Home / Romansa / Mencarimu dalam Bimbang / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of Mencarimu dalam Bimbang: Chapter 11 - Chapter 20

45 Chapters

Eleventh

Masih satu hari lagi untuk pindah. Waktu masih menyelimuti hati Vania. Dilema menumpuk di peraduan siang. Semua membebani hati dan langkah kakinya yang berat untuk mengetuk jalanan. Vania bingung. Tak tahu bagaimana caranya ia memilih. Mungkinkah ia menolak untuk pindah, dan haruskah ia mengikuti apa yang orang tuanya katakan.“Van..” Reno menghampiri Vania yang berjalan keluar gerbang sekolah.“Kenapa?” tanya Vania sambil mengangkat tas gendongnya.“Ini untuk kamu!” Reno memberikan Vania sebuah kotak berwarna merah.Cincin? Pikir Vania. Reno tak menghiraukan kernyit dahi Vania. Ia hanya tersenyum menatap gadis yang sedang ada di depannya dan berlalu meninggalkan Vania yang berdiri mematung tepat di depan gerbang. Vania hanya melihat punggung Reno yang semakin menjauh darinya. Tak setengokpun ia menoleh ke arah Vania. Ada air mata yang harus Vania tahan.Vani
Read more

Twelveth

Senja Di Ujung Kerinduan. Vania tersenyum melihat sang kekasih. Ditangkapnya ikan yang berenang di kolam. Kolam yang sedikit dangkal. Vania berlari di kolam itu. Ia mengejar Aldy. Aldy merentangkan tangannya di tengah kolam dan mereka saling berpelukan. Detak jantung saling beradu. Ada kehangatan yang jarang mereka rasakan.Vania memeluk begitu erat. Membiarkan ikan kecil pergi dari genggamannya. Tak hanya kaki mereka yang basah, tapi punggung mereka pun ikut terbasahi air yang menempel dari tangan keduanya. Senyum mendebar. Membiarkan angin tersenyum melihat kebahagiaan mereka.“Vaan..” seseorang berteriak memanggil nama gadis itu.Mereka berdua melepas pelukannya. Vania menoleh ke arah belakang. Tak ada siapapun yang bisa ia lihat. Ia khawatir ada orang yang melihat apa yang baru saja dilakukannya. Jantungnya berdebar tak karuan. Itu seperti suara mamanya.“Van..” panggilnya
Read more

Thirteenth

Senja menemani hati yang tak dapat dipahami. Vania tak tahu, apa yang harus ia lakukan. Handuk masih terkalung di lehernya. Air masih menetes dari rambutnya. Tubuhnya masih segar. Wangi sabun mandi masih menempel di tubuhnya. Membuat dirinya sendiri merasa tenang saat mencium aromanya.“Apa saja yang perlu dibawa?” tanya ayah Vania.Vania menoleh. Menatap wajah ayahnya dan nafasnya sedikit tersengal. Vania menarik nafas dalam-dalam.“Ada apa?” sang ayah kembali bertanya.“Gak apa-apa, Pa.” Jawab Vania.“Yang mana?” tanya ayahnya lagi.“Yang itu, sama yang warna cokelat, dan tas yang sedang.” Tunjuk Vania sambil menunjuk tas yang menumpuk di depannya.“Ih, banyak bener.” Kata ayahnya.“Emang kenapa?” Vania mengernyitkan dahi.“Emang itu apa saja isinya?” tanya sang ayah.“Itu isinya buku, baju, dan berkas.” J
Read more

The Fourteenth

Vania menatap lagit dengan tenang. Di sana, wajah tampan itu tersenyum. Menyerupai sabit rembulan. Membiarkan bintang berkerlip seperti mata hijau sang kekasih. Bebatuan  menjadi tempat yang tak ia takuti saat ia duduk di bawah angkasa yang gelap. Ia terdiam dalam keheningan itu.“Bulan.. andai kau ini bibirnya. Aku sulit menyentuhmu.” Ucap Vania sambil memeluk kedua lututnya.“Vania...” seseorang memanggilnya dari belakang.Vania menoleh ke arah tersebut. Benar saja. Aldy. Lelaki itu menghampiri Vania dan ikut duduk di sampingnya. Vania terpana melihat kekasihnya berbaju putih, celana putih, dan sepatu putih. Semua serba putih. Seperti malaikat yang nampak di hadapannya.“Al..” ucap Vania.“Mmmh..” Aldy hanya menoleh ke arahnya dan kembali menatap langit.“Kenapa kamu di sini?” tanya Vania.“Enggak boleh?” Aldy bertanya balik.“Enggak, lah..&rdq
Read more

The Fifteenth

Vania mengetuk jalan gang kecil menuju rumah David. Ia menyusuri jalan setapak sepanjang 20 meter dari tempat motor Fadil terparkir. Hatinya dipenuhi dengan tanda tanya. “Yakinkah aku akan tinggal di sini?” gumamnya dalam hati. Vania tak berhenti melihat-lihat bangunan pondok itu. Dilihatnya ada panggung pentas santri dan santriah. Ada kobong yang megah. Ada pula masjid yang indah. Di tengah-tengahnya terdapat beberapa kolam ikan. Beberapa santri sedang memancing di sana. Beberapa santriah sedang membersihkan piring di pinggirannnya. “Hei..” sapa istri David. “Tante..” Vania mencium punggung tangannya. “Sini.. sini..” ajak istri David. “Terimakasih tante..” Vania menudukkan kepalanya seraya tersenyum. “Jam berapa dari sana?” tanya istri David. “Jam 7-an lebih kalau gak salah, tante. Aku lupa. Hehehe.” Vania nyengir. “Ya sudah, sini makan dulu..” ajak istri David. Suara ponsel Istri David berbunyi. Dering
Read more

The Sixteenth

Hari kedua di tempat baru membuat Vania merasakan sesuatu yang tak harus ia rasakan lagi. Seseorang berjalan di depannya.“Punten, Teh..” ucapnya.“Oh, mangga, A.” Jawab Vania. Vania tak berhenti menatap lelaki yang membungkukkan tubuhnya.“Kak Vania kenapa melihat Sidik seperti itu?” tanya Riri, anaknya David.“Emhh.. enggak.” Ucap Vania sambil bengong melihat pundak lelaki yang baru saja berlalu di hadapannya.Lelaki itu kemudian menoleh ke arah Vania. Ia tersenyum. Memicingkan matanya. Vania hanya bengong melihatnya.“Kak,” kata Riri.Vania menoleh ke arah Riri.“Bapak kapan datangnya, ya?” tanya Riri.“Enggak tahu. Kamu tanya aja sendiri ke mama kamu.” Ucap Vania sambil berlalu meninggalkan sepupunya itu.“Kak Vania.. tunggu..” teriak Riri.Riri berlalri mengejar gadis itu. Rambutnya terlihat acak-acakan dan
Read more

The Seventeenth

Angin datang saat teduh sudah hilang. Hembusannya menelusup ke sela tangan. Ada sejuk yang dirasakan. Sungguh dalam kenikmatan. Vania menggeliat. Menatap gunung yang menjulang sendirian. Gunung yang jauh dari gunung manapun. Gunung yang hanya dikelilingi oleh bukit-bukit kecil di kakinya. Mentari mengintip dari pundak gunung. Memberi Vania kehangatan dalam tubuhnya.“Pagi..” sapa Sidik.“Pagi.” Jawab Vania.“Teh Raninya ada?” tanya Sidik.“Ada. Masuk aja.” Vania mempersilahkan Sidik masuk.“Emhh.. terimakasih, Teh.” Sidik mengangguk.“Sama-sama.” Jawab Vania.Vania kembali menatap gunung yang menjulang sendirian. Seakan disana ada dirinya sedang mendaki, menuju kemenangan. Kaki Vania berjingkat-jingkat seperti orang yang sedang melakukan pemanasan. Tangannya bertolak pinggang. Ia menghitung semua gerakannya dari satu sampai delapan dan terus mengulanginya. Ya. Ben
Read more

The Eighteenth

Vania menemukan hari dimana ia hanya bisa mengetuk mimpi dari pintu yang jauh. Vania tak menyesal tentang apa yang baru saja ia dapatkan. Tempat baru, kisah baru, dan rasa yang baru tentang kehidupan. Semua Vania nikmati dalam kesesakkan dadanya. Vania duduk di tengah-tengah majlis. Hatinya sedang merindukan sang ibu yang selalu membuatkan masakan untuknya di siang hari. "Ma.. " Gumamnya dalam hati. Santriah lalu lalang di luar, ada yang bergegas mandi, ada yang membersihkan halaman majlis, ada yang mencuci piring, ada juga yang menuju warung untuk membeli makanan. Vania tak tergubris sedikitpun oleh ketuk kaki yang mungkin jika bagi orang lain, akan menjadi kekacauan. Hatinya dalam keteguhan rindu. Vania mulai meneteskan air mata di pipinya. "Hei, kamu kenapa?" tanya seorang gadis berjilbab merah. Vania mengangkat kepalanya yang menunduk. Ia menghaous air matanya. Menatap mata gadis yang berbicara kepadanya
Read more

The Nineteenth

Sebulan telah berlalu. Vania merasa dirinya menemukan sesuatu yang tak pernah ia duga sebelumnya. Vania kehilangan jati drinya sendiri. Ia berhenti sekolah. Pamannya sendiri tak mendaftarkan Vania untuk sekolah. Entah apa yang ada di pikiran David. Vania merasa dirinya kurang beruntung pindah ke tempat yang kini ia pijak. Vania terjatuh dalam tangisan yang seharusnya tak ia rasakan.“Sekarang sudah bukan jamannya lagi kalau anak seusia kamu tidak sekolah.” Kalimat itu terngiang di kepala Vania.Vania terlahir dari keluarga intelektual yang tinggi. Dirinya tak akan sebebas orang lain. Ia akan menjadi bahan pergunjingan jika ia berpacaran. Ia akan menjadi bahan pergunjingan jika ia melakukan kesalahan besar. Ia akan menjadi bahan pergunjingan jika ia melakukan keburukan. Vania akan menjadi orang yang paling hina di mata keluarga jika ia tidak melakukan apa yang menjadi kebanggaan keluarga besarnya.Dalam satu bulan itu pula Vania sangat berhati-hati me
Read more

Twentieth

Vania masih menatap langit dengan mata cokelatnya. Ia menyilangkan tangan di dadanya. Meratapi hari yang ia rasa tak pernah menjadi miliknya. Mentari masih mengganggunya dengan kehangatan yang lebih dari apa yang Vania minta. Pagi pergi perlahan. Meninggalkan gadis itu dalam kesendiriannya. Langit tak memberinya tanda apapun. Tentang kesetiaan, tentang pengkhianatan, bahkan tentang kejujuran.Vania duduk di teras depan. Membiarkan mengintipnya dari ujung pohon. Ia melamun.“Lagi apa, Van?” tanya Rani.“Lagi duduk, Om. Eh. Tan,” Ucap Vania gugup.“Duduk terus,” ucap Rani sambil berlalu menggendong anak bungsunya.Vania hanya tersenyum menanggapinya. Ia melihat ketuk kaki istri sang paman yang semakin tak beraturan langkahnya. Vania kembali memandang langit yang terlihat tenang. Dadanya bergemuruh, tak ia mengerti apakah artinya itu. Ia kemudian tertunduk. Vania masuk ke kamar. Membiarkan pagi tak menemaninya lagi.
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status