“Nuhun, Do, udah mau ngurus si Hitam Putih,” ucapku pada Ardo di seberang sana. Sambungan teleponku tiba-tiba mati, saat kulihat layarnya ada pesan, jika pulsa habis. “Aduh, nggak ada duit, euy.”
Aku merebahkan punggung ke kursi di teras rumah. Ya, sudah dua hari aku menginap di rumah Reki, lebih tepatnya di rumah milik orang tuanya. Beruntungnya bangunan ini sekarang adalah tempat tinggal megah kedua. Sementara itu, orang tua Reki tinggal di rumah pertama yang lebih megah dari ini.
"Ka, gimana hari ini mau ngeburu?" Reki sudah ada di ambang pintu. Kemudian duduk di kursi.
"Males, pas waktu itu tiga orang lolos. Kemarin juga kita nggak nemu y
Hei, salam dari author untukmu yang setia membaca. Jangan lupa kalau mau curhat langsung ke instagram @tadi_hujan aja, ya. :) :) :)
“Nih, Ka, urang nemu ini di kardus si Hitam Putih. Tapi dua-duanya udah nggak ada. Mungkin main.” Ardo menyodorkan kertas yang persis dengan yang kupegang. Benda itu dibawa dari tempat tidur kucing yang disimpan di atap, tepatnya di gudang. Segera aku meraihnya, kemudian membacanya. “Isinya apa, Ka?” tutur Ardo penasaran. “Do, nuhun. Urang ada urusan dulu.” Aku melenggang, melangkah cepat menuju gerbang. Tak disangka di luar baru datang tiga orang yang wajahnya tak asing, mereka 'para aligator'. Jadi, mereka yang diperintah Reki untuk melindungi Ardo. Tapi, tunggu dulu, kalau begitu siapa yang menjaga Salma?
"Peraturannya cuman satu; jangan ngelawan.""Aing udah siap!""Lo emang sombong," tegasnya. "Kalian kasih dia sakit," tambahnya seraya menunjuk tiga orang berbadan cukup berisi.Sedetik kemudian, tiga orang sangar itu mendekat. Satu per satu melempar kepalan tangan ke perut, ulu hati, lalu dadaku. Pukulan terakhir membuatku sedikit mundur, tapi ini belum seberapa."Aw, tamparan cewe aja bisa lebih sakit daripada ini," ledekku tersenyum.Tiga orang itu tak terima. Mereka hendak kembali merangsek. Namun dihentikan si Anting yang telah melotot. Mereka seketika ciut, lalu kembali ke kerumunan."Ada
"Ka!" Mataku perlahan terbuka, langit cerah seketika menerpa pupil juga wajah. Sayup-sayup riuh bunyi yang tak asing dan hiruk pikuk suara teriakan menekan gendang telinga. "Woi, Ka, ada polisi!" Wajah yang juga tak asing muncul sambil tangannya terulur. "Buru!" Aku segera bangkit dibantu Reki. Semua orang-meski babak belur-telah dengan cepat meninggalkan halaman gedung. "Hayu, Ka!" Reki berlari. Tanpa pikir panjang aku menyusul. Aku duduk di jok penumpang. Reki membawa roda duanya santai ketika melewati tiga mobil penegak hukum yang beriringan ke arah tempat perkelahian tadi. Entah siapa yang telah menghubungi polisi. Reki segera tancap gas setelah agak jauh. Aku menghela n
"Nak Arka, terima kasih atas waktunya. Semoga cepat sembuh.""Siap, terima kasih, Pak Sobari.""Nak Salma, lain kali hati-hati, ya.""Baik, Pak, terima kasih."Kedua Bapak Polisi segera meninggalkan ruangan dengan langkah gagah. Jujur saja aku sedikit deg-degan ada penegak hukum masuk ke sini, tapi ternyata wajah mereka tak asing bagiku. Pak Sobari dan Pak eko adalah tetanggaku atau lebih tepatnya teman karib Bapakku.Sempat ada rasa khawatir ketika mereka menanyakan tentang kejadian pagi tadi. Walau dari dulu sering berkelahi aku juga takut kalau harus dijebloskan ke penjara. Nyatanya Pak Sobari hanya memintaku untuk menceritakan kronologi. Pak Sobari juga menjelaskan, jika si Anting berhasil tertangkap bersama tiga-empat orang anggotanya. Bagiku itu kabar yang memuaskan."Arka," sapa lembut dari sampingku.Aku kembali menunduk. "Jangan paksa aku menatapmu. Biar aku yang usaha sendiri." Perlahan kepalaku melirik. Bibir merah pudar Sa
"Emm ....""Aku tanya sekali lagi, kenapa kamu nggak jujur?" Kali ini Salma menatapku tajam.Interogasi ini cuman beberapa menit, tapi rasanya telah berlangsung berjam-jam. Nyatanya kini hatiku deg-degan hebat. Apa ini lebih menyeramkan daripada ditanya-tanya penegak hukum?"Ya udah, aku nggak mau minum bajigurnya kalau kamu nggak mau jujur," ancam Salma dengan nada merdu. Apa gak ada yang lain alasannya?
“Nuhun, Rek, udah nganterin urang.” Aku membuka perban yang masih terbalut di kepala, lalu membuangnya ke tong sampah. Meski masih terasa sakit, sih. “Yow, Ka, urang baliknya,” balas Reki, kemudian menggeber motor gedenya kembali ke jalan Raya. Aku memandang bangunan megah dua lantai dengan halaman luas berumput rapi, kolam ikan kecil berair mancur, serta gerbang cukup besar warna coklat. Gubuk di hadapanku saat ini adalah tempat tinggalku, lebih tepatnya rumah milik Bapak Ibuku.
“Arka, mau kemana?” “Aku ada urusan dulu, Bell, nanti kita ngobrol lagi.” Kami sudah di tempat penyimpanan kendaraan. Aku langsung menuju bebek hitam roda dua yang tengah bersantai di samping dinding. Aku segera cek mesinnya. Tak lupa aku memencet tombol pintu garasi. Perlahan cahaya luar merebak ke dalam. “Kenapa nggak pake yang ini aja?” ujar Bella sambil memegang motor gede berwarna hitam. “Bukan punya ku.” Tanganku telah menggenggam setang. Kendaraan bebek ini masih enak untuk ditunggangi.
“Fer!” Aku memberi isyarat pada Ferdi untuk belok serta menepi. Ferdi mengiyakan, langsung membuntuti. Sekian kemudian, kami sudah duduk di dekat jendela di dalam warung kopi yang dapat dibilang bintang tiga, karena arsitektur ruangannya tampak bergaya klasik. Tak lama melintas seseorang memakai pelindung kepala dengan motor gede berwarna dominan hijau. Kepalanya melirik memperhatikan kami. Aku menelaahnya sejenak sambil memicingkan mata, silau. Sosoknya segera hilang di tikungan jalan.
“Ka, kamana?” sapa Ardo yang sedang jalan berduaan dengan Sela. Mereka sepertinya sedang menuju parkiran kampus.“Ke fakultas sebelah,” jawabku tanpa ragu.“Asik, apel nih. Okelah urang jalan dulu, Ka.”“Okey, Do.” Aku mengangkat jempol. “Oh iya, Sel, makasih tadi udah ngabarin.” Aku nyengir tak lupa juga memberi jempol.“Kembali kasih,” balas Sela tersenyum ramah.Aku melanjutkan langkah setelah Ardo dan Sela sudah kembali berjalan lebih dulu menuju tujuan mereka. Aku ke arah berbeda.Sambil menyusuri jalan aku teringat kejadian tadi. Tiga senoir cupu yang merundung teman sekelasku. Tadi aku balik kanan karena setelah dipikir-pikir itu bukan urusanku. Sekarang, aku jadi merasa bersalah pada temanku itu. Ah sudahlah, yang terpenting sekarang aku harus mengajak Salma healing.Segera aku duduk pada bangku dari batu di depan Fakultas Bahasa Indonesia. Salma memintaku untuk menunggunya di luar dari balasan SMS-nya barusan.Tak sampai tujuh menit, Salma sudah muncul dari ambang pintu kaca f
“Aka.”Aku tersadar oleh suara gadis yang terlampau merdu, tapi aku tetap melangkah menghiraukannya. Namun, dia segera menyerobot ke depanku sambil cemberut. Langkahku terpaksa berhenti.“Aka, jangan melamun aja, jawab ih pertanyaanku,” gerutu Keysa.“Eh iya, kamu nanya apa barusan?” Aku nyengir sambil mengusap rambut belakangku.Bibir Keysa melekuk indah sambil menatap tajam. “Apa kamu kalah, Aka?”Aku membelalakkan mata. “Apa kamu bilang?”“Arka!” Tiba-tiba tak jauh dari belakang Keysa teriakan seseorang memekakkan telinga. Pandanganku segera beralih ke arah suara itu. Ada seseorang di sana, tapi tampak samar.Aku alihkan lagi pandangan lurus. Kini, Keysa tersenyum licik. “Kamu kalah, Aka!” teriaknya meremehkan. Keningku mengkerut sembari perlahan mundur, tapi keseimbanganku seketika hilang. Pandanganku menggelap.“Arka!”Mataku langsung terbuka. Wajah indah dengan air mata yang masih tertinggal di pelupuknya kini tepat di hadapanku. Aku tersenyum. Salma segera memalingkan wajah semb
“Aka!” Dari arah tribune suara Keysa memecah hiruk pikuk orang-orang di lapangan. Bodohnya aku masih tergoda panggilannya tanpa sadar melirik ke arah tribune.Tidak diduga, si Mantan mengambil kesempatan dalam kelengahan. Aku melihat dari ujung mata, dia berlari sembari mengacungkan pisaunya siap menyabet. Refleks, aku ngeles ke samping sedikit melompat. Namun, tak diduga ada musuh menerjang dari kanan, tapi dengan cepat orang itu terhempas terhantam tinju.“Yow, Bos, ulah lengah,” ledek Satria sembari meniup kepalan tangannya yang besar.“Eheheh. Nuhun, Sat.” Aku membenarkan topi.Satria beralih melihat si Mantan dengan serius, sebelah alisnya terangkat. “Butuh bantuan, Bos?”“Di sini urusan urang, mending maneh bantu yang lain,” jawabku tanpa ragu.Tak banyak bicara Satria segera menjaga area belakangku, menghalangi setiap orang berjaket abu yang mendekat.Aku kembali menatap si Mantan yang terus menyeringai. Aku harus memikirkan bagaimana cara mengalahkannya dan segera menolong Sal
“Hahaha. Apa lo nggak inget gue, Arka? Liat sini, apa lo kaget liat gue?”Aku menunduk tak percaya kalau Salma juga akan mengkhianatiku seperti perempuan di tribune yang sekarang sedang teriak terbahak.“Cuma segitu mental lo, Arka?”“Jangan dengerin dia, Bang, coba liat Salma dia nangis,” bisik Ferdi.Pandanganku kembali lurus. Wajah Salma tampak sembab, tetesan tetap muncul meski dia mencoba menahan air mata. Aku terus menatapnya, tapi Salma malah berpaling menyembunyikan tangisan.Aku beralih melirik pria berambut agak ikal cepak itu. Aku menghela napas panjang. “Lo ngapain dia, Rusdi?!”“Ternyata lo masih inget gue. Gue kir
“Kita harus secepatnya ke sana,” tutur Alan sambil berjalan tergesa-gesa. Kami telah melangkah cukup jauh dari gang masuk rumah kontrakan Wini berniat menuju tempat Alan tinggal. Kami tadi bergegas berpamitan dengan Wini setelah mendapat panggilan telepon, meski raut wajahnya kecewa karena kami tak jadi memakan moci, tapi dia tetap melambai dan tersenyum. Alan juga tadi memasang muka masam, mungkin karena belum sempat berkenalan dengan Wini. Aku juga sedikit resah tak bisa merasakan makanan kenyal itu. Aku dan Alan masih melangkah cepat. Kami tak menyangka kalau hari pertaruhannya dimajukan secara sepihak oleh kelompok l
“Gue hajar lagi lo nanti!” Si Mantan telah menaiki macan besinya dengan sekujur muka yang babak belur. Ternyata dia masih belum menyerah. Kulihat ketujuh temannya masih tetap bergeming di tempat. “Beri tahu ketua Anda, jangan ganggu ketua kami sebelum hari penyerangan,” tutur Alan sambil memakai kacamatanya lagi setelah kusodorkan. Si Mantan langsung tancap gas dengan penuh amarah. Tanpa berpikir panjang tujuh pria lainnya buru-buru mengikuti dengan motor mereka masing-masing. D
“Oh, jadi gara-gara si Botak ini kamu nggak mau balikan.” Lelaki itu---aku sebut saja si Mantan---menunjuk angkuh. Sambil mengangkat sebelah alis aku mengusap kepala, seenggaknya sekarang rambutku sudah sedikit panjang. “Woi, sekarang gue bales lo, Botak!” pekiknya, lalu menyeringai. Teman-temannya tersenyum secuil sembari mengepal-ngepalkan tangan. Aku telaah hanya si Mantan yang memakai jaket berlambang gagak, sementara kesembilan temannya cuman memakai kaos biasa.
“Eh, kalem, Salma, kalem.” Aku segera menggenggam pundaknya, tapi tubuh Salma malah terus memaksa maju. “ cerita ada apa?” lanjutku seraya bergegas beranjak. Salma ikut berdiri, kemudian matanya menelaahku dari atas sampai kaki. “Kamu nggak merasa ada yang nyadap?” tanyanya polos. Aku mengangkat sebelah alis, apa dia kemasukan setan kos-kosan? Sesaat aku perhatikan wajah Salma sedikit pucat, rambutnya tampak belum dirapikan, tapi dia tetap manis dengan baju tidur biru bergambarnya. Aku melihat ke belakang Salma, ada laptop yang terbuka. “Nggak ada yang nyadap, kan?” tanyanya lagi. “Kamu kebanyakan nonton film.” Aku menggeleng sambil menyimpan tasku di kasur. “Kita ngobrolnya di luar biar tenang,” tambahku sembari meraih tangan Salma. Aku langsung menuntunya sambil membuka daun pintu. Kami tiba di atap, beberapa jemuran tergantung rapi, ada---bahaya kalau disebut satu-satu. Kami sudah berada di ujung, kemudian menatap deretan bangunan-bangunan
“Kapan hidup aing damai? Jumat tes renang, sabtu nyerang,” gumamku, kemudian mengangkat ponsel jadul yang dari tadi bergetar. “Kalem, Fer, gua baru jalan dari kosan.” “Oke, gua tunggu, Bang.” Aku telah berjalan di dalam tempat makan cukup besar. Banyak orang-orang tengah menyantap hidangan mereka, ada yang mengobrol, juga yang sibuk memotret makanan yang tersaji di meja. Tampak Ferdi sudah duduk di hadapan meja kayu mengkilap sembari menatap laya