kencang ketika Keysa akan pergi. “Urang tanya sakali deui, kenapa kamu tau Salma?” tanyaku lagi sembari membelalakkan mata. “Lepasin, Arka, sakit!” pekik Keysa sambil berusaha melepaskan diri. “Jawab, atau--” “Atau
Baca selengkapnya

#36 Kebetulan

“Kapan hidup aing damai? Jumat tes renang, sabtu nyerang,” gumamku, kemudian mengangkat ponsel jadul yang dari tadi bergetar. “Kalem, Fer, gua baru jalan dari kosan.” “Oke, gua tunggu, Bang.” Aku telah berjalan di dalam tempat makan cukup besar. Banyak orang-orang tengah menyantap hidangan mereka,  ada yang mengobrol,  juga yang sibuk memotret makanan yang tersaji di meja. Tampak Ferdi sudah duduk di hadapan meja kayu mengkilap sembari menatap laya
Baca selengkapnya

#37 Memerah

“Eh, kalem, Salma, kalem.” Aku segera menggenggam pundaknya, tapi tubuh Salma malah terus memaksa maju. “ cerita ada apa?” lanjutku seraya bergegas beranjak. Salma ikut berdiri, kemudian matanya menelaahku dari atas sampai kaki. “Kamu nggak merasa ada yang nyadap?” tanyanya polos. Aku mengangkat sebelah alis, apa dia kemasukan setan kos-kosan? Sesaat aku perhatikan wajah Salma sedikit pucat, rambutnya tampak belum dirapikan, tapi dia tetap manis dengan baju tidur biru bergambarnya. Aku melihat ke belakang Salma, ada laptop yang terbuka. “Nggak ada yang nyadap, kan?” tanyanya lagi. “Kamu kebanyakan nonton film.” Aku menggeleng sambil menyimpan tasku di kasur. “Kita ngobrolnya di luar biar tenang,” tambahku sembari meraih tangan Salma. Aku langsung menuntunya sambil membuka daun pintu. Kami tiba di atap, beberapa jemuran tergantung rapi, ada---bahaya kalau disebut satu-satu. Kami sudah berada di ujung, kemudian menatap deretan bangunan-bangunan
Baca selengkapnya

#38 Anda Bersalah

“Oh, jadi gara-gara si Botak ini kamu nggak mau balikan.” Lelaki itu---aku sebut saja si Mantan---menunjuk angkuh. Sambil mengangkat sebelah alis aku mengusap kepala, seenggaknya sekarang rambutku sudah sedikit panjang. “Woi, sekarang gue bales lo, Botak!” pekiknya, lalu menyeringai. Teman-temannya tersenyum secuil sembari mengepal-ngepalkan tangan. Aku telaah hanya si Mantan yang memakai jaket berlambang gagak, sementara kesembilan temannya cuman memakai kaos biasa.
Baca selengkapnya

#39 Otak Bukan Otot

“Gue hajar lagi lo nanti!” Si Mantan telah menaiki macan besinya dengan sekujur muka yang babak belur. Ternyata dia masih belum menyerah. Kulihat ketujuh temannya masih tetap bergeming di tempat. “Beri tahu ketua Anda, jangan ganggu ketua kami sebelum hari penyerangan,” tutur Alan sambil memakai kacamatanya lagi setelah kusodorkan. Si Mantan langsung tancap gas dengan penuh amarah. Tanpa berpikir panjang tujuh pria lainnya buru-buru mengikuti dengan motor mereka masing-masing. D
Baca selengkapnya

#40 Mendung

“Kita harus secepatnya ke sana,” tutur Alan sambil berjalan tergesa-gesa. Kami telah melangkah cukup jauh dari gang masuk rumah kontrakan Wini berniat menuju tempat Alan tinggal. Kami tadi bergegas berpamitan dengan Wini setelah mendapat panggilan telepon, meski raut wajahnya kecewa karena kami tak jadi memakan moci, tapi dia tetap melambai dan tersenyum. Alan juga tadi memasang muka masam, mungkin karena belum sempat berkenalan dengan Wini. Aku juga sedikit resah tak bisa merasakan makanan kenyal itu. Aku dan Alan masih melangkah cepat. Kami tak menyangka kalau hari pertaruhannya dimajukan secara sepihak oleh kelompok l
Baca selengkapnya
Sebelumnya
12345
DMCA.com Protection Status